Para Perempuan Pelintas Batas: Peluang dan Tantangan
Ihsan Kamaludin – 27 Maret 2022
Dua kelompok perempuan dari dua desa dan dua agama berbeda berkumpul untuk saling membacakan kitab suci lalu berbagi refleksi. Merekalah para perempuan pelintas batas yang membuka sekat-sekat dialog lintas agama.
Perbedaan adalah sebuah keniscayaan dan senantiasa menjadi tantangan bagi masyarakat yang hidup dalam keberagaman. Namun, keberagaman yang tidak dikelola dengan baik akan memicu konflik yang tak jarang berujung pada kekerasan. Dari semua itu, perempuan adalah kelompok yang paling rentan menjadi korban. Karenanya, suara dan keterlibatan perempuan berperan penting dalam upaya pengelolaan keberagaman dan dialog lintas agama.
Semangat inilah yang memantik Suryaningsi Mila, Dosen Sekolah Tinggi Teologi Gereja Kristen Sumba, untuk mengumpulkan dua kelompok perempuan dari Wendewa Barat dan Kampung Watu Asa, Sumba Tengah, untuk terlibat dalam sebuah dialog lintas agama. Melalui pembacaan lintas-teks kitab suci, Mila ingin membuat ruang dialog yang aman dan nyaman bagi perempuan untuk mengekspresikan diri dengan bebas atas pengalaman, masalah, maupun harapan mereka. Pengalaman selama proses dan hasil dialog tersebut ia presentasikan dalam Wednesday Forum (02/03) yang mengusung tema “Border-Crossing Women: A Cross-Communitarian Reading of Muslim and Christian Women in North Wendewa and Watu Asa Village, Central of Sumba”.
Dalam pemaparannya, lulusan Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) ini menegaskan bahwa peranan perempuan seringkali kurang diperhatikan dalam dialog lintas agama. “Terutama perempuan yang berada di akal rumput,” jelas Mila. Padahal, merekalah yang paling banyak melakukan interaksi sosial, termasuk dengan anggota masyarakat yang berbeda agama. “Perempuan sejatinya memiliki peranan yang sangat penting baik dalam membangun maupun memelihara perdamaian di berbagai tempat termasuk juga area pascakonflik,” tukas Mila.
Membaca Kitab Suci, Merefleksikan Pengalaman Sehari-hari
Mila sengaja memilih pembacaan lintas-teks kitab suci sebagai salah satu metode dialog lintas agama. Ia terinspirasi oleh dua penelitian terdahulu dari Daniel Listijabudi dan Kwok Pui Lan yang menunjukkan berbagi potensi dari pembacaan lintas-teks tersebut. Teks yang memiliki kesamaan motif cerita bisa menjadi jembatan bagi kedua pihak yang berbeda keyakinan untuk saling merefleksikan diri dan berdialog lebih jauh. Sebagai agama yang bermuara pada tradisi abrahamik, Islam dan Kristen memiliki beberapa persamaan, salah satunya tentang cerita-cerita di kitab suci. Mila memilih kisah Musa yang terdapat di Al-Qur’an dan Alkitab sebagai tema yang akan direfleksikan bersama.
Mila sadar, pembacaan lintas-teks kitab suci pada kelompok perempuan akar rumput ini punya beberapa tantangan. Salah satunya soal otoritas keagamaan. Pemuka agama di Sumba merupakan pihak otoritatif dalam menafsirkan kitab suci sehingga kehadiran perempuan di ranah interpretasi ayat kitab suci cenderung pasif. Apalagi, perempuan di kedua desa tersebut tidak terbiasa untuk berdiskusi terkait hal-hal tekstual. Meskipun demikian, aktivitas dialog lintas agama yang merujuk pada ayat-ayat di kitab suci tersebut tetap diupayakan.
Menurut Mila, para perempuan Kampung Wendewa Barat dan Watu Asa merasa terkesima setelah mengetahui begitu banyak kesamaan ajaran yang dibawa oleh masing-masing agama. Perbedaan dalam detail maupun posisi Musa dalam Al-Qur’an dan Alkitab tidak menghalangi mereka untuk berefleksi dan belajar satu sama lain. Bagi para peserta ini, kisah Musa yang dihanyutkan ke sungai menunjukkan solidaritas perempuan yang berbeda suku bangsa dan agama dalam menyelamatkan seorang bayi laki-laki dari tindakan kekerasan. Mereka juga merefleksikan bagaimana perjuangan untuk menyelamatkan sebuah kehidupan tersebut dengan pergulatan mereka untuk memenuhi kebutuhan harian keluarga. Pengalaman dan pengetahuan baru inilah yang mendorong mereka untuk semakin memperkuat rasa toleransi dan tolong-menolong dalam kehidupan sehari-hari, apa pun suku dan agamanya. Meskipun demikian, masing-masing kelompok tetap memiliki batasan-batasan sendiri dalam memaknai pengetahuan baru tersebut. Nilai-nilai tersebut dipegang untuk meneguhkan rasa saling pengertian antarpemeluk agama dan tidak dimasukkan ke dalam ranah konversi agama.
Yang menarik, pada diskusi tersebut, para perempuan dari kedua desa sering kali merefleksikan kisah-kisah tersebut dengan pengalaman kehidupan yang mereka alami sehari-hari. Dengan cara demikian rupanya mereka lebih bisa mendalami konteks dari ajaran agama dibandingkan hanya membaca teks yang berasal dari kitab suci masing-masing. Mila menambahkan bahwa kegiatan ini dapat menjadi batu loncatan bagi perempuan peserta dialog untuk memperkaya khazanah keilmuan sekaligus mengartikulasikan nilai agama ke dalam kehidupan mereka.
Temuan Mila menunjukkan, ada beberapa hal yang menjadi kunci dalam keberhasilan kegiatan pembacaan lintas-teks kitab suci ini. Salah satunya adalah ikatan kekerabatan dan kesamaan kultur. Meski berbeda agama, para perempuan dari dua desa tersebut sudah memiliki relasi kekerabatan yang erat dan sama-sama tumbuh dalam kebudayaan Marapu, Sumba. Mereka merefleksikan kisah Musa di Al-Qur’an dan Alkitab dengan nilai-nilai keagamaan Marapu, yang mereka sebut dengan tana nyuwu watu lissi atau ‘tanah tanpa batas’. Siapa pun yang tinggal di tanah Marapu wajib saling menolong dan menjaga solidaritas tanpa mengenal batasan identitas.
Di sisi lain, Mila juga menggarisbawahi bahwa kegiatan ini mampu memberi ruang lebih bagi keterlibatan perempuan dalam interpretasi dan refleksi isi teks kitab suci. Suara perempuan terhadap kitab suci seringkali direpresentasikan oleh lelaki. Perempuan tak jarang dalam posisi yang marjinal sebagai penafsir kitab suci sehingga tafsir yang selama ini diproduksi acapkali bias gender. Dalam kegiatan ini, meskipun ada seorang ustaz yang membantu mereka menginterpretasikan ayat di Al-Qur’an, para perempuan tersebut punya otoritas untuk melakukan pembacaan kembali melalui refleksi mereka dengan kehidupan sehari-hari. Di sisi lain, melalui pendekatan pengalaman sehari-hari, para perempuan ini menerabas tembok akademis yang seringkali menjadi halangan bagi mereka untuk memaknai teks kitab suci. Melalui pembacaan lintas-teks kitab suci dan nilai-nilai yang berlaku di “tanah tanpa batas”, para perempuan tersebut pada akhirnya menjadi para pelintas batas yang membuka sekat-sekat dialog antaragama.
_______________________
Ihsan Kamaludin adalah Mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2020. Baca tulisan Kamal lainnya di sini.
Foto tajuk artikel ini oleh Suryaningsi Mila
Rekaman Wednesday Forum “Border-Crossing Women: A Cross-Communitarian Reading of Muslim and Christian Women in North Wendewa and Watu Asa Village, Central of Sumba” oleh Suryaningsi Mila