• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Advanced Study of Buddhism
  • Advanced Study of Buddhism
Arsip:

Advanced Study of Buddhism

Ruwat Rawat Borobudur: Menggali Tradisi Membersihkan Polusi

ArtikelBeritaBerita Utama Monday, 8 August 2016

Nidaul Hasanah | CRCS | Artikel
IMG_2721“Borobudur penuh ‘polusi’, demikian menurut Pak Sucoro  Sejak diresmikan sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO pada 1991, terjadi peningkatan kunjungan turis yang luar biasa ke Borobudur. Sehingga kini Borobudur tak lagi hanya milik Indonesia atau umat Buddha, tetapi milik  dunia. Namun menurut Pak Sucoro, justru inilah yang menjadi akar “polusi” terhadap Borobudur, sehingga ia berinisiatif mendirikan Warung Info Jagad Cleguk dan menginisiasi festival tahunan Ruwat Rawat Borobudur.
Anggapan bahwa Borobudur adalah objek wisata, membuat turis yang berkunjung bebas memperlakukan Borobudur semaunya. Inilah yang memicu kesedihan dan keprihatinan Pak Sucoro, warga asli Borobudur yang menjadi saksi berbagai perubahan pengelolaan Candi Buddha terbesar di dunia itu. ”Dulu rumah saya dekat sekali dengan Borobudur,” cerita Pak Sucoro. “Waktu itu Borobudur tidak seluas sekarang. Tapi pada tahun 80-an terjadi penggusuran untuk memperluas area wisata Borobudur. Rumah saya termasuk yang digusur,” kenangnya.  
Pada satu sisi ia bangga karena Borobudur kini  dikenal luas oleh masyarakat dunia. Namun sayangnya, selain turis mulai lupa bahwa Borobudur juga tempat suci, tidak semua orang bisa menikmati akses wisata ke Borobudur. Masyarakat sekitar Borobudur juga harus membayar Rp 35.000 untuk bisa masuk pada area wisata. Sehingga Borobudur yang dikelola oleh PT Taman Wisata Borobudur, kini hanya bisa dinikmati oleh turis yang memiliki uang saja. Kondisi  inilah yang menguatkan tekad Pak Sucoro atau yang akrab disapa Pak Coro untuk mengembalikan keharmonisan Borobudur dengan lingkungan sekitarnya. Pada tahun 2003 ia pun mendirikan Warung Info Jagad Cleguk (WIJC)  sebagai tempat berkumpul orang-orang yang memiliki ide dan keprihatinan yang sama  terhadap Borobudur. Dari warung kecil depan rumah yang berada tepat didepan halaman parkir Borobudur inilah ia bersama rekan-rekannya menggagas perhelatan tahunan Ruwat Rawat Borobudur yang berlangsung sejak 2003 hingga saat ini.
Mahasiswa CRCS angkatan 2015 yang mengambil mata kuliah advanced study of Buddhism diundang untuk menghadiri puncak acara Ruwat Rawat Borobudur 2016, pada 1 Juni lalu. Festival yang dimulai dari 18 April hingga 1 Juni ini menurut Pak Coro, bertujuan selain untuk membersihkan “polusi” yang terjadi pada Borobudur juga memaksimalkan potensi budaya lokal yang berada di sekitarnya.
IMG_2721newWilis Rengganiasih, praktisi budaya dan salah satu kolaborator acara Ruwat Rawat Borobudur, yang juga menulis tentang Pak Coro dan komunitasnya menjelaskan, “Pak Coro meyakini bahwa keberadaan Candi Borobudur mengintegrasikan dan merefleksikan gagasan filosofis, ajaran agama, motif-motif artistik, arkeologi, dan elemen-elemen kultural serta teknologi yang berguna dan masih relevan bagi masyarakat hingga saat ini. Sehingga Borobudur tidak dipandang sebagai benda mati yang tak mampu berbuat apa-apa. Sebaliknya dia adalah magnet yang mampu menggerakkan setiap sendi kehidupan masyarakat. Sehingga pada Ruwatan Borobudur dipilihlah tari-tarian yang notabene salah satu tradisi masyarakat sekitar dijadikan sebagai penarik massa. Inilah cara yang dianggap Pak Coro paling sesuai untuk merespon ketidakpedulian terhadap kebudayaan lokal disekitar Borobudur”.
Selanjutnya Pak Coro sendiri menjelaskan bahwa  pada puncak acara Ruwat Rawat Borobudur kali ini semua kelompok kesenian dari Jawa Tengah dan Yogyakarta berlomba menunjukkan tariannya. Kelompok-kelompok kesenian tersebut datang dengan mengendarai mobil pick up, bus hingga truk demi memeriahkan acara. Tak lupa Kidung Karmawibangga sebagai atraksi utama dipertunjukkan.
Hanya pada hari itu, seluruh masyarakat bisa masuk ke dalam area wisata Borobudur tanpa membayar sepersen pun. Pengunjung dan penjual tumpah ruah meramaikan puncak acara Ruwat Rawat Borobudur. Selesai tari-tarian seluruh masyarakat diajak berkeliling Borobudur. Pak Coro ditemani beberapa orang tua membawa sapu lidi sebagai lambang “pembersihan” Borobudur. Sesampainya di depan Borobudur, mereka berhenti sejenak. Pak Coro sebagai inisiator acara menyampaikan sambutannya. Ia  berterima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung dan melancarkan Ruwat Rawat Borobudur. Ia juga mengingatkan bahwa tidak hanya turis dari luar Borobudur dan PT Taman Wisata yang wajib merawat Borobudur melainkan penduduk lokal dan seluruh lapisan masyarakat yang hadir dalam Ruwat Rawat Borobudur juga turut menjaga warisan budaya ini. Menurutnya keikutsertaan masyarakat lokal mampu memaksimalkan potensi positif dan meminimalisir hal negatif yang terjadi pada Borobodur.

