SPK Tingkat Lanjut mencari 15 orang alumni SPK dari semua angkatan untuk mengikuti pelatihan tingkat lanjut di Yogyakarta, 2-8 Oktober 2017.
CRCS-UGM
Jekonia Tarigan | CRCS UGM | SPK News
Pada hari keempat Sekolah Pengelolaan Keragamaan (SPK) angkatan ke-VIII tahun 2016 ini, tampak para peserta mulai dapat melihat muara dari upaya pendidikan yang dilakukan dalam SPK ini. Setelah beberapa hari bergaul dengan materi-materi yang menjadi landasan pembangunan kesadaran akan keberagaman dan penghargaan subjektifitas semua entitas dalam keberagaman, seperti teori identitas, reifikasi agama di Indonesia, dan lain sebagainya, para peserta dibawa ke ranah upaya mempraktikkan apa yang telah dipelajari.
Hal ini terwujud dalam topik “Advokasi Berbasis Riset” yang disampaikan oleh Kharisma Nugroho, seorang peneliti dan konsultan kebijakan-kebijakan publik dari KSI (Knowledge Sector Initiative) sebuah lembaga riset kerjasama Indonesia dan Australia yang bergerak dalam upaya mengangkat pengetahuan atau kearifan lokal dalam pembuatan kebijakan-kebijakan di tingkat daerah maupun nasional.
Dalam sesi ini disampaikan, semua peserta SPK perlu sampai pada titik di mana mereka terpanggil untuk melalukan sebuah upaya advokasi, yang secara sederhana dapat diartikan sebagai upaya memperjuangkan nilai-nilai atau ideal-ideal yang diyakini kebenarannya, misalnya mengadvokasi hak-hak masyarakat adat terhadap tanah adat mereka yang ingin dicaplok oleh perusahaan multinasional.
Namun fasilitator menekankan bahwa kerja advokasi bukanlah kerja otot (kerja keras) semata, sehingga basisnya bukan hanya emosi dan pemaksaan kehendak. Lebih dari itu, kerja advokasi adalah kerja otak (kerja cerdas), yang berarti bahwa orang-orang yang mengadvokasi harus tahu benar apa yang ia bela dan bagaimana cara membuat pembelaan dan perjuangannya itu berhasil.
Untuk itu, fasilitator menjelaskan ada tiga pengetahuan penting yang harus dimiliki oleh setiap peserta SPK, yakni: pertama, scientific knowledge, yaitu pengetahuan atau riset yang berbasis teori sebagaimana yang dapat diperoleh dalam kehidupan akademik di kampus; kedua, financial knowledge, yaitu pengetahuan atau riset yang didorong oleh lembaga-lembaga donor tertentu yang menghendaki adanya kajian tentang sebuah topik atau kejadian sebelum mereka memberikan bantuan, dll; dan yang ketiga, bureaucratic knowledge, yaitu pengetahuan terkait pemahaman pemerintah atas sebuah hal atau peristiwa yang ingin diadvokasi oleh satu lembaga swadaya masyarakat tertentu. Ini karena pemerintah mempunyai logikanya tersendiri terkait sebuah kebijakan yang akan diambil yang membuat mereka tidak hanya perlu fokus pada satu hal yang diadvokasi oleh satu LSM atau lembaga riset, tetapi juga melihat urgensi dan keberlangsungan pelaksanaan kebijakan yang akan dibuat nantinya.
Dalam SPK ini dijelaskan pula bahwa para advokator perlu menjaga kredibilitas, dengan menjaga kualitas riset. Fasilitator mengingatkan bahwa advokasi berbasis riset atau penelitian harus benar-benar teliti dan mencari terus hal-hal yang ada di balik fenomena, dan bukan hanya melihat kulit luarnya saja.
