• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • Home
  • About Us
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members
      • Visiting Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Admission
    • Courses
    • Schedule
    • Scholarship
    • Accreditation
    • Student Service
    • Survey
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Activities
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Research
      • Overview
      • Resource Center
    • Community Service
      • Wednesday Forum
    • International Events
      • ICIR
      • Interfaith Mediation
      • IGSSCI
    • Student Achievements
  • Beranda
  • Perspective
  • Paganisme Dulu dan Kini

Paganisme Dulu dan Kini

  • Perspective
  • 27 March 2021, 14.28
  • Oleh: CRCS UGM
  • 2

Paganisme Dulu dan Kini

Tarmizi Abbas – 27 Maret 2021

Istilah “paganisme” umum digunakan untuk merujuk pada praktik dan tradisi para penyembah berhala. Dalam sejarah, istilah ini lazim digunakan oleh komunitas Kristen awal di Romawi pada abad ke-4 guna membedakan keimanan mereka dari praktik dan tradisi para pemuja dewa. Sejak saat itu, paganisme menjadi salah satu kategori pembeda yang penting di dalam proses Kristenisasi di luar Eropa. Mereka menjadi sasaran Kristenisasi lantaran kepercayaanya yang sesat, perilaku yang barbarik, dan terbelakang.

Namun, benarkah penyembahan berhala adalah makna sentral dari paganisme? Graham Harvey, profesor Studi Agama di Open University, Inggris, berupaya meruntuhkan argumentasi tersebut dalam What do Pagans Believe? (Granta Books, 2007). Bagi Harvey, sebelum diasosiasikan sebagai sistem kepercayaan, paganisme pada awalnya bukanlah merujuk pada sebuah kategori agama, melainkan paganus, atau sebutan untuk “penduduk di satu tempat tertentu” (h. 3). Kaum pagan meyakini alam semesta beserta segala isinya adalah sakral sehingga pada waktu tertentu mereka merayakan ritual pergantian musim dan upacara-upacara magis untuk menghormati leluhur. Berbeda dari doktrin agama-dunia yang meyakini bahwa dunia hanya tempat singgah sementara sebelum menjalani kehidupan abadi di surga, bagi kaum pagan, dunia ini adalah surga itu sendiri.

Setiap kelompok pagan memiliki ciri khas masing-masing. Namun, secara umum, menurut Harvey, mereka memiliki sejumlah kesamaan mendasar, yakni: 1) kecintaan pada alam, 2) moral positif, dan 3) pengakuan terhadap entitas supranatural. Prinsip-prinsip ini melembaga ke dalam perilaku etis dalam hubungannya dengan alam melalui ritual kepada para dewa. Meskipun masih sering mendapat tekanan dari Kristen (umumnya dari kalangan evangelis), sejak awal abad 20 kaum pagan mulai berani mengakui diri mereka di ruang publik, sering dengan nama neo-paganisme. Hal ini antara lain berkat tren semangat romantisme yang mulai bangkit pada abad ke-18, yang kemudian disambut di dunia akademik.

Muasal dan Perdebatan

Dalam kesarjanaan studi agama, kemunculan awal paganisme memiliki kaitan dengan erat dengan agama Kristen. Istilah paganisme di sepanjang abad 1-3 SM lebih dikenal dengan kata paganus yang memiliki pengertian “warga sipil non-militer”. Istilah ini digunakan oleh gereja untuk membedakan orang Kristen sebagai tentara Kristus, dan orang non-Kristen sebagai kaum pagan. Tetapi karena tidak memberikan signifikansi dalam proses Kristenisasi awal, sepanjang abad ke 4-5 M para penulis Kristen mulai mengasosiasikan paganisme dengan takhayul (superstitio) hingga meredefinisi kata tersebut menjadi “penyembah berhala desa”. Yang pertama tampak dalam karya St. Agustinus Hippo berjudul Christian Theology, City of God, and On the Divination of Demons, sedang yang kedua pada karya Arnobius berjudul Adversus Nationes yang menyebut kaum pagan sebagai politeis yang kontras dengan Kristen sebagai penyembah Tuhan.

Momentum puncak dari penggunaan kategori paganisme sebagai antitesis dari Kristen terjadi pada era Reformasi Kristen abad ke-16. Saat itu paganisme tidak hanya direpresentasikan sebagai agama palsu dan perusak, tetapi juga alat untuk menyudutkan orang-orang Katolik. Sebagaimana diungkap oleh pendeta kenamaan Inggris Thomas Ailesbury dalam ceramahnya yang berjudul Paganism and papisme parallel’d (1642), ikon-ikon Yesus yang ditempatkan di gereja, pemujaan terhadap orang-orang suci, dan pengambilan daging hingga darah Kristus dianggap berasal dari ritual pagan.