Harmoni Dalam Dharma: Kunjungan Mahasiswa CRCS ke Klenteng-Vihara

ArtikelBeritaBeritaBerita Utama Monday, 16 May 2016

Ali Ja’far | CRCS | Artikel
CRCS Fieldtrip Buddhism“Perubahan besar-besaran pada Klenteng-Vihara Buddha terjadi setelah peristiwa 1965, dimana semua yang berhubungan dengan China dilarang berkembang di Indonesia. Nama-nama warung atau orang yang dulunya menggunakan nama China, harus berubah dan memakai nama Indonesia” kata Romo Tjoti Surya di Vihara Buddha kepada mahasiswa CRCS-Advanced Study of Buddhism, yang melakukan kunjungan pada selasa 22 Maret 2016. Beliau menjelaskan juga bahwa pada waktu itu, umat Buddha juga harus mengalami masa sulit karena banyaknya pemeluk Buddha yang berasal dari China.
Salah satu dampak anti China ada pada Klenteng-Vihara Buddha Praba dan daerah disekitarnya adalah pada nomenclature. Pada awalnya, toko-toko itu mengunakan nama-nama China, tetapi mereka harus  mengganti nama itu menjadi nama Indonesia. Begitu juga pemeluk Konghucu disini, mereka punya dua nama, nama Indonesia dan nama China. Bahkan bertahun-tahun mereka harus memperjuangkan keyakinan mereka sampai pada akhirnya Presiden Abdurrahman Wahid mencabut pelarangan itu dan Konghucu diakui sebagai salah satu agama resmi di Indonesia.
Tempat pemujaan yang berusia lebih dari 100 tahun ini merupakan gabungan dari Klenteng dan Vihara. Klenteng berada di depan dan Vihara berada di belakang. Penyatuan ini karena adanya kedekatan historis antara pemeluk Buddha dengan orang China di Indonesia. kedekatan Buddha dengan China bisa dilihat dalam rupang Dewi “Kwan Yin” dalam dialek Hokkian yang merujuk pada Avalokitesvara, Buddha yang Welas Asih. Selain itu juga ada kedekatan ajaran, dimana dalam Buddha, label agama tidaklah penting, yang paling penting adalah pengamalan dan pengajaran Dharma. Selama ajaran Dharma itu masih ada, maka perbedaan agama pun tidak masalah.
Vihara Buddha Praba sendiri adalah Buddha dengan aliran Buddhayana, yaitu aliran yang berkembang di Indonesia yang menggabungkan dua unsur aliran besar Buddha, Theravada dan Mahayana. Aliran Mahayana berada di Utara dan Timur Asia yang melintas dari China sampai ke Jepang dan lainya. Sedangkan Theravada menempati kawasan selatan, seperti Thailand, Burma. Namun begitu, Budhayana melihat dua aliran ini sebagai “Yana” atau kendaraan menuju pencerahan seperti yang diajarkan sang Guru Agung. Penggabungan Theravada dan Mahayana dalam aliran Buddhayana awalnya juga dilandasi alasan politis dimana terdapat asimilasi antara agama dan kebudayaan yang ada.
Dalam Kunjungan ini, mahasiswa CRCS diajak untuk keliling Klenteng-Vihara dan mengenal ajaran Buddha lebih dalam, terutama bagaimana Vihara ini bisa bersatu dengan Klenteng, melihat budaya China lebih dekat dan mengenali ajaran Buddha yang lebih menekankan pada penyebaran Dharma dari pada penyebaran agama.
Vihara kedua yang dikunjungi adalah Vihara Karangdjati yang beraliran Theravada. Berbeda dengan sebelumnya, Vihara Karangdjati tidak bernuansakan China, tetapi lebih ke Jawa, dimana terdapat pendopo untuk menerima tamu dan ruang meditasi yang khusus. Pak Tri Widianto menjelaskan bahwa pokok ajaran Buddha bukanlah ajaran eksklusif yang tertentu untuk pemeluk Buddha saja, tetapi untuk seluruh umat manusia. Bahkan di Vihara Karangdjati, ada juga dari agama lain yang datang saat meditasi.
Hal yang sering disalahartikan selama ini adalah meditasi hanya milik umat Buddha, tetapi tidak. Meditasi adalah laku spiritual untuk mengenali gerak gerik otak kita dan mengasah mental menghadapi masalah. Ini adalah latihan mengolah kepekaan yang tidak dibatasi oleh agama tertentu. Pengolahan kepekaan ini penting karena betapapun banyaknya kata bijak yang kita miliki, itu tak ada manfaatnya ketika tidak dipraktikkan.
Didirikan pada tahun 1958, usia Vihara Karang Jati yang juga berlokasi di desa Karang Jati, lebih tua dari pada usia kampung itu. Sehingga, meskipun mayoritas penduduk sekitar beragama Islam, tidak pernah ada keributan atau gesekan antar agama. Hal ini karena Vihara Karang Jati selalu menekankan keharmonisan dan  perasaan kasih (compassion), pada seluruh umat manusia.
Vihara Karang Jati menaungi Puja bakti, pusat pelayanan keagamaan,  dan pendidikan. Khusus untuk meditasi, kegiatan ini dibuka untuk umum. Artinya, siapapun dan dari agama dan golongan manapun boleh mengikutinya. Kegiatan yang dilakukan tiap malam jumat ini bahkan pernah diikuti oleh beberapa turis mancanegara.

