Mohamad Miqdad | CRCS | Perspektif
Peringatan Hari Masyarakat Adat pada 9 Agustus telah mulai dilakukan sejak tahun 1994. Peringatan tahun ini sekaligus menandai 10 tahun Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat. Di Indonesia, berbagai kebijakan mengenai masyarakat adat, sejak masa kolonial hingga kini, telah kerap berubah. Namun pertanyaan utamanya tetap sama: sudahkah masyarakat adat berdaulat?
Masyarakat adat dari masa ke masa
Berbagai hal terkait kedaulatan masyarakat adat mengandung kompleksitas yang tak sesederhana sebagaimana yang tampak dalam retorika politik. Kerumitannya berpusat pada bagaimana negara memposisikan masyarakat adat dalam kebijakan pembangunan nasional setelah mengalami dinamika hubungan yang cukup panjang dari zaman kemerdekaan hingga kini.
Selama lebih dari tiga dekade, rezim Orde Baru telah melakukan apa yang dalam istilah Roem Toppatimasang disebut sebagai pemaksaan nilai-nilai (imposition of values) terhadap masyarakat adat. Pemaksaan ini mencakup persoalan kepercayaan di mana masyarakat adat diharuskan beragama sesuai dengan agama yang diakui negara; kelembagaan adat dan otoritas hukumnya yang mengalami pelemahan melalui penyeragaman pemerintahan desa; ritual adat dan hasil seninya yang sekadar menjadi pelengkap pariwisata; hingga ke persoalan ruang hidup seperti hutan yang direduksi semata sebagai sumber daya dan alat produksi.
Sejak era Persekutuan Dagang Hindia Timur (VOC) hingga kemerdekaan, masyarakat adat mengalami pemaksaan nilai itu. Ketika mencapai kemerdekaan, posisi masyarakat adat yang dikonsepsikan oleh pemerintah kolonial diubah, tetapi tidak seluruhnya. Kelompok masyarakat adat yang berasal dari suku-suku kecil diposisikan sebagai kelompok masyarakat tradisional yang harus belajar menjadi modern. Namun yang dominan adalah eksploitasi ekonomi atas ruang hidup masyarakat adat. Banyak hak masyarakat yang dirampas dan dipakai untuk menjamin keberlanjutan negara dalam mendanai pembangunan nasional.
Sejarah terpinggirnya masyarakat adat ini berlangsung sejak zaman kolonial melalui kebijakan politik hukum yang sebagian besar darinya terwarisi. Undang-undang Agraria (Agrarische Wet) serta berbagai undang-undang dan peraturan lainnya dalam kurun waktu 1870-1875 yang menganut paradigma liberalisasi ala Eropa, khususnya dalam aspek penguasaan tanah, diterapkan di Indonesia. Padahal jauh sebelum itu, masyarakat Indonesia sudah memiliki hukum-hukum adat di wilayahnya. Dalam periode Politik Etis, Belanda memang berupaya mereduksi berbagai kebijakan diskriminatifnya, namun koreksi terhadap kebijakan yang meminggirkan masyarakat adat belum pernah dilakukan serius.
Selain hak kepemilikan individual, masyarakat adat menganut sistem kepemilikan tanah secara komunal. Hal ini tak sesuai dengan paradigma liberal yang menegaskan individu sebagai subjek hak atas harta benda (property right). Yang terjadi kemudian, banyak tanah ulayat lalu dikuasai oleh negara (domein van de Staat) karena secara hukum tidak bisa dibuktikan sebagai hak milik individu tertentu (eigendom).
Suasana pasca kemerdekaan yang mengharuskan konsolidasi bangsa dan persatuan antaretnis membuat politik hukum mengenai penguasaan negara atas tanah adat mengendap sementara waktu. Hingga lima belas tahun setelah Indonesia merdeka, terbitlah Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960. Tujuh kemudian terbit Undang-Undang Pokok Kehutanan (UUPK) Nomor 5 Tahun 1967. UU yang terakhir ini menggunakan istilah masyarakat hukum adat dalam rangka mengatur hak hukum bagi masyarakat adat. UUPA 1960, yang dimaksudkan untuk mengakhiri dualisme hukum pertanahan zaman kolonial, berupaya menjadikan hukum adat sebagai basis, namun perkara pengakuan dan pengaturan hak masyarakat adat belum jelas. UUPA itu memang mengakui beberapa macam hak seperti hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak sewa, hak membuka tanah, dan hak memungut hasil hutan. Namun hak komunal atas tanah adat atau hak ulayat belum termasuk di dalamnya (Moniaga 2010).
UUPK 1967, yang terbit pada permulaan Orde Baru, hanya mengakui dua klasifikasi hutan kepemilikan, yaitu hutan negara dan hutan milik. Masalahnya, terdapat banyak masyarakat adat yang ruang hidupnya di sekitar maupun di dalam kawasan hutan. UUPK 1967 dianggap sebagai modus penguasaan sumber daya alam yang semakin menyisihkan masyarakat adat.
Perubahan kebijakan tentang masyarakat adat
Setelah reformasi, UUPK 1967 digantikan oleh Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dengan klasifikasi baru, yaitu hutan negara dan hutan hak. Meski mengandung klasifikasi baru mengenai hutan adat, definisinya masih terbatas, yaitu bahwa hutan adat adalah hutan negara yang berada di dalam wilayah masyarakat hukum adat. Definisi ini mengandung pengertian bahwa segala hal berkaitan dengan kontrol pemanfaatan hutan tetap dilakukan oleh negara.
