Pasca-Putusan MK 2017: Persoalan Penghayat Kepercayaan yang Belum Usai
Azis Anwar Fachrudin – 2 Juli 2019
“Kebangsaan Indonesia berlandaskan atas kewargaan yang tak terdiferensiasikan menurut ras, agama, kepercayaan, adat, atau kesukuan, dan menawarkan hak-hak dan pengakuan/rekognisi sosial yang setara. Dalam hal ini, hak kewargaan masyarakat kepercayaan dan agama leluhur yang diperjuangkan oleh saudara-saudara semua merupakan sebuah realisasi dari cita-cita Pancasila dan pendiri Indonesia….”
Demikian itu salah satu pernyataan utama yang diungkapkan Robert Hefner, profesor antropologi dari Boston University, dalam pidato kunci pembukaan International Conference on Indigenous Religions: The State, Indigenous Religions, and Inclusive Citizenship pada 1 Juli 2019 di University Club UGM. Konferensi ini diadakan atas kerja sama beragam lembaga, yakni The Asia Foundation (melalui Program Peduli), Yayasan Satunama, Komnas Perempuan, dan CRCS UGM, dan disponsori sejumlah lembaga mitra. Konferensi ini bertujuan antara lain mendiskusikan kondisi mutakhir terkait hak-hak kewargaan para penghayat kepercayaan atau pemeluk agama leluhur pasca-Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada akhir 2017 tentang inkonstitusonalitas pengosongan kolom agama bagi penghayat kepercayaan di kartu identitas. Selain Hefner, para pembicara lain mengurai lebih rinci Putusan MK tersebut dan penerjemahannya dalam kebijakan yang masih menyisakan sejumlah masalah.
Klientelisme atau kolaborasi?
Dalam pidatonya, Hefner menekankan bahwa keputusan MK itu merupakan capaian yang kudu diapresiasi dalam segi pengakuan kewarganegaraan yang inklusif—sebagaimana yang menjadi subtema konferensi ini. Bila menilik rekam sejarah bagaimana negara memperlakukan para penghayat kepercayaan, capaian itu juga merupakan satu progress penting dalam politik agama di Indonesia, apalagi jika mengingat, sebagaimana diuraikan Hefner, kondisi global zaman kiwari seiring munculnya gerakan-gerakan supremasi sosial berbasis identitas mayoritas (“mayoritarianisme”) yang terjadi bahkan di negara-negara besar demokrasi di Barat, tak terkecuali Amerika Serikat. Seperti diungkapkannya di atas, Hefner berpandangan bahwa etika kewarganegaraan yang inklusif, setara, dan tak terdiferensiasi itulah yang justru selaras dengan Pancasila dan cita-cita pendiri bangsa.
Hefner juga menyampaikan bahwa capaian ini merupakan hasil dari satu dekade lebih perjuangan komunitas penghayat dan agama leluhur dengan pendampingan advokasi dari lembaga-lembaga yang banyak perwakilannya hadir dalam konferensi ini. Ia menyatakan ketidaksetujuannya pada sebagian Indonesianis yang cenderung menyederhanakan masalah politik Indonesia sebagai problem ekonomi politik (masalah kelas) atau klientelisme (demokrasi Indonesia sebagai demokrasi patronase), pandangan yang menyatakan bahwa realisasi hak warga terbatas karena tergantung bukan pada perjuangan idealis berbasis etika kewargaan, melainkan pada ikatan informal klien dengan patron politiknya.
Tanpa menolak adanya klientelisme dalam perpolitikan Indonesia, Hefner menilai pandangan yang berasumsi bahwa klientelisme jamak terjadi di negara-negara dalam proses demokratisasi dan karena itu nilai-nilai etika kewargaan sering menjadi pepesan kosong belaka sebagai pandangan yang reduktif. Pandangan ini, baginya, mengabaikan fakta kolaborasi perjuangan lintas latar belakang antara masyarakat penghayat dan komunitas-komunitas pendamping. “Konvergensi [yang lahir dari kolaborasi] inilah yang memungkinkan Keputusan MK,” ujar Hefner menjelang akhir pidatonya.