Instagram

Since the end of 19th century, the Catholic Church Since the end of 19th century, the Catholic Church has conducted missionary activities among the Javanese in Muntilan, Indonesia, establishing it as the first Catholic mission site in Java. The missionary work not only impacted the Javanese but also the Chinese descendants in Muntilan. The conversion of the Chinese to Catholicism in sparked debates among the Chinese community, who perceived it as a contributing factor to the abandonment of Chinese characteristics. This contest leads to the dynamic and diverse identities of Chinese Catholics within the community, as Chinese characteristics and Catholic faith mutually influence each other.

Come and join the #wednesdayforum discussion with @astridsyifa at the UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to brong your tumbler. This event is free and open to public
Selamat kepada peserta terpilih!!! Ada namamu di s Selamat kepada peserta terpilih!!!
Ada namamu di situ?

😎

peserta terpilih akan dihubungi oleh panitia
yoohoooo... are you waiting for this announcement? yoohoooo...
are you waiting for this announcement?

#studentexchange #religiousstudies #kaburajadulu
Setiap bahasa punya pendekatan dan penyebutan berb Setiap bahasa punya pendekatan dan penyebutan berbeda untuk menamai "pendidikan". Bahasa Arab membedakan antara tarbiyah, ta'lim, tadris, dan ta'dib ketika berbicara tentang "pendidikan". Sementara itu, bahasa Inggris memaknai "pendidikan" sebagai educare (latin) yang berarti 'membawa ke depan'. Jawa memaknai pendidikan sebagai panggulawênthah, 'sebuah upaya mengolah', dan upaya untuk mencari pendidikan itu disebut sebagai "ngelmu", bukan sekadar mencari melainkan juga mengalami. Apa pun pemaknaannya, hampir semua peradaban sepakat bahwa pendidikan adalah kunci untuk memanusiakan manusia.
Load More Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju