Pelembagaan Binadamai dalam Pengalaman Maluku
Subandri Simbolon – 30 Okt 2017
“Jika kamu bekerja untuk perdamaian di garis-garis terdepan, sangat tidak mungkin kamu bekerja tanpa risiko.” Demikian ungkap Jacky Manuputty dalam sesi terakhir lokakarya Pelembagaan Mediasi Antariman (The Institutionalization of Interfaith Mediation) di University Club, Universitas Gadjah Mada pada 13 Oktober 2017.
Jacky Manuputty adalah seorang Pendeta Gereja Protestan Maluku (GPM) yang mendirikan Lembaga Antar-Iman Maluku (LAIM). Dia memperolah Maarif Award 2005 untuk kategori pekerja perdamaian dan Tanenbaum Award 2012 untuk kategori Peacemakers in Action.
“Saya pernah diancam untuk dibunuh. Jika saat itu seseorang sudah dicap sebagai ‘Yudas’—seorang yang menghianati Yesus—tinggal tunggu waktu saja, orang akan datang dan mengambilmu,” kisah Jacky tentang pengalaman sebagai pekerja perdamaian dalam konflik berdarah Maluku.
Maluku pernah dilanda konflik berdarah antara orang-orang Islam dan Kristen pada 1999-2002. Konflik ini telah mengakibatkan sekitar 9.000 orang meninggal dan lebih dari 500.000 orang harus mengungsi. Selain kerusakan infrastruktur, trauma konflik dialami banyak orang. Relasi antarkelompok agama tak mudah untuk direkonsiliasi setelah peristiwa itu.
Dalam rangkaian konflik di tahun-tahun awal pascareformasi itu, “suatu ketika sekelompok orang datang kepada saya seraya bertanya, ‘Bapa, bolehkah kami membunuh para musuh?” demikian Jacky bercerita. “Jika boleh, berkati kami!’”
Menghadapi situasi seperti ini, seorang pemimpin agama harus sangat hati-hati. Setiap perkataan dan keputusan dapat berakibat fatal bagi banyak orang dan bagi dirinya sendiri. Situasi ini membawa Jacky pada pergolakan batin. Di jalan terlihat banyak orang mati. Anak-anak kecil yang seharusnya di sekolah dasar membawa senjata ibarat pasukan rela mati. “Satu hal yang paling menyakitkan bagi saya adalah bahwa saya tahu konflik ini bukan perang suci namun saya gagal untuk menjelaskannya kepada komunitas Kristen saya sendiri.” Dilema batin seperti ini sering dialami karena berseberangan dengan komunitas akan dianggap sebagai pengkhianat.
Namun seorang pekerja perdamaian untuk membangun jembatan antarkelompok harus memilih untuk berani. Jacky menyadari ada anak-anak yang menjadi korban provokasi baik dari kelompok Islam maupun Kristen yang harus diselamatkan. “Saya punya hutang kepada mereka untuk saya wariskan demi masa depan mereka,” tuturnya sebagai kesadaran awal titik balik.
Strategi
Suatu ketika Jacky menghadirkan seorang perempuan Muslim dan meminta dia berkisah dari belakang layar. Di depan layar, berkumpul para korban dari kelompok Kristen tanpa mengetahui siapa perempuan tadi. Perempuan itu menceritakan pengalaman kehilangan orang-orang yang dia sayangi. Orang yang mendengar itu tak bisa menahan tangis mereka karena memiliki pengalaman yang sama. Setelah Jacky membawa si perempuan tadi ke hadapan kelompok Kristen, mereka berdiri dan menangis bersama.
Bagi Jacky, strategi penyembuhan perlu bertumpu pada pengalaman korban (victim-based approach). Dengan menyadari pengalaman korban, mereka mampu membongkar sekat-sekat kepentingan yang ditanamkan dalam diri mereka dan bahwa perang ini bukan perang suci.
Strategi rekonsiliasi konflik yang juga harus disasar ialah mengadakan forum dialog untuk para pemuka agama dan lembaga-lembaga keagamaan, namun ia perlu diletakkan di bagian tengah. Dalam konteks Maluku, dialog pertama dilakukan antara para pengungsi dari kedua kelompok. Para pengungsi kemudian dipertemukan dengan para pemuka agama dan melakukan diskusi-diskusi tentang persoalan umum seperti hak-hak pengungsi, kematian anak-anak dan korban konflik dan isu lain. Setiap akhir diskusi, kepada peserta selalu ditanyakan apa tanggapan agama terhadap isu yang dibahas.
“Dalam situasi konflik, jangan langsung bicara tentang keadilan. Bangunlah dulu kepercayaan dan rasa persahabatan. Setelah itu, baru kita bisa bicara siapa adil dan tidak adil dalam suasana persaudaran yang dalam.”
Binadamai berkelanjutan
Kerja-kerja perdamaian tidak boleh hanya berupa kegiatan sekali waktu, tetapi harus menjadi program yang berkelanjutan. Salah satu caranya ialah dengan memperluas segmen lembaga-lembaga yang bekerja untuk perdamaian. Di Maluku, beberapa lembaga telah diinisiasi, seperti Interfaith Sleepover, Art for Peace, Community Based Pastoral Counseling Volunteer for Humanitarian, Photography for Peace, Children & Women Advocacy, Cyber Peacekeeper, Peace Attack, Peace Radio dan Green Peace.
Beberapa program yang bisa dilakukan dan memberi dampak yang mendalam ialah program live-in, yaitu tinggal di rumah orang yang berbeda keyakinan untuk jangka waktu tertentu yang dipandang cukup untuk mengalami hidup bersama yang lain.
Untuh menyentuh anak muda yang lebih luas, Jacky menginisiasi program home-based aprroach. Ruang publik tidak cukup bagi mereka untuk berjejaring sehingga perlu ada pendekatan yang bisa menyentuh ruang domestik mereka. Strategi ini diwujudkan dengan membentuk kelompok-kelompok kesenian melalui pertemanan lintas agama. “Tidak usah menyentuh pembicaran tentang dialog. Anak muda tidak terlalu suka bicara agama atau perdamain,” tegas Jacky. Anak muda harus didekati dengan fotografi, hip-hop, sastra, teater, melukis, dan lain-lain. Kelompok-kelompok ini dapat menjadi wadah bagi mereka untuk berinteraksi.
Dalam kerja-kerja perdamaian, Jacky percaya bahwa setiap manusia memiliki benih-benih perdamaian dalam diri mereka. Masyarakat juga mempunyai berbagai bentuk modal sosial perdamaian yang telah lama mereka hidupi. Yang dibutuhkan dalam konteks Maluku maupun Indonesia adalah menghidupkan kembali modal-modal sosial dalam menangkal potensi-potensi konflik yang dimuncukan oleh segregasi sosial dan geografis masyarakat.
*Subandri Simbolon adalah staf CRCS UGM dan peserta lokakarya yang diliputnya ini.
______________________
Seri Liputan Kuliah Umum “Imam dan Pastor” dan Lokakarya Pelembagaan Mediasi Antariman
Liputan 1: Dari Kuliah Umum “Imam dan Pastor”: Agama Menggerakkan Perdamaian
Liputan 2: Institutionalizing Interfaith Mediation: What, Why and How?
(Terjemah Indonesia: Pelembagaan Mediasi Antariman: Apa, Mengapa, dan Bagaimana?)
Liputan 3: Pelembagaan Binadamai dalam Pengalaman Mindanao
Liputan 4: Pelembagaan Binadamai dalam Pengalaman Maluku
Liputan 5: Refleksi dari Lokakarya Pelembagaan Mediasi Antariman