Aksi Super Damai 212 patut diapresiasi sebagai bukti kemajuan dan kedewasaan umat Islam Indonesia dalam mengekspresikan aspirasi politiknya. Kesejukan yang hadir dalam aksi ini sudah seharusnya diapresiasi.
Namun demikian, bagi peserta aksi, tujuan mereka bukan sekadar membuktikan bahwa Aksi Bela Islam adalah gerakan damai. Ratusan ribu atau bahkan lebih dari sejuta orang bersusah payah mendatangi Jakarta dalam aksi 212. Sebagian bahkan rela jalan kaki berhari-hari demi “membela Islam”, dengan tuntutan memenjarakan Ahok. Menariknya, meskipun Ahok tidak ditahan, para peserta aksi 212 tampak pulang dengan perasaan menang.
Sampai esai ini ditulis, perayaan kemenangan masih berlanjut. Linimasa masih dibanjiri konten dan unggahan yang menunjukkan kedahsyatan momen setengah hari di bawah Monas itu. Sebagian bahkan menawarkan cenderamata dan kaos untuk mengenang momen kemenangan.
Lantas pertanyaannya: apa yang sebenarnya telah dimenangkan?
Perang Posisi, Bukan Perang Manuver
Bagi banyak orang, partisipasi dalam aksi 212 bisa menjadi bagian dari momen langka yang tidak terlupakan. Berada di tengah lautan manusia untuk “membela Islam” merupakan kepuasan spiritual. Aksi yang begitu besar, yang dilakukan dengan tertib dan tanpa menyisakan sampah, adalah sebuah kemenangan dalam melawan wacana atau tuduhan tentang ancaman kekerasan dan makar.
Tapi aksi 212 adalah sebuah gerakan sosial, bukan forum pengajian atau ajang pengadilan. Gerakan sosial meniscayakan agenda perubahan sosial politik yang menjadi kesadaran bersama. Jika tujuannya adalah memenjarakan Ahok, tujuan itu belum tercapai, meski ada kemajuan dalam bentuk percepatan proses hukum. Peradilan akan berlangsung lama dan belum tentu akan memutuskan Ahok bersalah.
Mempertimbangkan fakta ini, jelas tuntutan agar Ahok yang dituduh “penista agama” dihukum terlalu kecil.
Dalam literatur gerakan sosial, ilmuwan sekaligus ideolog gerakan kiri dari Italia, Antonio Gramsci, membedakan antara strategi “war of position” dan “war of maneuver.” Perang manuver adalah gerakan yang bertujuan untuk secara langsung dan cepat mengubah sebuah tatanan atau kebijakan. Perang manuver hanya melihat keberhasilan ketika sistem, rezim, atau sebuah kebijakan yang dianggap tidak adil tumbang.
Dalam gerakan anti-Ahok, tampak agenda yang muncul tidak hanya “Tangkap Ahok.” Suara-suara untuk mengubah konstitusi, revolusi, dan menurunkan Presiden terdengar nyaring. Memang tuntutan untuk mengubah konstitusi dan menurunkan Presiden bisa jadi tidak terkait secara langsung dengan aksi 212. Namun tidak bisa dimungkiri, tuntutan-tuntutan di luar isu Ahok tersebut hadir dalam aksi-aksi bela Islam sebelumnya. Bila gerakan ini adalah perang manuver, maka ia tidak layak dirayakan karena tujuan-tujuan tersebut tidak tercapai. Yang terjadi, pasca-aksi 212, citra presiden justru menguat setelah mengejutkan publik lewat kehadirannya di panggung aksi.
Proses hukum terhadap Ahok memang mengalami kemajuan yang tidak biasa, tetapi belum tentu Ahok divonis bersalah. Aksi ini juga tidak bisa dilepaskan dari upaya untuk menggagalkan Ahok dalam Pilkada DKI. Jika ini agendanya, elektabilitas pasangan Ahok-Djarot memang turun drastis, tetapi mereka masih dalam persaingan. Meski diterpa isu penistaan agama, pasangan Ahok-Djarot masih disambut warga dengan meriah di banyak tempat.
