Menggapai Pencerahan dengan Kecerdasan Buatan
Dian Nuri Ningtyas – 30 Juni 2022
Kecerdasan buatan atau articial intellence (AI) telah menjadi bagian tak terpisahkan bagi kehidupan manusia saat ini. Dengan algoritmanya, kecerdasan buatan berperan dari hal kecil sehari-hari seperti membayar tagihan, menggunakan mesin pencari, hingga membantu mengatasi krisis iklim atau, sebaliknya, memicu konflik antaragama. Dalam tingkatan tertentu, peran kecerdasan buatan lebih nyata terlihat daripada peran agama di masyarakat yang kian pragmatis. Di sisi lain, salah satu tantangan besar yang dihadapi oleh agama-agama di dunia saat ini adalah menjawab pertanyaan bagaimana agar agama tetap relevan. Pertanyaannya, sejauh mana keberadaan kecerdasan buatan mampu membantu agama menjawab tantangan zaman? Ataukah keberadaaanya justru membuat agama semakin tidak relevan dan menggantikannya?
Dialektika tersebut menjadi bahasan Wednesday Forum 6 April 2022 yang menghadirkan Prof. Soraj Hongladarom, dari Departemen Filsafat dan Teknologi, Universitas Chulalongkorn, Bangkok, Thailand. Dalam presentasinya yang bertajuk “Artifical Intellegence and Religion”, guru besar yang akrab dipanggil Ajahn Soraj ini memaparkan bagaimana Buddha, sebagai agama yang berusia ribuan tahun dan sangat terikat dengan tradisi kuno, berelasi dengan keberadaan kecerdasan buatan.
Buddha dan Kecerdasan Buatan: Selayang Pandang
Secara umum, tidak ada alasan bagi agama Buddha untuk memusuhi teknologi. Ajaran Buddha memandang kecerdasan buatan melalui sudut pandang etika sekuler atau keduniawaian. Teknologi dibuat untuk memudahkan dan membantu kerja manusia dalam banyak hal. Secara khusus, kecerdasan buatan dirancang untuk dapat “berpikir” secara sistematis dan memahami sesuatu laiknya otak manusia. Dalam beberapa hal, kecerdasan buatan mampu memproses dan menyortir informasi jauh lebih cepat dari manusia. Salah satu contohnya adalah mesin pencarian seperti Google, Bing, Yahoo, atau mesin pencarian lainnya. Dalam tradisi Buddha, penerimaan terhadap teknologi ini dikontekstualisasikan melalui ajaran “menggunakan yang kita diperbolehkan, membuang yang dilarang”. Dengan kata lain, kemajuan teknologi adalah sebuah kebaikan jika digunakan untuk kepentingan umat dan ajaran agama. Sebaliknya, teknologi menjadi buruk jika digunakan untuk merugikan diri sendiri maupun orang lain. Keburukan inilah yang wajib dihindari oleh umat Buddha.
Keberadaan kecerdasan buatan sudah dirasakan manfaatnya oleh para biksu dan umat Buddha. Dahulu, para biksu, yang hidup terpisah dengan orang awam, bertekun diri untuk menyalin kitab suci atau mencari ayat-ayat langsung dari kitab suci. Hal ini tentu saja membutuhkan banyak waktu, tenaga, dan keahlian khusus. Namun, sejak kitab suci disalin dalam bentuk elektronik, dengan bantuan kecerdasan buatan orang awam pun bisa mencari ayat-ayat yang kontekstual sesuai kebutuhan mereka hanya dengan mengetikkan kata kunci. Kecerdasan buatan membantu banyak biara ataupun vihara dalam mengelola keuangan dan donasi secara mudah dan transparan.
Dalam kasus Thailand, menurut Ajahn Soraj, Buddha sebagai agama yang terikat dengan tradisi masa lampau membuatnya memiliki aturan yang terkesan kaku sehingga berjarak dengan anak muda saat ini. Kecerdasan buatan dapat menjadi jembatan untuk menjangkau kaum muda agar lebih tertarik belajar agama Buddha. Ajahn Soraj memberi contoh laman akun Facebook bernama AI Monk yang menyediakan berbagai pengetahuan tentang agama Buddha secara virtual dan interaktif. Para penggunanya dapat bertanya tentang ayat tertentu maupun berkomentar tentang ayat tersebut . Melalui cara ini belajar agama menjadi lebih menyenangkan dan dapat dilakukan di mana dan kapan saja.
