Smart Pakem untuk Mengawasi Agama: Menciptakan Kerukunan atau Konflik?
Zainal Abidin Bagir – 20 Desember 2018
Pada akhir November silam, Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta mengeluarkan aplikasi bernama Smart Pakem, yang dapat diunduh melalui GooglePlay. “Pakem” adalah singkatan dari Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat. Aplikasi ini ditujukan untuk mendaftar, mengawasi, dan melaporkan kelompok-kelompok keagamaan yang dianggap “menyimpang” menyimpang dari enam agama yang “diakui” di Indonesia, termasuk di dalamnya “aliran sesat” dan aliran kepercayaan.
Kemunculan aplikasi ini segera memancing kritik keras. Dalam isu penyimpangan keagamaan atau aliran sesat, perkembangan ini adalah babak baru yang melanjutkan tren mengkhawatirkan, yaitu meningkatnya penggunaan UU Penodaan Agama (No. 1/PNPS/1965) selama dua puluh tahun terakhir ini—justru setelah demokratisasi dimulai pada 1998.
Yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah fungsi aplikasi ini, yakni untuk mengawasi aliran kepercayaan. Perkembangan ini justru tampak ganjil di tengah membaiknya pengakuan terhadap kelompok tersebut, khususnya setelah pada November 2017 Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa penghayat kepercayaan tidak perlu mengosongkan kolom “Agama” dalam KTP atau mengisinya dengan satu dari enam nama agama yang bisa diisikan ke KTP.
Kerukunan atau Konflik?
Di tengah kontroversi, aplikasi yang diluncurkan pada 22 November 2018 itu masih tersedia di GooglePlay, dan masih diperbarui (terakhir pada 6 Desember 2018). Tampak jelas aplikasi ini diluncurkan secara prematur karena masih belum berfungsi sepenuhnya. Saat ini, dalam menu “Keagamaan” telah ada daftar yang mencakup beberapa organisasi terkait Ahmadiyah dan Syi’ah, yang semuanya adalah organisasi legal; ada pula nama organisasi lain (fiktif?) yang disebut “Wahabi”, bersama dengan dua organisasi yang telah dibubarkan karena dianggap menyimpang, yaitu Gafatar dan Kerajaan Tuhan Eden. Dalam menu “Kepercayaan”, ada daftar belasan organisasi yang legal.
Menurut Kejaksaan, aplikasi itu berfungsi utama sebagai sarana pendidikan masyarakat mengenai aliran-aliran yang menyimpang, agar mereka tak mengikutinya. Aplikasi ini juga menjadi saluran bagi masyarakat untuk melaporkan apa yang mereka anggap sebagai penyimpangan atau kesesatan, ketimbang main hakim sendiri. Selain itu, bagi Kejaksaan, aplikasi ini dianggap dapat membantu melaksanakan tugas mereka melakukan pengawasan aliran menyimpang dan kepercayaan secara lebih efisien, agar dapat menjaga kerukunan umat beragama.
Selain beberapa kritik di atas, ada beberapa keganjilan lain dalam aplikasi ini. Salah satunya adalah adanya menu khusus “Fatwa MUI”. Majelis Ulama Indonesia (MUI) bukanlah lembaga resmi negara yang fatwanya memiliki kekuatan hukum. MUI juga bukan satu-satunya lembaga Islam yang mengeluarkan fatwa. Di samping itu, fatwa MUI jelas hanya berlaku bagi Muslim. Kalaupun ada lembaga keagamaan Islam di sana, tidakkah seharusnya ada lembaga-lembaga keagamaan lain? Namun memang kejanggalan ini bukan hal baru. MUI pernah mengeluarkan pernyataan (tak selalu berbentuk fatwa) menyangkut kepercayaan dan praktik keagamaan kelompok-kelompok non-Islam. Misalnya, pada tahun 2007 kelompok Dayak Hindu Buddha Bumi Segandhu (Indramayu) pernah disebut sesat oleh MUI lokal di sana. Bukankah lembaga keagamaan Hindu atau Buddha yang lebih berhak menilai kelompok tersebut?
Pengawasan vs Pelayanan : Bakorpakem vs Direktorat Kepercayaan
Kejanggalan di atas hanyalah satu di antara banyak kejanggalan lain, yang merupakan cerminan politik agama dan budaya lama di Indonesia. Meski sejak 1998 telah banyak terjadi perubahan politik yang radikal, paradigma yang mendasari politik itu tak berubah banyak. Inilah paradigma yang mengakui keragaman keagamaan Indonesia, tetapi keragaman itu terbatas hanya pada sejumlah agama dunia. Paradigma ini per definisi “agama” juga mengingkari adanya agama-agama leluhur/lokal, dengan mengkategorikannya lebih sebagai “budaya”. Bahkan dalam pengakuan terhadap sejumlah agama dunia tersebut, yang diakui adalah ekspresi arus utamanya saja, sedangkan yang lain dapat dianggap sebagai “sesat”, “menyimpang”, atau “menodai” agama.
