Queer Nyantri, Ga Bahaya Ta?
Nanda Tsani – 27 Januari 2024
Queer muslim ngaji kitab, salat, zikir berjamaah, ziarah kubur, menabuh rebana, dan berselawat kepada Rasulullah. Namun, tetap saja muncul pertanyaan, apakah keberagamaan queer muslim ala Nusantara ini valid dalam Islam?
Jumat, 20 Oktober 2023. Waktu menunjukkan pukul 19:52 saat kereta kami berhenti di Stasiun Cirebon. Saya bersama rombongan santri kilat dari Yogyakarta akan menuju Kampus Transformatif Pondok Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina. Bersama kontingen lain dari berbagai kota di Indonesia, kami akan mengikuti Nyantri Kilat, sebuah program yang diinisiasi IQAMAH (Indonesian Queer Muslims and Allies), di pesantren ini selama 2 hari.
Bu Nyai Nurul Bahrul Ulum, tuan rumah sekaligus ibu asuh mahasantri (mahasiswa yang menjadi santri) Sarjana Ulama Perempuan Indonesia (SUPI) menyambut kedatangan kami. Cengkerama semakin hangat dengan hidangan empal gentong khas Cirebon yang memenuhi perut kosong kami sehabis perjalanan darat.
Sebagai seseorang yang pernah nyantri secara tidak kilat di pondok pesantren tradisional berbasis Ahlussunnah wal Jamaah, semuanya terasa sangat familiar. Mulai dari bangunan fisik, deretan rak kitab kuning, hingga kebersahajaan lalu-lalang santri bersarung dan berkerudung putih. Akan tetapi, di samping suka cita akan adanya perasaan “pulang”, ada kekhawatiran besar mengganjal di benak saya sejak pertama mendapat undangan Nyantri Kilat ini. Akankah saya kemari hanya duduk menunduk menjadi objek dakwah ustaz-ustaz di sini? Akankah eksistensi kemanusiaan saya dipersepsi sekadar “fenomena modern kontroversial” untuk diperdebatkan? Kekhawatiran tersebut ini berangkat dari kerentanan yang saya alami di masa remaja dan pergumulan sebagai santri queer (baca lebih lanjut Kerentanan Santri Queer: Sisi Gelap yang Terang Benderang).
Keesokan harinya, setelah salat subuh berjamaah, kami mengaji kitab fikih-akhlak klasik Fathul Qarībil Mujīb bersama mahasantri SUPI. Kiai Marzuki Wahid, bapak asuh Institut Studi Islam Fahmina (ISIF), memimpin ngaji kitab ini dengan mensyarahkan teks kitab secara kontekstual-solutif terhadap persoalan hari ini. Bersama dengan Nyai Nurul, Kiai Marzuki akan membersamai kami sepanjang agenda kegiatan Nyantri Kilat, dari diskusi kelompok terarah terkait Islam Indonesia dan metodologi queer dalam konteks pengalaman religiusitas hidup sehari-hari (lived religion), ziarah kompleks pemakaman Sunan Gunung Jati, hingga berpartisipasi di atas panggung kreasi melalui tabuh rebana selawat Nabi pada malam peringatan Hari Santri. Sampai akhir acara, kekhawatiran saya sirna. Apa yang saya khawatirkan tidak terjadi.
Memosisikan “Diri” dalam Wacana Poskolonialisme, Feminisme, dan Agama
Dalam Postcolonialism, Feminism, and Religious Discourse (2002), Laura L. Donaldson dan Kwok Pui-lan memberikan pengantar cara kolonialisme Barat menghegemoni banyak lini, khususnya dalam wacana agama, gender, dan seksualitas. Sebagaimana yang dikemukakan Talal Asad (1993), hegemoni kultural Kristen-Eropa membentuk paradigma agama dunia melalui kuasa politik, ekonomi, dan saintifikasi modernitas. Akibatnya, agama dipandang sebagai institusi otoritatif yang berkuasa dalam mengontrol pengikutnya. Cara pandang ini kemudian dibawa dan dicangkokkan secara paksa pada pelbagai fenomena keberagamaan di berbagai belahan dunia, utamanya negara-negara jajahan. Celakanya, paradigma kolonial ini masih mendominasi berbagai kajian tentang agama dan secara politik menjadi patokan negara dalam mendefinisikan serta mengatur “agama”, tak terkecuali di Indonesia. Hegemoni melalui kuasa negara ini pada akhirnya membentuk persepsi kebanyakan warga negara ketika mendengar atau mengucap kata agama. Anda bisa elaborasi sendiri apa yang ada dalam benak Anda terhadap pernyataan “menurut agama, menurut agama Islam, dalam agama Kristen, agama melarang”, dan semacamnya.
