INTERSESSION SEMINARS 2017
CRCS welcomes graduate students and the public to enroll in the following intersession seminars on religious and cross-cultural studies for credit or as auditors. Each course is offered for 3 credits (SKS). All courses are conducted in English. Each meets twice weekly, 3 hours per meeting, for a total of twelve meetings. The courses will be held between May 15 and July 31, with a two-week break for the Eid holiday. For further info, please contact Lina Pary at crcs@ugm.ac.id; office: 0274-544976.
CRCS
Subandri Simbolon | CRCS | Berita
Agar tak salah arah, kebijakan seharusnya berdasar pada riset. Kesenjangan antara kebijakan dengan pengetahuan acapkali berujung pada kebijakan yang tak menyelesaikan masalah. Termasuk di sini kebijakan yang berkenaan dengan umat beragama.
Untuk menjembatani pemerintah dengan akademisi, pada 14 Februari 2017 Balitbang Kementerian Agama bekerja sama dengan Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina mengadakan diskusi dengan topik mengenai definisi agama dan penodaan agama sebagai rangkaian dari serial diskusi “Analisis Kebijakan: Riset dan Kebijakan Terkait Kehidupan Beragama di Indonesia”. Serial diskusi ini direncanakan akan menghasilkan buku terkait tema-tema seperti intoleransi, konflik agama, kebebasan beragama dan berkeyakinan, dan kerukunan antarumat beragama. Forum diskusi itu dihadiri berbagai kalangan dari pihak Kemenag, termasuk Menteri Agama Lukman H. Saifuddin, para akademisi dan aktivis. Dua dosen Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Dr Samsul Maarif dan Dr Zainal Abidin Bagir, menjadi pembicara dalam forum itu.
Definisi Agama
Samsul Maarif memaparkan ulasannya dengan tajuk “Meninjau Ulang Definisi Agama, Agama Dunia, dan Agama Leluhur”. Ia menyampaikan bahwa definisi agama saat ini cenderung diskriminatif karena menggunakan paradigma “agama dunia” (world religion) untuk menilai agama lokal. Paradigma ini dalam diskursus klasik Barat prototipenya adalah Kristen sedangkan dalam konteks Indonesia adalah Islam. Agama-agama lokal, dalam paradigma ini, cenderung menempati posisi yang lebih rendah. Penggunaan paradigma agama dunia itu bukan saja menyusup ke dalam cara pengambilan kebijakan oleh pemerintah, melainkan juga telah menghantui dunia akademik di Indonesia.
Berdasar pada kritik itu, Samsul menyampaikan bahwa pemahaman mengenai agama yang cenderung esensialis harus dihindari, karena agama mesti dipahami secara diskursif berdasarkan konteks waktu, tempat, dan sejarahnya. Yang sebenarnya lebih diperlukan adalah mempertimbangkan definisi dari segi efektifitasnya dalam memecahkan masalah. Dalam hal ini, definisi yang dibuat seharusnya dapat membebaskan kelompok-kelompok tertentu, utamanya kalangan penganut agama leluhur, dari perlakukan diskriminatif.
Di samping itu, Samsul menegaskan bahwa kebijakan dan studi terhadap para penganut agama leluhur mesti dilakukan dalam konteks keragaman agama, yakni bahwa para penganut agama leluhur mendapat kebebasan untuk mendefenisikan agama mereka sendiri. Pemerintah diharapkan dapat memfasilitiasi self-determinism warganya dan melihat mereka sebagai warga negara yang setara. Definisi yang baik adalah definisi yang mampu memberikan hak-hak yang setara pada semua penganut agama, baik agama-agama dunia maupun agama-agama leluhur dan kepercayaan, di Indonesia.
Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
Dalam forum yang sama, Dr Zainal Abidin Bagir berbicara untuk tema “Kajian tentang Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia dan Implikasinya untuk Kebijakan”.
Zainal memaparkan diskusi mutakhir tentang Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) baik di tingkat internasional maupun nasional serta tema-tema yang menonjol. Ia menegaskan bahwa dalam diskursus di tingkat internasional KBB bukanlah konsep yang sudah fixed dan statis, namun mengalami perkembangan hingga saat ini. Di antara masalah yang masih kerap muncul hingga kini dalam diskusi KBB adalah pertentangan antara mereka yang mengklaim universalitas KBB, sebagai bagian dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), dan negara-negara yang menggunakan sudut pandang partikularistik, yang merelatifkan KBB.
Terlepas dari itu, perkembangan yang menarik adalah regionalisasi HAM, yaitu diadopsinya HAM oleh beberapa regional, termasuk Uni Eropa, ASEAN, dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI). Lebih jauh, meskipun ada kecenderungan partikularistik itu, dalam perkembangannya HAM ASEAN dan OKI cenderung mengalami konvergensi ke HAM internasional.
Di Indonesia sendiri, Zainal melihat beberapa perkembangan penting HAM setelah 1998, termasuk ratifikasi beberapa kovenan, dan masuknya klausul khusus mengenai HAM dalam amandemen Undang-Undang Dasar. Selanjutnya, terjadi pengarusutamaan KBB dalam berbagai UU. Perkembangan ini menurut Zainal menjadi sebuah nilai plus bagi Indonesia jika dibandingkan dengan perkembangan regional, khususnya jika dibandingkan dengan banyak negara ASEAN dan OKI. Di Indonesia pun, partikularisasi KBB terjadi, yakni dalam menghadapkan HAM dengan apa yang dianggap sebagai kultur Indonesia dan aspirasi keagamaan sebagian kelompok beragama, khususnya muslim. Salah satu bentuk partikularitas itu diekspresikan dalam konsep “kerukunan”, yang hingga tingkat tertentu menjadi pembatas kebebasan.
Di bagian akhir paparannya, Zainal mengajukan beberapa rekomendasi untuk pengembangan kajian dan perumusan kebijakan terkait KBB. Pertama, “membumikan” KBB dalam tradisi kultural atau keagaman untuk memperluas tingkat penerimaan publik. Kedua, perlunya ada kajian komparatif dengan praktik-praktik kebijakan KBB di negara-negara lain untuk memperkaya perspektif dalam mengidentifikasi faktor-faktor yang menyumbang atau menghambat keberhasilan perumusan maupun implementasi kebijakan. Ketiga, perlunya ada perhatian pada best practices dari praktik-praktik yang sudah terjadi agar kajian kebijakan tak hanya melihat aspek legal secara abstrak namun juga situasi dan kondisi yang memungkinkan keberhasilan perumusan dan penerapan kebijakan.
Batas minimal?
Dalam sesi tanya jawab, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengajukan satu pertanyaan tentang batas minimal yang harus dilakukan negara dalam Perlindungan Umat Beragama (PUB). Andreas Harsono, dari Human Rights Watch, menjawab bahwa batas minimal adalah tidak terjadinya kekerasan kepada kelompok keagamaan manapun. Zainal melanjutkan dengan menyampaikan bahwa hak-hak administrasi kependudukan, kebebasan beribadah harus dipenuhi bagi semua pemeluk agama, terlepas dari bagaimana agama didefinisikan.
Kasus-kasus yang acapkali terjadi adalah sulitnya sebagian kalangan untuk mendapatkan hal-hak konstitusionalnya. Di beberapa daerah, hak-hak dasar pemeluk agama leluhur belum terlayani secara penuh. Misalnya, seorang anak tidak bisa dimasukkan dalam Kartu Keluarga orang tuanya hanya karena perkawinan mereka berdasarkan agama leluhur dan tak dapat dicatat dalam pencatatan sipil. Hal ini para gilirannya berakibat pada hilang atau berkurangnya akses-akses dalam bidang lain seperti pendidikan, kesehatan dan hak politik.
Di akhir diskusi, Menteri Agama menyampaikan bahwa Kementerian Agama terbuka untuk menerima masukan dari semua pihak, khususnya dalam upaya merumuskan RUU Perlindungan Umat Beragama yang sedang diproses.
Anang Alfian | CRCS UGM | Book Review
[perfectpullquote align=”full” cite=”” link=”” color=”” class=”” size=”14″]”Kasus kerusuhan Sunni-Syiah di Sampang tak cuma seputar isu konflik dan permusuhan, di sana juga ada upaya rekonsiliasi dan persaudaraan yang mengharukan.” [/perfectpullquote]
Berita kerusuhan antar-umat beragama di Sampang lima tahun silam senyampang mungkin masih melekat di memori kita. Namun, kerusuhan pada waktu itu tetap menyisakan trauma mendalam di kalangan Syiah dan Sunni masyarakat Dusun Nagkernang dan Gading Laok, Kecamatan Omben, Sampang, Madura. Setidaknya telah tercatat dua kali pembakaran pada tahun 2011 dan 2012 yang berujung pada pengusiran warga Syiah dari Madura.