Fasilitator memberikan contoh, ada sebuah penelitian tentang program BPJS di tahun 2015 yang menyatakan bahwa pelaksanaan BPJS buruk, terjadi antrian panjang, masyarakat bingung dan kebutuhan perempuan kurang diperhatikan. Informasi ini jelas baik, namun tidak menjawab pertanyaan “apa yang menyebabkannya fenomena tersebut terjadi?” Secara sederhana, fasilitator kemudian membuat penelitian dengan memperhatikan data-data bidang kesehatan sepuluh tahun terakhir. Dari data yang dimiliki, fasilitator menemukan bahwa dalam sebuah penelitian dengan metode wawancara ditemukan bahwa masyarakat yang merasa sakit selama satu bulan hanya sekitar 25%, namun setelah adanya BPJS masyarakat menjadi lebih mudah mengakses layanan kesehatan, sehingga permintaan layanan kesehatan naik hingga 60%.
Sebelum adanya BPJS mungkin masyarakat tidak terlalu banyak mengakses layanan kesehatan dikarenakan biaya yang mahal, namun setelah ada BPJS permintaan layanan kesehatan naik hampir 100% sementara jumlah fasilitas kesehatan dan tenaga medis tidak bertambah secara signifikan. Dari hasi penelitian ini penting sekali untuk menemukan akar dari sebuah persoalan, sehingga saat dilakukan upaya advokasi isu yang dibahas adalah isu yang esensial dan dapat menjadi landasan bagi pengambilan kebijakan.
Hal lain yang juga sangat penting dari sebuah upaya advokasi adalah perubahan paradigma dari para pelaku advokasi. Advokasi tidak selalu soal mengubah undang-undang atau sebuah kebijakan. Lebih dari itu, bukti dari perubahan itu tidak pula selalu soal pendirian lembaga tingkat nasional sampai daerah yang dimaksudkan untuk menangani satu isu tertentu, sebab belum tentu perubahan undang-undang dan pendirian lembaga itu merupakan jaminan terjadinya perubahan. Bisa jadi ini justru adalah jebakan baru (institutional trap) yang menjadikan perubahan semakin lambat terjadi. Oleh karena itu, fasilitator mengingatkan ada beberapa aspek yang menandai terjadinya perubahan setelah upaya advokasi yaitu:
Anang Alfian | CRCS UGM | Book Review
[perfectpullquote align=”full” cite=”” link=”” color=”” class=”” size=”14″]”Kasus kerusuhan Sunni-Syiah di Sampang tak cuma seputar isu konflik dan permusuhan, di sana juga ada upaya rekonsiliasi dan persaudaraan yang mengharukan.” [/perfectpullquote]
Berita kerusuhan antar-umat beragama di Sampang lima tahun silam senyampang mungkin masih melekat di memori kita. Namun, kerusuhan pada waktu itu tetap menyisakan trauma mendalam di kalangan Syiah dan Sunni masyarakat Dusun Nagkernang dan Gading Laok, Kecamatan Omben, Sampang, Madura. Setidaknya telah tercatat dua kali pembakaran pada tahun 2011 dan 2012 yang berujung pada pengusiran warga Syiah dari Madura.
Situasi konflik tersebut mendorong Muhammad Afdillah untuk menelisik lebih jauh akar perseteruan Sunni-Syiah di Sampang, Madura. Berangkat dengan asumsi bahwa konflik kekerasan yang terjadi diakibatkan oleh rentetan peristiwa yang mendahuluinya, buku “ Dari Masjid ke Panggung Politik” ini mendasari penelitiannya dengan teori bahwa kekerasan fisik yang terjadi adalah hasil dari kekerasan struktural dan kultural yang terjadi di masyarakat (hlm. 5). Untuk itu, buku ini membuka bahasannya dengan mendedah budaya dan nilai-nilai yang dianut masyarakat Sampang sebagai titik tolak.
