Asep A.S | CRCS | News
Gunungkidul ditengarai sebagai kabupaten dengan tingkat intoleransi paling tinggi di Yogyakarta. Setidaknya, itulah salah satu hal yang terungkap dalam acara launching buku sekaligus diskusi mengenai laporan advokasi kebebasan beragama bertajuk “Yogyakarta City of (In)tolerance?,” Senin, 2 Mei 2016, di Sekolah Pascasarjana UGM. Informasi mengenai masih tingginya angka kasus intoleransi di Kabupaten ini diketahui setelah Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI) melakukan pendokumentasian atas kasus-kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkepercayaan di kabupaten tersebut yang terjadi selama kurun waktu 2011 hingga 2015. Di dalam laporannya, ANBTI mengkategorikan beragam kasus pelanggaran tersebut ke dalam empat kategori, yakni (1) pelanggaran oleh negara atas keinginan mengontrol ekspresi keagamaan; (2) pelanggaran yang terjadi akibat perilaku intoleran yang dilakukan oleh negara dan non-negara; (3) pelanggaran yang terjadi akibat kegagalan negara di dalam mengatasi baik diskriminasi ataupun pelanggaran sosial atas kelompok-kelompok agama tertentu; serta (4) pelanggaran yang terjadi karena menerapkan kebijakan tertentu yang merugikan agama-agama minoritas.
Pada diskusi yang dihelat oleh Program Studi Agama dan Lintas Budaya atau CRCS melaui program Sekolah Pengelolaan Keragaman (SPK) dan ANBTI ini pembicara dari ANBTI, Agnes Dwi Rusjiati, menyebutkan beberapa contoh peristiwa pelanggaran yang terjadi di Gunungkidul, seperti pengusiran Pendeta Agustinus, penutupan Gereja Pantekosta di Indonesia (GpdI) Semanu dan Gereja Pantekosta di Indonesia (GpdI) Playen yang telah memiliki IMB, penyerangan dan penutupan atas Gereja Kemah Injili Indonesia (GKII) Widoro, penolakan acara perayaan Paskah Adiyuswo Gereja Kristen Jawa (GKJ) Gunugkidul yang disertai penganiayaan terhadap aktivis lintas iman, serta penolakan pendirian Gua Maria Wahyu Ibuku di wilayah Giriwening. Memang, belakangan ini Yogyakarta yang kerap disebut-sebut sebagai City of Tolerance sedang dirundung banyak problema dalam hal toleransi, baik antar maupun antara umat beragama maupun antar kelompok ormas. Terbukti, sebagaimana disebutkan oleh Agnes, kasus-kasus intoleransi seperti penyerangan dan pembubaran diskusi, perusakan situs makam, penyerangan terhadap doa rosario, intimidasi terhadap kelompok tertentu seperti Syiah dan LGBT, penghentian ibadah di gereja, serta usaha penutupan rumah ibadah kerap terjadi di provinsi yang berjuluk kota budaya ini.
Di dalam kesempatan tersebut, Agnes juga memaparkan bahwa peristiwa pelanggaran kebebasan beragama yang terjadi di kerap kali seputar persoalan penolakan pelaksanaan ibadah maupun keberadaan rumah ibadah umat Kristen, baik yang telah dibangun maupun masih dalam proses pembangunan. Selain itu, ia juga mengeluhkan bahwa setiap pertemuan yang difasilitasi oleh Pemda mengenai persoalan rumah ibadah ini akan berujung pada penghentian rumah ibadah, selain juga proses yang berlarut-larut dan kurangnya peran aktif pemerintah dalam menangani kasus-kasus semacam ini. Kerap kali, pemerintah baru bertindak setelah ada inisiasi dari warga. Isu kristenisasi, pemurtadan, dan adanya penolakan dari masyarakat muslim yang kemudian mendesak pemerintah daerah untuk melakukan penghentian rumah ibadah menjadi pola khas dalam kasus kebebasan beragama dan berkepercayaan yang terjadi di ini.
Senada dengan Agnes, Kristiana Riyadi—pembicara dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)—menyebutkan bahwa peran FKUB di dalam membangun kerukunan dan toleransi antar umat beragama masihlah sangat minim. Bahkan, FKUB sendiri secara internal masihlah menyisakan konflik, hal ini sangat berbeda dengan kondisi sebelum adanya FKUB yang merupakan keputusan menteri, di mana kala itu forum komunikasi antar agama masih bernama Forum Lintas Iman. Hal ini terjadi, menurut Kristiana, disebabkan oleh penekanan pada proporsionalitas yang diatur dalam SK menteri tahun 2006. Tentu saja, Islam yang mayoritas akan memiliki jumlah wakil yang lebih banyak di dalam FKUB. Sebagai contoh, pimpinan FKUB yang berjumlah lima orang dengan asumsi merupakan wakil dari setiap agama yang diakui oleh negara, tiga di antaranya diduduki oleh wakil dari umat Islam. Sehingga, dengan pertimbangan tertentu, akhirnya khusus FKUB , sesuai dengan keputusan Bupati , memiliki tujuh orang pimpinan agar dapat mengakomodir semua agama.
Persoalan lain yang dihadapi oleh FKUB adalah soal menyerap aspirasi. FKUB semestinya menyerap semua aspirasi masyarakat dan umat beragama. Namun, proses ini menjadi bumerang tersendiri bagi tujuan didirikannya FKUB saat harus berhadapan dengan aspirasi dari kelompok ormas intoleran yang mau tidak mau harus diserap juga. Selain itu, keterpusatan keputusan pada ketua menjadi persoalan tersendiri yang tak dapat dihindari. Sebab, hal ini kerap kali tidak mencerminkan keterwakilan umat beragama yang minoritas. Belum lagi persoalan pengambilan beberapa keputusan terkait persoalan keagamaan ini tidak sepenuhnya berada dalam lingkup FKUB, melainkan pada rapat Muspida, di mana FKUB hanya diwakili oleh satu orang saja, yakni ketua FKUB. Tak heran jika keputusan-keputusan yang dihasilkan kerap kali kontraproduktif dengan visi dan misi didirikannya FKUB itu sendiri. Persoalan lainnya, misalnya, sosialisasi perbedaan peraturan pendirian rumah ibadah sebelum 2006. Sosialisasi mengenai hal ini hampir dapat dikatakan tidak dilakukan. Sehingga masyarakat menganggap peraturan mengenai pembangunan rumah ibadah setelah 2006 bersifat general, sehingga kerap kali terjadi konflik di lapangan karena adanya ketidakpahaman ini. Biasanya kasus perizinan keberadaan rumah ibadah lama yang muncul sebagai akibatnya. Padahal perizinan rumah ibadah yang telah dibangun sebelum tahun 2006 berbeda dengan perizinan rumah ibadah yang dibangun setelah tahun tersebut.
Mengenai persoalan penolakan rumah ibadah ini, pembicara lainnya yang merupakan alumni SPK, Pendeta Stefanus Iwan Listyanto, menyebutkan bahwa terjadinya hal tersebut juga disebabkan oleh adanya persoalan internal dalam golongan agama tertentu. Tak dapat dipungkiri, menurut pendeta dari Semanu ini, adanya persaingan antar gereja membuat umat Kristen pasif saat ada gereja di luar golongannya yang dipersoalkan keberadaannya oleh umat lain. Hal ini menjadi gejala global yang terjadi sehingga kelompok Kristen yang sedang menghadapi masalah dengan rumah ibadahnya kerap harus berjuang sendiri tanpa adanya bantuan dari sesama pemeluk Kristen lainnya. Menurutnya, belum adanya kesadaran mengenai perspektif HAM dan adanya persaingan antar gereja juga memiliki sumbangsih yang cukup besar terhadap tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan penyelesaian konflik. Hal ini menandakan masih adanya persoalan di antara umat beragama secara internal. Dengan nada bercanda dan sindiran, ia berkata bahwa mungkin saja ada golongan seagama yang sorak sorai saat sebuah rumah ibadah ditutup atau dipermasalahkan. Karenanya, ia menekankan pentingnya membangun jejaring baik antara maupun antar umat beragama. Dengan berjejaring, menurutnya, seseorang atau kelompok bisa saling bantu melengkapi data pendokumentasian jika terjadi persoalan yang mungkin akan memudahkan proses penyelesaian masalah. Selain itu, memiliki sudut pandang dari pihak korban juga penting untuk membangun empati, agar persaingan itu dapat tetap berjalan secara sehat.
Sedangkan pembicara terakhir, M. Iqbal Ahnaf dari CRCS, menyebutkan bahwa maraknya tindakan intoleransi yang terjadi di Yogyakarta akhir-akhir ini disebabkan oleh banyak faktor. Namun secara ringkas, Iqbal mengerucutkannya ke dalam tiga faktor yang saling terkait dan berinteraksi satu sama lain, yaitu (1) krisis keistimewaan; (2) industrialisasi; dan (3) penebalan identitas. Walaupun masih berupa hipotesis, menurut Iqbal, namun gejala yang menunjukkan ke arah tersebut cukup jelas adanya. “Saya kira, ini sangat terkait dengan pemegang otoritas tertinggi di Jogjakarta. Saya kira kita ingat belum lama ini RUU keistimewaan Jogjakarta mulai mengusik otoritas yang paling mapan di Jogjakarta.” Ungkapnya mengawali penjelasan mengenai persoalan krisis keistimewaan ini. Menurut Iqbal, perubahan peraturan di tampuk pimpinan Yogyakarta ini mencerminkan proses perubahan sosial yang sedang berlangsung. Hal ini kemudian memicu krisis otoritas keistimewaan yang meniscayakan kebutuhan akan kekuatan basis sumber daya di Yogyakarta. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan citra keistimewaan itu. Oleh sebab itu kebutuhan akan sumber daya ini kemudian melibatkan perkembangan industrialisasi sebagai salah satu usaha mendapatkan suplai sumber daya.
Menurut Iqbal, pembangunan hotel yang kian marak serta bentuk pembangunan dan industrialisasi lainnya kemungkinan dilakukan untuk memapankan basis-basis sumber daya itu. Konsekuensi dari adanya industrialisasi ini adalah sekuritisasi. Sebab, para investor maupun pengusaha tentu membutuhkan stabilitas keamanan yang cukup untuk menjalankan bisnisnya itu. Karena itu diperlukan kekuatan-kekuatan yang bisa mempertahankan dan mendukung keamanan tersebut. Di bagian inilah kemudian perubahan sosial yang terjadi di masyarakat yang melaju pada arah penebalan identitas dan kian rigidnya batas-batas sosial, baik berlandaskan agama maupun etnik, bertemu dengan realitas kebutuhan akan sekuritisasi ini. Sehingga, tak heran jika kemudian aspek skuritisasi ini diambil alih oleh kelompok-kelompok atau kekuatan-kekuatan yang bergerak di arena penebalan identitas itu. Hal ini semacam simbiosis mutualisme. Kita dapat memahami dengan mudah bahwa ketika seseorang mengalami krisis, maka ia akan membutuhkan dukungan untuk mengembalikan sumberdaya yang hilang. Sumberdaya itu bisa bersifat ekonomi maupun sosial. Industrialisasi ini dapat diidentifikasi sebagai sumber daya yang bersifat ekonomi, sedangkan dukungan kelompok tertentu itu merupakan sumber daya yang bersifat sosial. Kebutuhan akan dukungan sosial inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu—baik keagamaan maupun etnik—untuk merapat pada otoritas kekuasaan di Yogyakarta. Kontestasi antar kelompok itulah yang terkadang menghadirkan konflik. Pergulatan ketiga hal tersebut itulah yang kemudian meniscayakan hal-hal lainnya semisal institusionalisasi kelompok-kelompok pelaku kekerasan dan semakin lemahnya kekuatan moderat kritis. Institusionalisasi ini merupakan bentuk pemapanan oleh sistem yang ada terhadap kelompok-kelompok tertentu. Sehingga, walaupun minoritas, kelompok-kelompok ini dapat bertahan, eksis, dan dominan. Akibatnya, ada kasus-kasus serupa yang kemudian direspons berbeda, tergantung kelompok mana yang merespons dan apa kepentingannya. Kasus pembangunan hotel atau sampah visual, misalnya, menurut Iqbal, diprotes sedemikian rupa. Namun, saat ada rumah ibadah ditutup, tak banyak orang yang peduli.
Di dalam sesi tanya jawab, terungkap pula beberapa fakta mengenai tindakan intoleran yang ternyata tak hanya didominasi oleh ormas atau kelompok-kelompok tertentu, melainkan pula dilakukan oleh negara. Menurut Agnes, pemerintah pernah melakukan kerja sama dengan ormas intoleran dalam melakukan intimidasi terhadap kelompok tertentu, seperti yang terjadi pada kasus GKII. Selain itu, aparat yang berjaga di lapangan saat terjadi konflik akibat adanya tindakan intoleransi kerap tidak bertindak mencegah tindakan intoleransi yang dilakukan oleh kelompok tertentu itu, mereka justru terkesan hanya menjaga kelompok tertentu itu agar tidak melakukan tindak kekerasan sehingga tidak dapat dikriminalisasikan. Sedangkan perilaku intoleransinya dibiarkan begitu saja. Selain itu, dalam sesi ini juga terungkap bahwa soal tindakan intoleransi terutama dalam hal keberagamaan tidaklah didominasi oleh agama tertentu, melainkan seringnya dilakukan oleh mayoritas terhadap minoritas, baik internal maupun antar agama. Di Atambua misalnya, menurut Agnes, pernah pula terjadi penolakan pembangunan rumah ibadah agama tertentu dari kelompok minoritas yang dilakukan oleh umat agama yang sama yang mayoritas. Atau, dalam kasus Tolikara dan beberapa wilayah di Indonesia Timur, misalnya, tindakan intoleransi kerap pula menimpa kaum muslim yang minoritas, sebagaimana halnya yang terjadi terhadap umat Kristen dan umat lainnya yang tinggal di wilayah mayoritas umat Islam. Sehingga, menurut Iqbal, menjadi penting untuk memperkuat kelompok-kelompok rentan yang ada. Selain itu, penting pula untuk menanamkan sikap toleransi, kesadaran akan HAM, dan menghilangkan kecurigaan di antara para pemeluk agama yang ada. Sebab, sebagaimana disimpulkan oleh moderator pada acara tersebut, Subandri Simbolon, kedamaian tidak hadir bukan hanya sebab bangkitnya kaum intoleran, namun juga sebab diamnya para pecinta perdamaian.