Dengan selisih elektabilitas yang tipis, Ahok masih punya kesempatan untuk kembali terpilih. Karena itu, apa yang terjadi bukanlah “perang manuver” dalam pengertian tercapainya tujuan secara langsung dalam bentuk hukuman terhadap Ahok, meski bila tujuan ini tercapai akan menjadi penanda kemenangan yang penting.
Gestur kemenangan tidak lain adalah perayaan atas keberhasilan dalam “perang posisi”. Fokus dari model gerakan ini bukanlah untuk mengubah kebijakan jangka pendek, melainkan merengkuh pengaruh di masyarakat. Keberhasilan tidak diukur dengan kendali atas negara, tetapi oleh sejauh mana gerakan sosial bisa menancapkan hegemoni di masyarakat.
Hegemoni ini diupayakan sedemikian sehingga memungkinkan terbentuknya basis-basis kekuatan yang dalam jangka panjang diharapkan bisa membuat negara tidak berkutik. Pada saat itu, perang manuver dalam pengertian meraih kuasa politik ketatanegaraan baru dimungkinkan.
“Perang posisi,” menurut Gramsci, lebih menjanjikan daripada “perang manuver” dalam masyarakat yang relatif sudah maju di mana negara mempunyai basis relasi yang cukup kuat dengan masyarakat sipil. Ketika basis legitimasi negara kuat, perang manuver yang bersifat konfrontatif tidak akan berhasil. Dalam situasi seperti ini, yang penting dilakukan dalam gerakan sosial adalah kepemimpinan moral dan intelektual di masyarakat sehingga lanskap sosial berubah dan memungkinkan posisi gerakan sosial dalam percaturan memperebutkan “hegemoni.”
Dalam perang posisi, ada dua hal yang menentukan dalam perebutan hegemoni, yakni wacana dan ruang. Wacana dimenangkan ketika narasi dominan yang terbentuk adalah polarisasi antara kemapanan dan perlawanan. Dalam masyarakat yang terpolarisasi, spektrum sosial antara titik ekstrem dan moderat menjadi tampak lebih sederhana dari kenyataannya. Masyarakat akan dihadapkan pada pilihan hitam-putih, dan ini secara otomatis akan mengaburkan batas antara kekuatan ekstrem dan yang relatif masih di tengah. Kemampuan memenangkan pertarungan wacana menjadi lengkap ketika gerakan sosial mendapatkan ruang-ruang yang memungkinkannya bergerak untuk membangun basis di tengah-tengah masyarakat.
Mobilisasi tidak mungkin terjadi tanpa ruang gerak, dan ruang gerak dimungkinkan ketika “batas toleransi” antara yang radikal dan yang moderat kabur. Saat radikalisme ditoleransi dan dipersepsi sebagai kebutuhan, maka “perang posisi” pada hakekatnya telah dimenangkan.
Ahok dan Alat Mobilisasi
Tokoh-tokoh dalam GNPF-MUI jelas akan terus mengawal kasus Ahok sampai Ahok dipenjara atau paling tidak dia gagal di Pilkada DKI. Tetapi naif kalau mengukur keberhasilan mereka hanya berdasarkan nasib Ahok.
Keberhasilan yang sesungguhnya terletak pada peluang-peluang mobilisasi yang semakin lebar selama isu Ahok, ancaman penistaan agama, dan kepemimpinan non-Muslim masih menjadi kesadaran publik Muslim. Sentimen anti-Ahok adalah momentum langka yang kekuatan mobilisasinya akan sulit terulang.
Pasca-aksi 212, ruang-ruang mobilisasi akan terbuka dan pengaruh tokoh-tokoh GNPF-MUI akan menembus batas-batas tradisional yang ada. FPI yang selama ini kontroversial karena karakter vigilantisme bisa menjelma menjadi kekuatan penting karena mendapatkan ruang penerimaan yang lebih luas dari yang selama ini mereka dapat. Gerakan ini membentuk kekuatan aliansi baru yang mencakup tokoh-tokoh dengan spektrum ideologi yang luas termasuk kalangan Wahabi, dan pengusung ideologi khilafah. Tidak tertutup kemungkinan kelompok lebih ekstrem yang terkait dengan jaringan teroris ikut menikmati momentum ini.
Pertanyaannya: apa yang bisa dihasilkan dari perluasan ruang mobilisasi ini? Kemana pencapaian perang posisi ini akan bermuara di luar agenda memenjarakan Ahok?
Pengamat politik A.S. Hikam mulai mengantisipasi potensi Rizieq Syihab menjelma menjadi tokoh utama baru politik Islam di Indonesia. Entah apa bentuknya, tetapi pentas politik partai dalam sejarah Indonesia dikenal tidak menggembirakan bagi Islam politik. Jika aliansi anti-Ahok mampu dan berhasil membangun semacam ‘koalisi syariah’ di parlemen pada pemilu mendatang, mimpi Islam politik telah menjadi kenyataan.
Ide tentang ‘koalisi syariah’ sudah berulang kali muncul di setiap pemilu tetapi selalu gagal. Menjelang Pemilu 2014, Rizieq Syihab berusaha membujuk partai-partai Islam untuk berkoalisi dan mengusung “Capres dan Caleg Syariah”. Besaran dukungan dalam aksi 212 bisa dipahami sebagai energi besar yang membutuhkan penyaluran. “Koalisi Syariah” atau bahkan partai Islam baru adalah kemungkinan-kemungkinan yang perlu ditimbang.
Di luar kemungkinan ini, bisa saja energi besar pasca-aksi 212 disalurkan lewat sebuah partai politik alternatif dengan ideologi Islam yang kuat. Saluran ini akan lebih bisa dipahami daripada ide revolusi yang belakangan disuarakan Rizieq Syihab jika pengadilan pada akhirnya tidak menghukum Ahok.
Dampak terhadap Keragaman
Setiap gerakan sosial akan mengalami siklus, dan penurunan biasanya terjadi ketika gerakan protes mengalami pelembagaan. Transformasi ke dalam gerakan politik tidak akan mudah dan boleh jadi terlalu dini untuk berubah dari “perang posisi” ke “perang manuver.”
Sebelum perang manuver dengan mejadi kekuatan politik formal terwujud, arah perubahan yang paling nyata bisa terjadi dalam transformasi kultural, yakni dengan semakin menguatnya basis dukungan sosial bagi sektarianisme dan vigilantisme terhadap kelompok-kelompok minoritas.
Kelompok-kelompok yang selama ini bersikap keras dalam isu penistaan agama, sengketa rumah ibadah, haramnya pemimpin kafir dan lain-lain akan menjadi ujian seberapa kuat basis multikulturalisme Indonesia. Di banyak tempat, basis multikulturalisme tidak selalu bersandar pada konstitusi yang menjamin kebebasan beragama dan kesetaraan hak politik, tetapi pada norma dan tradisi multikultural yang telah ada sebelumnya di masyarakat.
Sejauh mana keberhasilan Gerakan Bela Islam akan memperluas pencapaian dalam perang posisi akan bergantung pada bagaimana basis-basis multikulturalisme bereaksi terhadap semakin menguatnya sektarianisme dan politik identitas. Sejarah menunjukkan, ruang-ruang yang tersedia bagi mobilisasi cukup bergantung pada narasi sektarian. Sejauh mana struktur sosial politik membuka diri bagi intoleransi juga turut menentukan seberapa luas ruang mobilisasi itu.
Bagi masyarakat awam, aksi-aksi bela islam yang dilakukan beberapa waktu lalu tak lebih dari drama bermain peran. Hanya saja yang menarik untuk dicermati adalah dari beberapa kubu yang berseteru saling berebut klaim sebagai penjaga kebhinekaan. Hal ini jika terus terjadi justru menurut saya kontraproduktif untuk kehidupan berbangsa karena akan memposisikan ‘bersalah’ bagi yang kalah.