Secara garis besar, Afdillah menggarisbawahi bahwa Masyarakat Sampang, dan Madura pada umumnya, memegang teguh tiga nilai yang menjadi identitas karakter orang Madura. Yaitu bappha’ babbhu’, guruh, rato, artinya orang tua, guru, penguasa; Taretan dibi, artinya persaudaraan; dan lebbhi bagus pote tolang etembheng pote mata yang artinya lebih baik mati daripada hidup menanggung malu. Dalam konteks nilai semacam ini, orang tua menempati urutan utama dalam masyarakat Madura sehingga tak heran hubungan keluarga di Madura sangat erat. Nilai ini salah satunya tercermin pada rumah adat Madura yang cenderung mengumpul dan berjejer dengan rumah anggota keluarga yang lain dalam satu pekarangan. Guru atau pemimpin agama merupakan aktor strategis sebagai mediator hubungan masyarakat dengan penguasa. Sikap patuh kepada guru tidak bisa ditawar dalam masyarakat Madura. Selain itu, nilai nilai gotong royong, persaudaraan dan martabat diri dan keluarga sangat dijaga oleh orang Madura. Dalam kasus konflik Sampang, elemen-elemen budaya ini mewarnai dinamika dan peta relasi kultur dan politik dalam inisiasi dan eskalasi konflik.
Permulaan konflik sampang dijelaskan secara beruntun mulai dari perselisihan antarkeluarga Kyai Makmun dan Kyai Karrar yang memiliki perbedaan ideologi agama, hingga masalah perebutan pengaruh kekuasaan. Tak luput isu isu ekonomi juga berdampak pada perkembangan konflik. Banyaknya aktor yang terlibat dari organisasi masyarakat, tokoh agama, dan pemerintah daerah dan politisi semakin menambah ramai masalah hingga terdengar luas di Indonesia. Eskalasi konflik pun tak terelakkan ketika bentrok masyarakat terjadi beberapa kali.
Buku yang berasal dari tesis di Program Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, ini ditulis pada tahun 2013 ketika dampak dari eskalasi konflik masih sangat terasa. Dengan gaya narasi yang ringan dan menarik, buku yang mendapatkan penghargaan Thesis Award CRCS ini mengajak pembaca untuk memahami lebih dalam karakter sosial masyarakat Madura, khususnya Sampang, dari awal mula terjadinya pertikaian antarkeluarga dan masyarakat, hingga meluas menjadi eskalasi konflik yang mencekam.
Menariknya, buku ini tak hanya berbicara tentang bagaimana konflik Sampang terjadi, tapi juga usaha penyelesaian konflik yang dilakukan oleh berbagai pihak pasca konflik dengan mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan, dan nilai persaudaraan sebagai kearifan lokal orang Madura. Pada pertemuan ke empat yang diadakan oleh Kementerian Agama Kabupaten Sampang antara kelompok Syiah dan Sunni, terlihat jelas bagaimana rasa persaudaraan yang kuat Taretan Dibi’ orang Madura tak bisa dibohongi. Mereka yang dulu terlibat konflik berdarah akhirnya mengakui rasa kangennya terhadap saudara dan ingin melupakan konflik yang pernah terjadi dan berjanji akan menjalin dan menjaga perdamaian bersama meskipun trauma serupa tetap ada. Buku ini menjadi penting sebagai pelajaran reflektif bagi kita untuk terus mengupayakan kerukunan dan toleransi terhadap perbedaan antar umat beragama, dan mengupayakan resolusi konflik dengan jalan perdamaian.
Judul: Dari Masjid ke Panggung Politik, Melacak Akar-akar Kekerasan Agama Antara Komunitas Sunni dan Syiah di Sampang, Jawa Timur | Penulis: Muhammad Afdillah | Penerbit: CRCS 2016 | ISBN: 978-602-72686-6-1 | Harga: Rp 70.000,- |
Judul
Dari Masjid ke Panggung Politik, Melacak Akar-akar Kekerasan Agama Antara Komunitas Sunni dan Syiah di Sampang, Jawa Timur
Penulis
Muhammad Afdillah
Penerbit
CRCS 2016
ISBN
978-602-72686-6-1
Harga
Rp 70.000,-
Beberapa aspek politik dan kekerasan Sunni-Syiah di Sampang dibahas di dalam buku ini. Salah satu di antaranya penyebab konflik antara komunitas Sunni dan Syiah di Sampang. Selain itu, buku ini membahas dinamika konflik Sunni-Syiah, khususnya eskalasi konflik yang terjadi seiring dengan berjalannya waktu dan kegagalan intervensi dan penanganan terhadap konflik tersebut. Buku ini juga membahas usaha – usaha rekonsiliasi kedua komunitas, khususnya setelah kekerasan terbuka yang terjadi di Bulan Desember 2011 dan Agustus 2012.