Definisi itu sebenarnya merupakan bentuk afirmasi terbatas terhadap masyarakat adat dan kesatuan hukumnya. Dalam praktiknya, masyarakat adat di berbagai wilayah di Indonesia seringkali justru mengalami peminggiran karena alasan penguasaan oleh negara. Ketegangan mengenai wilayah kelola dan batas antara teritori tradisional adat dan teritori hutan negara maupun klasifikasi hutan lainnya seringkali menuai ketegangan. Pada sektor pertambangan, banyaknya izin yang dikeluarkan oleh Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral pada tanah-tanah adat telah berujung menjadi konflik antara masyarakat adat dan perusahaan-perusahaan pertambangan.
Salah satu tuntutan utama berkaitan dengan perjuangan masyarakat adat adalah undang-undang yang bersifat memaksa melakukan penyeragaman pemerintahan lokal yang didasarkan pada desa administratif, yang menegasikan ciri partikularitas komunitas adat. Penyeragaman model pemerintahan lokal menjadi desa administratif berimplikasi pada tidak dimungkinkannya hukum adat dijalankan sebagaimana kebiasaan sebelumnya. Undang-Undang dimaksud adalah UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Para wakil masyarakat adat menuduh bahwa sistem tersebut telah memecah komunitas lokal bahkan meleburnya kedalam unit-unit administrasi yang tidak punya kesamaan adat (Acciaioli; 2010).
Seiring dengan besarnya tuntutan desentralisasi dan otonomi daerah pascareformasi, gagasan mengenai pentingnya mengkaji kembali posisi masyarakat adat bergaung dimana-mana. Masyarakat adat dapat melakukan perjuangan tanpa menghadapi represi kekerasan seperti sebelumnya. Gairah untuk menghidupkan kembali kedaulatannya semarak, dan mereka berani melakukan berbagai langkah untuk menuntut negara.
Pada Kongres Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) I tahun 1999, para peserta membuat jargon gerakan: “Jika negara tidak mengakui kami, kami pun tidak akan mengakui negara.” Dalam Kongres Masyarakat Adat Nusantara kedua pada tahun 2003, semboyan yang digemakan adalah “memperkuat posisi dan peranan masyarakat adat untuk mewujudkan keadilan dan demokrasi kerakyatan di era otonomi daerah.” Semboyan ini sekaligus merepresentasikan evaluasi sikap terhadap perubahan sistem dan atmosfir demokrasi negara yang terus berkembang semakin baik. Sikap ini juga menandai transisi gerakan dari yang semula menuntut rekognisi menuju ke berbagai hal yang melampauinya, yaitu menyangkut penghormatan dan perlindungan hukum bagi hak-hak masyarakat adat.
Dalam rangka memperkuat posisi masyarakat adat yang cukup lama mengalami tekanan, perubahan kebijakan pembangunan terhadap mereka perlu dilakukan. Misalnya berkenaan dengan soal pengakuan (rekognisi) yang berdampak besar pada keterlibatan masyarakat adat dalam penentuan kebijakan (representasi) serta akses dan pembagian secara adil hak atas penguasaan dan pengelolaan sumber daya (redistribusi).
Lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menjadi salah satu bentuk afirmasi perubahan negara yang semakin demokratis dan menjawab salah satu persoalan politik hukum yang dianggap tidak adil bagi masyarakat adat selama ini. UU Desa ini, meski dinilai berbagai pihak memiliki keterbatasan, memberi angin segar bagi persoalan yang selama ini cukup pelik, di mana desa—termasuk desa adat—menjadi unit utama pembangunan. Tuntutan mengenai rekognisi, representasi dan redistribusi bagi masyarakat adat sebagai wujud kedaulatan dapat diurai dari lokusnya yang paling utama, yaitu desa. Asas rekognisi bahkan diperkuat lebih jauh dalam UU tersebut melalui asas subsidiaritas yang dapat memenuhi otonomi sebagaimana diharapkan oleh berbagai komunitas adat. Asas rekognisi adalah pengakuan terhadap hak asal-usul dan hak tradisional, sementara asas subsidiaritas lebih jauh lagi menegaskankan hak mengenai representasi dan redistribusi sebagai elemen dasar otonomi.
Makna kedaulatan
Kedaulatan dipahami sebagai gagasan mengenai kewenangan tertinggi untuk menolak segala kontrol luar yang dimiliki oleh sebuah negara-bangsa. Akan tetapi, di dalam gerakan masyarakat adat, terma kedaulatan maupun otonomi merupakan sinonim: masyarakat adat tidak memperluas hak lokal untuk membangun militer agar mampu melawan gangguan dari luar, tetapi untuk mendapatkan kewenangan dalam melindungi kekayaan dan mengatur dirinya sendiri berdasarkan wilayah hukum adatnya. Negara dan masyarakat adat seharusnya dapat bekerja sama melindungi ancaman dari luar terhadap sumber daya kehidupan yang ada. Negara sebagai pemegang otoritas dapat memberikan hak otonom sebagai kewenangan yang diberikan kepada masyarakat adat untuk merawat praktik-praktik adat lokal.[]
*Mohamad Miqdad adalah salah seorang pengajar Sekolah Pengelolaan Keragaman (SPK) yang diselenggarakan Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Universitas Gadjah Mada, sejak tahun 2013. Ia adalah sekretaris Badan Pengurus Institut Titian Perdamaian dan direkturnya hingga 2014.