Gde Dwitya Arief Metera | CRCS | Perspektif
[Tulisan ini adalah terjemahan dari tulisan aslinya dalam bahasa Inggris: Problems with Indonesia’s Religious Democracy]
Salah satu perbincangan penting yang muncul setelah dakwaan penodaan agama dijatuhkan kepada mantan gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) adalah perihal masa depan demokrasi Indonesia. Jeremy Menchik berargumen bahwa kasus tersebut tidak serta merta menunjukkan kalau demokrasi Indonesia sedang berada di ambang kejatuhan menjadi teokrasi yang otoritarian. Menurutnya, kasus ini semata-mata adalah dinamika wajar dari demokrasi Indonesia yang sifatnya religius di mana kaum beragama yang moderat dan kaum beragama yang militan sedang berkompetisi perihal sejauh mana nilai dan praktik keagamaan dapat ditegakkan di ruang publik.
Mengikuti alur berpikir para pendukung ide demokrasi religius (religious democracy) ini, politik keagamaan tidak niscaya mengancam demokrasi. Demokrasi akan tetap terjaga selama klaim-klaim keagamaan atas ruang publik disalurkan lewat prosedur yang demokratis dan bukan lewat kontrol langsung pemuka agama atas keputusan politik. Dalam demokrasi religius, masyarakat bisa berbeda pendapat mengenai banyak hal namun mereka umumnya bersetuju tentang peran negara yang selayaknya memfasilitasi keberagamaan masyarakat. Kesimpulan yang bisa ditarik dari argumen semacam ini cukup jelas: pesimisme kita akan masa depan demokrasi Indonesia perlu dipikirkan ulang.
Argumen di atas sayangnya cenderung mengaburkan persoalan penting terkait apa yang sedang dipertaruhkan jika negara terlibat memfasilitasi keberagamaan masyarakat. Zainal Abidin Bagir telah mengingatkan kita perihal persoalan ini: yang menjadi masalah bukanlah konservatisme beragama di masyarakat atau adanya kekuatan sosial yang memperjuangkan klaim keagamaan dalam politik Indonesia. Dua hal ini tidaklah baru dalam politik Indonesia dan belum tentu tidak demokratis. Yang menjadi masalah sebenarnya adalah potensi kekerasan yang menyertai klaim-klaim keagamaan di ruang publik. Potensi kekerasan ini dapat mengancam demokrasi jika klaim keagamaan tersebut disalurkan lewat pemaksaan di luar prosedur politik demokratis.
Kita bisa beranjak lebih jauh menggarisbawahi poin penting perihal ancaman kekerasan dalam demokrasi di atas. Kita dapat berargumen bahwa dengan keberhasilan mengajukan klaim keagamaan di ruang publik, semisal dalam usaha-usaha menegakkan kepercayaan dan praktik keagamaan menjadi pasal hukum, kita secara implisit melibatkan aspek kekerasan. Dengan menjadikan kepercayaan dan praktik keagamaan produk hukum dan pasal dalam undang-undang, kita telah melibatkan kapasitas kekerasan negara dalam kehidupan beragama. Perbedaan yang muncul selepas diundangkannya nilai atau praktik keagamaan sangatlah jelas: praktik keberagamaan masyarakat bergeser dari semula sukarela menjadi dipaksakan lewat kapasitas kekerasan negara.
Jika kepercayaan dan praktik keagamaan yang diundangkan kebetulan sifatnya inklusif dan diterima lewat prosedur demokratis maka benar sekali bahwa mobilisasi klaim keagamaan di ruang publik tidak mengancam demokrasi. Namun peraturan negara yang bersifat keagamaan tersebut akan bersifat tidak demokratis jika ia sifatnya eksklusif dan melanggar hak-hak yang seyogianya dapat dinikmati oleh baik warga negara beragama lain maupun minoritas non-religius.
Ketika kepercayaan dan praktik keagamaan yang sifatnya eksklusif menjadi undang-undang dan ditopang oleh kapasitas kekerasan negara, kita kemudian menghadapi permasalahan ganda: eksklusi dan koersi, alias pengucilan dan pemaksaan lewat kekerasan. Singkatnya, kita bisa saja menyaksikan legalisasi intoleransi lewat prosedur demokratis. Pertanyaan berikutnya tentu saja apakah demokrasi masih mempunyai makna dalam situasi tersebut. Bahkan dalam definisi demokrasi yang minimalis, yaitu definisi demokrasi prosedural, inklusi adalah salah satu elemen utama dalam demokrasi. Permasalahan terkait eksklusi dan koersi, alias pengucilan dan pemaksaan lewat kekerasan negara, adalah dua kemungkinan yang sangat mengkhawatirkan dalam demokrasi religius.