Situasi konflik tersebut mendorong Muhammad Afdillah untuk menelisik lebih jauh akar perseteruan Sunni-Syiah di Sampang, Madura. Berangkat dengan asumsi bahwa konflik kekerasan yang terjadi diakibatkan oleh rentetan peristiwa yang mendahuluinya, buku “ Dari Masjid ke Panggung Politik” ini mendasari penelitiannya dengan teori bahwa kekerasan fisik yang terjadi adalah hasil dari kekerasan struktural dan kultural yang terjadi di masyarakat (hlm. 5). Untuk itu, buku ini membuka bahasannya dengan mendedah budaya dan nilai-nilai yang dianut masyarakat Sampang sebagai titik tolak.
Secara garis besar, Afdillah menggarisbawahi bahwa Masyarakat Sampang, dan Madura pada umumnya, memegang teguh tiga nilai yang menjadi identitas karakter orang Madura. Yaitu bappha’ babbhu’, guruh, rato, artinya orang tua, guru, penguasa; Taretan dibi, artinya persaudaraan; dan lebbhi bagus pote tolang etembheng pote mata yang artinya lebih baik mati daripada hidup menanggung malu. Dalam konteks nilai semacam ini, orang tua menempati urutan utama dalam masyarakat Madura sehingga tak heran hubungan keluarga di Madura sangat erat. Nilai ini salah satunya tercermin pada rumah adat Madura yang cenderung mengumpul dan berjejer dengan rumah anggota keluarga yang lain dalam satu pekarangan. Guru atau pemimpin agama merupakan aktor strategis sebagai mediator hubungan masyarakat dengan penguasa. Sikap patuh kepada guru tidak bisa ditawar dalam masyarakat Madura. Selain itu, nilai nilai gotong royong, persaudaraan dan martabat diri dan keluarga sangat dijaga oleh orang Madura. Dalam kasus konflik Sampang, elemen-elemen budaya ini mewarnai dinamika dan peta relasi kultur dan politik dalam inisiasi dan eskalasi konflik.
Permulaan konflik sampang dijelaskan secara beruntun mulai dari perselisihan antarkeluarga Kyai Makmun dan Kyai Karrar yang memiliki perbedaan ideologi agama, hingga masalah perebutan pengaruh kekuasaan. Tak luput isu isu ekonomi juga berdampak pada perkembangan konflik. Banyaknya aktor yang terlibat dari organisasi masyarakat, tokoh agama, dan pemerintah daerah dan politisi semakin menambah ramai masalah hingga terdengar luas di Indonesia. Eskalasi konflik pun tak terelakkan ketika bentrok masyarakat terjadi beberapa kali.
Buku yang berasal dari tesis di Program Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, ini ditulis pada tahun 2013 ketika dampak dari eskalasi konflik masih sangat terasa. Dengan gaya narasi yang ringan dan menarik, buku yang mendapatkan penghargaan Thesis Award CRCS ini mengajak pembaca untuk memahami lebih dalam karakter sosial masyarakat Madura, khususnya Sampang, dari awal mula terjadinya pertikaian antarkeluarga dan masyarakat, hingga meluas menjadi eskalasi konflik yang mencekam.
Menariknya, buku ini tak hanya berbicara tentang bagaimana konflik Sampang terjadi, tapi juga usaha penyelesaian konflik yang dilakukan oleh berbagai pihak pasca konflik dengan mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan, dan nilai persaudaraan sebagai kearifan lokal orang Madura. Pada pertemuan ke empat yang diadakan oleh Kementerian Agama Kabupaten Sampang antara kelompok Syiah dan Sunni, terlihat jelas bagaimana rasa persaudaraan yang kuat Taretan Dibi’ orang Madura tak bisa dibohongi. Mereka yang dulu terlibat konflik berdarah akhirnya mengakui rasa kangennya terhadap saudara dan ingin melupakan konflik yang pernah terjadi dan berjanji akan menjalin dan menjaga perdamaian bersama meskipun trauma serupa tetap ada. Buku ini menjadi penting sebagai pelajaran reflektif bagi kita untuk terus mengupayakan kerukunan dan toleransi terhadap perbedaan antar umat beragama, dan mengupayakan resolusi konflik dengan jalan perdamaian.
Judul: Dari Masjid ke Panggung Politik, Melacak Akar-akar Kekerasan Agama Antara Komunitas Sunni dan Syiah di Sampang, Jawa Timur | Penulis: Muhammad Afdillah | Penerbit: CRCS 2016 | ISBN: 978-602-72686-6-1 | Harga: Rp 70.000,- |
Judul
Dari Masjid ke Panggung Politik, Melacak Akar-akar Kekerasan Agama Antara Komunitas Sunni dan Syiah di Sampang, Jawa Timur
Penulis
Muhammad Afdillah
Penerbit
CRCS 2016
ISBN
978-602-72686-6-1
Harga
Rp 70.000,-
Beberapa aspek politik dan kekerasan Sunni-Syiah di Sampang dibahas di dalam buku ini. Salah satu di antaranya penyebab konflik antara komunitas Sunni dan Syiah di Sampang. Selain itu, buku ini membahas dinamika konflik Sunni-Syiah, khususnya eskalasi konflik yang terjadi seiring dengan berjalannya waktu dan kegagalan intervensi dan penanganan terhadap konflik tersebut. Buku ini juga membahas usaha – usaha rekonsiliasi kedua komunitas, khususnya setelah kekerasan terbuka yang terjadi di Bulan Desember 2011 dan Agustus 2012.