Keyakinan Kaum Pagan

Seluruh praktik dan tradisi kaum pagan, seperti festival, upacara magis, dan kepercayaan mereka terhadap para dewa bertaut erat dengan satu pandangan dunia tentang alam semesta (h. 33). Keyakinan ini, bagi Harvey, termanifestasikan ke dalam tiga prinsip utama. Pertama, adalah ikatan cinta terhadap alam yang merembesi keyakinan bahwa siklus kehidupan sebatas hidup dan mati; kedua, yakni moral positif yang diekspresikan lewat harmoni antara manusia dan alam melalui ritual; dan ketiga adalah pengakuan terhadap entitas transendens yang melampaui gender, tetapi tetap bisa diidentifikasi sebagai laki-laki atau perempuan melalui simbol, ikon, dan patung-patung. Ketiga prinsip ini, alhasil, lebih menekankan pada partisipasi kaum pagan di dalam menciptakan dunia yang koeksisten.

Khusus pada prinsip pertama dan kedua, bumi, matahari, bulan, planet, bintang-bintang, gejala alam dan keberadaan hewan-hewan menjadi perhatian utama dalam memahami kepercayaan mereka. Meskipun ritual dan tradisi mereka berbeda satu sama lain, kaum pagan menjadikan alam lingkungan hidup sebagai bagian tidak terpisahkan dari religiositas mereka. Penting untuk dicatat bahwa kaum pagan tidak memercayai setan sebagaimana deskripsi orang-orang Kristen. Ketika merayakan upacara pengorbanan, itu tidak menunjukkan bahwa mereka percaya kepada setan, melainkan sebuah resolusi untuk memelihara hubungan atau mengakhiri konflik dengan entitas non-manusia yang berada di alam.

Satu hal lain yang merepresentasikan kepercayaan pagan adalah keyakinan pada doktrin “ada Yang Satu di balik segalanya” (h. 54). Maksudnya, dunia material ini adalah pancaran dari satu entitas non-manusia yang disebut “spirit”. Entitas ini beragam, tetapi umumnya roh-roh tersebut merupakan perwujudan dewa-dewi. Para Wiccan misalnya, meyakini bahwa dunia ini ditempati oleh dewa-dewi yang memiliki nama berbeda di masing-masing tempat: Ceridwen dan Cernunnos atau Persephone dan Hades dari kebudayaan Celtic; Sagas dan Eddas dari tradisi Shaman; Isis dan Osiris dari Mesir kuno; Aradia dan Apollo dari cerita rakyat orang-orang Italia, dst. Dewa-dewi ini diyakini menyampaikan pesan lewat para pendeta dan yang paling penting, kedudukan mereka vital di dalam setiap ritual pergantian musim, kesuburan tanah, hingga menjaga stabilitas komunitas pagan.

Pagan Hari Ini

Pada abad ke-20 orang-orang mulai berani menyebut tradisi dan praktik keagamaan mereka sebagai paganisme. Namun apa yang dikenal hari ini bukanlah pagan laiknya ia direpresentasikan di masa lalu, melainkan dengan sebutan neo-paganisme. Owen Davies, dalam Paganism: A Very Short Introduction (Oxford, 2011) menyimpulkan bahwa seturut humanisme era Pencerahan abad 18, neo-paganisme muncul dengan semangat untuk membangkitkan kembali semangat romantisme kuno (h. 117). Kebangkitan ini merangkum daya tarik artistik dan estetika dari dunia pagan klasik yang direpresentasikan lewat pemujaan dewa-dewa kuno. Pada pertengahan abad ke-19, kepercayaan pagan mendapatkan perhatian mendalam dari seluruh dunia lantaran teori evolusi Darwin yang merembes hingga ke studi antropologi dan studi agama awal. Namun, hal ini tidak berarti apa-apa sebab mereka tetap dideskripsikan sebagai bentuk evolusi agama paling awal dan tua yang tak beradab sebelum agama-agama dunia lainnya muncul. Dua intelektual kenamaan yang terlibat dalam proyek ini misalnya adalah E.B Tylor dan James Frazer dengan konsep animismenya. (Baca lebih jauh tentang problem animisme di sini.)

Kemunculan neo-paganisme juga tidak bisa dilepaskan dari organisasi seperti British Orders of Druids di tahun 1960-an yang mengklaim memiliki darah keturunan asli Druid kuno. Perlahan, sayap-sayap mereka berkembang hingga ke Amerika hingga Skandinavia. Beberapa dari mereka juga menciptakan gerejanya sendiri sebagai cara untuk memobilisasi gerakan. Di antara mereka, Gerald Gardner adalah salah satu yang paling sering disebut lantaran berhasil menciptakan kembali kepercayaan Wiccan yang telah lama hilang lewat karyanya yang berjudul Witchcraft Today (Paperback, 1954). Gardner menjadi Pendeta Agung dari kelompok ini, bahkan, sebagian besar kelompok pagan lain menerima agamanya. Baginya, menjadi Wiccan sejati adalah persoalan bagaimana berelasi dengan alam melalui berbagai ritual yang menghubungkan mereka dengan para dewa, lingkungan, bahkan entitas non-manusia lainnya.

Namun, perubahan ini juga meniscayakan perbedaan dalam tradisi dan praktik. Neo-pagan tidak lagi melakukan ritual pengorbanan darah seperti dalam kepercayaan pagan klasik. Misalnya, ketika pergantian musim tiba, para Vikings Nordik di Islandia rutin melaksanakan ritual pengorbanan darah dan daging, atau disebut Blót. Di masa lalu, Blót dilakukan dengan menggunakan darah binatang atau tahanan penjara yang dipersembahkan kepada Dewa Odin. Namun saat ini, Blót cukup dilakukan dengan membeli daging di supermarket dan darahnya bisa digantikan dengan anggur. Alasannya cukup sederhana dan pragmatis: kaum Vikings juga merupakan orang-orang Kristen modern yang menolak pengorbanan darah dengan alasan kesehatan dan kenyamanan bahkan saat ini mereka kebanyakan adalah vegetarian.

Beberapa fakta ini, dengan demikian, menyiratkan bahwa, meski sebagian besar kelompok neo-pagan masih mempertahankan kepercayaan pagan klasik, dalam praktiknya tidak sedikit juga dari mereka yang membuka diri terhadap berbagai keyakinan lain, yang sebagiannya terinspirasi oleh ajaran agama-dunia.

________________

Tarmizi “Arief” Abbas  adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2019. Baca tulisan Arief lainnya di sini.

Tags: tarmizi abbas

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Comment (2)

  1. Zela 7 months ago

    Apakah ini ada referensi nya kak?

    Reply
    • crcs ugm 7 months ago

      di tulisan sudah tercantum semua referensi maupun tautan untuk mengakses referensi yang tengah dikutip 🙂

      Reply

Facebook

Facebook Pagelike Widget

Instagram

Seperti kematian yang seolah datang tiba-tiba di p Seperti kematian yang seolah datang tiba-tiba di penghujung kehidupan, tak terasa #fkd2002 Juni spesial edisi kematian telah sampai di edisi keempat.

Sebagai pemungkas, mari kita merayakan kematian bersama rekan dari Mamasan dan Toraja. Malam Jumat, malamnya penghayat dan masyarakat adat.
Pernah dengar lagu "Nderek Dewi Maria"? Bagi saya Pernah dengar lagu "Nderek Dewi Maria"?

Bagi saya, lagu ini begitu menggetarkan kalbu. Sampai-sampai saya kadang lupa bahwa tembang Jawa ini adalah lagu Nasrani tentang sosok yang lahir ratusan tahun lalu di belahan Bumi lain nan jauh di sana.

Karenanya, jika hanya mengenal kekristenan lewat tembang tersebut, agak sukar dipercaya jikalau relasi antara gereja dan agama leluhur di Nusantara ternyata penuh pergumulan dan gejolak. Pergumulan yang pada akhirnya melahirkan teologi kontekstual atau inkulturasi.

Simak tilikan yang sekaligus menjadi renungan kritis tentang relasi gereja dan agama leluhur oleh teolog muda @vikry_reinaldo di situs web crcs ugm.
Masih ingat perdebatan seru nan kocak antara Amber Masih ingat perdebatan seru nan kocak antara Amber Heard dan pengacara Camille Vasquez di persidangan Johnny Depp?

Dari situ kita melihat betapa dahsyatnya efek dari pemilihan kata yang tepat. Pun dengan pemberitaan di media massa kita. 

Kata bukanlah sekadar susunan huruf dengan makna ala kadarnya. Di sana, tersimpan rapi sebuah ideologi yang mapan dan tidak bebas nilai. Ia punya kuasa untuk menundukkan objek, ataupun menyanjung subjek hingga ke langit. 

Simak tulisan apik @harisfatwa_ tentang narasi pemberitaan di media siber lokal tentang isu keagamaan kita hari ini. Hanya di situs web crcs ugm.
Apakah Islam mengakui adanya pemisahan antara agam Apakah Islam mengakui adanya pemisahan antara agama dan negara? Bagaimana hubungan Islam dan negara telah bertransformasi sejak dulu hingga saat ini? 

Dalam menjawab wawancara ini, Kuru mengacu kepada buku terbarunya, 𝙄𝙨𝙡𝙖𝙢, 𝙊𝙩𝙤𝙧𝙞𝙩𝙖𝙧𝙞𝙖𝙣𝙞𝙨𝙢𝙚, 𝙙𝙖𝙣 𝙆𝙚𝙩𝙚𝙧𝙩𝙞𝙣𝙜𝙜𝙖𝙡𝙖𝙣: 𝙋𝙚𝙧𝙗𝙖𝙣𝙙𝙞𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙇𝙞𝙣𝙩𝙖𝙨 𝙅𝙖𝙢𝙖𝙣 𝙙𝙖𝙣 𝙆𝙖𝙬𝙖𝙨𝙖𝙣 𝙙𝙞 𝘿𝙪𝙣𝙞𝙖 𝙈𝙪𝙨𝙡𝙞𝙢 (KPG, 2020) sekaligus lima judul buku yang menjadi rujukan utama tentang topik “Islam dan negara”.

Simak wawancara lengkap @dr_ahmettkuru bersama @isofyanabbas di situs web crcs ugm.
load more... @crcs_ugm

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, Floors 3-4
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY