Pluralisme Agonistik: Menimbang Ulang Konsensus dan Hegemoni dalam Demokrasi
Krisharyanto Umbu Deta – 29 Maret 2021
Bagaimana mestinya kita memposisikan beragam argumentasi keagamaan dan non-keagamaan dalam sistem demokrasi? Untuk merespons pertanyaan ini, setidaknya dua nama besar dapat disebut, yaitu Abdullahi Ahmed An-Na’im dan John Rawls.
Bagi An-Na’im, argumentasi keagamaan, yang berbasis syariah misalnya, harus diterjemahkan dalam bentuk penalaran sipil (civic reason), yang dibingkai dengan konstitusionalisme, Hak Asasi Manusia, dan prinsip kewargaan, sehingga dapat ditolak maupun diterima tanpa bergantung pada aspek keagamaannya. Selaras dengan An-Na’im, Rawls menawarkan penalaran publik (public reason) sebagai bentuk diskursus deliberatif agar dapat diterima semua warga yang memiliki beragam pandangan (baik keagamaan maupun sekuler). Dengan demikian, keduanya sepakat akan pentingnya sebuah konsensus (rasional) dalam sebuah masyarakat majemuk.
Pertanyaan yang kemudian mengemuka ialah seberapa inklusif konsensus tersebut? Apakah yang menjadi tolak ukurnya adalah penalaran universal semata? Bahkan secara lebih radikal, bagaimana menempatkan kelompok-kelompok keagamaan konservatif yang ingin mempraktikkan keyakinannya secara penuh dalam konsepsi semacam ini? Lebih radikal lagi, apakah negara demokrasi memang harus selalu berkonsensus?
Untuk menguraikan pertanyaan-pertanyaan atau gugatan-gugatan tersebut, esai ini akan memaparkan pemikiran Chantal Mouffe yang secara langsung mengkritik pemikiran Rawls melalui tulisannya, The limits of John Rawls’s pluralism (2005), dan konsep pluralisme agonistik (agonistic pluralism) yang ditawarkannya dalam Agonistics: Thinking the World Politically (2013). Mouffe berpandangan bahwa dinamika dari sebuah sistem demokrasi pluralis terbentuk dari ketegangan antara konsensus mengenai prinsip-prinsip etis-politis dan disensus mengenai interpretasi terhadap prinsip-prinsip tersebut. Dalam istilah Mouffe, ini disebutnya konsensus konfliktual.
Di Indonesia, misalnya, Pancasila sebagai prinsip bernegara adalah sebuah konsensus, tetapi akan selalu ada disensus mengenai interpretasi terhadapnya. Interpretasi yang dikonsensuskan (dihomogenisasi) akan melanggengkan sebuah tafsiran yang hegemonik dan mengeksklusi beragam interpretasi lain yang berbeda, sebagaimana terjadi pada Orde Baru. (Lebih detail soal ini, baca laporan CRCS: Polemik Tafsir Pancasila)
Dengan demikian, konsensus pada ranah interpretasi akhirnya akan menyamarkan keberadaan sebuah hegemoni yang justru seharusnya diakui dalam situasi keberagaman dengan antagonisme selalu inheren didalamnya.
Kritik terhadap Pluralisme John Rawls
Klaim yang cukup sentral dalam liberalisme politik ala John Rawls adalah bahwa liberalisme bersifat politis (political) dan bukan metafisis, sehingga independen dari pandangan-pandangan partikular. Karenanya, liberalisme memerlukan pemisahanan antara ruang privat, yang di dalamnya beragam pandangan berbeda yang tak terdamaikan (irreconcilable) hadir bersama; dan ruang publik, yang di dalamnya sebuah konsensus dapat diwujudkan berdasarkan konsepsi bersama mengenai keadilan. Dengan demikian, tujuan dari liberalisme adalah mewujudkan kehidupan bersama yang damai antara beragam pandangan berbeda. Untuk tujuan tersebut, strategi yang ditawarkan oleh kebanyakan kaum liberal adalah dengan menciptakan modus vivendi atau modus procedendi untuk meregulasi konflik-konflik yang muncul dari beragam pandangan tersebut. Dalam hal ini, demokrasi dipahami sebagai sebuah bentuk prosedural yang bebas nilai atau, dengan kata lain, hanyalah metode pembuatan keputusan publik.
Titik ketidaksetujuan Mouffe terhadap konsep ini, sebagaimana disebutkan sebelumnya, terletak pada kecenderungannya untuk mengeksklusi pandangan lain yang ‘kalah’ dalam proses public reasoning tanpa mempertimbangkan kesenjangan akses kepada public reason itu sendiri dan keinginan secara naif untuk menyelesaikan konflik. Menurut Mouffe, konflik dalam sebuah negara demokrasi tidak dapat diselesaikan melalui sebuah konsensus rasional. Baginya, konsensus bukanlah sekedar persetujuan pragmatis melainkan sebuah aspirasi untuk masyarakat yang tertib (well-ordered society). Demokrasi deliberatif juga bukanlah sebuah proses prosedural atau politis semata melainkan bersifat normatif. Dengan demikian, jika sebuah konsensus rasional selalu mengeksklusi, maka tidak perlulah ia diusahakan sedemikian rupa, sebab pada hakikatnya akan selalu ada konflik, atau apa yang disebut Mouffe sebagai antagonisme.
