• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Perspective
  • Perihal Perkawinan Penghayat Pasca-Putusan MK 2017

Perihal Perkawinan Penghayat Pasca-Putusan MK 2017

  • Perspective
  • 6 September 2019, 20.11
  • Oleh: CRCS UGM
  • 0

Perihal Perkawinan Penghayat Pasca-Putusan MK 2017

Anna Amalia – 6 September 2019

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2017 mengenai inkonstitusionalitas pengosongan kolom agama di KTP bagi penghayat kepercayaan secara umum telah membawa dampak signifikan dalam pelayanan administrasi yang setara bagi komunitas penghayat.

Namun, Putusan MK itu sendiri tidak dapat mengatasi persoalan-persoalan penghayat dengan paripurna tanpa tindak lanjut minimal di dua tingkat. Yakni, (1) di tingkat pemerintahan dengan sosialisasi kebijakan yang optimal dan harmonisasi peraturan, baik yang normatif maupun teknis; dan (2) di tingkat masyarakat dan organisasi sipil dengan advokasi inklusi sosial.

Persoalan yang memerlukan tindak lanjut lagi itu masih tampak, misalnya, dalam administrasi pencatatan perkawinan bagi warga penghayat—yang menjadi fokus tulisan ini. Regulasi terkait pencatatan perkawinan penghayat masih menyisakan masalah, pertama di tataran teknis administratif, yang kurang memberikan pengakuan penuh terhadap warga penghayat tertentu, dan kedua di tataran norma hukum, yang problemnya bisa ditarik hingga ke UU Perkawinan 1974.

Persoalan pendaftaran

Sejak UU Adminisitrasi Kependudukan (Adminduk) 2006 diberlakukan, penghayat kepercayaan sebenarnya sudah bisa mencatatkan perkawinan mereka dengan prosedur khusus. Peraturan Pemerintah (PP) 23/2007, yang menindaklanjuti UU Adminduk 2006, menguraikan persyaratan pencatatan perkawinan untuk penghayat. Pasca-Putusan MK, terbit PP 40/2019 yang isinya secara umum sama saja dengan PP 23/2007, yakni bahwa perkawinan penghayat dilakukan (1) di hadapan pemuka penghayat kepercayaan yang (2) ditunjuk oleh organisasi penghayat dan (3) organisasi itu terdaftar pada kementerian yang bertugas membina organisasi penghayat kepercayaan. Sejak 2007, banyak penghayat yang mencatatkan perkawinannya dengan cara itu, dan secara umum berjalan efektif.

Persoalannya ialah banyak warga penghayat yang tidak berafiliasi dengan organisasi terdaftar. Bahkan ada sebagian yang memeluk kepercayaan leluhur tanpa memiliki nama resmi bagi kepercayaan itu. Dalam kasus demikian, banyak penghayat yang tak berorganisasi ini melaksanakan perkawinan di hadapan pemuka organisasi penghayat lain. Teman penulis, misalnya, menganut kepercayaan yang ia sebut Kapitayan. Namun, karena pengikut kepercayaan ini tak berorganisasi dan kepercayaannya tidak terdaftar resmi di catatan negara, ia menuliskan dirinya sebagai anggota Sumarah Purbo agar dapat dicatatkan. Dalam kasus lain, seperti di Bali, penghayat yang tak berorganisasi dapat melangsungkan perkawinan di hadapan pemuka penghayat baik yang terdaftar maupun tidak, namun tetap dapat dicatatkan berkat koordinasi yang baik antara Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI) Bali dengan dinas setempat.

PP 40/2019 merupakan wujud tanggung jawab negara atas hak kebebasan beragama kelompok penghayat sebagaimana dimandatkan dalam Pasal 29 UUD 1945. Ini merupakan satu capaian menuju tatanan hukum yang lebih inklusif.

Persoalan administrasi yang masih ada, harus dikembalikan pada prinsip pelayanan publik sebagaimana tertuang dalam UU No.25 Tahun 2009, dimana untuk perlindungan dan kepastian hukum, maka penyelenggaraan pelayanan publik harus berkualitas, cepat, mudah, terjangkau, dan terukur, serta mengakomodir kebutuhan yang khusus dan berbeda dari kelompok rentan. Sepanjang diperlukan, penyelenggara pelayanan publik dapat mengambil langkah-langkah afirmatif demi menjamin warga negara dalam hal ini kelompok penghayat dapat terlayani dengan baik. Cara pandang ini penting untuk dipahami oleh seluruh penyelenggara pelayanan publik.