Sesi selanjutnya dalam panel-panel konferensi ini membahas lebih dalam implikasi dari Putusan MK itu. Bila pidato Hefner bernada apresiatif dan optimis, sesi-sesi konferensi mendiskusikan persoalan-persoalan penghayat kepercayaan pasca-Putusan MK yang masih harus menjadi pekerjaan rumah. Penelisikan lebih detail dari Putusan MK berikut penerapannya dalam kebijakan menunjukkan masalah-masalah masih ada bukan hanya di ranah implementasi, melainkan juga dalam isi keputusan itu sendiri dan norma yang mendasarinya.
Ambiguitas Putusan MK
Dua dari empat pembicara di panel pertama dalam konferensi, yakni Simon Butt (profesor hukum Indonesia di Departemen Hukum University of Sidney) dan Zainal Abidin Bagir (pengajar di CRCS UGM), menyoroti masalah dalam Putusan MK itu. Butt menekankan aspek ambiguitas dan ketidakjelasan pembedaan antara “agama” dan “kepercayaan”, sementara Bagir meninjau kembali konstruksi “agama” dalam tata perundang-undangan Indonesia.
Ambiguitas yang dimaksud Butt ialah bahwa MK menyatakan pandangan bahwa kepercayaan berbeda tetapi setara dengan agama. Ambiguitas ini lahir dari dua pasal dalam UUD, yakni pasal 28E (ayat 1 yang berbicara tentang agama, dan ayat 2 tentang kepercayaan) dan pasal 29 (ayat 2, yang mengatur agama dan kepercayaan di ayat yang sama). Yang pertama lahir di era Reformasi, sementara yang kedua tak berubah sejak waktu pertama disahkan pada 1945. Dalam penafsiran MK terhadap pasal 29(2), agama dan kepercayaan tidak dipahami sebagai dua hal yang terpisah, bahkan kepercayaan adalah bagian dari agama, dan jaminan kemerdekaan untuk keduanya adalah setara. Namun penafsiran MK terhadap pasal 28E—yang meletakkan pengaturan agama dan kepercayaan dalam dua ayat yang berbeda—ialah bahwa keduanya berbeda, dan dengan demikian kepercayaan bukan agama. Dalam penafsiran seperti ini, muncul ketidakjelasan definisi agama dan kepercayaan: apakah kepercayaan sejatinya bagian atau terlepas sama sekali dari agama?
Bagir lebih lanjut menunjukkan ketidaksesuaian antara pemahaman mengenai agama dan kepercayaan yang diafirmasi MK ini dengan pemaknaan frasa “religion or belief” dalam Kovenan Internasional untuk Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang diratifikasi Indonesia pada 2005. Sebagaimana tampak dalam Komentar Umum (No. 22 tahun 1993) terhadap ICCPR, makna belief mencakup kepercayaan teistik, non-teistik, ateistik, dan hak untuk tidak memeluk agama atau kepercayaan. Bagir juga menunjukkan problem stratifikasi agama/kepercayaan yang dilahirkan dari UU Pencegahan Penodaan Agama (PNPS 1965), yakni (1) enam agama dunia yang diakui; (2) agama dunia lainnya; (3) agama lokal atau aliran kepercayaan; dan (4) ateisme. Norma yang dilahirkan PNPS 1965 ini ialah bahwa dua yang pertama mendapatkan perlindungan, sementara dua yang terakhir “dibina” menuju kepercayaan yang selaras dengan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa atau bahkan tak diakui sama sekali.
Di antara dampak dari ambiguitas dan ketidakjelasan ini ialah simplifikasi pemahaman mengenai kedua istilah di atas. Sebagaimana diungkapkan Bagir, penyederhanan biner antara agama dan kepercayaan itu boleh jadi memudahkan “administrasi” negara, tetapi ia mengabaikan kompleksitas dan keragaman fakta sosial agama dan kepercayaan sebagaimana ia dihidupi pemeluknya (“lived religion”). Kepercayaan beragam macamnya dan memiliki dinamika internal sendiri. Apa yang disebut sebagai agama leluhur (indigenous religions) memiliki karakteristik yang berbeda dari aliran kepercayaan, tetapi ia diringkus dalam kategori yang sama. Selain itu, dalam kenyataannya, sebagian penghayat memeluk kepercayaan dan salah satu dari enam agama dunia sekaligus, yang tak terbayangkan dalam paradigma biner dalam pembedaan kategori agama dan kepercayaan. Stratifikasi itu juga memunculkan problem tersendiri bagi penganut agama dunia di luar enam agama yang diakui, seperti pemeluk Baha’i: ia adalah agama dunia, tetapi tidak bisa menyebut agamanya dalam kolom agama di kartu identitas dan pada saat yang sama juga tidak bisa mengisinya dengan kepercayaan. Karena Putusan MK tersebut, ia juga tak dapat membiarkan kolom agamanya kosong.