Intoleransi
M. Iqbal Ahnaf | CRCS | Artikel
Kecurigaan pelanggaran HAM dalam meninggalnya terduga teroris Siyono saat pemeriksaan Densus 88 meninggalkan beberapa pertanyaan, termasuk soal prioritas dan pendekatan penanggulangan terorisme. Tidak lama sebelum kasus Siyono menjadi perhatian publik, aksi teror di Brussel meninggalkan pertanyaan serupa. Tulisan ini ingin melihat pelajaran apa yang bisa ditarik dari kasus-kasus terorisme baru-baru ini di Eropa bagi Indonesia.
Paska serangan mengerikan ISIS di Perancis dan Belgia, perhatian banyak pihak tertuju pada sebuah distrik di Belgia bernama Molenbeek. Distrik ini dikenal sebagai salah satu wilayah yang menjadi pusat tempat tinggal warga Muslim di Belgia; sampai-sampai ada yang mengatakan jumlah masjid di Molenbeek empat kali lebih besar daripada jumlah gereja. Keberadaan komunitas Muslim yang begitu besar di sebuah negara Barat dengan mayoritas penduduk non-Muslim seharusnya bisa dilihat sebagai simbol keterbukaan, toleransi dan akulturasi Muslim dan Barat, tetapi yang terjadi tampak sebaliknya. Kota ini kini identik dengan Islam ekstremis.
Dalang pelaku teror Paris, Abdul Salam bersaudara, tumbuh dan besar di distrik ini. Salah Abdul Salam adalah pelaku bom bunuh diri di dekat stadium di Paris, sementara adiknya ditembak mati di Molenbeek setelah beberapa lama dalam pelarian.
Kejadian terakhir semakin memperkuat citra Molenbeek sebagai basis radikalisasi di kalangan Muslim di Eropa. Belgia adalah negara dengan jumlah warga negara tertinggi yang bergabung dengan ISIS. Dengan mudah hal ini bisa dikaitkan dengan radikalisme di Molenbeek. Sejumlah media menyebut Molenbeek dengan label-label yang mengaitkannya dengan terorisme seperti “Islamist pit stop”, “terrorist airbase”, dan “jihadi haven”.
Radikalisme Urban
Kebebasan, modernitas, dan ekonomi yang lebih maju terbayang sangat indah tidak hanya bagi mereka yang tinggal di negara-negara miskin dan berkembang, tetapi juga mereka yang hidup mapan. Namun kemapanan ekonomi ternyata tidak serta-merta menciptakan karakter yang lebih terbuka dan toleran. Radikalisme justru seringkali tumbuh berkembang di wilayah-wilayah urban atau di kalangan yang relatif mapan. Ideologi, narasi ekstrem dan imajinasi ancaman (siege mentality) menarik minat sebagian kalangan yang mapan secara ekonomi pada radikalisme.
Hal ini bisa dilihat pada sejumlah sosok yang bergabung dengan ISIS. Misalnya, Salah Abdul Salam yang menjadi otak serangan teror di Paris adalah pria yang tidak bisa dikatakan kelas bawah secara ekonomi. Laporan The Telegraph menyebutkan bahwa sebelum aksi teror di Paris ia pernah kehilangan layanan sosial warga miskin di Belgia karena penghasilannya sudah di atas batas kelas tidak mampu. Sebelumnya, tiga orang gadis dilaporkan meninggalkan keluarganya yang mapan di London untuk bergabung dengan ISIS di Suriah.
Ada beberapa karakter yang menjadi konteks radikalisasi di lingkungan urban, seperti ketercerabutan dari kultur awal, krisis identitas, perasaan tertolak, kebutuhan akan komunitas, dan keterpikatan pada otoritas keagamaan baru yang dimungkinkan oleh diskusi dan kajian agama secara online.
Molenbeek yang menyumbang 40 persen populasi Muslim di seluruh Belgia dikenal dengan tingkat pengangguran yang tinggi. Tetapi yang menentukan bukanlah kemiskinan aktual per se tetapi lebih pada bagaimana kemiskinan yang relatif terkonsentrasi dialami oleh satu kelompok identitas, imigran Muslim, dengan mudah memberi justifikasi terhadap perasaan dimiskinkan oleh sistem yang berlaku.
Kondisi ini dieksploitasi oleh kelompok ekstremis sebagai alat untuk menciptakan framing yang mendorong pada salah satu proses penting radikalisasi. Yaitu narasi tentang viktimisasi umat Islam dan kebutuhan untuk mewujudkan alternatif terhadap sistem yang dianggap berlawanan dengan kehendak Tuhan.
Dalam proses radikalisasi, satu hal yang patut dicermati adalah terciptanya situasi dan ruang yang menyediakan lahan yang subur bagi radikalisasi. Radikalisasi model ini tidak terjadi di kampung-kampung dimana kontrol sosial masih kuat, tetapi dalam masyarakat kota yang individualistik dan diisi oleh kantong-kantong kecil yang tidak terusik oleh masyarakat sekitarnya.
Kembali ke Molenbeek, meskipun dikenal sebagai pusat perkembangan ekstremisme, mayoritas warga Molenbeek sebenarnya adalah kelompok moderat yang menginginkan integrasi dalam masyarakat Belgia dan Eropa secara luas. Tetapi karakter masyarakat urban yang lemah dalam kontrol sosial membuat keberadaan basis-basis kelompok ekstrem di distrik ini relatif aman.
Pelajaran bagi Indonesia
Sejauh ini unit anti-teror Indonesia telah menangkap cukup banyak orang yang bergabung dengan ISIS. Ada dua karakter yang menonjol dari mereka yang bergabung dalam ISIS. Pertama, banyak yang berasal dari kalangan urban, dan Kedua, kebanyakan bukanlah aktor baru dalam gerakan radikal.
Bahrun Naim dan Afif, otak dan pelaku serangan teror di Sarinah mempunyai pengalaman hidup dalam lingkup urban. Bahrun Naim sebelumnya adalah mahasiswa di Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo; sementara Afif dikenal sudah lama malang melintang di gerakan radikal melalui Majelis Mujahidin Indonesia dan jaringan Aman Abdurrahman.
Karakter urban juga bisa dilihat dalam sosok Koswara Ibnu Abdullah alias Jack yang mengkoordinir pemberangkatan sejumlah orang ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS. Ia tinggal di sebuah kompleks perumahan di Tambun Bekasi yang sebagian besar penghuninya adalah pendatang. Keengganan warga sekitar ikut campur dalam kehidupan tetangga memungkinkan keleluasaan gerak kelompok Koswara.
Daya tarik ISIS di Indonesia semakin melemah seiring dengan melemahnya kekuatan kelompok ini di Suriah dan Iraq. Tetapi, ancaman ISIS sebaiknya tidak hanya dilihat dari ISIS semata. ISIS hanyalah salah satu saluran dari proses radikalisasi yang tumbuh dalam 10 tahun terakhir, terutama paska konflik di Maluku. Meskipun konflik sektarian di Maluku berakhir pada tahun 2000, tetapi residu konflik terbentuk dalam bentuk peran para “eks-kombatan” dalam kelompok-kelompok radikal.
Sebagai salah satu saluran, ISIS bisa muncul dan hilang. Ada banyak pilihan saluran lain selain ISIS. Mereka yang menerima narasi radikal bisa saja mendapatkan saluran pada gerakan-gerakan sosial politik non-kekerasan seperti Hizbut Tahrir atau Salafi. Begitu juga mereka yang memilih jalan kekerasan bisa memilih kelompok yang berbeda seperti angkatan Mujahidin dan Jabhah Al-Nusroh yang menjadi rival ISIS di Suriah. Jaringan dan pertemanan, selain ideologi, bisa menentukan kelompok mana yang dipilih sebagai saluran atas kegelisahan mereka. Hal ini terkonfirmasi oleh laporan IPAC tahun 2014 berjudul The Evolution of ISIS in Indonesia yang menunjukkan latar belakang gerakan yang beragam dari para pengikut ISIS, termasuk JI, Majelis Mujahidin, Salafi bahkan FPI.
Intoleransi dan Terorisme
Hal lain yang patut dicermati dari keragaman latar gerakan dari mereka yang bergabung dengan ISIS adalah pentingnya ruang yang memungkinkan mobilisasi ekstremisme. Ruang tersebut tersedia dalam konteks menguatnya intoleransi dalam sepuluh tahun terakhir. Ekstremisme adalah puncak dari proses radikalisasi. Ekstremisme tidak terjadi dalam ruang kosong, tetapi menuntut karena yang terpolarisasi berdasarkan sentimen komunal dan karena itu memudahkan mobilisasi sektarian.
Sosok M. Syarif pelaku bom bunuh diri di Cirebon pada tahun 2011 memberi ilustrasi bagaimana gerakan intoleran memberi ruang bagi mobilisasi gerakan ekstrem. Syarif awalnya ikut serta dalam gerakan intoleran bernama GAPAS, dan di situlah ia bertemu dengan tokoh JI yang kemudian merekrutnya sampai menjadi pelaku bom bunuh diri.
Karena itu, membatasi respon terhadap ancaman ekstremisme semata pada mereka yang angkat senjata sebagaimana menjadi tugas Densus tentu saja tidak cukup. Intoleransi dilihat sebagai the lesser threat dan terorisme adalah bigger threat; padahal fakta menunjukkan kekerasan akibat intoleransi jauh lebih sering terjadi daripada terorisme.