(Samsu Rizal Panggabean, Pengajar di Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada).
__________________________
Bagi yang tertarik, bisa menghubungi:
Divisi Marketing CRCS UGM
Gedung Lengkung Lantai 3
Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, Indonesia 55281
Telephone/Fax : + 62-274-544976
Asep A.S | CRCS | News
Gunungkidul ditengarai sebagai kabupaten dengan tingkat intoleransi paling tinggi di Yogyakarta. Setidaknya, itulah salah satu hal yang terungkap dalam acara launching buku sekaligus diskusi mengenai laporan advokasi kebebasan beragama bertajuk “Yogyakarta City of (In)tolerance?,” Senin, 2 Mei 2016, di Sekolah Pascasarjana UGM. Informasi mengenai masih tingginya angka kasus intoleransi di Kabupaten ini diketahui setelah Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI) melakukan pendokumentasian atas kasus-kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkepercayaan di kabupaten tersebut yang terjadi selama kurun waktu 2011 hingga 2015. Di dalam laporannya, ANBTI mengkategorikan beragam kasus pelanggaran tersebut ke dalam empat kategori, yakni (1) pelanggaran oleh negara atas keinginan mengontrol ekspresi keagamaan; (2) pelanggaran yang terjadi akibat perilaku intoleran yang dilakukan oleh negara dan non-negara; (3) pelanggaran yang terjadi akibat kegagalan negara di dalam mengatasi baik diskriminasi ataupun pelanggaran sosial atas kelompok-kelompok agama tertentu; serta (4) pelanggaran yang terjadi karena menerapkan kebijakan tertentu yang merugikan agama-agama minoritas.
Pada diskusi yang dihelat oleh Program Studi Agama dan Lintas Budaya atau CRCS melaui program Sekolah Pengelolaan Keragaman (SPK) dan ANBTI ini pembicara dari ANBTI, Agnes Dwi Rusjiati, menyebutkan beberapa contoh peristiwa pelanggaran yang terjadi di Gunungkidul, seperti pengusiran Pendeta Agustinus, penutupan Gereja Pantekosta di Indonesia (GpdI) Semanu dan Gereja Pantekosta di Indonesia (GpdI) Playen yang telah memiliki IMB, penyerangan dan penutupan atas Gereja Kemah Injili Indonesia (GKII) Widoro, penolakan acara perayaan Paskah Adiyuswo Gereja Kristen Jawa (GKJ) Gunugkidul yang disertai penganiayaan terhadap aktivis lintas iman, serta penolakan pendirian Gua Maria Wahyu Ibuku di wilayah Giriwening. Memang, belakangan ini Yogyakarta yang kerap disebut-sebut sebagai City of Tolerance sedang dirundung banyak problema dalam hal toleransi, baik antar maupun antara umat beragama maupun antar kelompok ormas. Terbukti, sebagaimana disebutkan oleh Agnes, kasus-kasus intoleransi seperti penyerangan dan pembubaran diskusi, perusakan situs makam, penyerangan terhadap doa rosario, intimidasi terhadap kelompok tertentu seperti Syiah dan LGBT, penghentian ibadah di gereja, serta usaha penutupan rumah ibadah kerap terjadi di provinsi yang berjuluk kota budaya ini.
Di dalam kesempatan tersebut, Agnes juga memaparkan bahwa peristiwa pelanggaran kebebasan beragama yang terjadi di kerap kali seputar persoalan penolakan pelaksanaan ibadah maupun keberadaan rumah ibadah umat Kristen, baik yang telah dibangun maupun masih dalam proses pembangunan. Selain itu, ia juga mengeluhkan bahwa setiap pertemuan yang difasilitasi oleh Pemda mengenai persoalan rumah ibadah ini akan berujung pada penghentian rumah ibadah, selain juga proses yang berlarut-larut dan kurangnya peran aktif pemerintah dalam menangani kasus-kasus semacam ini. Kerap kali, pemerintah baru bertindak setelah ada inisiasi dari warga. Isu kristenisasi, pemurtadan, dan adanya penolakan dari masyarakat muslim yang kemudian mendesak pemerintah daerah untuk melakukan penghentian rumah ibadah menjadi pola khas dalam kasus kebebasan beragama dan berkepercayaan yang terjadi di ini.