Pasal penodaan agama dapat menjadi studi kasus yang berguna mengilustrasikan situasi pengucilan dan pemaksaan ini. Pasal ini di satu sisi dapat dimaknai sebagai sebentuk dukungan negara pada masyarakat yang taat beragama di mana sebuah nilai keagamaan dijadikan undang-undang. Jika pasal ini dikeluarkan lewat prosedur demokratis dan tidak semena-mena digunakan untuk meminggirkan hak berbeda pendapat warga negara beragama lain ataupun minoritas non-relijius, maka benarlah bahwa ia belum tentu tidak demokratis. Namun di saat yang sama, pasal penodaan agama dapat pula menjadi sebentuk eksklusi ketika ia digunakan untuk mencegah munculnya pendapat non-ortodoks perihal kepercayaan dan praktik beragama dalam ruang publik yang seyogyanya inklusif. Secara teoretis, tuduhan penodaan agama dapat digunakan untuk meminggirkan mereka yang kebetulan mempunyai pandangan alternatif mengenai permasalahan keagamaan. Perbedaan pendapat dalam permasalahan keagamaan tidaklah sama dengan penodaan agama ataupun hate speech. Ketika masyarakat mempunyai perbedaan pendapat perihal apakah suatu kasus benar-benar kasus penodaan agama, kita menyaksikan contoh konkrit dari adanya pendapat alternatif mengenai permasalahan keagamaan. Dalam demokrasi, perbedaan pendapat ini seharusnya diakomodasi.
Eksklusi sebagai elemen tidak demokratis yang dapat ditemui dalam pasal penodaan agama membutuhkan perhatian yang serius. Melihat lebih dekat pasal penodaan agama secara global, data menunjukkan bahwa pasal ini ditemukan di rezim demokratis maupun rezim otoritarian. PEW Research Center melaporkan di tahun 2012 bahwa ada 32 negara yang memiliki pasal penodaan agama. Dari 32 negara tersebut memang ada negara-negara yang sangat demokratis seperti Indonesia, India, dan bahkan demokrasi Barat seperti Jerman, Belanda, dan Yunani. Tanpa memasukkan Malta, Maldives, dan Western Sahara yang tidak memiliki skor POLITY IV, 62% dari negara yang memiliki pasal penodaan agama adalah negara-negara yang tidak demokratis (memiliki skor di bawah 6) dibandingkan dengan hanya 38% dari negara tersebut yang demokratis (memiliki skor di atas 6). Rata-rata skor POLITY IV dari seluruh negara yang memiliki pasal penodaan agama adalah 1,4 yang berarti banyak negara otoritarian (memiliki skor minus tinggi, semisal -10) yang mengurangi skor dari negara demokratis. Asosiasi yang dimiliki oleh pasal penodaan agama dengan rezim non-demokratis dan juga rezim demokratis mengindikasikan bahwa pasal ini bisa digunakan untuk tujuan berbeda-beda, dengan efek yang berbeda-beda, dan juga mungkin berasal dari prosedur non-demokratis. Tidak ada jaminan bahwa pasal ini akan digunakan dengan semestinya untuk melindungi masyarakat yang religius dari penodaan agama dan bukan untuk mengucilkan pendapat alternatif mengenai permasalahan keagamaan dari ruang publik yang demokratis.
Merebaknya kasus-kasus pasal penodaan agama di Indonesia dapat dilihat sebagai indikasi permasalahan eksklusi dalam demokrasi religius. Warga negara beragama minoritas adalah kebanyakan korban dari pasal penodaan agama ini. Terlebih lagi, data yang tersedia mengenai kasus-kasus penodaan agama di Indonesia yang dilaporkan oleh empat studi yang berbeda memperlihatkan tren yang mengkhawatirkan. Angka-angka yang dilaporkan oleh keempat studi memang bervariasi, namun mereka bersepakat akan satu hal: angka-angka ini meningkat seiring dengan terkonsolidasinya demokrasi di Indonesia. Ironisnya, peningkatan ini sangat kontras dengan situasi zaman Orde Baru di mana kasus yang terjadi jauh lebih jarang dan sedikit. Jumlah insiden pasal penodaan agama yang dilaporkan di zaman Orde Baru bervariasi namun total kasus yang dilaporkan paling sedikit 3 kasus dan paling banyak 10 kasus dalam rentang waktu 3 dekade. Jumlah ini sangat jauh dari total kasus di era demokrasi yang sudah mencapai 65 kasus hanya dalam rentang waktu satu dekade lebih. Arah dan tren dari kasus pasal penodaan agama karenanya mengindikasikan tumbuhnya permasalahan serius dalam demokrasi Indonesia yang religius. Permasalahan ini membuat demokrasi Indonesia tampak lebih dekat dengan kubu illiberal democracy—dalam artian secara prosedural demokratis namun sangat kurang dalam hal substansi toleransi dan kebebasan dalam level individual maupun komunal—alih-alih mendekati kubu demokrasi religius yang toleran.