Dalam wacana gender dan seksualitas, sistem gender biner—sistem klasifikasi yang hanya mengenal dua jenis gender—menjadi pandangan mayoritas masyarakat saat ini. Dalam masyarakat yang menganut sistem gender biner, seseorang harus memilliki dan menjalankan identitas gender sesuai dengan jenis kelamin biologisnya sejak lahir (cisgender). Misalnya, bayi lahir dengan penis mesti laki-laki, atau sebaliknya, yang terlahir dengan vagina mesti perempuan dan secara rigid harus menjalankan peran dan identitas gender tersebut sepanjang hayat. Pandangan semacam ini pada akhirnya melahirkan cisgenderisme yang menempatkan individu cisgender dalam strata tertinggi di masyarakat. Dengan kata lain, individu yang memiliki identifikasi gender berbeda atau tidak sejalan dengan klasifikasi gender masyarakat dianggap salah, rendah, serta mengidap kelainan atau penyakit.
Menurut Francisco Valdes (1996), ideologi gender yang diskriminatif ini tidak terlepas dari androsentrisme dan heteroseksisme budaya Eropa dan Amerika Serikat dalam mendefiniskan “moralitas, standar normal, norma, dan kodrati”. Keduanya, androsentrisme dan heteroseksisme, menempatkan laki-laki cisgender heteroseksual sebagai pusat kuasa yang mengatur norma gender dan orientasi seksual di masyarakat. Semua yang tidak memenuhi kategori laki-laki cisgender heteroseksual merupakan subordinat yang harus tunduk. Gender biner dan heteroseksualitas dilihat sebagai satu-satunya sistem gender dan orientasi seksual yang sesuai dengan moral dan kodrat. Dengan kata lain, hanya ada kenormalan tunggal di masyarakat heteronormatif.
Tak dapat dimungkiri, produksi ilmu pengetahuan gender dan seksualitas kontemporer masih berpusat pada lensa dan konteks Barat. Contoh paling gamblang ialah adopsi term “LGBT” dan singkatan alfabetik lain yang mendominasi pendekatan gerakan hak-hak keberagaman gender dan seksualitas di berbagai belahan dunia. Kolonialisme meng-gebyah uyah kompleksitas gender, seksualitas, ketubuhan, dan pengalaman hidup nonnormatif ke dalam kacamata Barat. Sebagaimana Brandon A. Robinson (2016) garis bawahi, “Homonasionalisme mengkonstruksi negara tertentu (contohnya Irak, Afganistan, Palestina) sebagai negara terbelakang dalam hak-hak perempuan dan LGBT. Oleh karenanya negara-negara Barat mesti datang membawa liberasi dan demokrasi di negara ini.” Dominasi Barat ini dengan arogan berdiri di depan sebagai “pemandu” yang menyediakan cetak biru gerakan LGBT. Individu queer yang berasal dari negara non-Barat selayaknya bertingkah, berekspresi, dan terlihat seperti komunitas LGBT di Barat. Pada perjalanannya, gerakan LGBT di Barat mendorong pemisahan total agama karena dinilai sebagai sesuatu yang membahayakan individu-individu LGBT. Sekularisme gerakan LGBT ini tidak terlepas dari konteks sekularisme kulit putih yang tidak akomodatif terhadap keberagamaan.
Yang Tidak Tunduk
Sengaja atau tanpa menyengaja, disadari atau tidak, Queer Muslim Nyantri Kilat adalah bentuk ketidaktundukan atas everything-everywhere-all-at-once. Silang kelindan identitas partisipan nyantri kilat menyanggah (debunk) preskripsi sistem opresif yang berlapis—termasuk feodalisme hierarkis kiai-santri dan seksisme segregasi restriktif dua gender yang bercokol di banyak pesantren. Kegiatan ini adalah bentuk pembangkangan nirkekerasan individu queer dan para pembelanya terhadap berbagai tirani warisan kolonial yang bersalaman dengan politik agama. Sebuah persekutuan jahat yang telah meminggirkan sekelompok manusia pada posisi paling pinggir pinggirannya pinggiran.
Betapa pun, saya tidak akan kaget jika seseorang bertanya, “Apakah queer muslim Indonesia dan para pembelanya yang nyantri kilat di Pesantren Manhajiy ini adalah penyusupan gerakan LGBT berkedok agama?” atau “Apakah keber-agama-an queer muslim ala Nusantara ini sah dalam Islam?” Menyikapi pertanyaan eksistensial semacam ini, saya meneladani Suhaymah Manzoor-Khan (2021), seorang muslimah keturunan Pakistan yang hidup di Inggris sekaligus penulis esai kombatif “I Am Not An Answer, I Am The Question”. Esai ini adalah demonstrasi ketidaktundukan terhadap sistem yang menjadikan eksistensinya sekadar jawaban atas pertanyaan orang-orang. Suhaymah jengah akan wacana dominan yang membuatnya terus dan terus didesak untuk menjelaskan kediriannya sampai sesuai dengan preskripsi perempuan “yang baik”, muslim “yang baik”, imigran “yang baik”, dan seterusnya. Setelah membedah dengan pisau analisis feminisme interseksional cara berbagai sosial-politik di sekitarnya bekerja, Suhaymah membebaskan dirinya dari segala ketundukan kecuali semata kepada Allah.
Sebagai pemungkas, saya sampirkan puisi Suhaymah Manzoor-Khan “A Virtue of Disobedience” (Ketidaktundukan Sebagai Keutamaan, terj. Katrin Bandel) sebagai manifesto diri. Sebuah manifesto sebagai queer muslim yang tidak tunduk, yang mengganggu, yang queering kemapanan preskripsi-preskripsi menindas. Hal ini mengilhami saya untuk menulis dengan lugas posisi keberpihakan saya. Apabila “ilmiah” dianggap secara sinonim berarti netral dari keberpihakan, saya sebagai penulis secara eksplisit meng-queer-kan artikel ilmiah populer ini. Menjadi ilmiah bukan berarti sekadar mengambil jarak “netral” kemudian menjabarkan perdebatan-perdebatan, menghindari term-term advokatif, lalu pulang.
Jika pertanyaan di awal tulisan, “Apakah keber-agama-an queer muslim ala Nusantara ini valid dalam Islam?”, rupanya sungguh mengganjal keingintahuan Anda, saya jawab, “sah.” Sederhananya, jika inti keberagamaan adalah menjaga konektivitas kita, sesama, dan Sang Maha, penentu keabsahannya hanya Islam, balig, dan berakal. Dengan kata lain, queer muslim adalah muslim selama ia merasa dirinya muslim. Syarat balig dan berakal terpenuhi jika queer muslim memiliki kematangan psikologis untuk membuat keputusan pengejawantahan dari kesadaran yang paling esensi atas ketubuhan, gender, dan seksualitas yang dihayati berdasarkan kapasitas spiritualitas mereka. Lalu, jika Anda masih menggandoli dengan kata “dalam Islam” yang tersemat di akhir pertanyaan, mungkin yang perlu kita pikirkan kembali adalah asumsi dasar Islam itu sendiri. Saya rekomendasikan bacaan lebih lanjut buku What Is Islam? The Importance of Being Islamic (2015)” karya Shahab Ahmed. Buku tersebut memberikan sebuah cara baru konseptualisasi Islam yang berani menantang ortodoksi restriktif dengan merefleksikan lintasan sejarahnya yang meliuk-liuk, tidak koheren, penuh ambiguitas, kontradiktif, dan kaya keragaman. Sangat queer sekali, bukan?
______________________
Nanda Tsani adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2023. Baca tulisan Nanda lainnya di sini.
Foto tajuk di artikel ini merupakan dokumentasi Queer Nyantri Kilat milik IQAMAH dari akun Instagram @iqamah.id
“Barat” sekarang sedang bertaubat karena telah mendiskriminasi manusia dengan ragam gender dan seksualitas. Lantas kenapa kita malah melangkah mundur dengan membuat rencana perda yang diskriminatif?
Sedangkan Barat saja belajar dari sejarah Indonesia, yang mengakui ragam gender dan seksualitas dalam kebudayaan nya.