Senada dengan Agnes, Kristiana Riyadi—pembicara dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)—menyebutkan bahwa peran FKUB di dalam membangun kerukunan dan toleransi antar umat beragama masihlah sangat minim. Bahkan, FKUB sendiri secara internal masihlah menyisakan konflik, hal ini sangat berbeda dengan kondisi sebelum adanya FKUB yang merupakan keputusan menteri, di mana kala itu forum komunikasi antar agama masih bernama Forum Lintas Iman. Hal ini terjadi, menurut Kristiana, disebabkan oleh penekanan pada proporsionalitas yang diatur dalam SK menteri tahun 2006. Tentu saja, Islam yang mayoritas akan memiliki jumlah wakil yang lebih banyak di dalam FKUB. Sebagai contoh, pimpinan FKUB yang berjumlah lima orang dengan asumsi merupakan wakil dari setiap agama yang diakui oleh negara, tiga di antaranya diduduki oleh wakil dari umat Islam. Sehingga, dengan pertimbangan tertentu, akhirnya khusus FKUB , sesuai dengan keputusan Bupati , memiliki tujuh orang pimpinan agar dapat mengakomodir semua agama.
Persoalan lain yang dihadapi oleh FKUB adalah soal menyerap aspirasi. FKUB semestinya menyerap semua aspirasi masyarakat dan umat beragama. Namun, proses ini menjadi bumerang tersendiri bagi tujuan didirikannya FKUB saat harus berhadapan dengan aspirasi dari kelompok ormas intoleran yang mau tidak mau harus diserap juga. Selain itu, keterpusatan keputusan pada ketua menjadi persoalan tersendiri yang tak dapat dihindari. Sebab, hal ini kerap kali tidak mencerminkan keterwakilan umat beragama yang minoritas. Belum lagi persoalan pengambilan beberapa keputusan terkait persoalan keagamaan ini tidak sepenuhnya berada dalam lingkup FKUB, melainkan pada rapat Muspida, di mana FKUB hanya diwakili oleh satu orang saja, yakni ketua FKUB. Tak heran jika keputusan-keputusan yang dihasilkan kerap kali kontraproduktif dengan visi dan misi didirikannya FKUB itu sendiri. Persoalan lainnya, misalnya, sosialisasi perbedaan peraturan pendirian rumah ibadah sebelum 2006. Sosialisasi mengenai hal ini hampir dapat dikatakan tidak dilakukan. Sehingga masyarakat menganggap peraturan mengenai pembangunan rumah ibadah setelah 2006 bersifat general, sehingga kerap kali terjadi konflik di lapangan karena adanya ketidakpahaman ini. Biasanya kasus perizinan keberadaan rumah ibadah lama yang muncul sebagai akibatnya. Padahal perizinan rumah ibadah yang telah dibangun sebelum tahun 2006 berbeda dengan perizinan rumah ibadah yang dibangun setelah tahun tersebut.
Mengenai persoalan penolakan rumah ibadah ini, pembicara lainnya yang merupakan alumni SPK, Pendeta Stefanus Iwan Listyanto, menyebutkan bahwa terjadinya hal tersebut juga disebabkan oleh adanya persoalan internal dalam golongan agama tertentu. Tak dapat dipungkiri, menurut pendeta dari Semanu ini, adanya persaingan antar gereja membuat umat Kristen pasif saat ada gereja di luar golongannya yang dipersoalkan keberadaannya oleh umat lain. Hal ini menjadi gejala global yang terjadi sehingga kelompok Kristen yang sedang menghadapi masalah dengan rumah ibadahnya kerap harus berjuang sendiri tanpa adanya bantuan dari sesama pemeluk Kristen lainnya. Menurutnya, belum adanya kesadaran mengenai perspektif HAM dan adanya persaingan antar gereja juga memiliki sumbangsih yang cukup besar terhadap tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan penyelesaian konflik. Hal ini menandakan masih adanya persoalan di antara umat beragama secara internal. Dengan nada bercanda dan sindiran, ia berkata bahwa mungkin saja ada golongan seagama yang sorak sorai saat sebuah rumah ibadah ditutup atau dipermasalahkan. Karenanya, ia menekankan pentingnya membangun jejaring baik antara maupun antar umat beragama. Dengan berjejaring, menurutnya, seseorang atau kelompok bisa saling bantu melengkapi data pendokumentasian jika terjadi persoalan yang mungkin akan memudahkan proses penyelesaian masalah. Selain itu, memiliki sudut pandang dari pihak korban juga penting untuk membangun empati, agar persaingan itu dapat tetap berjalan secara sehat.