Dalam paradigma ini, kelompok-kelompok di luar beberapa agama dunia itu perlu diawasi. Instrumen pengawasan itu ada dalam lembaga di bawah Kejaksaan, yaitu Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakor Pakem—yang namanya digunakan untuk aplikasi yang dibahas di sini).
Bakor Pakem didirikan pada tahun 1952, awalnya di bawah Kementerian Agama, untuk mengawasi menjamurnya agama-agama atau aliran keagamaan baru. Pada tahun 1961 lembaga ini dipindahkan ke Kejaksaan. Dengan dikeluarkannya UU No. 1/PNPS/1965 mengenai Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama, yang ditandatangani Presiden Soekarno, Bakor Pakem memiliki kekuatan lebih besar untuk mengawasi penganut aliran kepercayaan dan kelompok-kelompok yang dianggap menyimpang.
Bakor Pakem belakangan ini tampak khawatir akan gejala bangkitnya aliran kepercayan, yang dianggap sebagai ancaman terhadap negara. Setahun lalu, pada November 2017, Litbang Kejaksaan Agung mengeluarkan hasil penelitiannya yang berjudul Penguatan Peran Intelijen Kejaksaan dalam Pengawasan Aliran Kepercayaan dan Aliran Keagamaan Dalam Masyarakat (Pakem) Demi Ketertiban dan Ketenteraman Umum. Penelitian itu merekomendasikan penguatan status legal lembaga itu (melalui suatu UU baru, Peraturan Presiden atau Keputusan Presiden), peningkatan anggaran, maupun pembangunan “bank data intelijen”. Peluncuran Smart Pakem sejalan dengan apa yang diharapkan rekomendasi penelitian tersebut.
Namun perkembangan ini sebetulnya justru tak sejalan dengan peningkatan pengakuan negara atas aliran kepercayaan. Pada November 2017, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa kata “agama” harus dipahami sebagai mencakup aliran kepercayaan sejauh menyangkut pengisian kolom agama dalam KTP. Sebelum ini, mereka harus mengosongkan kolom tersebut—yang berakibat pada stigmatisasi dan akhirnya diskriminasi dalam pemenuhan hak kesehatan, pendidikan, dan sebagainya—atau terpaksa menyebut agama lain.
Meskipun operasionalisasi keputusan itu oleh Kemendagri tidak memenuhi harapan kesetaraan dalam pengakuan bagi penganut aliran kepercayaan,dalam kenyataannya di lapangan telah tampak telah ada beberapa perkembangan baik khususnya dalam pelayanan sipil penganut aliran kepercayaan.
Setahun sebelumnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan menandatangani Permendikbud No. 27 Tahun 2016 yang memungkinkan anak didik penganut aliran kepercayaan mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama mereka sendiri. Perlu dicatat bahwa Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi memfasilitasi berbagai kegiatan kelompok tersebut, yang kini mencakup 187 organisasi yang terdaftar dan sekitar 12 juta warga negara.
Orientasi Direktorat Kepercayaan dalam memberikan pelayanan terhadap warga negara amat kontras dengan orientasi Bakor Pakem, yang dengan pekerjaan intelnya melakukan pengawasan atau bahkan melakukan kontrol secara represif. Aplikasi baru bernama Smart Pakem menegaskan orientasi ini. Fragmentasi, kalau bukan kontradiksi, di antara lembaga-lembaga negara ini jelas perlu diselesaikan oleh pemerintah.
Terkait fungsi dan target lain dari aplikasi tersebut, yang terkait dengan aliran sesat atau menyimpang, penguatan fungsi Bakor Pakem justru tidak akan menghasilkan kerukunan. Pada awal 2018, CRCS menerbitkan laporan yang menunjukkan bahwa UU Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama, termasuk Bakor Pakem sebagai instrumennya, sebenarnya justru telah memberikan pembenaran legal pada kelompok-kelompok keagamaan garis keras yang melakukan main hakim sendiri untuk mendiskriminasi, bahkan menyerang kelompok-kelompok tersebut.
Jika aplikasi Smart Pakem, sebagai upaya Bakor Pakem meningkatkan efisiensi pekerjaan mereka, dilanjutkan, maka amat mungkin kita justru akan menyaksikan lebih banyak kasus persekusi dan konflik di masyarakat. Jika kerukunan adalah tujuan yang ingin kita capai bersama, kita perlu, sebagaimana diajukan oleh laporan CRCS tersebut, menemukan cara penanganan alternatif terkait dengan kelompok yang dianggap “sesat” atau “menyimpang”, atau “menodai”.
__________________
Zainal Abidin Bagir adalah dosen di Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM. Versi bahasa Inggris tulisan ini telah terbit pada 17 Desember 2018 di situs Indonesia at Melbourne, yang telah memberikan izin pemuatan versi Indonesianya di situs web CRCS UGM.
Gambar header: Warga penghayat kepercayaan Marapu dari Sumba Timur, Kalendi Nggalu Amah bersaksi pada sidang lanjutan uji undang-undang di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (23/1/2017). ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf.
saya suka tulisannya
EU303