(Samsu Rizal Panggabean, Pengajar di Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada).
__________________________
Bagi yang tertarik, bisa menghubungi:
Divisi Marketing CRCS UGM
Gedung Lengkung Lantai 3
Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, Indonesia 55281
Telephone/Fax : + 62-274-544976
Suhadi | CRCS | Artikel
Akhir Juli 2016 lalu terjadi kekerasan di Tanjungbalai, Sumatera Utara. Sebagian sumber menyebutkan tidak kurang dari tiga vihara, delapan kelenteng, satu bangunan yayasan sosial dan tiga bangunan lain dirusak oleh massa. Terdapat enam mobil juga dirusak atau dibakar oleh massa.
Kekerasan tersebut sangat patut disayangkan, meskipun demikian apresiasi kepada masyarakat Tanjungbalai dan aparat keamanan penting dikemukakan. Sebab, setidaknya kekerasan yang terjadi tidak meluas menjadi kekerasan horizontal lebih besar dalam jangka waktu yang panjang. Meskipun sudah terjadi agak lama, refleksi terhadap peristiwa kerusuhan tersebut tetap penting untuk meminimalisir kemungkinan berulangnya kekerasan sejenis, baik di Tanjungbalai ataupun di tempat lain.
Pendekatan Keamanan
Pada satu sisi, terjadinya pergerakan massa sampai merusak cukup banyak bangunan menunjukkan terlambatnya aparat keamanan bergerak melindungi warga dan patut menjadi catatan penting. Polisi seharusnya sudah bertindak cepat pada hari Jumat (29 Juli) malam itu, ketika massa dimobilisasi.
Di sisi lain, tindakan polisi, setelah kerusuhan terjadi, untuk melokalisir kerusuhan secara cepat, misalnya dengan menjaga keamanan wilayah dan memperketat keluar-masuk orang ke wilayah tersebut, patut diapresiasi. Dalam kasus-kasus kekerasan yang lain, tidak jarang aparat keamanan menjadi bagian dari masalah, atau setidaknya ragu-ragu, untuk dengan cepat mengambil keputusan bahwa kekerasan harus segera dihentikan. Pernyataan Kabid Humas Polda Sumut, Kombes Rina Sari Ginting, tidak lama setelah kerusuhan terjadi bahwa pelaku kekerasan melanggar pidana merupakan statemen yang jelas dan tegas bagaimana negara seharusnya hadir ditengah situasi yang genting.
Kerja bakti membersihkan puing-puing dan bekas kerusuhan yang dilakukan oleh aparat keamanan dan ratusan warga masyarakat Tanjungbalai sehari setelah kerusuhan terjadi dapat dimaknai sebagai isyarat publik bahwa situasi keamanan di Tanjungbalai dapat kembali normal dengan cepat. Ini penting disampaikan, karena dalam beberapa kejadian lain, ketika ketegasan aparat tidak tampak, apalagi jika ada upaya memanfaatkan situasi konflik untuk tujuan politik, situasi di suatu wilayah sulit untuk kembali normal.
Pendekatan Dialog untuk Perdamaian
Kerusuhan Tanjungbalai bukan pertama kali terjadi di daerah tersebut. Sebelumnya, kerusuhan serupa pernah terjadi pada tahun 1979, 1989, dan 1998 (Komnas HAM 2016). Artinya, meskipun dalam kehidupan sehari-hari berlangsung praktik koeksistensi di masyarakat, potensi konflik bisa berkembang dan pada momen-momen tertentu meledak menjadi kekerasan massa.
Oleh sebab itu, pendekatan keamanan saja tidak akan memadai. Dialog antar kelompok di masyarakat menjadi niscaya dibutuhkan. Dalam konteks masyarakat Tanjungbalai, dialog tersebut mungkin bisa kita sebut dialog multikultural untuk perdamaian.
Disebut dialog multikultural sebab tidak saja menyangkut agama, tetapi juga etnik. Seperti ditunjukkan kasus Tanjungbalai, seorang warga berketurunan Tionghoa, berusia 41 tahun, yang memprotes nyaringnya pengeras suara adzan di samping rumahnya, menyulut diserangnya rumah ibadah umat Khonghucu dan umat Buddha.
Disebut untuk perdamaian karena fokus atau tujuan utamanya adalah perdamaian. Tidak semua dialog memiliki tujuan perdamaian secara langsung. Sebut saja, salah satu contohnya dialog teologis, seperti dialog antar ahli kitab suci agama-agama. Meskipun bisa juga mengarah pada perdamaian, dialog teologis bisa mengarah pada pengayaan teologis an sich dan tidak memiliki pengaruh langsung pada aspek sosial di masyarakat.
Jika kita mengikuti perkembangan wacana antar etnik pasca kerusuhan Tanjungbalai yang berkembang di media, terutama di media sosial, sangat jelas bahwa prasangka antar etnik berkembang luas dan mendalam. Diantara karakter prasangka adalah persepsi negatif dan generalisasi-berlebih (Suhadi & Rubi 2012, konsep tentang prasangka bisa dibaca dalam salah satu artikel buku Kajian Integratif Ilmu, Agama dan Budaya atas Bencana).
Persepsi negatif terhadap suatu kelompok etnik atau agama tertentu, apalagi jika mendapatkan dukungan dari praktik orang-orang dalam komunitas bersangkutan, pada gilirannya dapat berkembang menjadi legitimasi yang efektif untuk meminggirkan, menyerang atau menghancurkan kelompok yang dianggap memiliki perilaku negatif itu. Dukungan fakta praktik negatif tersebut bisa saja ditemukan hanya pada satu-dua orang, atau dalam jumlah lebih besar tetapi terbatas. Di sini terjadi proses transformasi dari identifikasi individu ke identifikasi kelompok.
Lebih-lebih karena bekerjanya prasangka juga bersifat generalisasi-berlebih, maka seringkali sasaran kekerasan yang mengandung unsur prasangka dapat mengenai anggota komunitas yang lebih luas. Bahkan, korban kekerasan bisa jadi adalah orang-orang yang tidak setuju atau menentang sikap negatif dari anggota komunitasnya.
Hal inilah yang persis terjadi di Tanjungbalai. Tindakan satu orang disambut dengan balasan kekerasan yang luas kepada komunitas etnik dan agama yang dianggap memiliki kesamaan identitas. Kekerasan seperti itu tentu tidak sekonyong-konyong terjadi. Sebelumnya berkembang prasangka yang mungkin telah meluas dan mendalam di masyarakat. Penting diingat bahwa pada tahun 2010 telah muncul keresahan terkait dengan upaya penurunan patung Buddha di Tanjung Balai. Peristiwa itu seharusnya sudah menjadi pengingat bahwa ada hubungan sosial yang harus diperbaiki di sana (lihat, misalnya tribunnews.com dan blasemarang.kemenag.go.id)
Agar tidak terulang kembali, kekerasan dan konflik seperti itu tidak bisa dipulihkan hanya dengan pendekatan keamanan. Dialog di tingkat masyarakat menjadi prasyarat penting proeksistensi yang berkelanjutan di Tanjungbalai.
Abu-Nimer (2000) dalam sebuah tulisannya dengan judul “The Miracle of Transformation through Interfaith Dialogue” menyebutkan dialog merupakan alat yang sangat menolong untuk memperdalam pemahaman individu mengenai berbagai cara pandang dan perspektif orang lain.
Dalam masyarakat yang menyimpan ketegangan relasional, mereka mesti membangun dulu sikap saling percaya (trust). Baru setelah itu masing-masing kelompok dapat membicarakan keberatan-keberatan yang dirasakan masing-masing dalam praktik kehidupan sehari-hari mereka. Alih-alih merasa tidak ada masalah, lebih baik dalam dialog mengakui dengan jujur masalah-masalah yang ada selama ini menjadi prasangka.
Pada praktiknya tentu ini tidak mudah. Membangun sikap saling percaya untuk mengungkapkan masalah-masalah yang ada perlu proses panjang, lebih dari satu-dua kali pertemuan bersama. Namun jika hal itu dapat dilampaui, kesepakatan-kesepakatan relasional bisa mulai dirumuskan bersama.
Lebih dari itu, dialog dapat berkembang menjadi kerjasama kongkrit antar kelompok, menyangkut hal sehari-hari terkait, misalnya, masalah lingkungan, kesehatan, kepemudaan, penyelenggaraan festival bersama atau hal lain.
Untuk memperkuat bahwa dialog merupakan kebutuhan yang tumbuh dari komunitas antar kelompok di masyarakat lokal Tanjungbalai sendiri, nilai-nilai agama dan nilai-nilai budaya lokal yang tumbuh di mayarakat penting menjadi panduan bersama. Sejarah lokal di Tanjungbalai menunjukkan keberadaan etnik Batak, Melayu, Tionghoa, Jawa, dan yang lain telah hidup bersama dalam waktu sangat lama. Dalam pengalaman hidup bersama mereka pasti terdapat best practices nilai-nilai dan praktik-praktik kerjasama yang dapat dijadikan pelajaran, baik yang masih terus berlangsung maupun yang perlu digali untuk dihidupkan kembali.
Dialog dan kerjasama bisa jadi mendapat penentangan dari pihak tertentu di masyarakat. Sebab mungkin saja ada pihak-pihak dalam masyarakat yang berkepentingan dengan konflik.Untuk itu pemerintah dan aparat keamanan penting memberi jaminan rasa aman bagi proses berlangsungnya dialog dan kerjasama tersebut. Dialog yang lebih genuine sebaiknya melibatkan masyarakat akar rumput, meskipun keberadaan tokoh agama dan tokoh masyarakat juga tidak bisa diabaikan. Memulainya dengan kaum muda mungkin menjadi pilihan yang lebih mudah dan realistis.
__________________
Suhadi adalah dosen di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga. Di samping itu juga mengajar di Prodi Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana UGM. Suhadi adalah juga Southeast Asia KAICIID fellow untuk program dialog antaragama dan dialog antar budaya.
A.S. Sudjatna | CRCS | Interview
Sejak tahun 2015, Dr. Kimura Toshiaki, associate professor Program Studi Agama, Universitas Tohoku, Sendai, Jepang menjadi salah satu pengajar mata kuliah ‘Sains, Agama dan Bencana’ di Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), UGM. Membincang bencana di Jepang sangat menarik karena Jepang adalah negara dengan kesiapan bencana yang sangat tinggi. Menjadi lebih menarik ketika memasukkan agama dalam perbincangan bencana di negeri Sakura itu. Bencana adalah sesuatu yang sangat akrab bagi masyarakat Jepang, tapi agama? Sesuatu yang dihindari pada awalnya tapi perlahan diterima karena bencana. Berikut wawancara tim CRCS dengan dosen yang akrab dipanggil Kimura Sensei ini mengenai bencana, agama, dan studi agama di Jepang.
Kimura Sensei, bagaimana masyarakat Jepang memahami relasi antara agama, bencana, dan sains?
Mayoritas orang Jepang menganggap persoalan bencana ini hanya seputar sains, material, medis atau teknologi belaka. Namun menurut saya, bencana juga memiliki nilai-nilai agama, dan agama dapat membantu orang-orang yang menjadi korban bencana. Para korban bencana itu tidak hanya memiliki masalah-masalah pada wilayah material ataupun psikologis, tetapi juga masalah pada wilayah spiritual. Dan, persoalan spiritual inilah yang seolah dilupakan di Jepang. Faktanya, di Jepang walaupun bantuan material sangat banyak diberikan oleh pemerintah, misalnya bantuan tempat tinggal dan biaya hidup yang cepat dan mudah dari pemerintah setelah bencana terjadi, namun tetap saja banyak korban bencana yang hidupnya merasa susah, apalagi pasca gempa dan tsunami lima tahun lalu (gempa dan tsunami tahun 2011). Hampir delapan ribu orang yang bunuh diri di wilayah-wilayah terdampak bencana tersebut. Artinya, menangani persoalan yang bersifat material dan medis saja tidaklah cukup. Saya berpikir ini mesti ada persoalan spiritual yang juga harus dibantu penyelesaiannya, dan ini pasti membutuhkan peranan agama. Nah, di dalam konteks inilah kelas religion, science and disaster diadakan. Mengenai persoalan hubungan bencana, sains dan agama, saya sedang melakukan penelitian untuk membandingkan persoalan ini di Jepang dengan wilayah lain, yakni di Indonesia, Turki dan Cina. Sehingga nanti dapat ditemukan formula yang tepat dalam menggunakan agama sebagai mitigasi bencana.
Apakah ada perbedaan antara respon Bencana di Jepang dan Indonesia?
Menurut saya sangat berbeda. Karena di Jepang, pemisahan antara agama dan pemerintahan sangat kuat. Sehingga kadang-kadang bantuan yang bersifat sekular lebih gampang sedangkan yang bersifat agama sangat sulit. Sedangkan di Indonesia peranan agama lebih kuat dalam membantu korban-korban bencana. Di Jepang kesan-kesan terhadap agama sangat negatif sedangkan di sini sangat positif.
