Pendekatan Durkheimian: Agama dalam Fungsi Sosialnya
Ronald Adam – 6 April 2021
Émile Durkheim (1858-1917) merupakan salah seorang teoritisi ternama dalam sosiologi klasik sekaligus dalam studi agama. Sebanding dengan tokoh-tokoh klasik lainnya dalam studi agama, karya-karya Durkheim berpengaruh tidak hanya dalam perdebatan awal mengenai definisi agama, tetapi juga pada bagaimana kita mengkaji agama hari ini, khususnya menyangkut apa yang ia sebut sebagai “fakta religius”.
Durkheim sudah menaruh perhatian pada agama dalam karya-karya awalnya, mulai sejak karya pertamanya The Division of Labour (1893) yang menjelaskan solidaritas sosial dan The Rules of Sociological Method (1895) yang menteorikan fakta sosial. Agama mengambil porsi besar perhatiannya sejak bukunya Suicide (1897) terbit untuk menjelaskan fenomena bunuh diri. Karya agungnya yang terkenal dalam studi agama, sekaligus yang akan dibahas dalam esai ini, ialah The Elementary Forms of the Religious Life (1912).
Tidak seperti Sigmund Freud (1856-1939) dan Bronislaw Malinowski (1884-1942) yang menjelaskan pengalaman religius sebagai fenomena psikologis individu atau menempatkan agama sebagai ekspresi manusia akan realitas pahit kehidupannya, Durkheim berpendapat bahwa cara terbaik untuk memahami agama bukanlah melalui individu, melainkan melalui masyarakat, karena masyarakatlah yang membentuk individu. Sejalan dengan Karl Marx (1818-1883) dan Max Weber (1864-1920), Durkheim menempatkan agama pertama-tama bukan sebagai gejala psikologis individu, melainkan sebagai kenyataan sosial di masyarakat. Di sinilah letak gagasan paling signifikan dari karyanya The Elementary Forms itu.
Kritik Durkheim terhadap Pendahulunya
Durkheim mengkritik definisi agama dari para ilmuwan pendahulunya yang sangat esensialis dan, menurutnya, telah melewatkan banyak fakta yang sebenarnya memiliki sifat religius. Salah satunya ialah definisi dari antropolog klasik Edward B. Tylor (1832-1917) yang mendefinisikan agama sebagai “kepecayaan pada wujud spiritual” (belief in spiritual beings). Wujud spiritual termaksud di sini ialah subjek-subjek berkesadaran (conscious) yang memiliki kemampuan melebihi manusia biasa. Definisi ini bisa mencakup roh-roh orang mati, jin, maupun dewa-dewi. Definisi ini pula yang diterapkan oleh penerusnya James Frazer (1854-1941) dalam mendefinisikan agama. (Tylor dan Frazer terkenal sebagai teoritisi tentang animisme sebagai bentuk primitif dari agama. Lebih jauh tentang ini, baca Asal Mula Teori Animisme dan Masalahnya.)
Bagi Durkheim, definisi tersebut akan mengabaikan banyak fakta yang sebenarnya masih berada dalam ranah agama. Di dalam beberapa agama-dunia, ide tentang roh tidak selalu ada—pun bahkan jika ada, perannya tidak terlalu penting. Salah satu contoh terbaik ialah Buddhisme. Dengan merujuk pada berbagai literatur, Durkheim menyatakan bahwa Buddhisme adalah sebentuk “moralitas tanpa tuhan dan ateisme tanpa hakikat”.
Alasannya: pertama, dalam ajaran Buddhisme tentang Empat Kebenaran Mulia (Four Noble Truths) tidak ada ide tentang hal yang supranatural, ilahiah, atau spiritual. Buddhisme tidak memiliki tempat untuk bergantung dan meminta pertolongan dari penderitaannya, kecuali diri seseorang itu sendiri. Meskipun Buddhisme tidak menyangkal keberadaan dewa-dewi dalam Hinduisme, Buddhisme tidak menggantungkan apapun padanya. Buddhisme, lanjut Durkheim, tidak tertarik dan tidak peduli apakah dewa tersebut ada atau tidak.
Memang tidak dapat dimungkiri, demikian menurut Durkheim, ada beberapa sekte Buddhisme yang menganggap bahwa Buddha (Sidharta Gautama) memiliki sifat ilahi (Durkheim menyebutnya dengan “divinization of Buddha”). Tetapi menurut pengamatan Durkheim, fenomena itu hanya bisa ditemukan di sebagian besar Buddhisme Utara (yang kadang diidentikkan dengan Mahāyāna). Sementara itu hampir seluruh penganut Buddhisme Selatan (kadang disebut Theravāda) menganggap Buddha sebagai manusia biasa. Buddha memang kadang dianggap memiliki kemampuan melebihi manusia biasa, tetapi Buddhisme tidak menganggapnya sebagai manusia sakral (sebagaimana kepercayaan di India kuno dan beberapa kepercayaan yang tersebar luas di agama lain) yang dianugerahi kelebihan tertentu.
