Rimpu: Transformasi dan Dinamika Identitas Muslim Bima
Ihsan Kamaludin – 26 September 2021
Rimpu telah menjadi simbol identitas dan keseharian masyarakat muslim Bima semenjak abad ke-17. Akan tetapi, pemaknaaan dan penggunaannya berkembang seiring dinamika masyarakat.
Gagasan itu dikemukakan oleh Prof. M. Adlin Sila—Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang juga Kepala Pusat Litbang Bimbingan Masyarakat Agama dan Layanan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama Republik Indonesia—dalam presentasi Wednesday Forum bertajuk “Everyday Islam in Eastern Indonesia: the Case of Bima, Sumbawa”. Sila melakukan studi etnografi kepada masyarakat Bima yang ia lakukan semenjak 2011-2012 dan 2017-2018. Hasil penelitiannya tersebut kemudian dibukukan dalam Being Muslim in Indonesia: Religiosity, Politics and Cultural Diversity in Bima (2021). Pembahasan tentang rimpu merupakan salah satu bab dari buku yang diterbitkan oleh Leiden University tersebut.
Rimpu merupakan cara berbusana perempuan Bima yang mengenakan kain sarung khas Bima untuk menutup bagian tubuh mereka. Untuk mengenakan rimpu, perempuan Bima menggunakan dua sarung yang dilipat sedemikian rupa: satu untuk menutupi badan dari kaki sampai pusar, satunya lagi untuk menutupi tubuh bagian atas dari pusar sampai kepala.
Rimpu: Sejarah, Syariat, dan Simbol
Pemakaian rimpu bisa dilacak sejak paruh awal abad ke-17 seiring perubahan Kerajaan Bima menjadi kesultanan. Perubahan status kerajaan ini membawa perubahan pula terhadap cara berpakaian perempuan muslim di Bima pada masa itu. Implementasi hukum syariat pada Kesultanan Bima menuntut masyarakat muslim, baik lelaki maupun perempuan, di Bima untuk menutup aurat (bagian tubuh yang harus ditutup sesuai aturan hukum Islam). Merespons hal tersebut, masyarakat Bima menggunakan sarung yang secara tradisi biasa ditenun oleh para perempuan sebagai kain penutup. Pemilihan sarung sebagai bahan yang dipakai dalam tradisi rimpu ini memiliki latar belakang tersendiri. Sarung adalah tradisi yang berasal dari masyarakat Melayu dan Makassar yang pertama kali membawa Islam ke Bima. Bagi kaum wanita di Bima, sarung merupakan keterampilan yang harus mereka kuasai, sebuah tradisi untuk melestarikan tradisi dan sekaligus untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Dalam konteks semacam ini, Hitchock memandang bahwa pemakaian rimpu menjadi penanda identitas ganda masyarakat sebagai muslim sekaligus orang Bima.
Lebih lanjut, Hitchcok meminjam simbolisme ala Geertz untuk memahami proses sosial yang terjadi di masyarakat dengan cara melihat bagaimana rimpu sebagai simbol beroperasi dengan cara tertentu. Bagi anak perempuan, pemakaian rimpu merupakan bagian dari ritus peralihan (rite of passage) menuju kedewasaan. Proses ini dimulai ketika perempuan masih usia belia kemudian melakukan tradisi saraso (sunat perempuan). Secara simbolis, pemakaian rimpu merupakan nasihat bagi seorang gadis yang telah menginjak kedewasaan untuk melindungi diri mereka dengan cara berpakaian secara pantas. Hal ini dilambangkan melalui tujuh lapis kain yang dikenakan perempuan saat upacara saraso. Ketika mencapai masa pubertas, perempuan dianggap telah mencapai tahap kedewasaan dan mulai diajarkan dan dibiasakan untuk memakai rimpu setiap keluar rumah. Karenanya secara tradisi, jika ada perempuan Bima yang keluar rumah tanpa mengenakan rimpu, maka dianggap sebagai aib keluarga.
Pada era kolonial, rimpu digunakan oleh para perempuan Bima untuk menjaga kehormatannya. Misalnya pada masa penjajahan Jepang, tentara Jepang sering kali meminta perempuan dari suatu keluarga untuk menjadi wanita penghibur. Salah satu cara untuk mencegah hal tersebut ialah dengan menyembunyikan anak perempuan di atap rumah, dinikahkan di usia muda, dan menutupi wajahnya dengan rimpu.
Ada dua jenis rimpu yang umum dikenakan oleh perempuan Bima. Pertama, rimpu cili atau mpida. Cili dalam bahasa setempat artinya sembunyi-sembunyi. Rimpu jenis ini menutup hampir seluruh tubuh dan hanya terlihat bagian mata (rimpu cili) atau mata dan sebagian hidung (rimpu mpida). Jenis rimpu ini biasanya dikenakan oleh perempuan yang belum menikah. Kedua, rimpu colo atau enge. Rimpu jenis ini memperlihatkan seluruh wajah. Rimpu colo atau enge biasa dipakai oleh perempuan yang sudah menikah atau berusia senja. Ibu-ibu yang biasa berbelanja di pasar memakai rimpu colo dengan cara menguncir rambutnya.