Di samping persoalan terkait pasal penodaan agama, demokrasi religius di Indonesia juga kewalahan menghadapi persoalan kekerasan seperti yang tercermin dalam insiden kekerasan atas nama agama yang ditemukan di berbagai daerah. Data yang tersedia dari Sistem Nasional Pemantau Kekerasan (SNPK) menunjukkan peningkatan jumlah kasus kekerasan atas nama agama selepas demokratisasi dan peningkatan sangat tajam di beberapa tahun terakhir. SNPK mendokumentasikan kasus-kasus di mana pemicu kekerasan adalah isu keagamaan internal atau antar agama. Kemunculan dan peningkatan kasus-kasus ini sangat mengkhawatirkan karena ia mengindikasikan keberadaan prosedur demokratis untuk menyelesaikan konflik tidak serta-merta menjamin turunnya kasus kekerasan atas nama agama. Sebagaimana pelajar demokrasi maklumi, kelebihan demokrasi dibandingkan rezim yang lain adalah kemampuannya untuk memfasilitasi transisi kekuasaan dengan tanpa kekerasan. Tentu saja penyebab munculnya kekerasan atas nama agama jauh lebih kompleks dari sekedar tipe rezim. Namun meningkatnya kasus kekerasan atas nama agama di dalam demokrasi tetap saja adalah persoalan serius.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk memprediksi masa depan yang suram untuk demokrasi religius di Indonesia. Tentu saja dibutuhkan data dan analisis yang lebih mendalam untuk melakukan hal tersebut. Sebaliknya, tulisan ini ditujukan untuk membatasi pandangan yang seringkali terlalu optimis dalam membahas prospek demokrasi religius di Indonesia. Adalah satu hal untuk berpandangan bahwa Indonesia tidak perlu mengikuti model demokrasi sekuler ala Barat untuk tetap menjadi demokratis. Namun untuk menyatakan bahwa demokrasi religius ala Indonesia akan serta-merta menjadi toleran dan inklusif adalah hal lain lagi yang tampaknya belum didukung oleh data memadai. Data yang tersedia saat ini justru mengindikasikan bahwa kehidupan keagamaan dan politik di era demokrasi religius ala Indonesia memiliki permasalahan serius terkait eksklusi dan koersi yang butuh untuk dicermati alih-alih dikaburkan.
Gde Dwitya Arief Metera adalah kandidat doktor di Departemen Ilmu Politik, Northwestern University. Saat ini ia menjadi peneliti tamu di CRCS Universitas Gadjah Mada, menyelesaikan penelitian tentang perkembangan relasi agama dan negara di Indonesia selepas demokratisasi.
_______________________________
Rujukan gambar:
*Figur 1: PEW Research Center Report 2012; Dataset POLITY IV.
**Figur 2: Crouch, Melissa (2012), Law & Religion in Indonesia: The Constitutional Court and the Blasphemy Law, Asian Journal of Comparative Law, p. 12; Sihombing et al (2012), Injustice in Belief: Monitoring the Result of Cases on Blasphemy of Religion and Religious Hate Speech in Indonesia, Indonesian Legal Resource Center/ILRC, p. 72; Amnesty International (2014), Prosecuting Beliefs: Indonesia’s Blasphemy Law; Basuki, Tobias & Alif Satria (2017), Instrumen Hukum Penodaan Agama dan Peraturan Bersama Menteri: Sebuah Pencegah atau Sumber Konflik, Analisis CSIS Vol. 46, No.1, p.57.
***Figur 3: Basuki & Satria (2017:58) disarikan dari data Sistem Nasional Pemantau Kekerasan (SNPK) oleh Sana Jaffrey dan Bank Dunia.