
Saya pertama kali berkenalan dengan istilah “Two-Spirits” ketika Dédé Oetomo, seorang aktivis SOGIESC (Sexual Orientation, Gender Identity, Gender Expression, and Sex Characteristic – Orientasi Seksual, Identitas Gender, Ekspresi Gender, dan Karakteristik Seksual) dan akademisi linguistik, membahas tentang komunitas 2SLGTQI+ di suatu kelas. Istilah ini merepresentasikan beragam identitas gender dan spiritual serta juga orientasi seksual yang berbasis dari perspektif kelompok masyarakat adat di Amerika Utara. Belajar dari berbagai komunitas maupun akademisi perihal istilah dari berbagai masyarakat adat di Indonesia yang berkaitan dengan gender, hal ini membuat saya penasaran apakah istilah-istilah ini juga dapat berkembang ke skala nasional maupun dikenal secara internasional. Oma Dédé (panggilan akrab saya untuk Dédé Oetomo) membantu saya menavigasi lebih lanjut perihal kompleksitas istilah identifikasi diri berbasis SOGIESC, masyarakat adat, dan pengaruh kontestasi intelektual dalam rekognisi komunitas SOGIESC maupun masyarakat adat di Indonesia.
Dari perspektif Oma sebagai seorang ahli bahasa dan aktivis SOGIESC, mengapa istilah identifikasi gender penting untuk direkognisi?
Well, ada berbagai kepentingan untuk mengenali istilah atau term, terutama untuk kita yang dari segi gender-seksual mungkin nonnormatif. Aku merasakan pas aku remaja mencari-cari istilah begitu. “Aku itu kayak apa?” “Namanya apa?” Terus ketemu istilah “homoseksuil”. Kemudian aku dengar teman-teman di SMA waktu itu menyebut kata “homo” dengan nada miring. Makanya aku tidak bisa mengaku. Ketika mulai kenal istilah “gay”, aku kayak “Oh, revolusioner banget,” karena istilah ini tidak ada stigmanya. Aku ingat ada satu peristiwa ketika kami lagi eksplorasi macam-macam kemungkinan orientasi seksual, aku jelaskan ada biseksual, panseksual, dan lain-lain. Ada seorang aktivis dari organisasi di Malang yang akhirnya tahu bahwa seseorang bisa menyukai orang lain dari gender apa pun. Dia bilang, “Aduh, Oma. Aku serasa menemukan diriku.”
Kalau dibawa ke teori, ini sebetulnya masalah semiotik. Masalah signified dan signifier. Setiap tanda pasti ada signifier-nya, bisa juga kosong. Misalnya, pasangan laki-laki seorang waria. Tidak ada namanya tetapi fenomenanya ada. Lompat sedikit ke kenyataan sosial politik. Kontestasi yang terjadi dengan orang-orang agama dan budaya konservatif sebetulnya kontestasi soal satu signifier yang mereka sebut. Kadang-kadang menyebut “gay” atau “homo” saja susah. Bisa jadi penting sekali untuk tahu istilah-istilah tersebut. Paling tidak untuk coming in (penerimaan diri). Jadi mereka menyadari diri sendiri, kemudian dalam batas yang aman mulai menyebutkannya. Kadang-kadang kalau tidak punya nama itu jadi tidak ada pegangan. Akan tetapi, istilah bukanlah segala-galanya. Di sisi lain, dalam literatur gay liberation tahun 70-an, itu sudah dikatakan, “Suatu hari nanti, kita tidak usah pakai istilah-istilah lagi. Kita cuma, ‘We are us. We are humans.’” Selesai.
Saat ini, di berbagai negara sudah mulai banyak perkembangan untuk menggunakan istilah-istilah gender yang berbasis lokal. Mengapa hal ini terjadi?
Ini dikarenakan masyarakatnya bergeser juga. Istilah barat ini memang selalu dilemparkan ke orang-orang kayak kita yang liberal dan semacamnya. Tom Boellstorff dalam bukunya The Gay Archipelago (2005) mengungkapkan yang dia pakai sebagai teori dubbing. Orang memang pakai istilah “gay”, “homo”, atau “lesbian” tetapi homo di Bantul dengan homo di Skotlandia berbeda karena signified-nya lain. Di sini bergunanya kita pakai semantik yang ilmiah.
Kenapa kita punya istilah? Kita punya istilah untuk perilakunya sebetulnya. Referensiku selalu yang gampang, Serat Centhini. Dia bisa bicara tentang alat kelamin dan goyangan-goyangan dalam hubungan seks. Kemudian kebiasaan untuk mengungkung atau memberi kotak kepada identitas-identitas itu baru muncul dengan budaya modern.
Ada adegan yang bagus sekali di Serat Centhini. Ada kelompok pengamen tari dan karawitan yang sampai ke satu kadipaten. Lalu, adipatinya langsung tertarik pertama kali dengan yang berdandan. Di dalam pembahasannya, tidak ada yang bilang, “Sang adipati tertarik pada yang waria,” tetapi, “Si adipati tertarik pada yang dandan.” Kemudian dia tertarik dengan teman laki Nurwitri yang namanya Cebolang. Namun, Cebolang disuruh pakai pakaian perempuan dulu. Dia sudah orgasme sama Nurwitri, orgasme juga sama Cebolang. Dengan kedua-duanya, dia melakukan seks anal yang disebutkan di dalam Centhini. Apakah adipati itu gay? Tidak ada. Jadi, orientasi seksualnya tidak disebutkan tetapi perilakunya disebutkan.
Apakah pergeseran pemaknaan ini juga terjadi dengan konsep Bissu?
Bissu itu bukan istilah gender. Bissu adalah istilah sosial, ritual, agama, dan budaya. Memang aslinya Bissu bisa berasal dari laki-laki, perempuan, calabai, atau calalai. Bugis mengenal empat gender. Di dalam La Galigo, pada awal penciptaan, Sawérigading dan saudara kembarnya diturunkan dari langit. Mereka didampingi oleh 28 bissu dari keempat jenis kelamin. Sebetulnya benar juga ketika mereka bilang, “Kami bukan LGBT”. Problemnya adalah Bissu juga bersentuhan dengan kehidupan sekarang. Sama permasalahannya dengan warok. Warok bukan gay. Warok itu memang berhubungan kelamin dengan gemblak-nya tetapi warok juga punya bu warok, istrinya.
Di sini berguna untuk pakai perspektif SOGIESC, yang mensyaratkan ekspresi gender bagi calon Bissu berasal dari keempat gender. Aktivis saja kadang-kadang masih bingung antara ekspresi dan identitas. Kadang-kadang harus aku jelaskan karena aku juga belajar dari lapangan. Ada seorang waria bilang, “Pak Dédé, saya waria tomboy.” Di situ aku belajar tentang social construction karena kalau esensialis akan bilang, “Ngapain jadi waria dulu? Ya sudah, jadi cowok saja.” Tidak, dia waria yang tomboy. Itu konstruksi.
Jadi, Bissu bukan istilah gender. Kalau mereka bilang, “Kami bukan LGBT,” ya betul. Akan tetapi, Satpol PP Kabupaten Bone, bupati atau wakil bupati, maupun siapa itu melihat mereka dari kacamata mereka sendiri. Pokoknya kalau laki-laki pakai pakaian perempuan, ya itu banci. Lalu mereka pakai pendekatan semantik dari agama, misalnya Islam. “Tidak boleh laki-laki pakai pakaian itu,” lalu dicarikan hadisnya. Namun, mereka lupa ada hadis lain yang membahas tentang “mukhannath” atau “ghairu ilil irbah” dalam Islam. Sepintas kayaknya rumit tetapi sebenarnya tidak. Kalau kita pakai SOGIESC, kelihatan sekali hal itu dan asal mau menahan dulu judgement-nya.
Kalau dari pandangan Oma, apakah konsep Two Spirits memiliki kesamaan dengan Bissu?
Setahuku dari berbagai bacaan, di Amerika Utara, di kalangan orang-orang First Nation atau Native American itu memang ada orang-orang yang both men and women atau neither men nor women. Namun, ini menarik. Orang-orang First Nation ini bersentuhan dengan orang-orang modern atau posmodern. Menurut aku dengan segala hormat, mereka ini agak tergelincir. Two Spirits menjadi identitas. Hampir sama dengan di budaya Bugis, Two Spirit ini selalu ada urusan dengan perdukunan, penyembuhan penyakit, dan hubungan dengan dunia arwah. Sebetulnya kalau berteori sedikit, tidak heran ketika masyarakat membagi manusia berdasarkan pengamatan, misalnya ketika bayi lahir kemudian dibagi menjadi dua gender, langkah berikutnya buat mereka yang suka main-main, gender itu akan dikombinasikan. Salah sendiri bikin dua? Coba jangan pentingkan gender, orang tidak bisa melakukan itu.
Menurut Oma, apakah gerakan SOGIESC di Indonesia juga perlu untuk mengembangkan penggunaan istilah SOGIESC lokal yang bisa ditemukan di beberapa masyarakat adat?
