Nidaul Hasanah | CRCS | Artikel
“Borobudur penuh ‘polusi’, demikian menurut Pak Sucoro Sejak diresmikan sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO pada 1991, terjadi peningkatan kunjungan turis yang luar biasa ke Borobudur. Sehingga kini Borobudur tak lagi hanya milik Indonesia atau umat Buddha, tetapi milik dunia. Namun menurut Pak Sucoro, justru inilah yang menjadi akar “polusi” terhadap Borobudur, sehingga ia berinisiatif mendirikan Warung Info Jagad Cleguk dan menginisiasi festival tahunan Ruwat Rawat Borobudur.
Anggapan bahwa Borobudur adalah objek wisata, membuat turis yang berkunjung bebas memperlakukan Borobudur semaunya. Inilah yang memicu kesedihan dan keprihatinan Pak Sucoro, warga asli Borobudur yang menjadi saksi berbagai perubahan pengelolaan Candi Buddha terbesar di dunia itu. ”Dulu rumah saya dekat sekali dengan Borobudur,” cerita Pak Sucoro. “Waktu itu Borobudur tidak seluas sekarang. Tapi pada tahun 80-an terjadi penggusuran untuk memperluas area wisata Borobudur. Rumah saya termasuk yang digusur,” kenangnya.
Pada satu sisi ia bangga karena Borobudur kini dikenal luas oleh masyarakat dunia. Namun sayangnya, selain turis mulai lupa bahwa Borobudur juga tempat suci, tidak semua orang bisa menikmati akses wisata ke Borobudur. Masyarakat sekitar Borobudur juga harus membayar Rp 35.000 untuk bisa masuk pada area wisata. Sehingga Borobudur yang dikelola oleh PT Taman Wisata Borobudur, kini hanya bisa dinikmati oleh turis yang memiliki uang saja. Kondisi inilah yang menguatkan tekad Pak Sucoro atau yang akrab disapa Pak Coro untuk mengembalikan keharmonisan Borobudur dengan lingkungan sekitarnya. Pada tahun 2003 ia pun mendirikan Warung Info Jagad Cleguk (WIJC) sebagai tempat berkumpul orang-orang yang memiliki ide dan keprihatinan yang sama terhadap Borobudur. Dari warung kecil depan rumah yang berada tepat didepan halaman parkir Borobudur inilah ia bersama rekan-rekannya menggagas perhelatan tahunan Ruwat Rawat Borobudur yang berlangsung sejak 2003 hingga saat ini.
Mahasiswa CRCS angkatan 2015 yang mengambil mata kuliah advanced study of Buddhism diundang untuk menghadiri puncak acara Ruwat Rawat Borobudur 2016, pada 1 Juni lalu. Festival yang dimulai dari 18 April hingga 1 Juni ini menurut Pak Coro, bertujuan selain untuk membersihkan “polusi” yang terjadi pada Borobudur juga memaksimalkan potensi budaya lokal yang berada di sekitarnya.
Wilis Rengganiasih, praktisi budaya dan salah satu kolaborator acara Ruwat Rawat Borobudur, yang juga menulis tentang Pak Coro dan komunitasnya menjelaskan, “Pak Coro meyakini bahwa keberadaan Candi Borobudur mengintegrasikan dan merefleksikan gagasan filosofis, ajaran agama, motif-motif artistik, arkeologi, dan elemen-elemen kultural serta teknologi yang berguna dan masih relevan bagi masyarakat hingga saat ini. Sehingga Borobudur tidak dipandang sebagai benda mati yang tak mampu berbuat apa-apa. Sebaliknya dia adalah magnet yang mampu menggerakkan setiap sendi kehidupan masyarakat. Sehingga pada Ruwatan Borobudur dipilihlah tari-tarian yang notabene salah satu tradisi masyarakat sekitar dijadikan sebagai penarik massa. Inilah cara yang dianggap Pak Coro paling sesuai untuk merespon ketidakpedulian terhadap kebudayaan lokal disekitar Borobudur”.
Selanjutnya Pak Coro sendiri menjelaskan bahwa pada puncak acara Ruwat Rawat Borobudur kali ini semua kelompok kesenian dari Jawa Tengah dan Yogyakarta berlomba menunjukkan tariannya. Kelompok-kelompok kesenian tersebut datang dengan mengendarai mobil pick up, bus hingga truk demi memeriahkan acara. Tak lupa Kidung Karmawibangga sebagai atraksi utama dipertunjukkan.
Hanya pada hari itu, seluruh masyarakat bisa masuk ke dalam area wisata Borobudur tanpa membayar sepersen pun. Pengunjung dan penjual tumpah ruah meramaikan puncak acara Ruwat Rawat Borobudur. Selesai tari-tarian seluruh masyarakat diajak berkeliling Borobudur. Pak Coro ditemani beberapa orang tua membawa sapu lidi sebagai lambang “pembersihan” Borobudur. Sesampainya di depan Borobudur, mereka berhenti sejenak. Pak Coro sebagai inisiator acara menyampaikan sambutannya. Ia berterima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung dan melancarkan Ruwat Rawat Borobudur. Ia juga mengingatkan bahwa tidak hanya turis dari luar Borobudur dan PT Taman Wisata yang wajib merawat Borobudur melainkan penduduk lokal dan seluruh lapisan masyarakat yang hadir dalam Ruwat Rawat Borobudur juga turut menjaga warisan budaya ini. Menurutnya keikutsertaan masyarakat lokal mampu memaksimalkan potensi positif dan meminimalisir hal negatif yang terjadi pada Borobodur.
Advanced Study of Buddhism
Ali Ja’far | CRCS | Artikel
“Perubahan besar-besaran pada Klenteng-Vihara Buddha terjadi setelah peristiwa 1965, dimana semua yang berhubungan dengan China dilarang berkembang di Indonesia. Nama-nama warung atau orang yang dulunya menggunakan nama China, harus berubah dan memakai nama Indonesia” kata Romo Tjoti Surya di Vihara Buddha kepada mahasiswa CRCS-Advanced Study of Buddhism, yang melakukan kunjungan pada selasa 22 Maret 2016. Beliau menjelaskan juga bahwa pada waktu itu, umat Buddha juga harus mengalami masa sulit karena banyaknya pemeluk Buddha yang berasal dari China.
Salah satu dampak anti China ada pada Klenteng-Vihara Buddha Praba dan daerah disekitarnya adalah pada nomenclature. Pada awalnya, toko-toko itu mengunakan nama-nama China, tetapi mereka harus mengganti nama itu menjadi nama Indonesia. Begitu juga pemeluk Konghucu disini, mereka punya dua nama, nama Indonesia dan nama China. Bahkan bertahun-tahun mereka harus memperjuangkan keyakinan mereka sampai pada akhirnya Presiden Abdurrahman Wahid mencabut pelarangan itu dan Konghucu diakui sebagai salah satu agama resmi di Indonesia.
Tempat pemujaan yang berusia lebih dari 100 tahun ini merupakan gabungan dari Klenteng dan Vihara. Klenteng berada di depan dan Vihara berada di belakang. Penyatuan ini karena adanya kedekatan historis antara pemeluk Buddha dengan orang China di Indonesia. kedekatan Buddha dengan China bisa dilihat dalam rupang Dewi “Kwan Yin” dalam dialek Hokkian yang merujuk pada Avalokitesvara, Buddha yang Welas Asih. Selain itu juga ada kedekatan ajaran, dimana dalam Buddha, label agama tidaklah penting, yang paling penting adalah pengamalan dan pengajaran Dharma. Selama ajaran Dharma itu masih ada, maka perbedaan agama pun tidak masalah.
Vihara Buddha Praba sendiri adalah Buddha dengan aliran Buddhayana, yaitu aliran yang berkembang di Indonesia yang menggabungkan dua unsur aliran besar Buddha, Theravada dan Mahayana. Aliran Mahayana berada di Utara dan Timur Asia yang melintas dari China sampai ke Jepang dan lainya. Sedangkan Theravada menempati kawasan selatan, seperti Thailand, Burma. Namun begitu, Budhayana melihat dua aliran ini sebagai “Yana” atau kendaraan menuju pencerahan seperti yang diajarkan sang Guru Agung. Penggabungan Theravada dan Mahayana dalam aliran Buddhayana awalnya juga dilandasi alasan politis dimana terdapat asimilasi antara agama dan kebudayaan yang ada.
Dalam Kunjungan ini, mahasiswa CRCS diajak untuk keliling Klenteng-Vihara dan mengenal ajaran Buddha lebih dalam, terutama bagaimana Vihara ini bisa bersatu dengan Klenteng, melihat budaya China lebih dekat dan mengenali ajaran Buddha yang lebih menekankan pada penyebaran Dharma dari pada penyebaran agama.
Vihara kedua yang dikunjungi adalah Vihara Karangdjati yang beraliran Theravada. Berbeda dengan sebelumnya, Vihara Karangdjati tidak bernuansakan China, tetapi lebih ke Jawa, dimana terdapat pendopo untuk menerima tamu dan ruang meditasi yang khusus. Pak Tri Widianto menjelaskan bahwa pokok ajaran Buddha bukanlah ajaran eksklusif yang tertentu untuk pemeluk Buddha saja, tetapi untuk seluruh umat manusia. Bahkan di Vihara Karangdjati, ada juga dari agama lain yang datang saat meditasi.
Hal yang sering disalahartikan selama ini adalah meditasi hanya milik umat Buddha, tetapi tidak. Meditasi adalah laku spiritual untuk mengenali gerak gerik otak kita dan mengasah mental menghadapi masalah. Ini adalah latihan mengolah kepekaan yang tidak dibatasi oleh agama tertentu. Pengolahan kepekaan ini penting karena betapapun banyaknya kata bijak yang kita miliki, itu tak ada manfaatnya ketika tidak dipraktikkan.
Didirikan pada tahun 1958, usia Vihara Karang Jati yang juga berlokasi di desa Karang Jati, lebih tua dari pada usia kampung itu. Sehingga, meskipun mayoritas penduduk sekitar beragama Islam, tidak pernah ada keributan atau gesekan antar agama. Hal ini karena Vihara Karang Jati selalu menekankan keharmonisan dan perasaan kasih (compassion), pada seluruh umat manusia.
Vihara Karang Jati menaungi Puja bakti, pusat pelayanan keagamaan, dan pendidikan. Khusus untuk meditasi, kegiatan ini dibuka untuk umum. Artinya, siapapun dan dari agama dan golongan manapun boleh mengikutinya. Kegiatan yang dilakukan tiap malam jumat ini bahkan pernah diikuti oleh beberapa turis mancanegara.