Meskipun konsep ketuhanan Buddha juga bisa ditemukan di beberapa aliran, menurut Durkheim, fakta yang tidak bisa ditolak adalah konsep divinitas Buddha itu tidak ditemukan dalam sejarah Buddhisme yang asli. Menurut kesimpulan Durkheim dari literatur-literatur yang ia temukan, ide murni dari Buddhisme hanya berisi tentang keselamatan yang diajarkan Buddha. Setelah Buddha selesai menyampaikan ajarannya, tugasnya usai dan ia tidak lagi menjadi bagian yang niscaya dalam kehidupan religius Buddhisme. Artinya, menurut Durkheim, sekalipun hari ini seorang penganut Buddhisme tidak mengenal siapa Buddha (Siddharta Gautama)—atau dalam pengandaian ekstrem: sejarah mengenai sosok Buddha hilang—penganut tersebut tetap bisa menjalankan kehidupan religiusnya.
Ajaran Buddhisme di atas juga bisa ditemukan pada salah satu agama besar india lainnya, yaitu Jainisme. Seperti Buddhisme, Jainisme tidak menganggap penting ide tentang Sang Pencipta. Bagi penganut Jainisme, dunia ini abadi. Meskipun ada juga sebagian dari orang-orang Jainis yang deis (penganut deisme) sebagaimana juga dalam beberapa kasus penganut Buddhisme, menurut literatur yang Durkheim rujuk, corak deisme merupakan sisa-sisa dari ajaran Brahmanisme yang menjadi asal-usul kedua agama tersebut. Oleh karena itu, ide divinitas dan ‘spiritual being’ tersebut bagi Durkheim tidaklah memadai untuk menangkap beberapa fakta religius di atas.
Yang–Sakral dan yang–Profan
Meski melancarkan kritik terhadap esensialisme Tylor dan Frazer, Durkheim berpandangan bahwa agama tetap perlu didefinisikan guna memisahkan sistem-sistem ide dan praktik-praktik yang bagi Durkheim bukan merupakan fenomena religius. Hal ini yang membuat Durkheim, sebagaimana para esensialis lainnya, berupaya menemukan elemen mendasar yang membuat agama bisa disebut agama.
Dimulai dengan mengumpulkan semua sistem religi yang mungkin dan bisa kita ketahui baik masa lalu maupun sekarang, dari yang dianggap paling primitif dan sederhana sampai yang paling kompleks, Durkheim mengidentifikasi ciri-ciri umum yang dimiliki sistem-sistem religius itu pada kenyataan konkretnya.
Dari metode ini, Durkheim berpendapat bahwa fenomena religius memiliki dua unsur esensial, yaitu keyakinan dan ritus. Yang pertama adalah cara berpikir (thinking), sementara yang kedua adalah cara berperilaku (doing). Ritus sebagai sebuah tindakan dapat dibedakan dari tindakan-tindakan lainnya—seperti tindakan moral, tindakan ekonomi, atau tindakan lainnya—berdasarkan apa yang menjadi objeknya. Menurut Durkheim, untuk membedakan ritus dengan tindakan lainnya, kita perlu mengetahui karakter objeknya. Sementara itu, karakter objek ritus baru terungkap dalam kepercayaan. Oleh karena itu, penting bagi Durkheim memahami apa itu kepercayaan.
Secara ringkas, menurut Durkheim, semua sistem kepercayaan religius baik yang sederhana maupun yang kompleks mengisyaratkan pengklasifikasian segala sesuatu ke dalam dua ranah, yaitu yang-sakral (the sacred) dan yang-profan (the profane). Pembelahan dunia ke dalam dua ranah inilah yang bagi Durkheim menandai suatu fenomena religius. Dua ranah ini dipahami dalam cara yang dikotomis. Menurut Durkheim, dikotomi inilah yang melahirkan konsep-konsep seperti monastisisme, asketisisme mistik, atau kehidupan religius lainnya yang dibedakan dari kehidupan sekuler.
Lebih jauh menurut Durkheim, yang-sakral adalah hal yang dilindungi dan diisolasi oleh larangan-larangan, sementara yang-profan adalah hal-hal yang di dalamnya larangan berlaku dan harus berjarak dari yang-sakral (sacred things are things protected and isolated by prohibitions; profane things are those things to which the prohibitions are applied and that must keep at a distance from what is sacred [Durkheim, 1995:38]). Dalam hal ini, kepercayaan adalah seperangkat cara berpikir (thinking) yang merepresentasikan atau mengekspresikan sifat-sifat sakral itu sekaligus hubungan-hubungan antara yang-sakral dan yang-profan. Sementara itu, ritus menjadi seperangkat praktik (doing) yang mengatur bagaimana manusia berhubungan dengan yang-sakral tersebut.