Pluralisme Agonistik: Dari Antagonisme ke Agonisme
Agony artinya sebuah situasi konflik yang diperbolehkan, tidak disangkal keberadaannya, dan tidak perlu diatasi demi sebuah konsensus. Tujuan Mouffe disini adalah menghindari eksklusi dan mengusahakan inklusi semaksimal mungkin. Hal ini berkaitan dengan rasionalitas yang menjadi basis pluralisme Rawlsian, yang dengan mengistimewakan rasionalitas telah mengabaikan faktor sentral dari passions dan emotions dalam mewujudkan kesetiaan terhadap nilai-nilai demokrasi. Bagi Mouffe, penekanan pada penalaran (reasoning) yang mewujud dalam pembedaan antara yang reasonable dan unreasonable adalah penegasan tembok batas antara mereka yang menerima prinsip-prinsip liberal dan mereka yang menolaknya. Selain itu, penekanan yang berlebihan pada konsensus dan, pada saat yang sama, keengganan untuk berkonfrontasi akan berakibat pada ketidakpuasan dan sikap apatis terhadap partisipasi politik.
Lebih jauh, Mouffe memetakan pembedaan antara yang politis (the political) dan politik (politics) itu sendiri untuk menguji kembali model politik demokrasi liberal. Baginya, the political adalah dimensi antagonisme yang selalu ada dalam interaksi manusia sehingga tidak boleh dihapus dengan konsensus. Semntara itu, politics adalah seperangkat praktik, diskursus, dan institusi yang mengatur kehidupan dalam kondisi yang selalu konfliktual. Fungsi dari politik adalah berhadapan dengan ‘lawan’ (adversary) dan bukan menyingkirkan mereka. Politik berusaha untuk mewujudkan persatuan (unity) atau apa yang disebut sebagai ke-kita-an (an us) dalam konteks keberagaman yang konfliktual itu.
Jika antagonisme melihat yang lain sebagai musuh (enemies), agonisme melihat yang lain sebagai lawan (adversaries) yang idenya dapat didebat, tetapi haknya untuk mempertahankan ide tersebut tidak boleh diganggu. Untuk itu, the political harus berusaha untuk menyediakan sarana berekspresi demi mengubah antagonisme menjadi agonisme. Dengan demikian, terwujudnya sebuah demokrasi tergantung pada konfrontasi agonistik yang terjadi di dalamnya. Dalam demokrasi, konsensus hanya diperlukan untuk hal-hal yang bersifat prinsipil seperti konsep keadilan, kebebasan, dan kesetaraan. Selain daripada itu, konsensus konfliktual harus menyediakan ruang bagi beragam model interpretasi seperti interpretasi liberal, konservatif, sosio-demokratis, dan lain-lain. Bahaya dari ketiadaan konflik-konflik politis semacam itu adalah timbulnya bentrokan politik identitas. Sebagaimana ditegaskan Mouffe, setiap identitas mesti dipahami sebagai suatu hal yang relasional dan afirmasi terhadap perbedaan adalah sebuah prasyarat bagi eksistensi sebuah identitas.
Demokrasi Radikal
Bagi Mouffe, agonisme harus meradikalisasi demokrasi tanpa rekonsiliasi akhir. Radikalisasi ini dilakukan dengan mengakui kenyataan keberagaman yang ada, menantang hegemoni, dan memastikan ketersediaan pilihan-pilihan.
Pertama, ketika demokrasi liberal dan deliberatif berusaha membangun konsensus dengan cara menekan pandangan-pandangan berbeda yang kalah dalam proses reasoning, demokrasi radikal tidak hanya menerima perbedaan, ketidaksepakatan, dan antagonisme, tetapi bahkan bergantung sepenuhnya terhadap hal-hal tersebut.
Kedua, demokrasi radikal mengasumsikan bahwa setiap orde selalu merupakan sebuah ekspresi dari konfigurasi partikular sebuah relasi kuasa. Artinya hegemoni akan selalu ada. Adanya relasi kuasa yang bersifat menekan ini harus ditampakkan, dinegosiasikan kembali, dan diubah. Dengan merawat perbedaan dan ketidaksepakatan dalam demokrasi, hegemoni semacam ini dapat menampilkan dirinya secara terbuka sehingga dapat ditantang dan digugat.
Ketiga, pengakuan akan keberbedaan dan hegemoni memberikan pilihan-pilihan bagi warga untuk bernegosiasi bahkan menggugat hegemoni tersebut untuk ditransformasi dan diganti dengan bentuk hegemoni baru yang kemudian secara sirkular akan digugat kembali. Dengan demikian, jika demokrasi menghindari atau menafikan realitas-realitas ini, maka tidak akan muncul kesempatan untuk menantang hegemoni dominan dan mentransformasi relasi kuasa yang sedang berlangsung.
