Rumah Sakit sebagai Ruang Perjumpaan Antaragama
Vikry Reinaldo Paais – 18 April 2023
Sakit adalah kerapuhan manusia yang tidak terhindarkan. Setiap orang apa pun agama, etnis, ras, dan status sosial, bahkan dokter sekalipun, tidak bebas dari sakit. Karenanya, kebutuhan akan kesehatan menjadi urgen dan harus segera dipenuhi. Fenomena inilah yang mendesak sebagian besar organisasi sosial nonpemerintah ikut serta dalam penyediaan layanan kesehatan, termasuk lembaga keagamaan. Banyak lembaga agama yang memprakarsai pendirian rumah sakit. Meski berbeda keyakinan, tujuan mereka sama: menyelamatkan nyawa manusia.
Keterlibatan lembaga keagamaan dalam pelayanan kesehatan justru menciptakan perjumpaan antaragama yang berbeda dan unik. Fenomena inilah yang ditelisik oleh Jekonia Tarigan dalam presentasinya pada Wednesday Forum 12 April 2023 berjudul “Illness as Interreligious Encounter: A Study from Religiously-Affiliated Hospitals”. Presentasi ini merupakan cuplikan dari disertasi doktoralnya di Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS), Universitas Gadjah Mada. Disertasinya berangkat dari realitas pelayanan kesehatan di rumah sakit yang berafiliasi dengan agama (religiously-affiliated hospital) kepada pasien-pasien yang berbeda agama. Penelitian Jeko dilakukan pada tiga rumah sakit berbeda di Yogyakarta: RS Bethesda (Kristen), RS Panti Rapih (Katolik), dan PKU Muhammadiyah (Islam). Penelitian ini salah satunya dilatarbelakangi oleh fenomena intoleransi di Yogyakarta yang kian meningkat. Dalam temuannya, intoleransi ini justru tidak ditemukan dalam lingkungan rumah sakit.
Dengan membingkai sakit sebagai bentuk kerentanan manusia (Taylor dan Dell’oro, 2006), gagasan Jeko merujuk pada internalisasi pelayanan kesehatan sebagai tujuan dan kebutuhan bersama (common need). Artinya, sakit membawa semua orang pada satu tujuan dan harapan, yaitu kesehatan. Proses ini melibatkan rumah sakit yang berafiliasi dengan agama tertentu sebagai media utama perjumpaan, petugas medis sebagai aktor utama penyedia pelayanan kesehatan, serta pasien yang berbeda latar belakang identitas keagamaan.
Koeksistensi Keagamaan pada Rumah Sakit yang Berafiliasi dengan Agama
Data statistik jumlah pasien lintas agama pada ketiga rumah sakit yang menjadi lokasi penelitian (Bethesda, Panti Rapih, dan PKU Muhammadiyah) menunjukkan angka yang signifikan.
RS Bethesda (afiliasi Kristen) | RS Panti Rapih (afiliasi Katolik) | PKU Muhammadiyah (afiliasi Islam) | |
April-Agustus 2019 | 2019-Agustus 2020 | 2019-Agustus 2020 | |
Islam | 2.286 | 17.996 | 13.751 |
Kristen | 856 | 3.734 | 122 |
Katholik | 552 | 9.550 | 229 |
Hindu | – | 127 | 6 |
Buddha | – | 268 | 2 |
Lainnya/Rahasia | 54 | 185 | 1.395 |
Total | 3.748 | 31.860 | 15.505 |
Pada RS Bethesda dan Panti Rapih yang berafiliasi dengan Kristen dan Katolik jumlah pasiennya justru didominasi oleh umat Islam. PKU Muhammadiyah yang berafiliasi dengan Islam juga merawat pasien dari umat agama lain. Angka-angka tersebut tidak sekadar menunjukkan seberapa banyak pasien yang dirawat, tetapi membuktikan bahwa rumah sakit adalah kebutuhan universal manusia apa pun identitas agamanya. Dengan kata lain, sakit bukanlah hanya masalah biologi yang bersifat individual, melainkan juga masalah sosial (Rapport dan Wainwright, 2006; Fitzpatrick, et.al, 2022).
Pertanyaannya, mengapa pasien memilih dirawat di rumah sakit yang berafiliasi dengan agama yang berbeda dari dirinya? Bukankah yang Islam bisa saja ke rumah sakit Islam, begitupun dengan Kristen dan yang lainnya? Bagaimana mereka memahami hal tersebut sebagai perjumpaan antaragama? Lebih jauh, apa dampaknya bagi diri mereka? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Jeko untuk menggali makna yang tersirat atas tindakan para pasien.
Dalam penelitiannya, Jeko tidak menemukan alasan khusus pilihan pasien terhadap rumah sakit yang berkaitan dengan unsur keagamaan. Menurut Jeko, pasien ke rumah sakit tidak mempertimbangkan afiliasi agama rumah sakit tersebut. Orang dalam kondisi darurat tentu akan memilih rumah sakit terdekat untuk mendapatkan perawatan medis. Dengan kata lain, jarak menjadi pertimbangan utama. Fenomena ini terjadi pada sebagian besar Jemaat Katolik Kumetiran yang lebih memilih untuk dirawat di PKU Muhammadiyah karena itulah satu-satunya rumah sakit terdekat. Faktor lain, yang lebih personal, ialah soal kenyamanan. Ketika seseorang merasa nyaman atau cocok dengan pelayanan rumah sakit atau dokter tertentu, dengan senang hati ia akan membawa keluarganya yang sakit ke rumah sakit dan dokter yang sama—meski afiliasi agamanya berbeda. Pengalaman individu ini tidak terlepas dari pelayanan dan fasilitas yang disediakan serta hasil yang diterima oleh pasien. Misalnya, RS Bethesda menyiapkan “ruang doa” dan sajadah karena sebagian besar pasiennya adalah muslim. Selain itu rumah sakit Kristen juga merekrut staf yang beragama Islam untuk lebih menjamin kehalalan makanan bagi para pasien Islam. Pengalaman-pengalaman seperti ini dikategorikan Jeko sebagai flourishing experience (pengalaman yang bertumbuh kembang). Melalui berbagai fasilitas dan pelayanan tersebut, pasien yang berbeda agama merasa diperlakukan dengan baik dan dihargai. Seperti yang disampaikan salah responden penelitian yang beragama Islam, “Tidak ada larangan untuk memilih rumah sakit Kristen, begitu pula tidak ada kewajiban untuk memilih rumah sakit Islam.”
Tantangan dan Peluang Pengalaman Transformatif
Kendati pengalaman-pengalaman tersebut menyiratkan kesan positif, tidak berarti semua pasien secara total memiliki kesan yang sama. Realitas rumah sakit yang berafiliasi dengan agama justru memiliki tantangan yang berbeda. Perlu diakui, tidak semua perjumpaan antaragama di rumah sakit dimaknai secara positif. Dalam konteks yang lain, perjumpaan tersebut justru bertendensi membentuk stigmatisasi tertentu terhadap rumah sakit. Misalnya, rumah sakit tertentu dituduh melakukan proselitisasi, sehingga seorang petugas medis diminta menurunkan simbol keagamaan yang terpancang pada salah satu ruangan pasien. Meski pemasangan simbol keagamaan tersebut merupakan kebijakan dan regulasi rumah sakit, menurut manajemen rumah sakit tidak ada sama sekali intensi proselitisasi. Inilah salah satu tantangan atas perjumpaan antaragama di rumah sakit.
Meski demikian, perjumpaan antaragama di rumah sakit juga mampu mengubah opini dan penilaian seseorang terhadap agama tertentu. Dalam temuannya, seorang petugas kesehatan beragama Islam yang bekerja di rumah sakit afiliasi Kristen justru memaknai simbol salib sebagai kekuatannya. Ia menginternalisasi nilai-nilai di balik simbol salib sebagai refleksi bagaimana dirinya harus melayani orang lain dengan sepenuh hati. Ada pula seorang muslim korban gempa di Bantul yang dirawat oleh salah satu rumah sakit Kristen selama tiga tahun. Selama masa perawatan tersebut, ia acap kali berinteraksi dengan orang-orang yang berbeda agama dengannya. Perjumpaan yang intens itu pada akhirnya mengubah paradigmanya terhadap agama lain.
Fenomena-fenomena ini disebut Jeko sebagai pengalaman yang transformatif. Perjumpaan di rumah sakit bertendensi mengubah paradigma pasien maupun petugas medis menjadi fleksibel terhadap perjumpaan antaragama. Namun, Jeko sendiri mengakui, proses transformasi tersebut tidak terjadi dalam waktu singkat. Butuh waktu hingga bertahun-tahun agar seseorang mengalami transformasi.
Pada akhirnya, dinamika perjumpaan antaragama di rumah sakit yang berafiliasi keagamaan tertentu justru terjadi karena kentalnya simbol-simbol dan ekspresi keagamaan di tempat tersebut. Keberagaman itulah yang membuat perjumpaan antaragama di rumah sakit mampu menumbuhkan pengakuan dan refleksi intraagama. Perbedaan identitas agama tidak menghalangi upaya tolong-menolong sesama manusia. Dalam hal ini, penghormatan terhadap martabat manusia dikedepankan. Inilah yang kemudian berdampak pada pemahaman agama yang bermuara pada integrasi dan kohesi sosial.
______________________
Vikry Reinaldo Paais adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2021. Baca tulisan Vikry lainnya di sini.
Foto tajuk di artikel ini diambil dari rawpixel.com