Komunitas Religius
Kedua elemen tersebut, kepercayaan dan ritus, menjadi elemen mendasar dari agama baik dalam bentuknya yang sederhana, yang bagi Durkheim bisa ditemukan dalam masyarakat yang ‘primitif’, maupun dalam bentuknya yang paling kompleks yang ditemukan dalam masyarakat modern. Namun, dua konsepsi itu bagi Durkheim belum cukup sebab hal tersebut akan mengaburkan fenomena agama dengan fenomena ‘magis’ yang dalam sejarahnya suka saling menolak satu sama lain.
Magis menurut Durkheim memiliki elemen kepercayaan dan ritus yang sama dengan agama. Yang membedakannya adalah komunitasnya. Kepercayaan religius tidak hanya diterima oleh satu individu, melainkan selalu dianut oleh kelompok orang sehingga membentuk apa yang disebut ‘komunitas religius’ – Durkheim menuliskan komunitas religius dengan menggunakan kata ‘Gereja’ dengan huruf kapital. Dalam komunitas religius, orang-orang yang memercayainya memiliki imajinasi yang sama tentang pembelahan sakral-profan dan menerjemahkannya dalam praktik-praktik ritual.
Sementara itu, kepercayaan magis tidak mengikat manusia yang percaya padanya dan membentuk komunitas magis. Tidak ada ikatan moral antara individu yang mempercayai magis dengan ahli magis seperti ikatan antara penganut agama dengan tuhan atau pemuka agama. Magis tidak menyebabkan masyarakat menjadi akrab dan bertahan lama sebagaimana komunitas agama. Sekalipun ada masyarakat yang berkumpul akibat kepercayaan magis, itu bukan menjadi syarat utama dari kepercayaan magis untuk berfungsi. Ini berbeda dengan agama yang, bagi Durkheim, tidak bisa dipisahkan dari komunitas religius yang memercayainya. Komunitas religius, lanjut Durkheim, adalah komunitas moral yang dibentuk oleh para penganutnya, baik awam maupun pemimpin agama. Magis tidak memiliki unsur ini.
Melalui pembedaan agama dari magis, Durkheim tiba pada kesimpulannya tentang definisi agama, yakni bahwa agama adalah kesatuan sistem kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal-hal sakral, yaitu hal-hal yang dipisahkan dan dilarang—suatu keyakinan dan praktik yang menyatukan semua orang yang mematuhinya ke dalam satu komunitas moral tunggal yang disebut komunitas religius [Gereja] (“A religion is a unified system of beliefs and practices relative to sacred things, that is to say, things set apart and forbidden – beliefs and practices which unite into one single moral community called a Church, all those who adhere to them” [Durkheim, 1995:44]).
Bagi Durkheim, dalam definisinya, unsur kedua (komunitas religius) tidak kalah pentingnya dengan unsur pertama (kepercayaan dan ritus). Artinya, agama dalam sosiologi Durkheim harus dikonseptualisasikan sebagai fenomena kolektif masyarakat.
Bagaimana jika di masa depan ada agama individu tanpa komunitas religius? Jawaban Durkheim ada dua. Pertama, bagi Durkheim agama individu itu merupakan pengembangan yang tetap memiliki asosiasi pada komunitas religius. Artinya, pada titik tertentu, agama individu itu tetap merupakan bagian dari kepercayaan kolektif. Kedua, definisi yang dibuat Durkheim hanya bisa diterapkan pada fakta ‘riil’. Artinya, agama hanya bisa didefinisikan sebagaimana adanya sekarang atau sebagaimana adanya di masa lalu, bukan sebagaimana kecenderungan yang akan datang. Menurut Durkheim bisa saja agama yang benar-benar individualis itu akan datang. Kalau pun suatu saat banyak fenomena religius bermunculan dan definisinya tidak lagi memadai untuk fenomena itu, Durkheim mengembalikan pada metode yang sudah dipersiapkannya untuk mendefinisikan ulang agama berdasarkan kenyataan riilnya di masyarakat.
Menurut pengakuan Durkheim sendiri, definisi ini lebih inklusif dari definisi-definisi yang ia ajukan di tulisannya sebelumnya, Concerning the definition of religious phenomena (1899). Artinya, definisi Durkheim itu berkembang sesuai kenyataan riilnya. Yang lebih ditekankan oleh Durkheim dalam The Elementary Forms bukanlah semata tentang bagaimana kita mendefinisikan agama, melainkan juga—dan ini yang paling penting—bagaimana cara sosiologi memahami fakta religius.
Fungsi Solidaritas dan Ketertiban
Hal penting lainnya dari The Elementary Forms ialah fungsi sosial dari agama. Mungkin Durkheim merupakan orang pertama yang menyoroti hal ini. Pemikiran Durkheim mengenai fungsi sosial ini sangat berpengaruh dalam studi agama modern khususnya dalam menjelaskan agama sebagai solidaritas dan kontrol sosial.
Menurut Durkheim, agamalah yang menyatukan orang-orang yang tidak memiliki tujuan. Ini merupakan fungsi sosial utama dari agama, yang muncul dengan tegas dalam analisisnya di bagian bukunya tentang totemisme di Australia. Dalam masyarakat yang terbagi berdasarkan klan-klan, setiap individu yang memiliki kepercayaan yang sama bersatu menjalankan praktik totemisme. Ritus ini membangun rasa solidaritas dan identitas pada setiap klan, yang pada gilirannya setiap individu yang memiliki kesamaan identitas akan saling melindungi satu sama lain. Totemisme juga membentuk tatanan sosial mengenai apa yang harus dijalankan dan apa yang tidak boleh.
Menurut Durkheim, semua kepercayaan dalam agama bekerja dan berfungsi dengan cara yang sama di mana pun agama itu berada. Pada gilirannya, agama memenuhi kebutuhan riil masyarakat, seperti menopang solidaritas sosial, menetapkan aturan atau norma dasar yang menjadi kontrol tindakan masyarakat, dan menumbuhkan kesadaran kolektif.
Konsekuensi dan Pengaruh
Definisi agama ala Durkheim itu bukannya tidak membawa konsekuensi. Definisi pada dirinya sendiri mengandung daya inklusi dan eksklusi. Dengan menjabarkan agama sebagai keyakinan akan yang-sakral dan yang-profan yang dipraktikkan oleh suatu masyarakat secara kolektif dalam ritus-ritus, definisi Durkhemian rawan mencakup fenomena-fenomena lain yang bagi banyak orang modern kini boleh jadi dianggap fenomena sekuler belaka. Sebagai contoh ialah nasionalisme: di dalamnya terdapat kesepakatan-kesepakatan yang mengatur bagaimana masyarakat bertindak dengan simbol-simbol negara; yang disertai larangan-larangan tertentu terkait penggunaannya (pendek kata: dianggap ‘sakral’); orang rela mati untuk mempertahankan simbol negara itu; dan disertai pula dengan ritus-ritus tertentu untuk menunjukkan penghormatan padanya. Dalam definisi Durkheimian, bisa jadi nasionalisme adalah sebentuk agama. Pada kenyatannya, satu buku berjudul Nationalism: A Religion karya Carlton Hayes (2016) mengajukan argumen bahwa nasionalisme adalah satu bentuk agama juga.
Boleh jadi fanatisme terhadap suatu tim sepakbola juga tercakup dalam definisi Durkheim. Para fan suatu tim sepakbola di pelbagai belahan dunia tidak kenal satu sama lain, tetapi disatukan oleh pemujaan pada tim sepakbola dan simbol-simbolnya; menyanyikan yel-yel timnya di stadion (yang akan mirip ‘ritus’) dan sebagian bahkan rela mati untuk membela harga diri timnya (sehingga tim yang digemarinya menjadi ‘sakral’ karena terlarang untuk dikalahkan). Kolektivitas dan ritus yang menyatukan para penggemar sepakbola ini tidak jauh beda dengan totemisme dalam suku Aborigin yang Durkheim teliti.
Terlepas dari uji konsistensi terhadap definisi agama ala Durkheim itu, yang memerlukan esai panjang tersendiri, karya Durkheim yang telah terbit lebih dari satu abad lalu memiliki pengaruh besar dalam studi agama.
Salah satu pemikir ternama lainnya yang terpengaruh adalah Mircea Eliade (1907-1986) yang melakukan pembagian yang sama mengenai yang-sakral dan yang-profan meski disertai dengan kritik terhadap pendekatan Durkheimian. Dalam fenomenologinya yang dipengaruhi Rudolf Otto (1869-1937), Eliade menempatkan agama bukan sebagai hal yang dibentuk oleh masyarakat, melainkan sebagai variabel otonom, yang lebih merujuk pada pengalaman religius seseorang dalam ranahnya yang paling privat.
_______________________
Ronald Adam adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2019. Baca tulisan Adam lainnya di sini.
Terima kasih atas artikelnya!!