Rimpu: Pergeseran dan Perayaan Kembali
Akan tetapi, menurut Ummi Doji (65 tahun), seorang bidan yang menjadi salah satu responden, semakin sedikit wanita yang berpegang teguh pada tradisi rimpu tersebut. Di Bima saat ini, khususnya di perkotaan, sangat jarang dijumpai wanita yang mengenakan rimpu. Pemakaian rimpu mulai digeser oleh jilbab dan kerudung yang dianggap lebih praktis dan modern. Seperti yang tampak pada berbagai acara keagamaan seperti pernikahan dan pengajian, banyak wanita yang hadir, termasuk pengantin perempuan, tak lagi memakai rimpu. Keberadaan toko jilbab dan kerudung yang mulai menjamur di kota-kota ikut mendorong perubahan tersebut. Di sisi lain, beberapa alumni pesantren dari Jawa membuka pesantren salafi di Bima dan mulai memopulerkan penggunaan cadar bagi para wanita.
Rimpu masih banyak ditemui di daerah pedesaan, seperti Wawo, Monta, Parado dan Sila. Akan tetapi, praktiknya tidak seketat seperti era kejayaan Kesultanan Bima. Beberapa perempuan yang menjadi narasumber memutuskan mengenakan rimpu ketika sudah menikah atau setelah melahirkan anak pertama. Sila juga menceritakan sebuah pengalaman menariknya ketika mengikuti seorang kyai pesantren setempat berkunjung ke suatu desa di Bima. Saat mengunjungi rumah salah satu warga untuk berdoa, kyai tersebut disambut tuan rumah seperti biasa. Namun, ketika Sila ikut turun dari mobil dan menemui mereka, para perempuan di sana segera memakai rimpu dengan sarung yang sudah mereka sampirkan di pundak. Ketika ditanya, mereka menjawab bahwa Sila adalah orang asing sehingga mereka harus memakai rimpu mereka. Dari pengalaman tersebut kita bisa melihat pergeseran penggunaan rimpu dari yang dulunya merupakan kewajiban saat berada di luar rumah menjadi semacam norma kesopanan ketika bertemu dengan orang yang tak dikenal.
Meski dalam kehidupan sehari-hari semakin tersisih, penggunaan rimpu justru dilestarikan dan dirayakan secara masif oleh masyarakat perkotaan pada hari-hari tertentu. Hal ini tidak terlepas dari upaya pemerintah daerah yang mengenalkan rimpu sebagai pakaian adat Bima. Saat hari jadi Kota Bima misalnya, rimpu menjadi pakaian wajib bagi perempuan yang ikut dalam perayaan tersebut. Salah satu contoh lainnya, beberapa sekolah di Bima mewajibkan siswi perempuan untuk mengenakan rimpu setiap hari Jumat. Dalam kedua kasus tersebut, penggunaan dan pemaknaan rimpu kembali bergeser menjadi sebatas baju festival atau baju adat.
Saat sesi diskusi, salah seorang peserta bertanya soal metode pengambilan data yang digunakan oleh Sila kepada responden perempuan, mengingat secara adat interaksi antara lelaki dan perempuan cukup dibatasi. Sila menjawab bahwa sebagian besar responden ia wawancara di masjid. Selain itu, yang tak kalah penting, ia meminta bantuan istrinya sebagai asisten peneliti sehingga lebih leluasa untuk mengikuti acara ritual yang terbatas untuk perempuan, seperti saraso, atau ketika melakukan observasi dan wawancara mendalam dengan responden perempuan. Kolaborasi semacam ini ternyata cukup produktif dalam memperluas jangkauan pengambilan data dari subyek penelitian.
Diskursus dinamika rimpu pada masyarakat Bima yang dipresentasikan Sila menunjukkan bahwa rimpu merupakan sebuah identitas Islam yang dikonstruksi secara sosial. Dengan kata lain, identitas keagamaan suatu masyarakat bukanlah sesuatu yang statis. Meski bentuknya tak banyak berubah, apa yang kita anggap sebagai simbol identitas keagamaan akan selalu dinegosiasikan seiring perubahan yang terjadi di masyarakat penggunanya. Rimpu adalah salah satunya.
_______________________
Ihsan Kamaludin adalah Mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2020. Baca tulisan Kamal lainnya di sini.
Foto wanita memakai rimpu oleh Farhan Perdana (Blek), 2012
Rekaman Wednesday Forum “Everyday Islam in Eastern Indonesia: the Case of Bima, Sumbawa” oleh Prof. M. Adlin Sila