Perdebatan tentang sains, agama, dan tradisi merupakan pergulatan yang sangat panjang dalam sejarah peradaban manusia. Upaya merefleksikan dan memosisikan diri menjadi bagian penting dalam memahami makna dan hakikat pengetahuan bagi kehidupan manusia.
Najiyah Martiam, peneliti CRCS UGM, membuka sesi “Dialog Epistemologis: Sains, Agama, dan Tradisi“ pada perayaan 25 tahun CRCS UGM di Auditorium Sekolah Pascasarjana (Selasa, 21/11) dengan menggarisbawahi pentingnya epistemologi berbasis etika dalam memahami hakikat pengetahuan. Seringkali pengetahuan hanya disandarkan pada sains, padahal spiritualitas juga merupakan bagian tak terpisahkan dalam proses pembentukan epistemologi pengetahuan.
Selepas berkeliling Indonesia dan mempelajari epistemologi pengetahuan di beberapa masyarakat adat, Najiyah menceritakan bahwa agama, sains, budaya, dan mitologi saling berkaitan dalam tradisi lokal. Ada perbedaan mendasar antara epistemologi tradisional dan modern dalam membentuk cara pandang terhadap dunia. Najiyah menyampaikan epistemologi lokal merupakan sebuah kerangka memahami pengetahuan berbasis etika yang bersifat ekosentris. Dalam hal ini, manusia tidak dipandang lebih tinggi dari pada alam, tetapi bagian dari alam itu sendiri. Pengetahuan ini digunakan oleh para leluhur sebagai kerangka dalam memahami dunia. Alam ialah subjek atau entitas yang dapat diajak berdialog, alih-alih sebagai objek yang dapat dikontrol dan dieksploitasi.
Berangkat dari permasalahan yang terjadi di sekitar lingkungan kita, Lisa Permanadelli, Direktur Pusat Kajian Representasi Sosial dan Sekolah Dua Musim, memantik satu pertanyaan mendasar, “Bagaimana mengembangkan epistemologi lokal?” Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ia memaparkan bahwa pemahaman agama, tradisi, dan sains saat ini merupakan kategori pengetahuan yang berasal dari sejarah peradaban Barat. Modernisme yang berkembang di Eropa menjadi awal ditinggalkannya agama. Pemicunya adalah cogito (aku berpikir maka aku ada) yang menempatkan manusia sebagai pusat segala sesuatu dan mengasumsikan dirinya bersifat terestrial (fana) dan dapat berdiri di atas kakinya sendiri. Cogito inilah yang menjadi landasan lahirnya sains, teknologi, dan modernitas yang saat ini diterima begitu saja.
Dalam sejarah perkembangan sains, masyarakat Barat menyadari bahwa hal paling fundamental untuk mengubah dari manusia sakral ke manusia fana adalah kemanusiaan. Namun, humanisme yang dicanangkan oleh Barat justru mengalami kejenuhan dari laju modernitas itu sendiri. Terjadinya titik jenuh modernitas menjadi momentum masyarakat Barat untuk memeriksa kembali cogito sebagai sumber epistemologi. Mereka mulai menilik pengetahuan lokal sebagai sumber untuk mengembangkan epistemologi noncogito, epistemologi di luar Barat. Mereka mengoreksi diri bahwa terdapat kesalahan dalam perjalanan cogito sebagai sumber epistemologi karena menjadikan manusia sebagai penguasa dan perusak alam.
Refleksi terhadap pergulatan epistemologi ini menjadi titik balik untuk melihat kembali pengetahuan leluhur yang dimiliki oleh kita. Pertanyaannya, “Bagaimana membaca kenyataan lokal untuk memahami epistemologinya?” Jika pengetahuan Barat melandaskan pada kebenaran di balik sebuah fenomena, pengetahuan lokal mendasarkan pada pemahaman dan pemaknaan terhadap fenomena. Dengan begitu, pengetahuan lokal menitikberatkan pada makna dan entitas, bukan semata kebenaran objek.
Adakah Epistemologi Alternatif?
Premana W. Premadi, peneliti astronomi Institut Teknologi Bandung, mengatakan bahwa sains, teknologi, seni, dan kepercayaan merupakan empat elemen dasar kemajuan peradaban manusia. Jika kita mengacu pada epistemologi tradisional, pengamatan merupakan awal mula dari pengetahuan. Ada keterhubungan yang ajeg antara apa yang ada di langit dan di bumi. Ia mencontohkan bagaimana petani zaman dulu menggunakan pengamatan rasi bintang untuk menentukan musim tanam. Masyarakat adat di Jawa mengenalnya dengan nama pranata mangsa. Proses siklus langit dan bumi membawa kesadaran bahwa manusia tidak memiliki kuasa mengendalikan alam. Penyerahan diri pada atribusi yang mempunyai kuasa lebih menjadikan masyarakat adat memiliki relasi spiritual dengan alam. Jika alam ingin baik kepada kita, manusia juga harus memperlakukannya dengan bijaksana.
Premana menyampaikan, untuk bisa mendefinisikan secara lengkap suatu sistem kita memerlukan rujukan yang melampaui batasan sistem itu sendiri. Ia mengutip tawaran Kurt Godel tentang incompleteness theorem untuk mengetahui kecenderungan awal dan asumsi dasar dalam sains. Misalnya, ketika kita mendefinisikan manusia, kita memerlukan hal yang di luar manusia sebagai pembanding atau pembeda. Lalu muncullah tesis bahwa yang membedakan manusia dan bukan manusia ialah kemampuan untuk menciptakan alat karena tidak ada makhluk yang dianggap memiliki kemampuan tersebut selain manusia.
Kendati demikian, Permana juga menegaskan pada dasarnya tatanan sistem pengetahuan manusia modern, baik sains maupun kosmologi, bersifat dinamis. Tesis terkait pembeda manusia dan bukan manusia ialah kemampuan menciptakan alat pada akhirnya gugur. Penelitian terkini membuktikan bahwa simpanse pun punya kemampuan untuk membuat alat. Beranjak dari hal tersebut Permana mengajak kita untuk memahami etos dan cara kerja sains, tidak sekadar produk jadinya. Inilah yang dinamakan intellectual humility.
Lebih lanjut, Permana melontarkan pertanyaan yang sangat substansial, “Bisakah kita mengetahui apa yang di luar realita kita? Lalu, apa artinya “pengetahuan” tanpa bukti dan objektivitas? Pertanyaan itu menjadi tantangan bagi kita semua untuk menemukan jawabannya. Sains memang berhasil menjadi sandaran sistem pengetahuan modern, tetapi manusia juga terus-menerus mencari dan menggunakan pengetahuan lokal untuk membangun korelasi alami bagaimana beradaptasi dengan siklus kehidupan. Dengan begitu, narasi-narasi yang dipegang otoritas pengetahuan harus terus mengandung refleksi mendalam. Ia mengilustrasikan bahwa harusnya perkembangan sains juga mesti diiringi dengan bertambah kebermaknaannya.
Epistemologi Relasional sebagai Tawaran
Di tengah kelindan dan tumpang tindih epistemologis itu, muncul sebuah pertanyaan, “Bagaimana kita memosisikan diri? Perlukah sebuah dialog epistemologis dalam perdebatan sains, agama, dan tradisi?” Karlina Supelli, Direktur Sekolah Pascasarjana STF Driyarkara, menjelaskan bahwa dalam diskursus epistemologi, yang dimaksud “kebenaran” sesungguhnya mengandung klaim, baik dari sudut pandang sains maupun sejarah. Sejarah epistemologi klasik Barat menghadirkan konsep “sang aku”, dari sudut pandang subjektif (sub-specie humanitatis) menuju sudut pandang universal-objektif (sub-aeternitatis) sebagai cara pandang yang seolah-seolah datang dari langit abadi. Cara pandang positivistik ini justru menimbulkan krisis yang sangat dahsyat. Pada akhir abad ke-19, Barat mengalami krisis kemanusiaan, rasionalitas, dan kebangkrutan politik yang menyebabkan reduksi nalar dan ketidakadilan epistemik.
Lebih lanjut, Karlina menekankan bahwa sains tidak dapat mengklaim kebenaran, bahkan pengetahuan apa pun, karena tafsir terhadap pengetahuan selalu mengalami perubahan. Maka, proses pencarian objektivitas dalam epistemologi kontemporer itu tidak hanya dilandaskan pada pengurangan unsur subjektif dan mekanisme intersubjektif, tetapi juga adanya dialog antarsisi. Inilah yang melahirkan kesadaran bahwa dunia tidak dapat memberi kepastian yang mutlak terhadap manusia baik karena sifat pengetahuan, kondisi kesejarahan, bahkan alam itu sendiri. Kondisi ini kemudian melahirkan kesadaran epistemologis, bahwa pengetahuan itu bukan menyalin dunia, melainkan membangun relasi simbolik untuk membangun makna pada pengalaman. Maka, epistemologi relasional melakukan pergeseran fokus dari kebenaran sebagai representasi, menuju kebenaran sebagai koherensi dalam jaringan (model, konsep dan teori); dari kepastian menuju keterbukaan terhadap perubahan, serta dari subjek individual menuju intersubjektivitas. Sehingga, setiap suara perlu didengar dan ditanggapi serta setiap klaim dapat dipertanggungjawabkan koherensinya secara intersubjektif.
Karlina menyebutkan bahwa relasional dalam pengetahuan dapat dibentuk dengan tidak berfokus pada isu perbedaan, tetapi mencari titik temu irisan-irisan untuk saling menafsir. Keterbukaan terhadap apa yang ada dalam pengetahuan lokal itu dapat diterima sebagai kenyataan, beserta hubungan yang mungkin di dalamnya. Lebih lanjut, ia juga menekankan kesediaan untuk merombak pandangan tentang sistem pengetahuan Nusantara dan sikap rendah diri sisa-sisa kolonialisme. Ia mencontohkan tiga aras epistemik dari tatar sunda: intersubjektif: berkaitan dengan subjek-objek dan belajar dari banyak orang yang berpengalaman (Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesiyan); Sintesis akal-budi atau nalar-nurani: berkaitan dengan menelaah batin, dalam hal ini subjek menjadi bahan telaah bagi pengetahuan tentang diri atau yang disebut pribudieun; dan Budi murni/rasa sejati: misalnya pengetahuan awang-uwung: kosong-sekaligus-penuh menuju “rasa” sebagai kewaspadaan batin dalam berziarah sukma menuju Sang Hyang—Leupas ti Hilang Tanhana (Sewaka Darma dan Jatiraga). Menurutnya, penerapan epistemologi titik pijak dari tiga aras tersebut dapat membangun jembatan epistemik antara sains dan pengetahuan lokal atau bahkan integrasi di bidang tertentu. Sebagai suatu kerangka, dialog epistemologis bukan sekadar toleransi, melainkan juga upaya memperluas cakrawala pengetahuan dalam memaknai kebenaran di tengah keanekaragaman.
______________________
M. Siswanto adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2025. Baca tulisan Sis lainnya di sini.
Foto tajuk artikel bersumber dari presentationgo.com