Jonathan D Smith | CRCS | Esai
Terdapat banyak gerakan environmentalis di Indonesia, baik yang dipimpin oleh para aktivis lingkungan maupun kelompok-kelompok lokal. Gerakan menentang proyek reklamasi Teluk Benoa, Bali; gerakan melawan pembangunan pabrik semen di Kendeng, Jawa Tengah; dan gerakan Save Aru, Maluku, adalah sekian contohnya. Apakah agama ikut berperan dalam gerakan-gerakan ini? Apakah gerakan lokal ini memiliki hubungan dengan gerakan environmentalis global yang sedang tumbuh?
Aspek lokal dan global adalah elemen krusial dalam gerakan environmentalis: problem lingkungan hidup tak mengenal batas. Iklim yang berubah cepat melahirkan tantangan yang mendesak secara global dan lokal. Negara-negara dunia pelan-pelan mulai ikut berperan dalam upaya pengurangan emisi karbon sementara komunitas-komunitas lokal di Indonesia sedang menghadapi problem tingginya suhu, naiknya permukaan air laut, bencana alam, dan polusi air dan udara.
Hubungan lokal-global dalam gerakan environmentalis-religius
Dalam Konferensi Perubahan Iklim di Maroko pada 2016, negara-negara bertemu untuk menegaskan dukungannya terhadap Kesepakatan Paris 2015 tentang Perubahan Iklim. Kesepakatan yang (hingga November 2016) telah ditandatangani 111 negara ini berkomitmen untuk mereduksi emisi karbon dan mengakui pengaruh manusia terhadap perubahan iklim. Dalam konferensi di Marrakech itu ratusan pemimpin agama dan aktivis lingkungan juga meluncurkan Pernyataan Lintas Iman tentang Iklim.
Tertulis dalam pernyataan itu:
Sepanjang sejarah, tradisi keagamaan kita telah memberikan dukungan dan inspirasi di masa menghadapi tantangan dan transformasi besar. Kita harus berkomitmen pada cara-cara hidup yang baru, yang menghormati hubungan dinamis dalam semua bentuk kehidupan, untuk memperdalam kesadaran dan dimensi spiritual dalam hidup kita. Kita harus memiliki keberanian, harapan, kebijakan, dan refleksi spiritual agar generasi muda masa depan dapat mewarisi dunia yang peduli dan berkelanjutan.
Sembilan tahun sebelumnya, pada 2017, konferensi iklim tahunan diadakan di Bali, Indonesia. Dalam konferensi itu sepuluh pemimpin dari enam agama Indonesia bertemu dan meluncurkan pernyataan lintas iman sendiri. Tertulis dalam pernyataan itu:
[Kita] berkomitmen pada upaya terus-menerus untuk menginspirasi dan memotivasi orang-orang di level akar rumput melalui ajaran agama, khotbah-khotbah, dan acara-acara kebudayaan untuk berkampanye dan memberikan contoh tentang bagaimana mengembangkan kebiasaan hidup yang sederhana, bersih, dan sehat; peduli lingkungan, memakai energi alternatif, menanam pohom, mengurangi konsumsi bahan bakar fosil, dan lain-lain demi melindungi bumi dari pemanasan global; ini sebagai bagian dari ajaran agama dan kearifan lokal.
Bagi saya, kedua pernyataan lintas iman itu berhubungan. Indonesia termasuk dini dalam mengadopsi dan mengakui adanya perubahan iklim serta menunjukkan bahwa kelompok-kelompok keagamaan dapat memainkan peran penting.
Indonesia merasakan efek perubahan iklim lebih dahulu dibanding banyak negara lain: ribuan pulaunya rentan terhadap kenaikan permukaan air laut, serbuan angin topan dan banjir. Indonesia juga termasuk di antara negara-negara yang paling awal mengeluarkan kebijakan nasional untuk mengatasi dampak perubahan iklim, mengurangi emisi karbon, dan melindungi hutan tadah hujan.
Fitur lain dari Indonesia ialah keragaman agamanya. Indonesia adalah negara dengan populasi muslim terbesar dunia. Sejak kemerdekaan Indonesia pada 1945, ideologi nasional Pancasila berlandaskan pada kebinekaan agama dan secara institusional mengakui lima kelompok agama—Islam, Kristen-Protestan, Katolik, Hindu, dan Buddha (kemudian Konghucu ditambahkan sehingga menjadi enam). Dalam banyak kasus, para pemimpin agama diharapkan untuk berkontribusi dalam diskusi publik dan bekerja sama memecahkan masalah umum di tingkat lokal maupun nasional. Pernyataan lintas agama di Bali pada 2007 mungkin cukup baru bagi dunia internasionaal, tapi itu biasa di Indonesia.
