• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Berita
  • Pelembagaan Binadamai dalam Pengalaman Maluku

Pelembagaan Binadamai dalam Pengalaman Maluku

  • Berita, Headline, News
  • 30 October 2017, 15.04
  • Oleh: Admin Jr
  • 0

Pelembagaan Binadamai dalam Pengalaman Maluku

Subandri Simbolon – 30 Okt 2017

“Jika kamu bekerja untuk perdamaian di garis-garis terdepan, sangat tidak mungkin kamu bekerja tanpa risiko.” Demikian ungkap Jacky Manuputty dalam sesi terakhir lokakarya Pelembagaan Mediasi Antariman (The Institutionalization of Interfaith Mediation) di University Club, Universitas Gadjah Mada pada 13 Oktober 2017.
Jacky Manuputty adalah seorang Pendeta Gereja Protestan Maluku (GPM) yang mendirikan Lembaga Antar-Iman Maluku (LAIM). Dia memperolah Maarif Award 2005 untuk kategori pekerja perdamaian dan Tanenbaum Award 2012 untuk kategori Peacemakers in Action.

“Saya pernah diancam untuk dibunuh. Jika saat itu seseorang sudah dicap sebagai ‘Yudas’—seorang yang menghianati Yesus—tinggal tunggu waktu saja, orang akan datang dan mengambilmu,” kisah Jacky tentang pengalaman sebagai pekerja perdamaian dalam konflik berdarah Maluku.

Maluku pernah dilanda konflik berdarah antara orang-orang Islam dan Kristen pada 1999-2002. Konflik ini telah mengakibatkan sekitar 9.000 orang meninggal dan lebih dari 500.000 orang harus mengungsi. Selain kerusakan infrastruktur, trauma konflik dialami banyak orang. Relasi antarkelompok agama tak mudah untuk direkonsiliasi setelah peristiwa itu.

Dalam rangkaian konflik di tahun-tahun awal pascareformasi itu, “suatu ketika sekelompok orang datang kepada saya seraya bertanya, ‘Bapa, bolehkah kami membunuh para musuh?” demikian Jacky bercerita. “Jika boleh, berkati kami!’”

Menghadapi situasi seperti ini, seorang pemimpin agama harus sangat hati-hati. Setiap perkataan dan keputusan dapat berakibat fatal bagi banyak orang dan bagi dirinya sendiri. Situasi ini membawa Jacky pada pergolakan batin. Di jalan terlihat banyak orang mati. Anak-anak kecil yang seharusnya di sekolah dasar membawa senjata ibarat pasukan rela mati. “Satu hal yang paling menyakitkan bagi saya adalah bahwa saya tahu konflik ini bukan perang suci namun saya gagal untuk menjelaskannya kepada komunitas Kristen saya sendiri.” Dilema batin seperti ini sering dialami karena berseberangan dengan komunitas akan dianggap sebagai pengkhianat.

Namun seorang pekerja perdamaian untuk membangun jembatan antarkelompok harus memilih untuk berani. Jacky menyadari ada anak-anak yang menjadi korban provokasi baik dari kelompok Islam maupun Kristen yang harus diselamatkan. “Saya punya hutang kepada mereka untuk saya wariskan demi masa depan mereka,” tuturnya sebagai kesadaran awal titik balik.

Strategi

Suatu ketika Jacky menghadirkan seorang perempuan Muslim dan meminta dia berkisah dari belakang layar. Di depan layar, berkumpul para korban dari kelompok Kristen tanpa mengetahui siapa perempuan tadi. Perempuan itu menceritakan pengalaman kehilangan orang-orang yang dia sayangi. Orang yang mendengar itu tak bisa menahan tangis mereka karena memiliki pengalaman yang sama. Setelah Jacky membawa si perempuan tadi ke hadapan kelompok Kristen, mereka berdiri dan menangis bersama.

Bagi Jacky, strategi penyembuhan perlu bertumpu pada pengalaman korban (victim-based approach). Dengan menyadari pengalaman korban, mereka mampu membongkar sekat-sekat kepentingan yang ditanamkan dalam diri mereka dan bahwa perang ini bukan perang suci.

Strategi rekonsiliasi konflik yang juga harus disasar ialah mengadakan forum dialog untuk para pemuka agama dan lembaga-lembaga keagamaan, namun ia perlu diletakkan di bagian tengah. Dalam konteks Maluku, dialog pertama dilakukan antara para pengungsi dari kedua kelompok. Para pengungsi kemudian dipertemukan dengan para pemuka agama dan melakukan diskusi-diskusi tentang persoalan umum seperti hak-hak pengungsi, kematian anak-anak dan korban konflik dan isu lain. Setiap akhir diskusi, kepada peserta selalu ditanyakan apa tanggapan agama terhadap isu yang dibahas.

“Dalam situasi konflik, jangan langsung bicara tentang keadilan. Bangunlah dulu kepercayaan dan rasa persahabatan. Setelah itu, baru kita bisa bicara siapa adil dan tidak adil dalam suasana persaudaran yang dalam.”

Binadamai berkelanjutan

Kerja-kerja perdamaian tidak boleh hanya berupa kegiatan sekali waktu, tetapi harus menjadi program yang berkelanjutan. Salah satu caranya ialah dengan memperluas segmen lembaga-lembaga yang bekerja untuk perdamaian. Di Maluku, beberapa lembaga telah diinisiasi, seperti Interfaith Sleepover, Art for Peace, Community Based Pastoral Counseling Volunteer for Humanitarian, Photography for Peace, Children & Women Advocacy, Cyber Peacekeeper, Peace Attack, Peace Radio dan Green Peace.

Beberapa program yang bisa dilakukan dan memberi dampak yang mendalam ialah program live-in, yaitu tinggal di rumah orang yang berbeda keyakinan untuk jangka waktu tertentu yang dipandang cukup untuk mengalami hidup bersama yang lain.

Untuh menyentuh anak muda yang lebih luas, Jacky menginisiasi program home-based aprroach. Ruang publik tidak cukup bagi mereka untuk berjejaring sehingga perlu ada pendekatan yang bisa menyentuh ruang domestik mereka. Strategi ini diwujudkan dengan membentuk kelompok-kelompok kesenian melalui pertemanan lintas agama. “Tidak usah menyentuh pembicaran tentang dialog. Anak muda tidak terlalu suka bicara agama atau perdamain,” tegas Jacky. Anak muda harus didekati dengan fotografi, hip-hop, sastra, teater, melukis, dan lain-lain. Kelompok-kelompok ini dapat menjadi wadah bagi mereka untuk berinteraksi.

Dalam kerja-kerja perdamaian, Jacky percaya bahwa setiap manusia memiliki benih-benih perdamaian dalam diri mereka.  Masyarakat juga mempunyai berbagai bentuk modal sosial perdamaian yang telah lama mereka hidupi. Yang dibutuhkan dalam konteks Maluku maupun Indonesia adalah menghidupkan kembali modal-modal sosial dalam menangkal potensi-potensi konflik yang dimuncukan oleh segregasi sosial dan geografis masyarakat.

*Subandri Simbolon adalah staf CRCS UGM dan peserta lokakarya yang diliputnya ini.

______________________
Seri Liputan Kuliah Umum “Imam dan Pastor” dan Lokakarya Pelembagaan Mediasi Antariman

Liputan 1: Dari Kuliah Umum “Imam dan Pastor”: Agama Menggerakkan Perdamaian

Liputan 2: Institutionalizing Interfaith Mediation: What, Why and How?
(Terjemah Indonesia: Pelembagaan Mediasi Antariman: Apa, Mengapa, dan Bagaimana?)

Liputan 3: Pelembagaan Binadamai dalam Pengalaman Mindanao

Liputan 4: Pelembagaan Binadamai dalam Pengalaman Maluku

Liputan 5: Refleksi dari Lokakarya Pelembagaan Mediasi Antariman

Tags: imam & pastor jacky manuputty maluku mediasi antariman

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

For people who learn religious studies, it is comm For people who learn religious studies, it is common to say that "religion", as a concept and category, is Western modern invention. It is European origin, exported globally through colonialism and Christian mission. Despite its noble intention to decolonize modern social categories, it suffers from historical inaccuracy. Precolonial Islamic Malay and Javanese texts in the 16th and 17th century reflect a strong sense of reified religion, one whose meaning closely resembles the modern concept.

Come and join @wednesdayforum discussion at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
I N S P I R A S I Secara satir, penyandang disabil I N S P I R A S I
Secara satir, penyandang disabilitas baru mendapatkan sorotan ketika dia mampu berprestasi, mampu mengatasi segala rintangan dan kekurangan. Singkat kata, penyandang disabilitas kemudian menjadi sumber inspirasi bagi nondisabilitas. Budi Irawanto menyebutnya sebagai "inspirational porn". Simak ulasan lengkapnya di situs web crcs ugm.
Human are the creature who live between the mounta Human are the creature who live between the mountain and the sea. Yet, human are not the only one who live between the mountain and the sea. Human are the one who lives by absorbing what above and beneath the mountain and the sea. Yet, human are the same creature who disrupt and destroy the mountain, the sea, and everything between. Not all human, but always human. By exploring what/who/why/and how the life between the mountain and the sea is changing, we learn to collaborate and work together, human and non-human, for future generation—no matter what you belief, your cultural background.

Come and join @wednesdayforum with Arahmaiani at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
R A G A Ada beberapa definisi menarik tentang raga R A G A
Ada beberapa definisi menarik tentang raga di KBBI. Raga tidak hanya berarti tubuh seperti yang biasa kita pahami dalam olah raga dan jiwa raga. Raga juga dapat berarti keranjang buah dari rotan, bola sepak takraw, atau dalam bahasa Dayak raga berarti satuan potongan daging yang agak besar. Kesemua  pengertian itu menyiratkan raga sebagai upaya aktif berdaya cipta yang melibatkan alam. Nyatanya memang keberadaan dan keberlangsungan raga itu tak bisa lepas dari alam. Bagi masyarakat Dondong, Gunungkidul, raga mereka mengada dan bergantung pada keberadaan telaga. Sebaliknya, keberlangsungan telaga membutuhkan juga campur tangan raga warga. 

Simak pandangan batin @yohanes_leo27  dalam festival telaga Gunungkidul di web crcs ugm
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju