Setelah Paradigma Agama Dunia
Tarmizi Abbas – 28 April 2020
Karya klasik Wilfred Cantwell Smith berjudul The Meaning and End of Religion (1962) hingga kini masih menjadi buku daras primer di banyak program studi agama di perguruan-perguruan tinggi dunia. Di Indonesia, CRCS UGM menggunakannya sebagai salah satu bacaan penting dalam mata kuliah dasar Academic Study of Religion pada semester pertama. Kini pelbagai refleksi dan respons telah muncul terhadap karya Smith yang mendekonstruksi definisi agama itu. (Baca review saya terhadap buku Smith itu di situs web CRCS ini: Agama sebagai Konstruksi Modern)
Salah satu yang melakukan refleksi itu ialah James L. Cox, Profesor Emeritus Studi Agama di Universitas Edinburgh. Di dalam esai pengantar berjudul Before the ‘After’ in ‘After World Religions’, Cox menyebut Smith sebagai pelopor kritik kontemporer terhadap Paradigma Agama Dunia yang berhasil membuka arah baru bagi studi agama di perguruan tinggi agar lebih inklusif. Kata pengantar ini kemudian menjadi tulisan pembuka dalam buku kompilasi tulisan yang berjudul After World Religion: Reconstructing Religious Studies (Routledge, 2016).
Dalam pengantar tersebut, Cox menulis, “Paradigma agama dunia harus dianalisis, dikritik, bahkan diruntuhkan karena turut mengeksklusi praktik-praktik keagamaan yang berada di luar agama-agama tersebut” (h. xii). Cox menyebut warisan intelektual Smith dalam kesarjanaan studi agama mutakhir dapat dirunut dalam tiga poin: 1) definisi agama (religion) dalam Paradigma Agama Dunia adalah hasil konstruksi pengetahuan Barat yang membatasi ragam pengalaman religius ke dalam sebuah sistem agama dunia yang baku; 2) kata ‘belief’ (sering diterjemahkan dengan ‘keyakinan’), yang hanya merepresentasikan agama-agama dunia di dalam berbagai bahan ajar, telah mencerabut makna asli kata tersebut; dan 3) dalam wacana di dunia akademik maupun ruang publik, agama seharusnya didekati dengan empati pada pengalaman riil religiositas masyarakat yang hendak dikaji.
Kritik Smith terhadap paradigma agama dunia
Pada bab kedua berjudul Religion and the West di dalam bukunya, Smith mendekonstruksi definisi ‘agama’ dan penggunaan konsep ‘agama-agama dunia’ di dalam dunia akademik. Bagi Smith, makna umum ‘religion’ lahir dari konstruksi teoritis yang dibangun di bawah pengaruh Pencerahan Barat di abad ke 17. Bagi Cox, alasan paling fundamental yang diajukan Smith dalam hal ini adalah: agama yang berakar pada bahasa latin religio itu pada mulanya lebih menekankan pada aspek kualitas hidup lewat praktik sehari-hari. Praktik ini tidak selamanya mengandaikan adanya kekuatan Adikodrati di luar kehidupan material, seperti dewa dan Tuhan. Sebaliknya, religio berhubungan dengan pengalaman manusia.
Baru pada perkembangan selanjutnya, makna ‘pengalaman’ di dalam kata religio itu mengalami perubahan menjadi ‘praktik penyembahan’. Sebagai bentuk penyembahan, religio mengandaikan sesuatu yang harus disembah, ritual, dan institusi-institusi peribadatan. Pada fase inilah kemudian religio mengalami reifikasi dan berubah menjadi religion, dikonstruksi maknanya dan berubah statusnya sebagai sebuah ‘sistem ide’. Di kalangan para sarjana studi agama klasik, tulis Cox, agama Kristen adalah representasi awal sistem ini. Maka ketika tradisi keagamaan lain perlahan mulai ditemukan, alih-alih mendeskripsikannya sesuai dengan persepsi para pelakunya, ‘agama’ Kristen sebagai konstruksi intelektual menjadi standar atau prototipenya. Di sinilah Smith menulis, “dari agama yang satu, lalu menjadi plural”. Pada puncaknya, sistem ide ini berkembang dan dikenal luas dengan sebutan Paradigma Agama Dunia.
Paradigma agama dunia mengasumsikan bahwa seseorang hanya bisa disebut ‘beragama’ jika ia melakukan praktik-praktik tertentu di dalam sebuah sistem kepercayaan yang telah tersistematisasi layaknya agama-agama dunia saat ini. Konsekuensi inilah yang membuat Smith menolak definisi ‘agama’ ala agama dunia dan memilih untuk mengembalikannya pada makna asali yang berporos pada praktik-praktik religius. Di dalam Faith and Belief (1979), ketika melacak asal-usul ‘faith’, Smith menemukan bahwa kata tersebut bermaka ‘untuk menyayangi’ dan ‘untuk menghargai’ sesuatu, dan lebih lebih merujuk kepada ‘apa yang dilakukan’ ketimbang ‘apa yang seharusnya dipercayai’.
Di dalam The Faith and Other Man (1962), Smith juga menyampaikan pandangan bahwa problem reifikasi ‘agama’ sebenarnya dapat dihindari jika para pengkaji agama mendahulukan praktik keagamaan seseorang atau suatu komunitas melalui persepsi para praktisinya. Cara ini berguna untuk meminimalisasi bias paradigma agama dunia dalam studi agama. Maka ketika Smith mengajak mahasiswanya memahami tradisi keagamaan di luar Kristen, ia memilih menggunakan istilah tradisi ‘Muslim’, ‘Buddhis’, ‘Hindu’, dsb, alih-alih menarasikan keseluruhannya sebagai sistem keagamaan yang homogen (Islam, Buddhisme, Hinduisme, dst).
Setelah Wilfred Smith
Meskipun Smith menyadari bahwa iman bersifat personal, tapi praktik religius yang menjadi manifestasinya memiliki elemen yang komunal. Karena itu, Smith mengajukan pandangan bahwa bagaimana iman ini dipahami dan dijelmakan dalam praktik seharusnya tidak dipandang sebagai suatu hal yang statis, tetapi senantiasa berevolusi. Hal inilah yang membuat Smith menggambarkan agama sebagai fenomena yang mengandung dua elemen, yakni ‘iman’ dan ‘tradisi kumulatif’.
Namun Cox tidaklah mengamini seluruh gagasan Smith. Cox memandang bahwa Smith masih dibayangi bias Protestantisme ketika membicarakan salah satu elemen agama, yakni iman sebagai ‘keyakinan personal’ terhadap Yang Transenden. Hal ini dibuktikan dalam karya lain Smith yang berjudul Towards a World Theology (1981) ketika ia menyatakan bahwa agama itu adalah teologi, dan setiap teologi itu adalah ‘teologi-diri’ [self-theology] (h. 124). Meskipun Smith sadar bahwa Yang Trasenden itu tidak selamanya adalah Tuhan, tetapi penggunaan kata ‘teologi-diri’ inilah yang membuat Cox sendiri merasa bahwa Smith tidak bisa menyembunyikan posisinya sebagai teolog liberal dalam mendefinisikan agama, kepercayaan, dan keimanan.
Sebaliknya bagi Cox, keimanan itu harus lepas dari kategori-kategori esensialis sebagaimana yang lazim dimaknai di dalam agama-agama dunia. Hal ini bukan berarti keimanan tersebut tidak bisa didefinisikan. Sebagaimana terangkum di dalam karyanya yang berjudul From Primitive to Indigenous: The Academic Study of Indigenous Religions (2007), definisi agama, keimanan, dan kepercayaan haruslah berbasis pada konteks sosial dan lokal para penganutnya. Cox menyampaikan hal ini bertujuan untuk menginklusi agama-agama lokal yang selama ini didiskreditkan agama-agama dunia. Maka definisi agama, keimanan dan kepercayaan menurut Cox terbatas pada tempat, kekerabatan, identitas, otoritas dan seluruh simbol berikut nilai yang dimiliki oleh suatu komunitas.
Kendati mengkritik, Cox tetap mengapresiasi kontribusi Smith di dalam studi agama kontemporer, dari yang semula esensialis menjadi berjangkar pada praktik komunitas beragama; dan dari yang semula menerima istilah-istilah begitu saja menjadi sadar bahwa istilah-istilah itu tidaklah lahir dari ruang vakum sejarah.
______________
Tarmizi “Arief” Abbas adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2019. Baca tulisan Arief lainnya di sini.