Sebenarnya, kondisi agama di Jepang itu sendiri seperti apa, Kimura Sensei?
Kondisi agama di Jepang sangat berbeda dengan di Indonesia. Bisa juga disebut terbalik kondisinya. Di Jepang, kata-kata agama seperti sesuatu yang tabu. Masyarakat Jepang sangat takut dengan kata-kata agama. Saat saya mengatakan kepada orang tua saya bahwa saya akan belajar di religious studies (Studi Agama), mereka melarang. Mungkin mereka takut jika anaknya punya hubungan dengan agama. Bahkan kalau melihat hasil survei, lebih dari tujuh puluh persen masyarakat Jepang mengatakan bahwa dirinya tidak memiliki agama. Hanya dua puluh persen yang mengatakan bahwa dirinya beragama. Namun uniknya, jika melihat hasil survei lainnya, bisa dilihat bahwa kira-kira delapan puluh persen masyarakat Jepang pergi ke kuburan untuk bersembahyang. Kuburan-kuburan tersebut biasanya berada di kuil-kuil Budha dan orang-orang biasanya meminta para biksu untuk mendoakan orang-orang yang telah meninggal. Dan di dalam rumah mereka, hampir lima puluh persen masyarakat Jepang bersembahyang kepada dewa-dewa agama Sinto atau agama Budha. Delapan puluh persen dari mereka pergi berdoa ke kuburan dan lima puluh persen dari mereka setiap hari bersembahyang di rumah namun mereka tidak pernah menganggap hal itu sebagai agama. Orang Jepang berbeda dengan orang atheis. Orang Jepang melakukan beragam praktik keagamaan namun tidak mau mengakui hal itu sebagai praktik agama, alasannya macam-macam, salah satunya yaitu orang Jepang menganggap bahwa kata-kata agama itu adalah impor dari Eropa, dan mereka menganggap bahwa agama itu seperti agama Kristen, ada gereja dan ada organisasi yang kuat dan harus memilih satu agama saja. Hal itu tidak sesuai dengan praktek dan kepercayaan orang Jepang. Sehingga, walaupun mereka pergi ke kuburan dan melakukan sembahyang di rumah namun mereka berpikir hal itu bukanlah agama seperti agama Kristen. Konsep agama dalam pandangan orang Jepang sangatlah sempit.
Lantas, bagaimana respons generasi muda Jepang saat ini terhadap perkembangan agama?
Soal agama-agama baru sebenarnya pasca Perang Dunia Kedua sudah mulai ada, saat masyarakat Jepang berada dalam kondisi yang susah. Waktu itu agama-agama baru mulai tumbuh, dan sekitar tahun 80-an agama-agama baru ini tumbuh di dalam kampus dan menjaring banyak pengikut. Namun sejak tahun 1995, saat terjadi aksi terorisme oleh anggota agama Aum Sinrykyo yang menyebarkan gas sarin di subway, masyarakat Jepang menjadi takut dengan agama baru. Menurut survey, pengikut agama-agama baru itu kini tinggallah orang yang sudah tua-tua dan jumlahnya sudah menurun. Namun, jika melihat hasil survei terbaru, kita bisa lihat bahwa sejak tahun 70-an, jumlah anak-anak muda yang percaya agama terus menurun, namun pasca gempa 2011 agak berubah, mulai agak sedikit naik. Mungkin di generasi muda saat ini sudah mulai tumbuh pandangan positif terhadap agama dibandingkan dengan generasi terdahulu.
Apakah ada perbedaan pandangan orang Jepang terhadap agama sebelum dan setelah tsunami, terutama tsunami besar yang terjadi belakangan ini?
Pasca bencana gempa dan tsunami pada tahun 2011 silam memang ada perubahan cukup berarti dalam cara pandang masyarakat Jepang terhadap agama. Bencana tersebut menelan korban lebih dari lima belas ribu orang meninggal dunia. Di dalam sejarah Jepang, bencana dengan korban sebesar itu sepertinya tidak pernah terjadi sebelumnya. Nah, ini rupanya mengguncang sisi spiritual masyarakat Jepang. Saya mendengar langsung sebuah cerita dari kawan yang seorang dokter dan bertugas mengurus para korban tsunami besar tersebut. Ia ditanya oleh korban selamat dari tsunami tersebut, “Suami saya telah meninggal oleh tsunami, sekarang suami saya kira-kira berada di mana?” Sebagai petugas medis, teman saya waktu itu tidak mampu menjawab. Ia bercerita pada saya dan merasa bahwa untuk menjawab pertanyaan itu bukanlah peranan seorang di bidang medis melainkan agama. Dan selama ini di Jepang, wilayah itu kosong. Nah, saking banyaknya persoalan semacam itu, kini masyarakat Jepang sudah mulai berpikir untuk mencari solusi, salah satunya lewat agama.
Selain itu, media juga sudah mulai berubah. Jika dulu media tidak mau memberitakan perihal agama karena tidak mau campur tangan di dalam persoalan agama, kini setelah gempa dan tsunami besar tersebut, media Jepang mulai banyak memberitakan perihal agama, misalnya memberitakan LSM-LSM agama yang membantu para korban bencana. Mungkin sekarang pikiran masyarakat Jepang sudah mulai berubah. Dahulu masyarakat Jepang berpikir, jika ada bantuan datang dari lembaga-lembaga keagamaan maka itu adalah usaha untuk menyebarkan agama baru pada korban bencana. Namun sekarang mereka mulai memahami bahwa hal itu adalah memang murni untuk bantuan kemanusiaan.
Apakah perubahan pandangan terhadap agama pasca bencana ini juga berpengaruh terhadap minat mahasiswa Jepang terhadap studi agama?
Jika di masa saya, studi agama menargetkan menerima sepuluh orang mahasiswa pada setiap tahun ajaran, tapi paling hanya dua atau tiga orang yang mendaftar. Namun, kini hampir setiap tahun ajaran ada sekitar dua puluh orang yang mendaftar dan sepuluh orang saja yang diterima. Jadi sejak tahun 2000, sudah mulai banyak calon mahasiswa yang mau belajar di jurusan studi agama. Ini tidak hanya terjadi di Universitas Tohoku tetapi juga di universitas-universitas lainnya di Jepang. Jadi, mungkin generasi muda saat ini sudah mulai tertarik mempelajari masalah-masalah agama.
Apa yang diajarkan di jurusan religious studies di Jepang?
Religious studies di Jepang juga mengajarkan hal yang sama seperti di Indonesia, seperti di CRCS. Religious studies mengajarkan teori-teori dari Eropa, semisal sosiologi dan antropologi. Namun memang sejak sebelum terjadi bencana gempa dan tsunami besar pada tahun 2011, studi agama ini lebih banyak berkutat di wilayah teoritis, hanya berputar pada sisi teori-teori saja. Namun pasca 2011, kajian ini mulai menemukan wilayah praktisnya. Sekarang jurusan studi agama mulai banyak menjalin kerja sama dengan LSM-LSM agama atau lembaga agama, tidak seperti dulu yang terkesan menjauhkan diri dari agama. Sekarang studi agama mulai berpikir ke arah kerjasama dengan lembaga agama di dalam menangani persoalan korban bencana.
Apakah kerjasama antara program studi agama di Jepang dengan program studi agama di universitas lain juga termasuk bagian dari itu? Seperti kerja sama antara Tohoku University dan CRCS UGM?
Iya, MoU kerjasama antara Tohoku dan CRCS UGM ini berfungsi seperti payung hukum saja, sedangkan jenis dan bentuk program-program penelitian ataupun pertukaran mahasiswa bisa didesain sedemikian rupa nanti. Pertukaran mahasiswa bisa dilakukan antara mahasiswa CRCS UGM dan Tohoku dan bisa transfer mata kuliah, sedangkan biaya kuliah cukup dengan membayar di home university saja. Secara umum, kerjasama antara Tohoku University dan CRCS UGM ada dua macam, yaitu tentang kerja sama penelitian dan pertukaran mahasiswa. Di bidang penelitian nanti bisa ada kerja sama dalam proyek penelitian, penelitian tentang agama dan bencana salah satunya, dan jika ada penelitian di Jepang nanti ada bantuan fasilitas dari Tohoku University.
Sebagai penutup, bisa sedikit bercerita mengenai pengalaman mengajar di CRCS?
Ini adalah tahun kedua saya mengajar di CRCS. Saya sangat senang mengajar di sini karena setiap tahun mahasiswanya terlihat selalu semangat. Responsnya banyak. Tidak seperti di Jepang. Kalau di Jepang, selesai kelas saya harus menunjuk satu-satu mahasiswa agar mau bertanya. Kalau di sini mahasiswanya aktif bertanya. Jadi diskusinya bisa lebih dalam. Awalnya, sebelum saya mulai mengajar kuliah disaster ini, saya sempat khawatir apakah materi yang akan disampaikan cocok atau tidak, namun ternyata banyak mahasiswa yang tertarik dengan materi yang disampaikan dan kelasnya menjadi hidup. Saya jadi senang sekali.
Arigato Gozaimasu, Kimura Sensei!