Refleksi SAA PGI: Jalan Lain bagi Sang Liyan
Ribka Ninaris Barus – 12 Januari 2023
“Saya adalah salah satu dari sekian banyak istri yang tidak diakui oleh negara. Di [tempat] kami, banyak anak yang belum memiliki akte kelahiran, banyak pasangan yang belum memiliki surat kawin karena belum diakui oleh negara.”
Kutipan itu disampaikan oleh Ibu Vivi, seorang perempuan Akur (warga adat Karuhun Urang) Sunda Wiwitan, pada sesi perkenalan peserta Seminar Agama-Agama (SAA) Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) ke-37, di Cigugur, Kuningan, pada November 2022 lalu. Pernyataan Ibu Vivi membuktikan bahwa masyarakat penghayat belum sepenuhnya mendapat pengakuan dari negara. Meskipun Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan Putusan No.97/PUU-XIV/2016 terkait pengisian kolom agama bagi penghayat, dalam praktiknya masih banyak masyarakat adat dan penghayat yang kesulitan untuk mengakses pelayanan publik dan mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara. Perubahan kebijakan ternyata tidak cukup menjadi ujung tombak dalam mengatasi ketidakadilan dan peminggiran penganut agama leluhur di Indonesia.
Pengakuan dan penerimaan sesama warga negara juga berperan signifikan dalam mengatasi perlakuan diskriminatif itu. Sayangnya, ketidakadilan yang dialami penghayat kepercayaan seringkali tidak disadari oleh warga negara nonpenghayat. Sikap abai itu salah satunya disebabkan oleh hegemoni politik agama yang telah mengakar di masyarakat. Ketua Umum PGI, Pdt. Gomar Gultom, menyebutnya sebagai, “pengavlingan Indonesia ke dalam enam agama.” Hegemoni ini membentuk paradigma bahwa pemeluk keenam agama itu adalah subjek yang diakui keberadaaanya oleh negara, sementara mereka yang berada di luar itu—termasuk pemeluk agama leluhur—dipandang sebagai tidak beragama. Dalam konteks yang demikian, tindakan diskriminatif dan peminggiran terhadap pemeluk agama leluhur diterima sebagai hal yang normal.
Beberapa tahun belakangan, tema-tema SAA PGI menyoroti persoalan diskriminasi dan marjinalisasi kelompok-kelompok rentan di masyarakat. Pada tahun 2018 misalnya, PGI mengangkat tema “Masyarakat Adat: Reclaiming, Identitas, dan ke-Indonesiaan”. Melalui tema tersebut, PGI menyatakan bahwa gereja perlu terlibat dan berkontribusi bersama masyarakat adat dalam perjuangan untuk menjadi subjek atas identitasnya. Tema yang menyoroti kompleksitas persoalan masyarakat adat itu menunjukkan proses-proses peminggiran dan kolonialisasi yang terus dialami oleh masyarakat adat (baca Dekolonialisasi Masyarakat Adat: Catatan dari Seminar PGI).
Penyelenggaran SAA tahun berikutnya masih menaruh perhatian pada isu kewargaan dengan mengusung tema “Agama dan Warga Negara yang Terpinggirkan”. Di samping masyarakat adat, SAA 2019 tersebut juga menyoroti isu-isu kebangsaan dan hak-hak kelompok rentan lainnya, seperti kelompok gender nonbiner, penghayat kepercayaan, dan penyandang disabilitas. Para peserta, yang terdiri elemen masyarakat dengan beragam latar belakang agama dan etnis, juga diajak untuk berefleksi tentang peran masing-masing sebagai warga negara dalam mewujudkan keadilan dan kesetaraan di Indonesia. Kegiatan SAA yang diselenggarakan pasca-Pemilu 2019 ini mendorong pemerintah agar memperhatikan pemenuhan hak-hak masyarakat yang terpinggirkan.
Setelah absen di tahun 2020 karena pandemi Covid-19, PGI kembali menyelenggarakan SAA ke-36 dengan tema “Umat Beragama Mengelola dan Mengadvokasi Keberagaman di Indonesia”. SAA yang diselenggarakan di Pontianak pada November 2021 silam ini bergerak lebih jauh dengan mendiskusikan strategi advokasi di masyarakat. Seminar tersebut menghasilkan Pernyataan Pontianak yang memuat pernyataan dan komitmen untuk terlibat serta berperan aktif dalam mengelola keragaman di Indonesia.
Upaya mengelola keberagaman ini semakin menemukan bentuknya dalam penyelenggaraan SAA ke-37 yang bertajuk, “Rekognisi, Pemenuhan dan Perlindungan Hak Beragama dan Berkeyakinan Warga Negara”. Tak sekadar berdiskusi pada tataran abstrak dan ideal, temu SAA kali ini mengungkap kondisi riil di tengah masyarakat. Puncak kegiatan yang diselenggarakan selama empat hari itu adalah Maklumat Cigugur yang dibacakan pada hari terakhir. Tiga dari lima isi Maklumat Cigugur ditujukan kepada pemerintah agar segera (1) mengesahkan RUU tentang masyarakat adat, (2) memasukkan Pendidikan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa ke dalam Sistem Pendidikan Nasional, serta (3) menuntut perbaikan kebijakan yang berkeadilan dan menghapus segala bentuk tindakan yang menghambat layanan negara terhadap setiap warga negara. Dua maklumat lainnya merupakan sikap bersama untuk (4) menolak segala bentuk stigma, diskriminasi, intoleransi, dan kekerasan atas nama agama, suku, dan kepercayaan; serta (5) mengajak semua elemen masyarakat untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan keutuhan NKRI.
SAA PGI 2022: Jalan Advokasi Sosial yang Inklusif
Kegiatan SAA 2022 dapat dilihat sebagai wujud keterlibatan PGI dalam advokasi kewarganegaraan yang inklusif. Dalam konteks ini, Samsul Maarif merumuskan inklusi sosial sebagai proses membangun relasi sosial antarwarga negara. Relasi sosial ini diwujudkan melalui pengakuan dan penghargaan yang setara terhadap individu dan kelompok. Dengan demikian, setiap warga negara dapat berpartisipasi penuh dalam aktivitas kemasyarakatan, pengambilan keputusan, maupun akses sumber daya untuk pemenuhan hak-hak dasar.
Lebih lanjut, advokasi dalam perspektif inklusi sosial dapat dilakukan melalui intervensi pada tiga ranah: penerimaan sosial, pelayanan publik, dan perbaikan kebijakan. Ketiga ranah tersebut pada hakikatnya berkelindan, sehingga melakukan intervensi pada salah satunya akan berdampak pada dua ranah lainnya.
Melalui program SAA, PGI mengintervensi ranah penerimaan sosial. Hal ini dapat dilihat tidak hanya melalui isu yang didiskusikan, tetapi juga pada metode penyelenggaraan kegiatan. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, kegiatan utama SAA kali ini merupakan kombinasi dari seminar, live-in, dan kunjungan lapangan. Kegiatan seminar dan diskusi berlangsung di Paseban Tri Panca Tunggal, Cigugur, yang merupakan pusat kegiatan bagi penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan. Selama acara, para peserta menginap di rumah warga penghayat Sunda Wiwitan. Pada hari terakhir kegiatan, seluruh peserta seminar berkunjung ke komunitas penghayat Sunda Wiwitan, serta beberapa situs bersejarah yang penting bagi masyarakat Sunda Wiwitan.
Ketiga aktivitas tersebut berkontribusi dalam membangun pengetahuan serta kesadaran peserta tentang realitas keberagaman dan persoalan kewargaan di Indonesia. Para peserta menyaksikan sendiri keberadaan kelompok masyarakat yang tereksklusi dan tidak terpenuhi haknya sebagai warga negara. Ruang perjumpaan dan interaksi dengan para penghayat ini membentuk kesadaran atas pentingnya kewargaan yang inklusif.
PGI, Natal, dan Jalan Lain
Kekristenan turut andil dalam peminggiran masyarakat adat serta penghayat kepercayaan. Sejarah kekristenan di Indonesia, yang dibawa dan dibentuk oleh misionaris Eropa, diwarnai dengan pelabelan agama atau kepercayaan leluhur—sebagai objek pekabaran Injil—dengan stigma yang merendahkan seperti sesat, penyembah berhala, dan tidak selamat.
PGI menyadari keterlibatan gereja di masa lalu dan dampaknya yang terjadi hingga hari ini. Karena itu, sebagaimana disampaikan Pdt. Gomar Gultom, PGI mengubah paradigma dalam menginterpretasi makna pemberitaan Injil: bukan dalam pengertian kristenisasi, melainkan mewujudkan keadilan serta tercapainya kesejahteraan bagi semua. Pernyataan “bagi semua” berarti juga mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi sang liyan, yaitu mereka yang beragama atau berkeyakinan non-Kristen maupun yang tidak beragama atau berkeyakinan. Terkait hal tersebut, pendeta asal Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) ini dengan tegas menyatakan,
“Sang liyan adalah manusia yang bermartabat di hadapan Allah, menciderai dia adalah menciderai Allah. … Tidak ada pewartaan iman tanpa perjuangan keadilan, tidak ada evangelisasi tanpa keterlibatan sosial. Omong kosong jika saya mengatakan saya beriman tetapi membiarkan ketidakadilan di sekitar saya terjadi. Sebagai orang beriman, [kita] bersama memperjuangkan keadilan itu, terlepas dari apa pun agamanya.”
Namun, ketegasan PGI tidak menjadi jaminan bahwa seluruh gereja di Indonesia akan bersikap sama, bahkan gereja yang tergabung sebagai anggota PGI sekalipun. Keberagaman denominasi gereja di PGI memunculkan beragam perspektif dalam memaknai dogma tentang pekabaran Injil. Tak dapat dipungkiri bahwa paradigma pekabaran Injil sebagai kristenisasi masih melekat dan dihidupi oleh banyak pemimpin serta jemaat gereja hingga saat ini. Kesemuanya itu merupakan salah satu tantangan PGI dalam membersamai perjuangan masyarakat yang terpinggirkan, tak terkecuali para penghayat kepercayaan.
Di sisi lain, PGI boleh dibilang juga berada di posisi yang terpinggirkan dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Penolakan dan diskriminasi terhadap umat Kristen masih terjadi di beberapa daerah. Kekristenan kerap menjadi sosok liyan bagi kelompok warga negara yang berbeda keyakinan.
Berselang sekitar lima minggu setelah penyelenggaraan SAA PGI ke-37, salah satu gereja anggota PGI di Jawa Barat mengalami diskriminasi. Pada 26 Desember 2022, Jemaat HKBP Betlehem (Pos Parmingguan) di Batu Gede, Desa Cilebut Barat, Kabupaten Bogor dilarang menyelenggarakan ibadah perayaan Natal di rumah oleh warga dan aparat setempat. Kasus HKBP Betlehem itu tentu saja bukan yang pertama. Sepanjang tahun 2022, setidaknya tercatat ada empat kasus serupa yang terjadi di berbagai daerah, di antaranya persekusi gereja di Lampung (Januari 2022); dan penolakan pembangunan gereja di Lumajang (Agustus 2022), Cilegon, serta Riau (September 2022). Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa PGI, pada saat yang sama, juga memiliki tantangan untuk berjuang bagi dirinya sendiri (gereja).
Tindakan intoleran dan diskriminatif terhadap umat beragama yang terjadi berulang bisa jadi adalah pertanda bahwa jalan yang ditempuh selama ini belum efektif. Dalam konteks ini, semangat tema Natal 2022 yang diusung PGI—bersama dengan Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI)—yaitu, “Pulanglah Mereka ke Negerinya Melalui Jalan Lain,” menemukan refleksi dan relevansinya secara mendalam. Dapatkah perjuangan PGI menjadi “jalan lain” bagi gereja serta bagi sang liyan untuk pulang ke negerinya, Indonesia? Bisakah ini menjadi jalan alternatif bagi Ibu Vivi dan semua yang termarjinalkan untuk pulang, diakui, dan diterima sebagai warga yang setara tanpa harus berpindah agama?
______________________
Ribka Ninaris Barus adalah alumni CRCS angkatan 2014 yang sekarang menjadi staf Divisi Pendidikan Publik, Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM. Baca tulisan Ribka lainnya di sini.
Terimakasih. Semoga tulisan ini dapat membawa keadilan dalam menjalankan setiap kegiatan keagamaan bagi setiap agama atau kepercayaan yang ada di Indonesia
Setuju
Mari sama2 kita hapuskan diskrimanasi agama dan kepercayaan di indonesia melalui PGI kita bisa
Milih kepercayaan adalah Hak setiap orang, apapun keputusan seseorang dalam.memilih kepercayaannya wajib kita hormati dan kita hargai.