Dalam 15 tahun terakhir, muncul gerakan environmentalis yang meningkat cepat berasal dari kelompok-kelompok agama. Meski kelompok agama itu berbeda kepercayaan dan praktik, sebagian besar bersetuju akan adanya kebutuhan mendesak untuk memperhatikan lingkungan. Sebagaimana diungkapkan dalam pernyataan lintas agama di atas, masalah perubahan iklim bukan hanya masalah sains dan teknologi; ia juga adalah masalah moral, etis, dan spiritual; masalah tentang bagaimana cara kita hidup. Dengan mengeluarkan pernyataan bersama, para aktivis environmentalis-religius hendak mengamplifikasi suara mereka dengan harapan dapat mengubah kebijakan pemerintah agar lebih ramah lingkungan.
Pernyataan global, dampak lokal?
Sejak 2016, Pernyataan Lintas Iman tentang Perubahan Iklim telah ditandatangani oleh ribuan pemimpin agama dan aktivis yang mewakili gerakan-gerakan environmentalis-religius. Adakah dampak dari pernyataan global itu terhadap komunitas-komunitas lokal yang mendapat efek perubahan iklim?
Gerakan-gerakan environmentalis-religius bertujuan mengubah cara berpikir orang-orang lokal. Sejak pernyataan lintas agama tentang iklim di Indonesia pada 2007 yang bertujuan untuk “menginspirasi dan mendorong masyarakat di level akar rumput”, kelompok-kelompok agama Indonesia telah memulai berbagai inisiatif untuk membantu masyarakat menemukan pendekatan-pendekatan kreatif ramah lingkungan. Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan beberapa fatwa tentang konservasi lingkungan. Telah muncul rumah-rumah ibadah ramah lingkungan (eco-friendly) seperti “masjid hijau” dan “gereja hijau”, juga beberapa inisiatif dari komunitas Hindu dan Buddha untuk menanam pohon dan pendauran ulang sampah.
Di Indonesia juga terdapat gerakan-gerakan environmentalis lokal yang banyak dipimpin oleh masyarakat lokal. Dalam gerakan ini, masyakarat lokal berupaya melindungi tanah mereka dari eksploitasi. Misalnya, gerakan Save Aru berusaha menjaga pulau dari pengambilalihan oleh korporasi multinasional. Petani-petani lokal melindungi lingkungan hidup mereka dari penambangan semen di Kendeng, Jawa Tengah. Orang-orang di Bali melindungi situs-situs sakral dari proyek reklamasi Teluk Benoa.
Masyarakat lokal boleh jadi ingin beradaptasi dengan praktik-praktik environmentalis yang lebih baik. Tapi sampai mana pemerintah dan korporasi mau mendengarkan kebutuhan masyarakat lokal? Kadang, dalam merumuskan kebijakan untuk lingkungan hidup, status dan hak-hak masyarakat adat mendapat dampak negatif. Juga, bagaimana praktik-praktik lokal keagamaan mempengaruhi masyarakat dalam melestarikan alam? Bagaimanaa gerakan-gerakan environmentalis global berinteraksi dengan masyarakat lokal?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, kita membutuhkan penelitian tentang gerakan-gerakan environmentalis lokal, khususnya penelitian yang membantu kita memahami bagaimana kepercayaan dan praktik-praktik keagamaan berinteraksi dengan gerakan-gerakan environmentalis. CRCS kini sedang melakukan penelitian mengenai topik ini di Indonesia sebagai bagian dari kluster riset tentang agama, budaya, dan alam.
Masyarakat dunia kini mulai lebih sadar akan dampak perubahan iklim terhadap lingkungan hidup. Para aktivis environmentalis-religius dapat berperan dalam meningkatkan kesadaran ini di tingkal global juga di komunitas-komunitas lokal. Reformasi global terhadap kebijakan mengenai lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan tentu akan ditentukan oleh tindakan jutaan komunitas lokal. Para aktivis, pemimpin, dan akademisi perlu sungguh-sungguh mendengarkan komunitas-komunitas lokal dan bekerja sama dalam merespons perubahan-perubahan global yang berdampak di tingkat lokal.
Jonathan D. Smith adalah mahasiswa PhD Teologi dan Studi Agama di University of Leeds, Inggris. Pada Maret 2017, ia berada di CRCS melakukan riset tentang agama dan gerakan sosial-environmentalis. Paper yang telah ia tulis akan dipublikasikan sebagai bagian dari publikasi CRCS tentang agama dan ekologi pada tahun ini.
*Esai ini adalah terjemahan. Versi orisinalnya dalam bahasa Inggris dapat dibaca di sini.