Contoh lainnya adalah sebuah aplikasi ponsel pintar bernama “Buddhify-Mindfullness Meditation On The Go”. Aplikasi ini menyediakan tuntunan untuk melakukan meditasi secara mandiri. Menariknya, aplikasi ini tidak hanya diakses oleh umat Buddha di Thailand, tetapi juga oleh masyarakat umum dari berbagai negara. Dengan kata lain, kecerdasan buatan telah membawa agama Buddha di Thailand menjangkau umat lebih luas dan membantu mereka mencapai pencerahan.
Menakar Batas Kecerdasan Buatan
Dengan demikian, pertanyaan yang selanjutnya muncul adalah apakah kecerdasan buatan bisa dipandang sebagai sesuatu yang religius? “Tergantung”, jawab Ajahn Soraj. Jika kecerdasan buatan ini mampu memiliki kesadaran penuh terhadap yang dilakukannya seperti halnya manusia dan melakukan tindakan keagamaan, “maka itu akan menjadi religius.” Namun, pada kenyataannya, saat ini kecerdasan buatan merupakan teknologi yang memerlukan pemprograman tertentu yang tentunya memiliki keterbatasan, Ia hanya bisa bekerja atau bertindak sesuai dengan rangkaian perintah yang diprogramkan. Artinya, kecerdasan buatan tidak memiliki kesadaran seperti halnya manusia.
Memasuki sesi tanya jawab, Leonard C. Epafras yang menajdi moderator dalam diskusi ini melontarkan sebuah pertanyaan menarik: Apakah adanya kecerdasan buatan akan menguatkan ide singularitas atau hilangnya aspek-aspek kemanusiaan karena telah digantikan oleh teknologi? Ajahn Soraj kembali bertanya bila mana sigularitas itu akan datang? Pertanyaan soal singularitas selalu menjadi pertanyaan terbuka yang akan selalu menjadi perbincangan. Namun demikian, ia menekankan bahwa secanggih apa pun teknologi tetap membutuhkan campur tangan manusia dalam sisi teknis dan pemprograman. Selain itu, faktor etika akan menjadi salah satu yang menjadi penghambat singularitas. Banyak ilmuwan mencoba menciptakan mesin yang menyerupai manusia. Namun, mesin dan teknologi itu tetaplah berbeda dengan manusia karena mereka tidak dianugrahi kesadaran laiknya manusia. Meski demikian, jika suatu saat nanti hal ini dapat diciptakan, Ajahn Soraj berpendapat, “kita harus mencegahnya!” Jika hal tersebut terjadi, bukan tidak mungkin kehidupan manusia akan dikontrol oleh negara yang menguasai teknologi. Maka itu, penting untuk tetap mengedepankan etika dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pertanyaan selanjutnya datang dari Diane Butler mengenai kemungkinan bahwa kecerdasan buatan akan menggantikan manusia di sektor kesehatan. Diane mencontohkan bagaimana ibunya yang telah berusia 92 tahun dan tinggal sendiri memilih untuk menggunakan semacam kalung yang dapat mendeteksi tanda vitalnya. Kalung tersebut dapat menghubungi ambulans secara otomatis jika terjadi kondisi kegawatdaruratan. Menurut Ajahn Soraj, tak peduli seberapa canggih sebuah teknologi kesehatan, ia tidak bisa menggantikan manusia dalam merawat orang tua. Merawat orang tua adalah kegiatan yang membutuhkan sisi humanis dan emosional. Sentuhan kasih sayang dan kesadaran inilah yang tidak dimiliki oleh robot ataupun alat-alat dengan kecerdasan buatan lainnya.
Laiknya tangga, kecerdasan buatan membantu manusia untuk mencapai pencerahan dalam kehidupan beragama. Akan tetapi, bagaimana pun, tangga hanyalah alat yang dibuat dan dirancang manusia untuk kegunaan tertentu. Tangga tersebut, bagaimana pun bentuknya, tidak serta-merta otomatis membawa manusia sampai ke tujuan. Manusialah yang harus menapaki tangga tersebut dengan penuh kesadaran untuk menggapai pencerahan.
_______________________
Dian Nuri Ningtyas adalah Mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2020. Baca tulisan Dian lainnya di sini.
Foto tajuk artikel ini oleh Adam Smigielski
Rekaman Wednesday Forum “AI and Religion “ oleh Prof. Soraj Holangdarom
artikel seputar pencerahan dengan kecerdasan buatan sungguh bermanfaat. Era digital membuka banyak peluang melalui kemajuan teknologi yang canggih. Jasa Virtual Reality dapat menciptakan pengalaman visual dan interaktif yang inovatif, terutama dalam penerapan teknologi berbasis realitas virtual.