Sedangkan pembicara terakhir, M. Iqbal Ahnaf dari CRCS, menyebutkan bahwa maraknya tindakan intoleransi yang terjadi di Yogyakarta akhir-akhir ini disebabkan oleh banyak faktor. Namun secara ringkas, Iqbal mengerucutkannya ke dalam tiga faktor yang saling terkait dan berinteraksi satu sama lain, yaitu (1) krisis keistimewaan; (2) industrialisasi; dan (3) penebalan identitas. Walaupun masih berupa hipotesis, menurut Iqbal, namun gejala yang menunjukkan ke arah tersebut cukup jelas adanya. “Saya kira, ini sangat terkait dengan pemegang otoritas tertinggi di Jogjakarta. Saya kira kita ingat belum lama ini RUU keistimewaan Jogjakarta mulai mengusik otoritas yang paling mapan di Jogjakarta.” Ungkapnya mengawali penjelasan mengenai persoalan krisis keistimewaan ini. Menurut Iqbal, perubahan peraturan di tampuk pimpinan Yogyakarta ini mencerminkan proses perubahan sosial yang sedang berlangsung. Hal ini kemudian memicu krisis otoritas keistimewaan yang meniscayakan kebutuhan akan kekuatan basis sumber daya di Yogyakarta. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan citra keistimewaan itu. Oleh sebab itu kebutuhan akan sumber daya ini kemudian melibatkan perkembangan industrialisasi sebagai salah satu usaha mendapatkan suplai sumber daya.
Menurut Iqbal, pembangunan hotel yang kian marak serta bentuk pembangunan dan industrialisasi lainnya kemungkinan dilakukan untuk memapankan basis-basis sumber daya itu. Konsekuensi dari adanya industrialisasi ini adalah sekuritisasi. Sebab, para investor maupun pengusaha tentu membutuhkan stabilitas keamanan yang cukup untuk menjalankan bisnisnya itu. Karena itu diperlukan kekuatan-kekuatan yang bisa mempertahankan dan mendukung keamanan tersebut. Di bagian inilah kemudian perubahan sosial yang terjadi di masyarakat yang melaju pada arah penebalan identitas dan kian rigidnya batas-batas sosial, baik berlandaskan agama maupun etnik, bertemu dengan realitas kebutuhan akan sekuritisasi ini. Sehingga, tak heran jika kemudian aspek skuritisasi ini diambil alih oleh kelompok-kelompok atau kekuatan-kekuatan yang bergerak di arena penebalan identitas itu. Hal ini semacam simbiosis mutualisme. Kita dapat memahami dengan mudah bahwa ketika seseorang mengalami krisis, maka ia akan membutuhkan dukungan untuk mengembalikan sumberdaya yang hilang. Sumberdaya itu bisa bersifat ekonomi maupun sosial. Industrialisasi ini dapat diidentifikasi sebagai sumber daya yang bersifat ekonomi, sedangkan dukungan kelompok tertentu itu merupakan sumber daya yang bersifat sosial. Kebutuhan akan dukungan sosial inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu—baik keagamaan maupun etnik—untuk merapat pada otoritas kekuasaan di Yogyakarta. Kontestasi antar kelompok itulah yang terkadang menghadirkan konflik. Pergulatan ketiga hal tersebut itulah yang kemudian meniscayakan hal-hal lainnya semisal institusionalisasi kelompok-kelompok pelaku kekerasan dan semakin lemahnya kekuatan moderat kritis. Institusionalisasi ini merupakan bentuk pemapanan oleh sistem yang ada terhadap kelompok-kelompok tertentu. Sehingga, walaupun minoritas, kelompok-kelompok ini dapat bertahan, eksis, dan dominan. Akibatnya, ada kasus-kasus serupa yang kemudian direspons berbeda, tergantung kelompok mana yang merespons dan apa kepentingannya. Kasus pembangunan hotel atau sampah visual, misalnya, menurut Iqbal, diprotes sedemikian rupa. Namun, saat ada rumah ibadah ditutup, tak banyak orang yang peduli.
Di dalam sesi tanya jawab, terungkap pula beberapa fakta mengenai tindakan intoleran yang ternyata tak hanya didominasi oleh ormas atau kelompok-kelompok tertentu, melainkan pula dilakukan oleh negara. Menurut Agnes, pemerintah pernah melakukan kerja sama dengan ormas intoleran dalam melakukan intimidasi terhadap kelompok tertentu, seperti yang terjadi pada kasus GKII. Selain itu, aparat yang berjaga di lapangan saat terjadi konflik akibat adanya tindakan intoleransi kerap tidak bertindak mencegah tindakan intoleransi yang dilakukan oleh kelompok tertentu itu, mereka justru terkesan hanya menjaga kelompok tertentu itu agar tidak melakukan tindak kekerasan sehingga tidak dapat dikriminalisasikan. Sedangkan perilaku intoleransinya dibiarkan begitu saja. Selain itu, dalam sesi ini juga terungkap bahwa soal tindakan intoleransi terutama dalam hal keberagamaan tidaklah didominasi oleh agama tertentu, melainkan seringnya dilakukan oleh mayoritas terhadap minoritas, baik internal maupun antar agama. Di Atambua misalnya, menurut Agnes, pernah pula terjadi penolakan pembangunan rumah ibadah agama tertentu dari kelompok minoritas yang dilakukan oleh umat agama yang sama yang mayoritas. Atau, dalam kasus Tolikara dan beberapa wilayah di Indonesia Timur, misalnya, tindakan intoleransi kerap pula menimpa kaum muslim yang minoritas, sebagaimana halnya yang terjadi terhadap umat Kristen dan umat lainnya yang tinggal di wilayah mayoritas umat Islam. Sehingga, menurut Iqbal, menjadi penting untuk memperkuat kelompok-kelompok rentan yang ada. Selain itu, penting pula untuk menanamkan sikap toleransi, kesadaran akan HAM, dan menghilangkan kecurigaan di antara para pemeluk agama yang ada. Sebab, sebagaimana disimpulkan oleh moderator pada acara tersebut, Subandri Simbolon, kedamaian tidak hadir bukan hanya sebab bangkitnya kaum intoleran, namun juga sebab diamnya para pecinta perdamaian.
Ali Ja’far | CRCS | Artikel
“Perubahan besar-besaran pada Klenteng-Vihara Buddha terjadi setelah peristiwa 1965, dimana semua yang berhubungan dengan China dilarang berkembang di Indonesia. Nama-nama warung atau orang yang dulunya menggunakan nama China, harus berubah dan memakai nama Indonesia” kata Romo Tjoti Surya di Vihara Buddha kepada mahasiswa CRCS-Advanced Study of Buddhism, yang melakukan kunjungan pada selasa 22 Maret 2016. Beliau menjelaskan juga bahwa pada waktu itu, umat Buddha juga harus mengalami masa sulit karena banyaknya pemeluk Buddha yang berasal dari China.
Salah satu dampak anti China ada pada Klenteng-Vihara Buddha Praba dan daerah disekitarnya adalah pada nomenclature. Pada awalnya, toko-toko itu mengunakan nama-nama China, tetapi mereka harus mengganti nama itu menjadi nama Indonesia. Begitu juga pemeluk Konghucu disini, mereka punya dua nama, nama Indonesia dan nama China. Bahkan bertahun-tahun mereka harus memperjuangkan keyakinan mereka sampai pada akhirnya Presiden Abdurrahman Wahid mencabut pelarangan itu dan Konghucu diakui sebagai salah satu agama resmi di Indonesia.
Tempat pemujaan yang berusia lebih dari 100 tahun ini merupakan gabungan dari Klenteng dan Vihara. Klenteng berada di depan dan Vihara berada di belakang. Penyatuan ini karena adanya kedekatan historis antara pemeluk Buddha dengan orang China di Indonesia. kedekatan Buddha dengan China bisa dilihat dalam rupang Dewi “Kwan Yin” dalam dialek Hokkian yang merujuk pada Avalokitesvara, Buddha yang Welas Asih. Selain itu juga ada kedekatan ajaran, dimana dalam Buddha, label agama tidaklah penting, yang paling penting adalah pengamalan dan pengajaran Dharma. Selama ajaran Dharma itu masih ada, maka perbedaan agama pun tidak masalah.
Vihara Buddha Praba sendiri adalah Buddha dengan aliran Buddhayana, yaitu aliran yang berkembang di Indonesia yang menggabungkan dua unsur aliran besar Buddha, Theravada dan Mahayana. Aliran Mahayana berada di Utara dan Timur Asia yang melintas dari China sampai ke Jepang dan lainya. Sedangkan Theravada menempati kawasan selatan, seperti Thailand, Burma. Namun begitu, Budhayana melihat dua aliran ini sebagai “Yana” atau kendaraan menuju pencerahan seperti yang diajarkan sang Guru Agung. Penggabungan Theravada dan Mahayana dalam aliran Buddhayana awalnya juga dilandasi alasan politis dimana terdapat asimilasi antara agama dan kebudayaan yang ada.
Dalam Kunjungan ini, mahasiswa CRCS diajak untuk keliling Klenteng-Vihara dan mengenal ajaran Buddha lebih dalam, terutama bagaimana Vihara ini bisa bersatu dengan Klenteng, melihat budaya China lebih dekat dan mengenali ajaran Buddha yang lebih menekankan pada penyebaran Dharma dari pada penyebaran agama.
Vihara kedua yang dikunjungi adalah Vihara Karangdjati yang beraliran Theravada. Berbeda dengan sebelumnya, Vihara Karangdjati tidak bernuansakan China, tetapi lebih ke Jawa, dimana terdapat pendopo untuk menerima tamu dan ruang meditasi yang khusus. Pak Tri Widianto menjelaskan bahwa pokok ajaran Buddha bukanlah ajaran eksklusif yang tertentu untuk pemeluk Buddha saja, tetapi untuk seluruh umat manusia. Bahkan di Vihara Karangdjati, ada juga dari agama lain yang datang saat meditasi.
Hal yang sering disalahartikan selama ini adalah meditasi hanya milik umat Buddha, tetapi tidak. Meditasi adalah laku spiritual untuk mengenali gerak gerik otak kita dan mengasah mental menghadapi masalah. Ini adalah latihan mengolah kepekaan yang tidak dibatasi oleh agama tertentu. Pengolahan kepekaan ini penting karena betapapun banyaknya kata bijak yang kita miliki, itu tak ada manfaatnya ketika tidak dipraktikkan.
Didirikan pada tahun 1958, usia Vihara Karang Jati yang juga berlokasi di desa Karang Jati, lebih tua dari pada usia kampung itu. Sehingga, meskipun mayoritas penduduk sekitar beragama Islam, tidak pernah ada keributan atau gesekan antar agama. Hal ini karena Vihara Karang Jati selalu menekankan keharmonisan dan perasaan kasih (compassion), pada seluruh umat manusia.
Vihara Karang Jati menaungi Puja bakti, pusat pelayanan keagamaan, dan pendidikan. Khusus untuk meditasi, kegiatan ini dibuka untuk umum. Artinya, siapapun dan dari agama dan golongan manapun boleh mengikutinya. Kegiatan yang dilakukan tiap malam jumat ini bahkan pernah diikuti oleh beberapa turis mancanegara.