Menuntut Keadilan Lingkungan Antargenerasi Melalui Konstitusionalisme Iklim
Rezza P. Setiawan – 8 November 2023
Hak Asasi Manusia tidak hanya dimiliki oleh generasi manusia yang hidup di hari ini, tetapi juga generasi yang akan datang. Salah satunya akses terhadap lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Istilah ‘konstitusionalisme iklim’ (Climate Constitutionalism) dibawa oleh Dr. Herlambang Perdana Wiratraman dalam diskusi pleno ketiga pada acara The 6th International Conference for Human Rights yang diadakan (26/10) di Fisipol UGM. Dalam presentasi berjudul “Climate Constitutionalism: A Search for Eco Social Justice in Indonesia’s Autocratic Legalism”, Dosen Hukum Tata Negara UGM ini menjabarkan konstitusionalisme iklim sebagai kerangka untuk memahami secara kritis hubungan tidak terpisahkan antara iklim dan hukum. Singkatnya, kerangka pikir ini menelisik apakah sistem hukum yang ada berpihak pada perusakan atau restorasi lingkungan. Konstitusionalisme iklim ini juga menjadi jembatan hukum untuk pemenuhan hak asasi manusia Indonesia, baik generasi saat ini maupun yang akan datang, atas lingkungan hidup. Lebih lanjut, Wiratraman juga menyoroti secara kritis narasi “politik hijau” yang ditawarkan kapitalisme global sebagai ancaman terhadap pemenuhan hak asasi antargenerasi.
Erosi Demokrasi dan Deforestasi
Perubahan iklim global memaksa manusia untuk mencari tempat tinggal baru. International Organization of Migration (IOM) memprediksi perpindahan yang diakibatkan oleh perubahan iklim (climate displacement) akan mencapai angka 25 juta hingga 1 miliar orang pada tahun 2050. Data terkini dari Indonesia ikut memperkuat prediksi tersebut. Dalam kurun lima tahun ini, warga di sepanjang pantai utara Jawa harus mengungsi akibat kenaikan air laut, banjir rob, dan abrasi. Jika ini terus dibiarkan, masyarakat yang kian terdesak oleh perubahan iklim ini akan merambah hutan-hutan atau lahan lain untuk ditinggali. Fakta yang terjadi di Indonesia juga terjadi di banyak tempat di dunia: manusia terus berpindah menjadi tempat hidup yang layak ditinggali akibat iklim. Akibatnya, perubahan iklim dapat berujung menjadi krisis iklim.
Menurutnya, krisis iklim ini pun diperparah dengan legalisme autokratik yang menyelusup dalam sistem pemerintahan Indonesia. Menyadur pemikiran Kim Lane Scheppele, ahli hukum dan sosiologi Princeton University di Amerika Serikat, legalisme autokratik merujuk pada pola pemerintahan yang menggunakan sistem legal di negaranya untuk mencapai dan mempertahankan kekuasaannya sendiri. Proses demokrasi pun menjadi terhambat akibat oligarki yang menggelembung bagai tumor dalam tubuh demokrasi.
Bak efek berantai, penurunan kualitas tingkat demokrasi ini turut berdampak pada krisis iklim yang berdampak pada berbagai permasalahan sosial. Pelemahan pada proses demokrasi turut melemahkan hukum-hukum yang seharusnya bisa melindungi masyarakat dari kerusakan lingkungan. Sikap negara yang menutup mata atas ulah korporasi perusak lingkungan turut memuluskan proses deforestasi kawasan hutan Indonesia. Perusakan lingkungan ini pada akhirnya menimbulkan dehumanisasi dan pemiskinan struktural, baik pada masyarakat adat maupun masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Sekali lagi, apa yang terjadi di Indonesia ini menemukan gemanya di banyak tempat lain di dunia. Banyak temuan yang menunjukkan hubungan signifikan antara kerusakan lingkungan dan permasalahan sosial lainnya seperti rasisme dan permasalahan gender.
Erosi demokrasi juga menggerogoti iklim kebebasan berbicara dan berpendapat di ranah publik. Berbagai tekanan terhadap jurnalisme lingkungan, baik di media massa maupun di ruang akademik, muncul. Mengutip artikel Fred Pearce, Wiratraman menyoroti berbagai hambatan yang dihadapi oleh para peneliti konservasi dalam mengawasi kinerja pemerintah dalam bidang lingkungan. Ketika peneliti melaporkan penurunan populasi hewan-hewan yang dilindungi seperti orangutan dan badak akibat pembunuhan dan perburuan liar, pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) justru menyanggah dengan menyatakan bahwa populasi hewan-hewan tersebut terus membaik di bawah pemerintahan yang kian ramah lingkungan. Namun, Erik Meijaard, peneliti konservasi lingkungan asal Inggris, menyatakan bahwa KLHK tidak pernah memberi data valid. Sebagai reaksi, KLHK malah melarang Erik Meijaard dkk. untuk melakukan penelitian lebih lanjut di Indonesia. Ini bukan pertama kali pemerintah Indonesia melarang atau mendeportasi para ilmuwan yang hasil temuannya tidak selaras dengan data resmi pemerintah, atau dianggap membahayakan stabilitas. “Pemerintahan Jokowi telah mengontrol semua badan penelitian di negara ini,” tegas Wiratraman dalam artikel Pearce tersebut.
Terkait hal ini, Prof. Sonja van Wichelen menyambung singkat dari bangku partisipan. Ia menyerukan keterlibatan jurnalisme lingkungan sebagai kunci penting dalam mendorong agenda konstitusionalisme iklim. Sebagai pilar keempat demokrasi, jurnalisme (lingkungan)—dalam ranah publik maupun akademik—mengarahkan pemerintah untuk menanggapi permasalahan genting krisis lingkungan.
Hak Antargenerasi dalam Sengkarut Politik Hijau
Namun, permasalahan menumpuk ini terus menimbun dan menjadi gunung ketidakadilan yang diwariskan antargenerasi. Dengan kata lain, permasalahan lingkungan tidak menghilang begitu saja, tetapi diteruskan pada mata rantai generasi selanjutnya. Sulitnya, konstitusi Indonesia tidak secara eksplisit menyebut hak antargenerasi (intergenerational rights). Oleh karena itu, tanggapan maupun penanganan pemerintah terkait krisis iklim dan beban antargenerasi terkesan seadanya dan sekadar pemanis di bibir. Namun, keterbatasan tersebut tidak lantas menjadi jalan buntu untuk menagih kewajiban ini. UUD pasal 28H ayat (1) telah menyebut hak setiap warga negara untuk “mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat”. Di luar itu, Indonesia juga sudah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi Sosial dan Budaya (ICESCR) yang merupakan perwujudan dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Ratifikasi kedua kovenan tersebut merupakan bentuk komitmen Indonesia untuk memenuhi hak asasi masyarakat Indonesia akan lingkungan hidup. Meski sempit, ketiga regulasi tersebut—sebagai bagian dari konstitutionalisme iklim—dapat menjadi jalan bagi warga untuk menuntut hak lingkungan hidup dan hak antargenerasi kepada pemerintah.
Salah satu batu ganjalan dalam perwujudan konsitutionalisme iklim ini ialah eksploitasi kapitalisme berwujud politik hijau. Berbungkus narasi ramah lingkungan, Negara-Negara Utara (Global Norths) menawarkan berbagai megaproyek, seperti kendaraan listrik, untuk diimplementasikan di Negara-Negara Selatan (Global Souths) sebagai solusi ramah lingkungan terhadap kondisi krisis iklim. Bukanlah sebuah kebetulan jika sebagian besar bahan baku mentah megaproyek tersebut, seperti kobalt dan litium, dimiliki oleh Negara-Negara Selatan. Juga bukan kebetulan bahwa jargon ramah lingkungan hanya dijadikan pintu masuk bagi kapitalisme global untuk mendapatkan pekerja murah dan akses sumber daya di Negara-Negara Selatan.
Padahal, menurut Wiratraman, Negara-Negara Utara memikul utang ekologis untuk memperbaiki kerusakan lingkungan di Negara-Negara Selatan yang diwariskan sejak era kolonial. Dalam kondisi semacam ini, megaproyek politik hijau bukanlah solusi terhadap utang ekologis tersebut. Politik hijau hanya bentuk baru eksploitasi ala kolonial, sebuah penjajahan antargenerasi.
Melawan dengan Konstitusionalisme Iklim
Sebagai respon terhadap permasalahan tersebut, Wiratraman menggarisbawahi pentingnya kesadaran kritis konstitusionalisme iklim agar kita lebih jeli memahami hubungan antara sistem hukum kita dan krisis iklim yang kian genting. Dalam bingkai HAM, kita harus menuntut negara untuk mengakomodasi hukum-hukum yang lebih progresif demi memenuhi hak-hak hidup warganya. Wiratraman juga menyoroti gentingnya mengakomodasi wacana hak antar-generasi dan tentang iklim secara lebih eksplisit dalam hukum Indonesia untuk mencegah pengabaian dan penumpukan kerusakan alam di Indonesia.
Di sisi lain, negara juga perlu diawasi agar tetap kritis terhadap mitos-mitos berupa dorongan proyek berbingkai moral yang membuka jalan bagi eksploitasi dalam kapitalisme, seperti narasi politik hijau. Selaras dengan diskusi Prof. Sonja Van Wichelen tentang bioetika global di era pascakolonial, kebijakan yang berkaitan dengan iklim harus disertai dengan kesadaran transkultural yang tidak terjebak pada bingkai narasi negara-negara Barat. Pada kenyataannya, kolonialisme Barat mewariskan masalah ekologis sebagai ketidakadilan yang dibebankan pada generasi mendatang dalam berbagai bentuk, salah satunya epistemologi yang memisahkan manusia dengan alam. Celakanya, permasalahan yang ditinggalkan oleh kolonialisme bukannya dibereskan, malah dilanjutkan oleh kapitalisme modern.
______________________
Rezza Prasetyo Setiawan adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2022. Baca tulisan Rezza lainnya di sini.
Foto tajuk artikel ini bersumber dari Flickr/GRID-Arendal (2017).