• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Headline
  • Mengubah Arah Pendidikan Agama: Dari Konfrontatif ke "Promotif"

Mengubah Arah Pendidikan Agama: Dari Konfrontatif ke "Promotif"

  • Headline, News, Perspective
  • 2 February 2017, 12.59
  • Oleh:
  • 1

Suhadi | CRCS | Perspektif

Program Mengajar Keragaman oleh CRCS di SMAN 2 Ngaglik, Sleman, pada 2014

Bertebarannya hoax, provokasi, dan ujaran kebencian berbasis agama akhir-akhir ini merupakan fenomena yang sangat memprihatinkan. Untuk mengatasi hal ini, dengan tujuan yang berjangka panjang, pendidikan adalah hal yang tak bisa diabaikan.
Menyoroti hal itu, pada pertengahan Januari 2017, Jokowi memanggil Menag, Mendikbud, dan Menristekdikti. Sebagaimana diberitakan kemudian, menurut keterangan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, Presiden Jokowi antara lain memberikan pesan tentang pentingnya pengembangan pendidikan karakter bangsa terutama melalui pendidikan agama. Dengan bahasa lugas, Presiden berharap tiga menteri tersebut memberikan perhatian pada pengembangan pendidikan agama yang tidak konfrontatif, tapi “promotif”, yakni pendidikan yang mempromosikan religiositas dan sekaligus menghargai kebinekaan.
Dua aspek dari bangsa Indonesia menjadi pertimbangan dari upaya itu: di satu sisi, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang religius, atau setidaknya memiliki identitas keagamaan yang kuat; dan di sisi lain Indonesia memiliki kemajemukan agama yang sangat tinggi baik antaragama maupun intraagama. Kuatnya identitas agama di Indonesia itu diperkuat oleh hasil survei Pew Research Institute 2015 yang menyebutkan 95% orang Indonesia menyatakan agama penting bagi kehidupan mereka.
Temuan Penelitian
Penelitian tentang peran agama dan/atau pendidikan agama di sekolah dan pembentukan karakter siswa telah banyak dilakukan. CRCS UGM sendiri setidaknya telah mempublikasikan dua buku hasil penelitian dalam bidang ini.
Pertama, penelitian dengan judul Politik Ruang Publik Sekolah: Negosiasi dan Resistensi di SMUN di Yogyakarta (Hairus Salim HS, dkk, 2011). Buku ini menyajikan etnografi tiga sekolah negeri, dari yang toleran, “biasa”, dan kurang toleran terhadap kemajemukan. Penelitian ini tidak secara khusus mengkaji pendidikan agama dalam ruang kelas, tetapi tentang proses pembentukan ruang publik sekolah dan pengaruhnya terhadap relasi antar siswa.
Kedua, penelitian dengan judul Politik Pendidikan Agama: Kurikulum 2013 dan Ruang Publik Sekolah (Suhadi, dkk, 2014). Terbitan penelitian ini membahas genealogi atau asal usul pendidikan agama dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia serta aspek politik pendidikannya dari satu rezim ke rezim lain setelah Indonesia merdeka. Penelitian ini juga mengkaji persoalan “kompetensi spiritual” dalam Kurikulum 2013.
Penelitian lain tentang pendidikan agama terkini juga telah dilakukan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah yang fokus pada content analysis buku-buku teks ajar Pendidikan Agama Islam (PAI) dari SD sampai SMA yang diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Policy brief dari riset ini diterbitkan pada September 2016 dengan judul Tanggung Jawab Negara terhadap Pendidikan Agama Islam.
Latar dari penelitian tersebut adalah fenomena protes dari masyarakat di beberapa daerah yang menemukan pernyataan intoleransi dan kekerasan dalam buku-buku dan Lembar Kerja Siswa (LKS) PAI. Salah satu dari pernyataan itu, misalnya, dapat ditemukan dalam sebuah LKS PAI Kelas XI SMA di beberapa daerah sekaligus (Jombang, Depok, Jakarta, Bandung) yang memuat kalimat “yang boleh dan harus disembah hanyalah Allah SWT, dan orang yang menyembah selain Allah, telah menjadi musyrik dan boleh dibunuh.” Meskipun pernyataan itu tak mengacu secara khusus ke suatu agama, tim PPIM mengkhawatirkan pernyataan itu dalam konteks Indonesia dapat disalahpahami merujuk pada pemeluk agama tertentu di luar Islam (PPIM 2016:4)
Sebagaimana disebutkan dalam policy brief PPIM itu, setelah ditelusuri LKS tersebut ternyata menyalin secara utuh buku Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti Kelas XI SMA yang dipublikasikan oleh Kemendikbud (Mustahdi dan Mustakim 2014; PPIM 2016: 4). Walhasil, sinyalemen bahwa ada potensi intoleransi dan kekerasan dalam buku teks PAI bukanlah mengada-mengada.
Ketika diwawancarai tim peneliti PPIM, pejabat Kemendikbud menyebutkan mengapa hal tersebut bisa terjadi. Menurutnya, proses penyusunan dan penerbitan buku-buku tersebut bersifat kejar tayang atau terpepet dari sisi waktu, sehingga hasilnya tidak maksimal. Namun peneliti PPIM memandang buku-buku PAI bisa dimasuki pernyataan seperti di atas karena pemerintah tidak memiliki visi menjadikan PAI sebagai bagian dari politik kebudayaan nasional atau bagian dari upaya memperkuat Islam rahmatan lil’alamin (PPIM 2016: 6).
Berpikir Lebih Mendasar
Banyak pihak telah lama menyarankan pemerintah secara serius memikirkan dan mengupayakan perbaikan PAI yang kontekstual dengan keindonesiaan dengan ragam agama, paham kegamaan, dan etniknya. Persoalan memperbaiki kurikulum PAI tidaklah semudah membalikkan tangan. Untuk hasil yang lebih maksimal ada perlu perubahan pola pikir dalam memandang pendidikan agama yang lebih mendasar.
Pertama, Pendidikan Agama (PA) secara umum, tidak terkecuali PAI, dalam sejarahnya memuat beban ideologis. Sebelum tahun 1966, Pendidikan Agama (PA) bukan mata pelajaran wajib, tetapi pilihan. Namun instruksi TAP MPRS No. XXVII/MPRS/1966 tentang Agama, Pendidikan dan Kebudayaan kemudian menetapkan PA sebagai mata pelajaran wajib bagi semua siswa. Pewajiban tersebut, pada waktu itu, berkaitan dan berhubungan dengan bias anti-komunisme. Artinya, ada aspek semangat penegasian sang liyan. Karena sentimen anti-komunisme ini dan agama yang diakui oleh perundang-undangan saat itu (masih berlaku hingga saat ini) hanya enam agama, maka pendidian agama di luar enam agama tersebut tidak pernah ditawarkan sepanjang sejarah.
Untuk konteks saat ini, hal yang penting adalah bagaimana menggeser paradigma tersebut ke arah yang lebih positif. Saya tidak sedang ingin mengusulkan kembali PA menjadi tidak wajib lagi, tetapi bagaimana keberadaannya yang wajib kini lebih memiliki semangat positif. PAI harus keluar dari perspektif negatif menuju perspektif yang lebih positif  dalam melihat perbedaan agama dan paham. Tanpa perubahan paradigma yang mendasar, harapan terhadap PAI, bahkan juga pendidikan agama lain, untuk menjadi “promotif” dan tidak konfrontatif akan sulit tercapai.
Kedua, kurikulum terbaru yang berlaku saat ini, yakni Kurikulum 2013 (selanjutnya disingkat K-13), tidak lagi menjadikan Pendidikan Agama sebagai satu-satunya ruang untuk menanamkan nilai-nilai keagamaan/spiritualitas. K-13 memperkenalkan konsep Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD). KI kemudian diturunkan ke dalam empat kompetensi: kompetensi spiritual (KI-1), kompetensi sosial (KI-2), kompetensi pengetahuan (KI-3) dan kompetensi keterampilan (KI-4). Oleh karena itu kompetensi agama/spiritual tidak lagi hanya menjadi tanggung-jawab PA, tapi semua mata pelajaran. Artinya, agenda perbaikan terhadap kurikulum dan buku teks PAI tidak niscaya menyelesaikan masalah yang diprihatinkan di atas. Maka kita sekaligus juga harus memeriksa rumusan KI-1 yang tersebar di semua mata pelajaran.
Ketiga, banyak di antara pemerhati dan praktisi pendidikan sering terjebak menyederhakan tujuan pendidikan dalam kaitannya dengan tanggung jawab mata pelajaran tertentu. Misalnya, ketika dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas disebutkan bahwa tujuan pendidikan adalah mendorong peserta didik agar menjadi “manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa”, tujuan itu dianggap menjadi tanggung jawab mata pelajaran PA. Sementara itu tujuan pendidikan  untuk mendorong “menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” seringkali dianggap menjadi beban Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Paradigma semacam ini mengakibatkan adanya ambiguitas, yaitu PPKn mengajarkan keterbukaan sosial kebangsaan, sementara PA mengajarkan ketertutupan sosial kebangsaan.
Pemahaman ambigu tersebut seharusnya diakhiri. Mendorong lahirnya generasi bangsa yang “demokratis”, “bertanggung jawab”, “mandiri”, dan seterusnya, juga merupakan tanggung jawab pendidikan agama. Oleh karena itu, kurikulum PA seharusnya tidak saja berkutat pada keimanan dan ketakwaan, tapi juga hal-hal yang menyangkut sosial dan kebangsaan.
Perbaikan kurikulum terhadap buku teks yang konfrontatif memang menjadi agenda mendesak yang perlu segera dilakukan. Lebih dari itu, kita perlu memperbaiki hal-hal mendasar yang menyangkut paradigma dan pola pikir kita tentang pendidikan agama apabila mengharapkan pendidikan agama menjadi mata pelajaran yang lebih promotif terhadap nilai-nilai kebinekaan bangsa Indonesia.
*Penulis, Suhadi, adalah dosen Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga dan associate researcher di Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM.

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Comment (1)

  1. Otong Jaelani 8 years ago

    Tulisan yang mencerahkan. Visi PA sesungguhnya mengacu pass tujuan pendidikan nasional. Yang perlu dipastikan adalah kualitas kontrol dari penyelia penulisan buku. Memastikan penulis buku memahami dengan baik implementasi Bhineka Tunggal Ika dalam pendidikan agama serta memiliki horison cakrawala keragaman budaya di Nusantara. Yang lebih penting lagi adalah penulis buku harus paham dan melakukan kerja positif untuk mencintai Indonesia. Terima kasih Pak Suhairi.
    Otong Jaelani, Sekolah Al-Izhar Jakarta.

    Reply

Instagram

Since the end of 19th century, the Catholic Church Since the end of 19th century, the Catholic Church has conducted missionary activities among the Javanese in Muntilan, Indonesia, establishing it as the first Catholic mission site in Java. The missionary work not only impacted the Javanese but also the Chinese descendants in Muntilan. The conversion of the Chinese to Catholicism in sparked debates among the Chinese community, who perceived it as a contributing factor to the abandonment of Chinese characteristics. This contest leads to the dynamic and diverse identities of Chinese Catholics within the community, as Chinese characteristics and Catholic faith mutually influence each other.

Come and join the #wednesdayforum discussion with @astridsyifa at the UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to brong your tumbler. This event is free and open to public
Selamat kepada peserta terpilih!!! Ada namamu di s Selamat kepada peserta terpilih!!!
Ada namamu di situ?

😎

peserta terpilih akan dihubungi oleh panitia
yoohoooo... are you waiting for this announcement? yoohoooo...
are you waiting for this announcement?

#studentexchange #religiousstudies #kaburajadulu
Setiap bahasa punya pendekatan dan penyebutan berb Setiap bahasa punya pendekatan dan penyebutan berbeda untuk menamai "pendidikan". Bahasa Arab membedakan antara tarbiyah, ta'lim, tadris, dan ta'dib ketika berbicara tentang "pendidikan". Sementara itu, bahasa Inggris memaknai "pendidikan" sebagai educare (latin) yang berarti 'membawa ke depan'. Jawa memaknai pendidikan sebagai panggulawênthah, 'sebuah upaya mengolah', dan upaya untuk mencari pendidikan itu disebut sebagai "ngelmu", bukan sekadar mencari melainkan juga mengalami. Apa pun pemaknaannya, hampir semua peradaban sepakat bahwa pendidikan adalah kunci untuk memanusiakan manusia.
Load More Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju