Perihal Perkawinan Penghayat Pasca-Putusan MK 2017
Anna Amalia – 6 September 2019
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2017 mengenai inkonstitusionalitas pengosongan kolom agama di KTP bagi penghayat kepercayaan secara umum telah membawa dampak signifikan dalam pelayanan administrasi yang setara bagi komunitas penghayat.
Namun, Putusan MK itu sendiri tidak dapat mengatasi persoalan-persoalan penghayat dengan paripurna tanpa tindak lanjut minimal di dua tingkat. Yakni, (1) di tingkat pemerintahan dengan sosialisasi kebijakan yang optimal dan harmonisasi peraturan, baik yang normatif maupun teknis; dan (2) di tingkat masyarakat dan organisasi sipil dengan advokasi inklusi sosial.
Persoalan yang memerlukan tindak lanjut lagi itu masih tampak, misalnya, dalam administrasi pencatatan perkawinan bagi warga penghayat—yang menjadi fokus tulisan ini. Regulasi terkait pencatatan perkawinan penghayat masih menyisakan masalah, pertama di tataran teknis administratif, yang kurang memberikan pengakuan penuh terhadap warga penghayat tertentu, dan kedua di tataran norma hukum, yang problemnya bisa ditarik hingga ke UU Perkawinan 1974.
Persoalan pendaftaran
Sejak UU Adminisitrasi Kependudukan (Adminduk) 2006 diberlakukan, penghayat kepercayaan sebenarnya sudah bisa mencatatkan perkawinan mereka dengan prosedur khusus. Peraturan Pemerintah (PP) 23/2007, yang menindaklanjuti UU Adminduk 2006, menguraikan persyaratan pencatatan perkawinan untuk penghayat. Pasca-Putusan MK, terbit PP 40/2019 yang isinya secara umum sama saja dengan PP 23/2007, yakni bahwa perkawinan penghayat dilakukan (1) di hadapan pemuka penghayat kepercayaan yang (2) ditunjuk oleh organisasi penghayat dan (3) organisasi itu terdaftar pada kementerian yang bertugas membina organisasi penghayat kepercayaan. Sejak 2007, banyak penghayat yang mencatatkan perkawinannya dengan cara itu, dan secara umum berjalan efektif.
Persoalannya ialah banyak warga penghayat yang tidak berafiliasi dengan organisasi terdaftar. Bahkan ada sebagian yang memeluk kepercayaan leluhur tanpa memiliki nama resmi bagi kepercayaan itu. Dalam kasus demikian, banyak penghayat yang tak berorganisasi ini melaksanakan perkawinan di hadapan pemuka organisasi penghayat lain. Teman penulis, misalnya, menganut kepercayaan yang ia sebut Kapitayan. Namun, karena pengikut kepercayaan ini tak berorganisasi dan kepercayaannya tidak terdaftar resmi di catatan negara, ia menuliskan dirinya sebagai anggota Sumarah Purbo agar dapat dicatatkan. Dalam kasus lain, seperti di Bali, penghayat yang tak berorganisasi dapat melangsungkan perkawinan di hadapan pemuka penghayat baik yang terdaftar maupun tidak, namun tetap dapat dicatatkan berkat koordinasi yang baik antara Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI) Bali dengan dinas setempat.
PP 40/2019 merupakan wujud tanggung jawab negara atas hak kebebasan beragama kelompok penghayat sebagaimana dimandatkan dalam Pasal 29 UUD 1945. Ini merupakan satu capaian menuju tatanan hukum yang lebih inklusif.
Persoalan administrasi yang masih ada, harus dikembalikan pada prinsip pelayanan publik sebagaimana tertuang dalam UU No.25 Tahun 2009, dimana untuk perlindungan dan kepastian hukum, maka penyelenggaraan pelayanan publik harus berkualitas, cepat, mudah, terjangkau, dan terukur, serta mengakomodir kebutuhan yang khusus dan berbeda dari kelompok rentan. Sepanjang diperlukan, penyelenggara pelayanan publik dapat mengambil langkah-langkah afirmatif demi menjamin warga negara dalam hal ini kelompok penghayat dapat terlayani dengan baik. Cara pandang ini penting untuk dipahami oleh seluruh penyelenggara pelayanan publik.
Persoalan norma
Di luar persoalan teknis, khusus menyangkut pencatatan perkawinan penghayat, paradigma hukum perkawinan di Indonesia yang berdasarkan pada UU Perkawinan 1974 memerlukan catatan khusus. Sebelum disahkannya UU ini, perkawinan berdasar pada berbagai ordonansi Catatan Sipil yang mengakui beragam hukum, termasuk golongan Eropa, Cina, Kristen, perkawinan campuran dan, yang paling relevan di sini, perkawinan berdasarkan hukum adat. UU Perkawinan 1974 kemudian melakukan ‘unifikasi’ terhadap pelbagai hukum ini dengan menyatakan di Pasal 2(1) bahwa “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
Frasa “agamanya dan kepercayaannya” di UU ini menimbulkan ambiguitas: apakah kepercayaan di situ bermakna kepercayaan berdasar agama atau merujuk spesifik ke aliran kepercayaan. Karena ambiguitas ini, pada praktiknya di zaman Orde Baru, ada penghayat yang dicatatkan; ada pula penghayat yang ditolak pencatatannya di Kantor Catatan Sipil (KCS).
Di era Orde Baru, di wilayah administratif yang mengikuti penafsiran bahwa perkawinan hanya sah dengan aturan agama dan di depan pemuka agama yang diakui, banyak penghayat yang ‘pindah’ agama di permukaan atau untuk sementara saja guna melegalkan perkawinan mereka dalam catatan negara. Studi Zezen Muttaqin (2014) mengenai penganut Agama Djawa Sunda (ADS) mencatat banyak penganut ADS dulu yang menulis salah satu agama yang diakui (utamanya Islam atau Katolik) di kartu identitas agar perkawinan mereka bisa dicatatkan di KCS, sementara sehari-harinya tetap memeluk kepercayaan ADS.
Di akhir masa Orde Baru sebenarnya topik tentang bagaimana memaknai “agama dan kepercayaan” di UU Perkawinan sempat mencuat jadi diskursus publik. Pemicunya saat itu, sebagaimana didokumentasikan Heru Susetyo (2017), ialah peristiwa pada 1997 ketika pasangan Gumirat Barna Alam dan Susilawati melangsungkan perkawinan dengan adat Sunda tanpa prosesi keagamaan menurut agama yang diakui. Saat pasangan itu mengajukan pencatatan perkawinan di KCS Jakarta Timur, KCS menolaknya dengan alasan bahwa tata cara perkawinan berdasarkan aliran kepercayaan tak diakui oleh UU Perkawinan 1974. Pasangan itu kemudian menggugat KCS Jaktim ke PTUN Jakarta, dan PTUN memenangkan gugatan itu. Berkat pemberitaan media atas peristiwa ini, muncul debat para ahli hukum mengenai apakah UU Perkawinan (seharusnya) mengakomodasi juga perkawinan penghayat.
Dalam catatan Susetyo, tak banyak ahli hukum saat itu yang berpandangan bahwa kepercayaan di UU Perkawinan 1974 merujuk ke aliran kepercayaan. Sebagian besar ahli hukum yang pendapatnya dikutip Susetyo menyebutkan bahwa kepercayaan di UU Perkawinan 1974 itu berarti kepercayaan agama. Jadi, jika dibaca dengan tafsiran ini, Pasal 2(1) akan berbunyi, “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan(agamanya)nya itu”. Pendapat ini didasarkan pada pandangan sejumlah perumus Pasal 29 di UUD 45 bahwa kepercayaan di pasal ini berarti kepercayaan agama; serta pada GBHN dalam TAP MPR 1978 dan Surat Edaran Menteri Agama 4/1978 yang pada intinya menyatakan bahwa aliran kepercayaan bukanlah agama, dan lebih merupakan warisan budaya.
Dalam satu dasawarsa terakhir, sejak perkawinan penghayat diakui pada 2007, dan lebih dikuatkan lagi pengakuan ini dengan Putusan MK 2017, kita belum melihat kasus besar penolakan pencatatan perkawinan penghayat. Secara faktual, penghayat dapat mencatatakan perkawinannya sepanjang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh peraturan pelaksana dari regulasi terkait.
Hanya saja, paling tidak secara teoretis, penolakan pencatatan perkawinan penghayat secara potensial masih ada, khususnya bila mengingat bahwa pemahaman norma dalam UU Perkawinan belum ditegaskan untuk diubah. Putusan MK 2017 itu, yang melihat UU Adminduk dalam terang Pasal 28 dan 29 UUD 45, menegaskan bahwa agama dan kepercayaan berbeda tapi setara, sehingga negara wajib menjamin pemenuhan hak beragama dan berkepercayaan dan haram mendiskriminasi penghayat kepercayaan. Nah, pertanyaannya kemudian, yang belum bisa penulis jawab tuntas, ialah: apakah Putusan MK ini bisa mengubah makna dan paradigma yang mendasari frasa “agama dan kepercayaan” dalam UU Perkawinan 1974?
____________
Penulis, Anna Amalia, adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2019.
Baca laporan mutakhir CRCS (2019): Merangkul Penghayat Kepercayaan melalui Advokasi Inklusi Sosial
Gambar header: Empat saksi penghayat kepercayaan dalam uji materi UU Adminduk di Mahkamah Konstitusi, Jakarta. ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf