Pewarisan Narasi Konflik dan Tantangan Rekonsiliasi di Ambon
Hanry Harlen Tapotubun – 5 Agustus 2019
Narasi bertema konflik bisa menjadi pedang bermata dua bagi generasi selanjutnya (generasi pascakonflik) dalam sebuah masyarakat. Ia bisa menjadi acuan awal guna membangun kesadaran akan pentingnya rekonsiliasi dan penyembuhan trauma. Tetapi di sisi lain, ia juga rentan menghalangi proses rekonsiliasi itu bila tak dikelola dengan tepat, misalnya bila narasi itu malah dirawat untuk melestarikan segregasi sosial, kecurigaan, stigma, atau dendam kepada kelompok yang berbeda. Bagaimana mengelola warisan narasi bertema konflik memang akan menjadi salah satu tantangan terberat dalam setiap upaya rekonsiliasi.
Tantangan semacam itu masih wujud dalam pewarisan narasi konflik kepada kalangan remaja Ambon kini, yang menjadi kajian dalam tesis saya di CRCS UGM (2019). Konflik etnoreligius di Ambon 1999-2002 memakan sedikitnya 5.000 korban jiwa dan menyebabkan ratusan ribu mengungsi. Kekerasan dalam konflik ini juga melibatkan anak-anak, yang mereka kini berada di usia 20-an. Salah satu upaya peredaman konflik yang diupayakan pemerintah pada waktu itu ialah segregasi kampung-kampung berbasis agama. Bila pada mulanya Muslim-Kristen berbaur, kini kampung Muslim dan kampung Kristen dapat dibedakan jelas karena segregasi. Solusi itu memang relatif bisa mencegah kekerasan, tetapi ia punya efek samping yang mengkhawatirkan: segregasi rentan mempersubur pewarisan narasi konflik berbasis kecurigaan dan stigma. Segregasi memindah konflik dari kekerasan ke tatanan sosial-budaya masyarakat.
Tentu saja, kita tak ingin menebar pesimisme dalam upaya rekonsiliasi masyarakat Ambon setelah hampir dua dasawarsa berlalu. Namun, pewujudan cita-cita bina damai tetaplah mesti dibarengi dengan pengakuan akan tantangan yang tak ringan ini—pengakuan untuk menyadari bahwa bisa jadi masih ada api dalam sekam yang rawan membakarnya sewaktu-waktu.
Narasi konflik
Banyak narasi konflik yang terwariskan di kalangan remaja Ambon kini—yang tidak mengalami langsung konflik awal dekade lalu itu—cenderung merawat imaji tentang kekerasan alih-alih perdamaian. Dari 435 responden remaja usia 14-18 tahun di Ambon yang saya survei, tampak kentara narasi-narasi negatif dituturkan para remaja itu. Roy (15 tahun, Kristen), misalnya, membenarkan tindakan penyerangan kelompok Kristen terhadap kelompok Muslim. Ia menceritakan,
“Dulu, di wilayah Serri [tempat tinggal narasumber], penyerangan orang Serri [Kristen] terhadap pendatang Buton [Muslim] adalah tindakan mencegah mereka menyerang kami duluan, karena ada kabar mengatakan bahwa mereka telah bersiap untuk menyerang kami.”
Narasi yang terwariskan di kalangan remaja Muslim juga memperlihatkan kecenderungan yang sama: kelompok Kristen dilihat sebagai penyebab konflik, sementara kelompok Islam adalah korbannya. Gafur (16 tahun, Muslim), misalnya, menceritakan,
“Kerusuhan Ambon dulu juga terjadi di desa saya [desa Sirisori Islam]. Ibu mengatakan, kakek dan nenek menjadi korban jiwa karena terlambat lari menyelamatkan diri dari serangan orang-orang Sirisori Kristen.”
Cerita-cerita berkonotasi kelompok lain sebagai penyebab konflik sementara kelompok sendiri adalah korban juga tampak dibagi oleh banyak remaja Ambon dalam responden survei. Mamu (16 tahun, Muslim), misalnya, mengatakan bahwa konflik Ambon adalah agenda kristenisasi, sehinga menjadi keharusan untuk tetap memelihara curiga kepada pihak Kristen. Alfin (17 tahun, Kristen) dan Justin (15 tahun, Kristen) mengatakan bahwa selama konflik banyak orang Kristen yang dipaksa menjadi Muslim. Terlihat jelas bahwa narasi besar yang dipahami kalangan remaja dari kedua pihak cukup didominasi oleh narasi yang bermuatan konflik, dengan beragam cerita personal sebagai pembenaran klaim masing-masing.
Meski bukan pengalaman pribadi, melainkan “warisan” dari generasi penyintas konflik (orang tua, masyarakat sekitar rumah, dll), narasi tersebut cukup signifikan dalam membangun pola pikir segregatif antarkelompok di Ambon, khususnya di kalangan remaja. Bahkan cukup banyak dari remaja generasi pascakonflik ini yang menjadikan narasi konflik tersebut sebagai dasar pikir dalam membangun pergaulan sosial dengan kelompok lain. Hampir semua narasumber dalam survei mengutarakan pentingnya menjaga jarak terhadap mereka yang beragama lain. Beberapa bahkan menggambarkan kelompok lain sebagai “ancaman”, padahal relasi pertemanan mereka sudah cukup lama.
Penyubur narasi konflik
Sejumlah faktor konsekuensial dapat dipaparkan tentang apa yang menyebabkan pewarisan narasi konflik ini. Tatanan masyarakat yang tersegregasi tentu menjadi faktor pertama dalam hal ini. Meski konflik telah lama berlalu, segregasi tempat tinggal masih terpelihara hingga saat ini. Segregasi ini akan menyebabkan suburnya pembangunan narasi satu arah, dengan pertukaran cerita yang lebih intens hanya dari kelompok sendiri. Generasi yang tumbuh dalam kotak-kotak segregasi akan cenderung menerima pengetahuan sepihak ini.
Kedua, narasi-narasi yang berkembang dalam tatanan segregatif ini dalam tahap selanjutnya akan menjadi narasi bersama, yang oleh sebagian sarjana resolusi konflik disebut sebagai master narrative, yakni ketika narasi ini menghubungan banyak cerita dengan “gaung” yang dijalin bersama guna membangun atau melegitamasi wacana tentang sesuatu. Dalam komunitas yang homogen, narasi ini bisa naik ke level penanda identitas dan tak jarang menjadikan kelompok “yang lain” dalam narasi konflik itu sebagai musuh bersama. Dalam titik ini, segregasi yang mulanya spasial berlanjut menjadi segregasi kultural ketika pewarisan narasi oleh orang tua agar anak-anaknya “menjaga jarak” atau mencurigai kelompok lain telah dipandang normal.
Ketiga, narasi yang diwarisi generasi pascakonflik akan berlanjut pada tahap yang lebih mengakar lagi bila ia sampai dipahami sebagai “keyakinan”, khususnya bila tak dibangun ruang-ruang perjumpaan interaksi sosial heterogen. Dalam tahap ini, upaya rekonsiliasi berarti tidak hanya ditujukan untuk para penyintas konflik, melainkan juga untuk generasi selanjutnya yang terpapar narasi-narasi konflik ini.
Konternarasi
Sebagian besar narasumber survei memang masih mengadopsi narasi konflik itu, tetapi ada sebagian yang menuturkan cerita yang mengandung keinginan untuk menyudahinya. sebagai salah satu anak dari korban konflik 1999, Rahmi (16 tahun, Muslim), misalnya menceritakan kisah solidaritas sesama pengungsi dari desanya kala konflik melanda tanpa melihat latar belakang agama. Dari sisi lain, Edo (15 tahun, Kristen) menyampaikan bahwa meski orangtuanya selalu mengingatkan agar menjauhi pertemanan akrab dengan siswa Muslim di sekolahnya, ia tetap kukuh melakukannya, dengan alasan, tuturnya, “kita [remaja Ambon saat ini] punya hidup yang berbeda dengan mereka [para orang tua] yang dulu berkonflik.”
Kedua narasi terakhir menandakan bahwa generasi pascakonflik punya dinamikanya tersendiri. Ia juga sekurang-sekurangnya menandakan bahwa perjumpaan dengan teman berbeda agama di sekolah mampu melahirkan kesan dan pandangan yang berbeda dari yang dikisahkan orang tua mereka di rumah. Ruang perjumpaan heterogen inilah yang kita butuhkan saat ini di Ambon guna memproduksi lebih banyak narasi yang menguatkan rekonsiliasi dan menepis stigma-stigma negatif tentang mereka yang berbeda agama.
Memang harus kita akui, setelah hampir dua dekade, upaya-upaya dialog dan kegiatan kepemudaan lintas agama sudah banyak diinisiasi oleh beragam gerakan atau organisasi. Sejumlah pihak di pemerintah pun menyadari dampak negatif segregasi ini. Namun demikian, tanpa mengecilkan signifikasi upaya-upaya insidental dan pendekatan atas-bawah dari pemerintah, kita memerlukan ruang perjumpaan lintas agama dan etnis yang lebih organis dan mengakar secara kultural, yang keberadaannya dihalangi oleh ruang segregatif yang sudah terpelihara lama itu. Kendati ada suara-suara harapan dari sejumlah individu dan organisasi, tanpa pembudayaan ruang-ruang perjumpaan yang heterogen, suara-suara itu masih memerlukan amplifikasi guna mengalahkan “gaung” dari narasi-narasi konflik yang diceritakan di rumah-rumah.
_______________
Penulis, Hanry Harlen “Andi” Tapotubun, adalah mahasiswa CRCS angkatan 2017. Esai ini adalah adaptasi dari tesis penulis di CRCS (2019) berjudul Conflict Inheritance and Challenges of Reconciliation: Conflict Narratives and Their Impacts on Youth in Ambon.
Gambar header: Jembatan Merah Putih (JMP) di Ambon, diambil dari Wikimedia Commons. Sejumlah pemuda aktivis perdamaian di Ambon menamai komunitas mereka dengan JMP, singkatan dari Jalan Merawat Perdamaian.
Baca juga review tesis lain di CRCS mengenai konflik Ambon: The ambivalent role of religion in the Ambon conflict.