Politik Agama dan Ekonomi di Indonesia dalam Kerangka Agonistik
Sebagaimana diuraikan pada bagian awal, Pancasila merupakan salah satu contoh konsensus prinsipil yang terjadi di Indonesia, yang kerangka konsensus konfliktualnya, dalam bahasa Mouffe, masih menjadi kontroversi hingga saat ini. Salah satu bentuk interpretasi hegemonik terhadapnya (sila pertama) berimplikasi pada politik agama di Indonesia.
Sebagaimana diketahui, sila pertama telah banyak dipahami sebagai pendasaran mutlak untuk menyebut Indonesia sebagai negara religius, yang penafsirannya cenderung bias monoteistik. Salah satu upaya mula-mula untuk mengonsensuskan interpretasi ini adalah definisi agama usulan Departemen Agama pada tahun 1952 yang sangat kental karakter monoteistik-abrahamiknya. Sekalipun secara legal-konstitusional definisi yang diusulkan beberapa kali ini tidak pernah diterima dan dicatat dalam undang-undang, konsensus eksklusif ini telah meresapi pemahaman mayoritas orang Indonesia mengenai apa yang dapat dan tidak dapat disebut sebagai agama. Padahal, sila pertama itu sendiri dimaksudkan untuk merangkul dengan seinklusif mungkin pilihan-pilihan berkaitan dengan kehidupan keberagamaan masing-masing warga negara.
Dalam hal ini, dapat dilihat bagaimana dimensi antagonistik yang sejatinya telah diusahakan oleh pendiri bangsa untuk ditransformasi menjadi agonistik justru dibatalkan dengan dalil keamanan dan penghindaran akan konfrontasi antargolongan, yang sebenarnya justru merupakan salah satu pilar utama berdemokrasi. Setelahnya, hegemoni ini tidak pernah ditampakan secara telanjang sehingga sangat kecil ruang bagi publik untuk menentangnya apalagi mentransformasikannya. Belum lagi, mereka yang berbeda bahkan dilihat bukan sebagai lawan (adversaries) yang harus dijamin haknya untuk mempertahankan gagasannya, melainkan sebagai musuh (enemies) yang harus dilawan dengan jargon anti-Pancasila, misalnya. Model berdemokrasi semacam ini bahkan tidak memenuhi kriteria model Rawlsian atau An-Na’im yang menghendaki agar argumentasi religius disampaikan dalam bahasa publik/sipil agar deliberasi atau proses reasoning dapat dimungkinkan.
Dalam politik ekonomi, ide pembangunan menjadi yang cukup sentral hampir di setiap era pemerintahan. Namun, tidak berbeda dengan isu sebelumnya, ide tentang pembangunan yang sejatinya berada dalam ruang antagonistik telah dihomogenisasi. Dengan berkiblat pada ide pembangunan Barat yang dominan dalam persaingan global, pembangunan dipahami sekadar dalam isu infrastruktur. Pembangunan manusia yang sering dinarasikan sebagai kebutuhan fundamental yang perlu diprioritaskan justru dipahami sebagai usaha membentuk manusia sebagai individu yang produktif dan mampu diadu dalam persaingan pasar.
Dimensi kultural dari pembangunan dan manusia itu sendiri cenderung terabaikan. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana pemerataan pembangunan diterjemahkan menjadi penyamaan (homogenisasi) pembangunan. Padahal, setiap daerah di Indonesia memiliki pandangan yang berbeda-beda mengenai pembangunan dan pemenuhan kebutuhan. Contoh paling konkret dari isu ini adalah usaha membuka jutaan hektar lahan sawah di Papua yang makanan pokok masyarakatnya sebenarnya adalah sagu.
Isu lain adalah model pembangunan infrastruktur yang mengabaikan aspek keberlanjutan lingkungan hidup yang sejatinya telah memiliki modal kultural yang besar dari komunitas-komunitas lokal dan kehidupannya yang selalu berorientasi pada keseimbangan kosmos. Namun demikian, oligarki, sebagai faktor paling berpengaruh dari semua isu ini menjadi tak tersentuh, karena keberadaannya selalu tersembunyi dibalik aktor-aktor populis sehingga hegemoninya tidak dapat ditantang secara terbuka, apalagi ditransformasi.
Dengan demikian, telah ditunjukkan urgensi dari sebuah konsensus dan hegemoni dalam demokrasi. Hegemoni dalam pluralisme agonistik ala Mouffe sekilas terlihat tak ada bedanya dengan konsensus ala Rawls yang berujung pada eksklusi. Namun, sebenarnya ada perbedaan yang cukup mendasar, yakni bahwa, yang pertama berusaha untuk mencapai konsensus dengan menafikan hadirnya sebuah hegemoni di antara mereka yang pandangannya disepakati dalam public reasoning dengan mereka yang pandangannya ditolak namun harus menerima konsensus tersebut, sehingga berujung pada pelanggengan hegemoni; sementara dalam pluralisme agonistik, hegemoni itu ditampilkan secara telanjang di hadapan publik sehingga dimungkinkan untuk ditransformasi.
____________________
Krisharyanto Umbu Deta adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2020. Baca tulisan Umbu lainnya di sini.