
“The more we use polarized language, the more we speak to a small part of society. The more we open up our language, the more we speak to all society”
Demikian sepenggal kalimat yang dilontarkan oleh Michael R. Quinlan, pemateri Wednesday forum bertajuk “Modern Shibboleth” (26/3). Bahasa menjelma menjadi tolok ukur dalam pembentukan jati diri manusia—dari mana kita berasal, bagaimana latar belakang budaya kita, sampai di mana posisi kita “berdiri”. Dosen tamu ICRS ini menggunakan idiom “Shibboleth” dalam alkitab untuk menjelaskan fenomena tersebut. Seperti dikisahkan pada kitab Hakim-Hakim 12:5-6, Prajurit Gilead yang sedang berperang dengan pasukan Efraim membangun sebuah siasat perang dengan menempati tepian Sungai Yordan, yang biasa digunakan sebagai tempat penyeberangan. Siapa pun yang tak dapat mengucapkan kata “Shibboleth” dengan benar, ia akan diidentifikasikan sebagai kaum Efraim, alias golongan musuh. Alhasil, Sungai Yordan yang nantinya dalam perjanjian baru menjadi tempat bagi pembaptisan, menjelma menjadi lumbung pembantaian bagi puluhan ribu suku Efraim.
Bukan senjata maupun teknologi mata-mata, melainkan “kata-kata”. Pelafalan terhadap sebuah kata mampu menjadi “indikator” untuk mengungkapkan identitas seseorang. Dalam tragedi di Sungai Yordan tersebut, ungkapan “Shibboleth” digunakan karena hanya kaum Gilead yang memiliki kemampuan untuk melafalkannya dengan benar. Intonasi, penekanan, bahkan beda satu huruf menentukan intensi dari sebuah kata. Perbedaan tersebut menggambarkan bahwa suara yang langsung diucapkan oleh suatu masyarakat mampu menunjukkan keterkaitan antara individu dan budaya tertentu. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa kata-kata mampu berpengaruh pada perbedaan paham, hingga menciptakan ketegangan sosial dalam ranah publik.
Fenomena tersebut merupakan situasi yang kerap terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Pria yang akrab dipanggil Mike ini mencontohkan penyebutan “beach” dan “sheet”. Ketika penekanan terhadap huruf vokal berkurang, kata-kata tersebut akan mengandung makna yang lain, bahkan cenderung negatif. Praktik tersebut menunjukkan bahwa sekalipun memiliki intensi yang sama, sebuah kata akan memiliki makna berbeda jikalau diucapkan dengan intonasi yang tidak benar. Dengan kata lain, aksen seseorang ternyata juga menyimpan beban makna yang terkait dengan muasal ia tinggal dan dibesarkan. “Aksen” bukan sekadar soal penyebutan, melainkan juga bagaimana manusia mendengar dan memahami sebuah bahasa. Karenanya, tak jarang, sebuah kata-kata tidak mampu tersampaikan dengan baik karena perbedaan aksen.
Selanjutnya, Mike mengontekstualisasikan Shibboleth pada era digital sekarang ini. Media sosial kerap mendorong netizen untuk menunjukkan partisipasi dan keberpihakan pada suatu problematika atau kejadian tertentu—misalnya, pada perang Ukraina-Rusia pada tahun 2022 serta Palestina-Israel pada tahun 2023. Di media sosial, muncul berbagai diksi yang mendorong terjadinya polarisasi masif, seperti pada slogan “I stand with…”. Di Amerika Serikat beberapa tahun silam, tagar tersebut menjadi alat untuk menguatkan kontestasi politik dua kandidat pemenang pemilu. Penting untuk dicermati, keterlibatan di media sosial seringkali justru menguatkan polarisasi global, ketimbang merepresentasikan keterlibatan langsung di dalam kelompok sosial yang diperjuangkan.
Dengan demikian, sebuah diksi bukan hanya menjadi cerminan identitas pribadi maupun kelompok, melainkan juga menggemakan sikap eksklusivitas atau inklusivitas. Ketika digunakan dalam arena kontestasi politik, sosial maupun agama, bahasa dapat menjelma menjadi alat untuk menyatakan sekaligus menyingkirkan identitas tertentu. Seperti yang tampak pada perhelatan politik beberapa tahun lalu, ketika beragam diksi seperti “cebong”, “kampret”, sampai “kadrun” bergaung kencang.
“Equality above Diversity”
Dalam konteks keagamaan dan budaya, pemilihan diksi mengonstruksi secara tidak langsung pandangan dunia terhadap kelompok tertentu. Mike memberi contoh penyebutan “indigenous” yang masih menimbulkan perdebatan di lingkup lokal. Beberapa orang menganggap diksi “indigenous” sebagai ungkapan yang merujuk pada kata “indigent”, yang berkonotasi fakir atau miskin. Lebih lanjut, Mike menyatakan, alih-alih menyematkan diksi tertentu yang tidak merepresentasikan identitas suatu masyarakat, kita perlu memberi ruang bagi masyarakat tersebut untuk mengungkapkan bagaimana mereka ingin disebut.
Meminjam pemikiran Izak Lattu, semua individu maupun kelompok memiliki “teks” nya masing-masing yang terbangun secara personal. Maka dari itu, tidak semua diksi mampu menjadi “indikator” yang tepat untuk mengidentifikasi identitas seseorang. Karenanya penting untuk mengenakan bahasa yang menekankan kesetaraan dibanding keberagaman, bahasa yang peka terhadap perbedaan, bahasa yang mau merangkul semuanya tanpa mengecualikan suatu kelompok. Dalam kehidupan sehari-hari, penggunaan bahasa yang rumit justru akan membangun jurang pemahaman yang menghambat konektivitas antarsubjek dalam proses komunikasi. Sebaliknya, penggunaan bahasa sederhana dan mudah dipahami akan mendorong keterlibatan berbagai subjek dalam membangun suasana yang inklusif. Dengan begitu, bahasa bukan lagi menjadi alat bagi terciptanya polarisasi, melainkan media untuk tumbuhnya inklusivitas di masyarakat.
______________________
Yohanes Leonardus Krismawan Anugrah Putra adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2024. Baca tulisan Leo lainnya di sini.
Foto tajuk artikel: Doris Salcedo – Shibboleth, 2007, difoto oleh wonderferret (CC BY 2.0)
Artikel ini merupakan salah satu usaha CRCS UGM untuk mendukung SDGs nomor 16 tentang Perdamaian, Keadilan, dan Kelembagaan yang Tangguh.