Dampak lain terjadi pada semakin kukuhnya pemahaman umum, termasuk yang diadopsi oleh sebagian hakim dan para pemimpin agama sendiri, mengenai pengertian dua kata itu, yang telah disimplifikasi secara biner. Hal terakhir ini disoroti oleh dua pembicara lain, yakni Fiqh Vredian (mahasiswa CRCS UGM) dan Najib Burhani (peneliti LIPI). Fiqh menekankan bahwa keputusan hukum tidaklah terlepas dari praasumsi yang dimiliki para hakim, termasuk praasumsi mengenai apa itu agama/kepercayaan, sehingga bila ingin ada reformasi pengelolaan kehidupan beragama, praasumsi para hakim termasuk yang harus turut diubah. Najib Burhani mengulas pandangan-pandangan para pemimpin organisasi keagamaan, dan temuannya mengonfirmasi pemahaman umum itu: banyak dari mereka yang menyatakan bahwa kepercayaan bukanlah agama (sebagian menyebutnya kafir, sesat, penyembah setan, dst) dan karena itu sudah seharusnya menjadi objek untuk “di-agama-kan”. Uraian kedua pembicara ini menunjukkan bahwa pengubahan paradigma mengenai agama/kepercayaan harus melibatkan advokasi ekstra-judisial yang antara lain mencakup pengubahan pemahaman para hakim dan pemimpin agama.
Masalah Implementasi
Di ranah praktis, dampak terbesar tentu saja ada dalam penerjemahan Putusan MK itu dalam kebijakan pemerintah, yang disoroti oleh para pembicara panel pertama dan turut muncul dalam sesi diskusi. Memang harus diakui, banyak masalah hak-hak kewargaan para penghayat yang secara signifikan teratasi berkat Keputusan MK itu. Keputusan itu sendiri turut disambut gembira oleh sebagian besar komunitas penghayat. Namun cerita belumlah selesai dengan paripurna.
Dalam penerapan amar Putusan MK itu, khususnya dalam pembaruan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan yang merujuk pada Surat Edaran Dukcapil, kini dikenal dua pilihan kategori pencatatan: agama dan kepercayaan, yang diwakili oleh dua jenis KTP yang berbeda. Bila dengan kolom agama seseorang dapat memilih satu dari agama-agama yang diakui, kolom kepercayaan hanya mengandung satu, yaitu Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, tanpa bisa menyebut nama kepercayaannya. Di sini masalahnya sekali lagi seperti yang sudah disebut di atas: penyederhanaan beragam jenis kepercayaan dan agama leluhur dalam satu payung istilah.
Di luar persoalan administrasi itu, hal-hal teknis lain yang perlu segera dibenahi mencakup sosialisasi kebijakan yang belum menjangkau seluruh daerah baik kepada aparatur sipil negara maupun warga penghayat sendiri; infrastruktur administrasi dan sumber daya pelayanan yang belum memadai; dan sinkronisasi aturan pelayanan negara.
Pembahasan lebih rinci mengenai hal-hal terakhir ini (termasuk bagaimana agar penyederhanaan kategori kepercayaan dalam sistem Dukcapil, paling tidak untuk sementara ini, cukup berhenti menjadi “alat administrasi” negara dan tidak berlanjut menjadi bentuk diskrimasi lain), berikut sejumlah advokasi lanjutan yang bisa dilakukan, diuraikan dalam laporan berjudul Merangkul Penghayat Kepercayaan Melalui Advokasi Inklusi Sosial: Belajar dari Pengalaman Pendampingan. Laporan mutakhir CRCS (2019) ini diluncurkan dalam konferensi dan kini bisa diunduh di sini.
_________________
Penulis, Azis Anwar Fachrudin, adalah anggota staf CRCS.