Persoalan norma

Di luar persoalan teknis, khusus menyangkut pencatatan perkawinan penghayat, paradigma hukum perkawinan di Indonesia yang berdasarkan pada UU Perkawinan 1974 memerlukan catatan khusus. Sebelum disahkannya UU ini, perkawinan berdasar pada berbagai ordonansi Catatan Sipil yang mengakui beragam hukum, termasuk golongan Eropa, Cina, Kristen, perkawinan campuran dan, yang paling relevan di sini, perkawinan berdasarkan hukum adat. UU Perkawinan 1974 kemudian melakukan ‘unifikasi’ terhadap pelbagai hukum ini dengan menyatakan di Pasal 2(1) bahwa “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.

Frasa “agamanya dan kepercayaannya” di UU ini menimbulkan ambiguitas: apakah kepercayaan di situ bermakna kepercayaan berdasar agama atau merujuk spesifik ke aliran kepercayaan. Karena ambiguitas ini, pada praktiknya di zaman Orde Baru, ada penghayat yang dicatatkan; ada pula penghayat yang ditolak pencatatannya di Kantor Catatan Sipil (KCS).

Di era Orde Baru, di wilayah administratif yang mengikuti penafsiran bahwa perkawinan hanya sah dengan aturan agama dan di depan pemuka agama yang diakui, banyak penghayat yang ‘pindah’ agama di permukaan atau untuk sementara saja guna melegalkan perkawinan mereka dalam catatan negara. Studi Zezen Muttaqin (2014) mengenai penganut Agama Djawa Sunda (ADS) mencatat banyak penganut ADS dulu yang menulis salah satu agama yang diakui (utamanya Islam atau Katolik) di kartu identitas agar perkawinan mereka bisa dicatatkan di KCS, sementara sehari-harinya tetap memeluk kepercayaan ADS.

Di akhir masa Orde Baru sebenarnya topik tentang bagaimana memaknai “agama dan kepercayaan” di UU Perkawinan sempat mencuat jadi diskursus publik. Pemicunya saat itu, sebagaimana didokumentasikan Heru Susetyo (2017), ialah peristiwa pada 1997 ketika pasangan Gumirat Barna Alam dan Susilawati melangsungkan perkawinan dengan adat Sunda tanpa prosesi keagamaan menurut agama yang diakui. Saat pasangan itu mengajukan pencatatan perkawinan di KCS Jakarta Timur, KCS menolaknya dengan alasan bahwa tata cara perkawinan berdasarkan aliran kepercayaan tak diakui oleh UU Perkawinan 1974. Pasangan itu kemudian menggugat KCS Jaktim ke PTUN Jakarta, dan PTUN memenangkan gugatan itu. Berkat pemberitaan media atas peristiwa ini, muncul debat para ahli hukum mengenai apakah UU Perkawinan (seharusnya) mengakomodasi juga perkawinan penghayat.

Dalam catatan Susetyo, tak banyak ahli hukum saat itu yang berpandangan bahwa kepercayaan di UU Perkawinan 1974 merujuk ke aliran kepercayaan. Sebagian besar ahli hukum yang pendapatnya dikutip Susetyo menyebutkan bahwa kepercayaan di UU Perkawinan 1974 itu berarti kepercayaan agama. Jadi, jika dibaca dengan tafsiran ini, Pasal 2(1) akan berbunyi, “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan(agamanya)nya itu”. Pendapat ini didasarkan pada pandangan sejumlah perumus Pasal 29 di UUD 45 bahwa kepercayaan di pasal ini berarti kepercayaan agama; serta pada GBHN dalam TAP MPR 1978 dan Surat Edaran Menteri Agama 4/1978 yang pada intinya menyatakan bahwa aliran kepercayaan bukanlah agama, dan lebih merupakan warisan budaya.

Dalam satu dasawarsa terakhir, sejak perkawinan penghayat diakui pada 2007, dan lebih dikuatkan lagi pengakuan ini dengan Putusan MK 2017, kita belum melihat kasus besar penolakan pencatatan perkawinan penghayat. Secara faktual, penghayat dapat mencatatakan perkawinannya sepanjang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh peraturan pelaksana dari regulasi terkait.

Hanya saja, paling tidak secara teoretis, penolakan pencatatan perkawinan penghayat secara potensial masih ada, khususnya bila mengingat bahwa pemahaman norma dalam UU Perkawinan belum ditegaskan untuk diubah. Putusan MK 2017 itu, yang melihat UU Adminduk dalam terang Pasal 28 dan 29 UUD 45, menegaskan bahwa agama dan kepercayaan berbeda tapi setara, sehingga negara wajib menjamin pemenuhan hak beragama dan berkepercayaan dan haram mendiskriminasi penghayat kepercayaan. Nah, pertanyaannya kemudian, yang belum bisa penulis jawab tuntas, ialah: apakah Putusan MK ini bisa mengubah makna dan paradigma yang mendasari frasa “agama dan kepercayaan” dalam UU Perkawinan 1974?

____________

Penulis, Anna Amalia, adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2019.

Baca laporan mutakhir CRCS (2019): Merangkul Penghayat Kepercayaan melalui Advokasi Inklusi Sosial

Gambar header: Empat saksi penghayat kepercayaan dalam uji materi UU Adminduk di Mahkamah Konstitusi, Jakarta. ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf

Tags: anna amalia penghayat kepercayaan

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

K O S M O P O L I S Kosmo bermakna semesta, sement K O S M O P O L I S
Kosmo bermakna semesta, sementara polis itu mengacu pada kota yang seupil. Sungguh istilah oksimoron dengan daya khayal maksimal. Namun, nyatanya, yang kosmopolis itu sudah hadir sejak dulu dan Nusantara adalah salah satu persimpangan kosmopolis paling ramai sejagad. Salah satu jejaknya ialah keberadaan Makco di tanah air. Ia bukan sekadar dewa samudra, melainkan kakak perempuan yang mengayomi saudara-saudara jauhnya. Tak heran, ketika sang kakak berpesta, saudara-saudara jauh itu ikut melebur dan berdendang dalam irama kosmopolis. Seperti di Lasem beberapa waktu silam, Yalal Wathon dinyanyikan secara koor oleh masyarakat keturunan tionghoa dan para santri dengan iringan musik barongsai. Klop!

Simak ulasan @seratrefan tentang makco di situs web crcs!
At first glance, religious conversion seems like a At first glance, religious conversion seems like a one-way process: a person converts to a new religion, leaving his old religion. In fact, what changes is not only the person, but also the religion itself. The wider the spread of religion from its place of origin, the more diverse the face of religion becomes. In fact, it often gives birth to variants of local religious expressions or even "new" religions. On the other hand, the Puritan movement emerged that wanted to curb and eradicate this phenomenon. But everywhere there has been a reflux, when people became disaffected with Puritan preachers and tried to return to what they believed their religion was before.

Come and join the #wednesdayforum discussion  at the UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
D H A R M A Dunia ini adalah tempat kita tinggal, D H A R M A
Dunia ini adalah tempat kita tinggal, tempat kita berbagi, dan tempat semua makhluk berada. Sabbe satta bhavantu sukhitatta, semoga semua makhluk hidup berbahagia. Sadhu, sadhu, sadhu
Experience "Moving with Dharma," a unique practice Experience "Moving with Dharma," a unique practice as research performance that creatively explores Buddhist teachings in the context of contemporary Indonesia. This event blends music and dance to offer new perspectives on Dharma.

Happening on Saturday, May 17th, 2025, from 7 to 9 PM WIB at Balai Budaya Minomartani.

Witness the talents of performers M Rhaka Katresna (CRCS UGM), Victorhugo Hidalgo (Gnayaw Puppet), Gutami Hayu Pangastuti (Independent Researcher-Artist), and Sakasatiya (Music Presentation, ISI Yogyakarta). The evening will be guided by MC Afkar Aristoteles M (CRCS UGM).

The event also includes welcoming remarks by Samsul Maarif (CRCS UGM) and Ahmad Jalidu (Paradance Platform), an introduction to "Buddhism in Modern Asia" by Yulianti (CRCS UGM), and a discussion moderated by Ayu Erviana (CRCS UGM) with responders Nia Agustina (Paradance Platform) and Rahmad Setyoko (ICRS UGM).

This presentation is a collaboration between CRCS UGM, ICRS, and Paradance Platform, and is part of the final term project for "Buddhism in Modern Asia" and a group research project on "Interreligious Dialogue."

#MovingWithDharma #BuddhistTeachings #ContemporaryIndonesia #MusicAndDance #PerformanceArt #DharmaDiscussion #BalaiBudayaMinomartani #YogyakartaEvents #AcademicResearch #ArtAndSpirituality
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju