CRCS | News
Apakah Seni? Apakah ia selalu berhubungan dengan estetika atau keindahan, atau sesuatu yang melahirkan kesadaran dan perubahan? Dan apakah agama? Apakah ia adalah sesuatu yang ada begitu saja dari langit atau ada melalui proses sejarah yang kemudian mendapatkan pengesahan dari negara?
Sebuah pameran seni bertema agama tengah berlangsung di sebuah rumah seni Lir Space, Yogyakarta dari 3 sampai 17 September 2016. Namun jangan berharap melihat keindahan didalam pameran ini karena yang dipamerkan bukan benda-benda estetis relijius, semisal kaligrafi atau lukisan-lukisan spiritual, tetapi sesuatu yang lain yang menggugah kesadaran.
Kegiatan seni bertajuk Exhibition Laboratory ini memilih beberapa seniman muda untuk menjalani proses selama tiga bulan agar dapat mempersiapkan pameran tunggal masing-masing. Kali ini dua seniman muda dengan latar belakang yang berbeda diundang untuk berproses mempersiapkan karyanya masing-masing. Salah satunya adalah Daud Sihombing, salah satu fresh graduate Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), UGM.
Dalam pamerannya ini Daud Sihombing memilih tema REIFIKASI, yang secara sederhana bisa diartikan sebagai proses pembentukan agama dari yang mula-mula abstrak menjadi sebuah wujud yang sistematis. Ia memilih untuk menciptakan pamerannya berdasarkan esai singkat yang diterbitkannya pada tahun 2015: “Agama di Indonesia: Awal Mula dan Problematikanya”. Tulisan tersebut berangkat dari konsep reifikasi dalam buku “The Meaning and End of Religion” karya Wilfred C.Smith yang kemudian dikaitkan dengan praktek standardisasi agama di Indonesia. Praktik standardisasi atau penyesuaian untuk kemudian dapat diakui sebagai agama ini tercantum pada Peraturan Menteri Agama No. 9 Tahun 1952, yang menyebutkan beberapa persyaratan seperti; percaya akan satu Tuhan (monotheis), memiliki kitab satu kitab suci, memiliki nabi sebagai pembawa risalah, dan memiliki tata agama dan ibadah bagi para pemeluknya.
Dalam pameran ini, Daud membuat visualisasi bagi esai tersebut sekaligus menciptakan sebuah peristiwa seni dan menjadikan ruang galeri sebagai sebuah kantor badan sertifikasi. Melalui keberadaan kantor lembaga ini, Daud mencoba melihat bagaimana sebuah kepercayaan dapat perlahan masuk ke dalam kategori agama yang diakui oleh negara melalui simulasi kerja sebuah lembaga pemerintah dalam melakukan sertifikasi. Pengunjung pameran ini dapat menjalankan sebuah simulasi untuk mendaftarkan agama atau kepercayaan mereka dari tahap pendaftaran hingga lolos dengan pengakuan yang sah. Kehadiran badan sertifikasi fiktif (yang saat ini belum dimiliki oleh negara) ini tidak saja akan menunjukkan bagaimana praktik standardisasi di Indonesia, yang konon kerap mempersulit posisi kepercayaan lokal untuk dapat diakui oleh negara namun juga menjadi celah untuk membicarakan sikap negara saat ini terhadap kekayaan budaya.
Pameran bisa dikunjungi di:
Lir Space, 3 – 17 September 2016, Jam 12.00 – 20.00 WIB
Jl. Anggrek I/33, Baciro, Yogyakarta.
Daud Sihombing
CRCS | News
Apakah Seni? Apakah ia selalu berhubungan dengan estetika atau keindahan, atau sesuatu yang melahirkan kesadaran dan perubahan? Dan apakah agama? Apakah ia adalah sesuatu yang ada begitu saja dari langit atau ada melalui proses sejarah yang kemudian mendapatkan pengesahan dari negara?
Sebuah pameran seni bertema agama tengah berlangsung di sebuah rumah seni Lir Space, Yogyakarta dari 3 sampai 17 September 2016. Namun jangan berharap melihat keindahan didalam pameran ini karena yang dipamerkan bukan benda-benda estetis relijius, semisal kaligrafi atau lukisan-lukisan spiritual, tetapi sesuatu yang lain yang menggugah kesadaran.
Kegiatan seni bertajuk Exhibition Laboratory ini memilih beberapa seniman muda untuk menjalani proses selama tiga bulan agar dapat mempersiapkan pameran tunggal masing-masing. Kali ini dua seniman muda dengan latar belakang yang berbeda diundang untuk berproses mempersiapkan karyanya masing-masing. Salah satunya adalah Daud Sihombing, salah satu fresh graduate Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), UGM.
Dalam pamerannya ini Daud Sihombing memilih tema REIFIKASI, yang secara sederhana bisa diartikan sebagai proses pembentukan agama dari yang mula-mula abstrak menjadi sebuah wujud yang sistematis. Ia memilih untuk menciptakan pamerannya berdasarkan esai singkat yang diterbitkannya pada tahun 2015: “Agama di Indonesia: Awal Mula dan Problematikanya”. Tulisan tersebut berangkat dari konsep reifikasi dalam buku “The Meaning and End of Religion” karya Wilfred C.Smith yang kemudian dikaitkan dengan praktek standardisasi agama di Indonesia. Praktik standardisasi atau penyesuaian untuk kemudian dapat diakui sebagai agama ini tercantum pada Peraturan Menteri Agama No. 9 Tahun 1952, yang menyebutkan beberapa persyaratan seperti; percaya akan satu Tuhan (monotheis), memiliki kitab satu kitab suci, memiliki nabi sebagai pembawa risalah, dan memiliki tata agama dan ibadah bagi para pemeluknya.
Dalam pameran ini, Daud membuat visualisasi bagi esai tersebut sekaligus menciptakan sebuah peristiwa seni dan menjadikan ruang galeri sebagai sebuah kantor badan sertifikasi. Melalui keberadaan kantor lembaga ini, Daud mencoba melihat bagaimana sebuah kepercayaan dapat perlahan masuk ke dalam kategori agama yang diakui oleh negara melalui simulasi kerja sebuah lembaga pemerintah dalam melakukan sertifikasi. Pengunjung pameran ini dapat menjalankan sebuah simulasi untuk mendaftarkan agama atau kepercayaan mereka dari tahap pendaftaran hingga lolos dengan pengakuan yang sah. Kehadiran badan sertifikasi fiktif (yang saat ini belum dimiliki oleh negara) ini tidak saja akan menunjukkan bagaimana praktik standardisasi di Indonesia, yang konon kerap mempersulit posisi kepercayaan lokal untuk dapat diakui oleh negara namun juga menjadi celah untuk membicarakan sikap negara saat ini terhadap kekayaan budaya.
Pameran bisa dikunjungi di:
Lir Space, 3 – 17 September 2016, Jam 12.00 – 20.00 WIB
Jl. Anggrek I/33, Baciro, Yogyakarta.
Daud Sihombing | CRCS | Article
Wilfred C. Smith in his book “The Meaning and the End of Religion,” defines reification as mentally making religion into a thing, gradually coming to conceive of religion as an objective systematic entity. In this process, religions are standardized and institutionalized. For instance, there were no “Hindus” who defined their practice as Hinduism until the term Hindu was established by Muslims and later British colonizers who invaded and sought to know and rule India. It was Muslims and Westerners with their concepts of religion who constructed or reified Hinduism.
Based on Smith’s insight, I am going to conduct an art exhibition which I call REIFICATION. In this exhibition I create an imaginary government institution named the Department of Certification. In my exhibition, this fictional governmental institution issues certificates for beliefs that fulfill the requirements to be recognized as a religion. My goals by conducting this exhibition are framing the religious discourse I learned in the Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS), Universitas Gadjah Mada, in a different medium and offering new perspectives for seeing religious life in Indonesia.
This project can be considered a reflection of the past or the prediction for the future. What I mean by the reflection of the past is that I am going to visualize the unseen practice of standardizing the concept of religion and recognizing particular religions that happen in the past, especially in Indonesia. In predicting the future, I argue that this governmental institution can exist in Indonesia when the Bill of Rights protecting all religious people has been finalized.
This method of manipulating, imitating, pretending, or camouflaging in order to document an alternate reality has been used effectively by both Indonesian and foreign artists. An Indonesian artist, Agan Harahap created a photo series entitled The Reminiscence Wall, a compilation of “fictional novels” based on history that combines various realities of what happened in the past. Another example is Robert Zhao Renhui, a Singaporean multi-disciplinary artist. He constructs and layers each of his subjects with narratives, interweaving the real and the fictional. He focuses on the relation between humans and the natural world. Both Agan and Robert Zhao creates new “facts”based on their own fictional narratives.
This exhibition will be held in:
LIR Space, Yogyakarta, from September 3rd to 17th, 2016.
Open 12 pm – 20 pm, Closed on Monday.
It will be curated by Mira Asriningtyas as part of the ongoing Exhibition Laboratory project organized by Lir Space.