Kalau aku akan bilang berpulang pada komunitas. Sebetulnya Kerukunan Waria Bissu Sulawesi Selatan (KWRSS) sudah mulai secara parsial. Kalau bisa tanya, aku akan tanya, “Bukankah kalian sudah mengikuti orang-orang modern yang merancukan antara waria yang adalah identitas gender dengan bissu yang sebetulnya posisi ritual?” Meskipun Pak Halilintar Latif mengatakan sejak tahun 70-an Bissu cenderung calabai tapi tidak juga. Film Calalai menunjukkan bahwa ada bissu yang calalai.
Kadang-kadang di workshop aku menawarkan, “Gimana kalau kita seperti Kanada? Kita menyebutkan “LGBT” untuk Sulawesi Selatan ditambah “CC”. Calabai Calalai. Untuk Jawa, ada “W-”nya, Wandu.” Sebetulnya kalau kita mau melakukan itu, kita harus disepakati bersama dan harus menjadi suatu gerakan. Bukan hanya diputuskan di satu sidang. Sebetulnya praktik wacana minoritas gender-seksual (di Indonesia) belum sampai taraf itu. Sekarang berapa kampus yang bisa secara terbuka punya kuliah tentang teori queer? Masalahnya kebanyakan dosen Indonesia adalah pegawai negeri. Mereka tidak berani macam-macam. Sebetulnya ini kontestasi pengetahuan. Namun, kalau ditarik ke yang paling esensial, ini adalah kontestasi pemaknaan atau signification, yang ada konsekuensinya pada kehidupan.
Apakah Oma pernah bertemu orang-orang di Indonesia yang menggunakan istilah lokal untuk mengidentifikasikan identitas SOGIESC-nya? Misalnya, di Sulawesi Selatan ada yang menggunakan istilah “calalai” atau “calabai” untuk mendeskripsikan dirinya?
Aku tidak tahu karena sudah lama tidak ke Sulawesi Selatan tapi aku bertemu mahasiswa Bugis terus aku tanya, “Kamu kenal calalai atau calabai?” “Kenal.” Saya cecar lagi, “Dipakai sehari-hari?” “Tidak sih, Pak.” Kemudian ini menjadi rumit karena ketika orang itu menyebut dirinya dengan istilah itu. Itu terserah dia. Apalagi ini adalah fenomena yang tidak bisa diakui dan dinyatakan secara terbuka. Sebetulnya istilah queer jadi semacam tameng. Harapannya pihak sana (yang menolak keragaman SOGIESC) tidak mengerti. So far, pihak sana tidak pakai istilah queer, jadi aman.
Kesempatan untuk mengolah wacana secara intelektual juga tidak banyak meski teman-teman berusaha. Aku curiga teman-teman queer yang terjun ke organisasi itu paling 10% dan yang lainnya they just do it. Tidak semua orang harus berorganisasi berdasarkan identitasnya.
Kalau begitu, apakah gerakan SOGIESC di Indonesia juga memiliki upaya untuk terlibat dalam memperjuangkan masyarakat adat?
Itu agak susah. Ada sektor-sektor yang enggan didekati dengan komunitas LGBT dan kadang-kadang malah, “Eits, jangan.” Misalnya orang-orang interseks. Orang-orang beridentitas indigenous ini, yang kita sadari bahwa identitasnya ada unsur gender tetapi bukan satu-satunya, kadang-kadang tidak mau juga didekati. Bayangkan kita di Ponorogo, ada organisasi gay di Ponorogo misalnya, lalu mendekati warok-warok. Mereka tertawa saja karena mereka menghadapi persoalan lain. Jadi, saya kira organisasi queer harus hati-hati. Biasanya bersama dengan LBH, AJI, dan SEJUK (Serikat Jurnalis Keberagaman), kita membela mereka apabila mereka dipersekusi hanya karena beda. Bedanya apa? Entah. Bissu juga pernah dilarang acaranya di mana-mana. Memang ini porsinya AMAN, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara. Namun, mereka maunya lebih membahas ke isu ekosob (ekonomi, sosial, budaya). Misalnya tanah, perihal jangan bangun tambang. Hal ini juga tergantung dinamika di ranah lokal.
Sebetulnya organisasi queer dan trans itu juga aman untuk bergabung secara interseksional dengan organisasi hak asasi manusia dan media. Kita bela bissu bukan karena dia pakai pakaian yang tidak biasa. Namun, masalahnya adalah hak dia sebagai orang yang mau melakukan ritual itu harus dijaga meski kita mungkin tidak mengerti ritualnya.
______________________
Teresa Astrid Salsabila adalah alumnus Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2022. Baca tulisan Astrid lainnya di sini.
Foto tajuk artikel ini dokumentasi penulis.