Data Global Terrorism Database mencatat serangan terorisme di Indonesia dalam kurun 2010-2013 berkisar paling tidak di angka 40 kejadian. Angka ini jauh lebih kecil dari kejadian serangan teror disejumlah negara tetangga. Di Thailand dan Filipina, misalnya, dalam kurun waktu yang sama yang serangan teror mencapai lebih dari 450 sampai 600 insiden. Sementara data kekerasan intoleransi, sebagaimana muncul dalam beberapa laporan di Indonesia, menunjukkan tingginya angka kejadian per tahun.
Molenbeek dan Indonesia tentu tidak sepenuhnya serupa, tetapi satu hal yang bisa dibandingkan adalah tersedianya ruang yang memungkinkan tumbuhnya radikalisasi, terutama di kalangan masyarakat urban. Upaya untuk menangkal pengaruh persebaran ISIS tidak cukup dilakukan dengan law enforcement yang menyasar mereka yang terlibat dalam gerakan teror, tetapi lebih dari itu diperlukan upaya untuk melemahkan kondisi yang mendukung mobilisasi gerakan ekstrem. Kondisi tersebut bisa berupa sikap permisif terhadap intoleransi dan resistensi terhadap aktivitas kontra-terorisme yang akan memudahkan upaya kelompok ekstrem menemukan ruang mobilisasi dan mendapatkan pengaruh.
Penulis adalah Pengajar di Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), UGM.
A.S. Sudjatna | CRCS | News
Agar gelar “City of Tolerance” Yogyakarta tak sekadar slogan, warga Yogyakarta harus terlibat aktif dan berani mendorong pemerintah untuk melakukan langkah-langkah strategis. Itulah kesimpulan diskusi selama kurang lebih tiga jam pada “Refleksi Dinamika dan Tantangan Kemajemukan di Yogyakarta 2015-2016”, Senin, 11 Januari 2016. Bertempat di kantor Kementerian Agama Kota Yogyakarta, diskusi hasil kerjasama antara Institut DIAN/Interfidei, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) DIY dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) DIY ini menghadirkan tiga narasumber dari latar belakang berbeda, antara lain Prof. Noorhaidi Hasan MA., MPhil., PhD, dari akademisi; Agung Supriyono, SH., kepala Kepala Badan Kesbangpol DIY; dan Tomy Apriando dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta.
Dalam kesempatan tersebut, Noorhaidi membeberkan penelitian Wahid Institute yang menyematkan Yogyakarta sebagai kota intoleran peringkat kedua di Indonesia. Menurut Direktur Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini, sepanjang tahun 2014 dan 2015 terjadi lebih dari dua puluh satu kasus kekerasan agama di Yogyakarta. Di antaranya, penyerangan terhadap kantor LKiS saat menghelat diskusi bersama Irshad Manji, penyegelan kantor Ahmadiyah Yogyakarta, kampanye massif anti-Syiah, pembubaran aktivitas Yayasan Rausyan Fikr, perusakan dan penyegelan sejumlah gereja, penolakan perayaan Paskah bersama di Gunung Kidul, serta pembubaran kemah pelajar Kristen. Kasus-kasus semacam ini menjadi ironi bagi Yogyakarta yang digadang-gadang sebagai kota tempat bernaung beragam suku dan agama yang ada di Indonesia.
Yang menarik, Noorhaidi juga mencatat Yogyakarta sebagai tempat lahir dan besar organisasi keagamaan dan gerakan yang sering dianggap sebagai pemicu konfrontasi dan intoleransi . Semisal FUI yang sejak tahun 2000 getol memprotes pendirian gereja di Yogyakarta, seperti Gereja GIDI di Kalasan serta Kapel St. Antonius di Pondokrejo. Selain itu, organisasi ini juga lantang menentang eksistensi Ahmadiyah dan Syiah. Yogyakarta juga menjadi saksi lahirnya Laskar Jihad yang turut serta dalam pengiriman laskar Islam ke Poso dan Ambon. Di luar itu, masih ada organisasi lainnya yang juga lahir dan berkiprah di Yogyakarta, semisal MMI yang bertekad menegakkan syariah atau HTI yang senantiasa menyerukan khilafah. Pada kurun waktu yang sama, sekelompok anak-anak muda dari Gerakan Anti Maksiat (GAM), Front Jihad Islam (FJI), Laskar Mujahidin MMI, GPK, KOKAM, dan Al-Misbah juga aktif turun ke jalan menentang Syiah.
Menurut Noorhaidi, ada tiga alasan banyak organisasi keagamaan itu memilih Yogyakarta sebagai arena pergerakannya. Pertama, Yogyakarta adalah kota tujuan para pelajar dan mahasiswa dari berbagai wilayah di Indonesia untuk menuntut ilmu. Dengan begitu, Yogyakarta menjadi lokasi strategis untuk membangun tulang punggung organisasi dan titik sebar gerakan ke berbagai wilayah. Kedua, iklim budaya dan kemasyarakatan di Yogyakarta yang cukup permisif terhadap kelompok atau ajaran-ajaran baru yang muncul. Selain itu, struktur kesempatan politik yang diperankan oleh beberapa orang atau beberapa pihak membutuhkan kehadiran organisasi-organisasi tersebut demi menyokong kekuasaannya, dan begitu pula sebaliknya.
Sementara itu, Agus Supriyono menyebutkan Yogyakarta sebagai barometer dan miniature Indonesia dengan segala keragamannya. Karenanya, menurut Agus, wajar jika ada beberapa benturan yang terjadi sebagai sebuah dinamika kehidupan masyarakat majemuk. Namun, Agus menggarisbawahi, kelompok mana pun semestinya tak berusaha mengeliminasi identitas kelompok lainnya. Hal yang harus dilakukan adalah menempatkan identitas masing-maisng tersebut sesuai dengan porsi dan kesempatannya.
Pembicara dari kalangan aktivis media, Tommy, lebih banyak menyoroti persoalan media di dalam kasus-kasus kekerasan agama. Ia menyebutkan, media harus terlibat aktif dalam resolusi konflik dengan menampilkan fakta-fakta sekaligus membuka peluang untuk dialog. Menurt Tommy, media memiliki kemampuan untuk membangun opini publik atau “framing” peristiwa dengan sudut pandang tertentu. Akan tetapi, ia mengingatkan, tantangan awak media di lapangan juga cukup besar. Tak jarang para awak media ini menjadi sasaran kecurigaan pihak-pihak yang sedang berkonflik. Sehingga, kehadiran mereka di wilayah konflik terkadang mendapatkan penolakan. Ini tentu akan menghambat proses pengambilan data sebagai sumber berita secara utuh dan berimbang. Selain itu, tak jarang pula awak media menjadi korban kekerasan dalam sebuah konflik, baik disengaja maupun tidak.
Masalah lainnya yang kerap dihadapi media adalah persoalan keredaksian. Tak jarang , sebuah berita gagal terbit lantaran kebijakan redaksi yang tidak menginginkan memuat hasil liputan tentang konflik beragama sebab dirasa membahayakan maupun teknis penulisan berita yang membuat media menjadi seolah berpihak dan tendensius. Alih-alih dapat menjadi bagian dari solusi, justru media malah menjadi pihak yang ikut memprovokasi. Di dalam beberapa kasus bahkan reaksi publik atas suatu pemberitaan kekerasan agama kerap menjadi bumerang bagi media itu sendiri. Tak jarang kelompok-kelompok tertentu datang dan mengintimidasi kantor sebuah media akibat adanya pemberitaan yang dianggap merugikan pihak mereka.
Di dalam sesi tanya jawab pada acara yang dimoderatori oleh Siti Aminah dari Interfidei tersebut, terungkaplah beberapa pertanyaan dan fakta-fakta lain di lapangan yang dikemukakan oleh para peserta yang hadir. Masriyah, misalnya, menyebutkan Yogyakarta semakin intoleran terhadap minoritas. Bahkan, menurut aktivis Fatayat ini, pendidikan multikultural atau keragaman di wilayah dunia pendidikan formal hampir dapat dikatakan tidak ada. Di dalam hal ini, ia memberi contoh nyata yang dialaminya saat akan mendaftarkan anaknya sekolah ke salah satu SD negeri di Yogyakarta. Pada saat ia mendaftarkan anaknya, ia diwanti-wanti oleh pihak sekolah agar sang anak yang saat itu hanya menggunakan kaos dan celana panjang jeans untuk dipakaikan rok dan jilbab saat nanti sudah masuk sekolah, sebab ia seorang muslimah. Penyeragaman dan pembedaan yang dilakukan semacam ini sejak dini, menurutnya, memungkinkan seseorang bertindak intoleran di masa depan sebab ia tidak terbiasa dengan perbedaan dan keragaman. Selain itu, ia juga menyayangkan sebab hal tersebut terjadi di SD yang notabene berstatus sekolah negeri, bukan sekolah Islam. Padahal, seharusnya sekolah negeri bersikap lebih netral dan mampu menerima serta menanamkan sikap toleransi terhadap keragaman yang ada.
Di dalam kesempatan ini, Masriyah juga mempertanyakan sikap aparat yang menurutnya kerap bersikap lembek atau bahkan seolah melakukan pembiaran terhadap perilaku intoleransi. Pertanyaan senada juga diungkapkan oleh Isna dari Gusdurian Yogyakarta. Mahasiswi UIN Sunan Kalijaga tersebut menyayangkan sikap aparat yang terkesan permisif terhadap aksi-aksi intoleran yang terjadi di Yogyakarta, padahal identitas para pelaku sangat mudah dikenali.
Sebagai tambahan komentar mengenai sikap aparat ini, Agnes dari Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika menyebutkan bahwa seharusnya aparat bersikap tegas dengan melakukan tindakan nyata di dalam menangani kasus-kasus intoleran ini. Ia mencontohkan bahwa pada tahun 2014 dan 2015, ada banyak spanduk provokatif yang merupakan syiar kebencian terhadap kelompok tertentu. Menurutnya, aparat semestinya menindak tegas para pelaku pemasang spanduk tersebut sebab meresahkan. Selain itu, Agnes juga mempertanyakan persoalan penutupan beberapa rumah ibadah secara paksa oleh ormas tertentu. Ia mempertanyakan apakah memang masyarakat umum berhak melakukan penutupan rumah ibadah atau tidak.
Menanggapi beberapa pertanyaan tersebut, Noorhaidi menjawab bahwa pendidikan multikultural sangat perlu dikembangkan, terutama di sekolah-sekolah. Hal itu dapat dimanifestasikan di dalam berbagai program yang sesuai dengan tingkatan pendidikan yang ada. Selain itu, ia mengatakan bahwa kegagalan melakukan sebuah sistem secara substantif oleh pemegang kebijakan hendaklah diatasi dengan cara mengurai masalahnya, bukan malah diatasi dengan cara penyeragaman. Mengenai peran aparat kepolisian, Noorhaidi mengatakan bahwa polisi memang seharusnya tidak usah takut untuk menindak para pelaku tindakan intoleran selama tak menggunakan cara-cara represif. Sebab jika dibiarkan, hal ini akan mencoreng wibawa negara dan mengarah pada gejala privatisasi kekerasan, membiarkan kekerasan dilakukan oleh sekelompok orang sipil. Padahal, privatisasi kekerasan ini adalah sebuah sinyalemen akan lemahnya negara. Di dalam hal ini, Noorhaidi juga menyebutkan bahwa privatisasi kekerasan ini juga dapat menjadi indikasi akan adanya kepentingan politik dari pihak tertentu. Misalnya ada aktor politik yang sengaja melindungi kelompok-kelompok intoleran tertentu guna mendapatkan dukungan suara dan kekuasaan dari kelompok tersebut. Namun, di akhir penjelasannya, ia kembali menegaskan bahwa penegak hukum harus tetap bertindak sesuai proporsi dan kewenangannya. Polisi lebih kuat dari kelompok radikal, jadi seharusnya tidak boleh ada toleransi terhadap kelompok-kelompok pelaku intoleran.
Di lain pihak Agus menyebutkan bahwa kemungkinan penyebab tidak adanya tidakan dari polisi atas para pelaku intoleran itu adalah tidak adanya cukup bukti. Karenanya, ia menghimbau agar laporan akan adanya tindakan intoleran juga disertai bukti-bukti yang cukup, jangan hanya berbentuk laporan semata. Hal ini akan membantu aparat dalam menegakkan hukum yang seharusnya. Selain itu, ia juga meminta masyarakat memaklumi akan kinerja aparat yang mungkin terlihat agak lamban sebab banyaknya kasus yang harus diselesaikan sedangkan jumlah SDM yang dimiliki masih terbatas.
Pertemuan ini akhirnya ditutup oleh tanggapan dari pihak kepolisian, diwakili oleh beberapa anggota polisi yang hadir pada saat itu. Pihak polisi mengakui bahwa memang ada banyak kendala yang harus mereka hadapi di lapangan di dalam penuntasan kasus-kasus kekerasan agama dan tindakan intoleran lainnya. Namun, mereka senantiasa berusaha melakukan penanganan terbaik agar tidak kontraproduktif. Selain itu, polisi juga mengingatkan bahwa peran serta masyarakat di dalam penyelesaian kasus-kasus kekerasan agama ini sangatlah dibutuhkan. Karenanya, pihak kepolisian mengimbau agar masyarakat tidak segan-segan melaporkan atau membantu polisi di dalam menghadapi persoalan intoleransi yang hadir.
Hadirnya Babinsa dan Babinkamtibmas di setiap wilayah di Yogyakarta hendaklah dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh masyarakat untuk membantu kepolisian di dalam kasus-kasus tindakan intoleran. Sehingga, tindakan preventif dapat dilakukan secara bersama-sama oleh pihak kepolisan dan masyarakat. Sebab, menciptakan kehidupan yang rukun dan damai adalah tanggung jawab bersama seluruh elemen masyarakat dan pemerintahan Indonesia, bukan hanya tanggung jawab salah satu pihak saja.
Editor: Azis Anwar Fachrudin
Fardan Mahmudatul Imamah | CRCS | SPK
Jawa Barat adalah provinsi dengan kasus intoleran tertinggi di Indonesia, khususnya selama delapan tahun terakhir. Kasus intoleran tersebut berupa kekerasan terhadap kelompok minoritas seperti Ahmadiyah dan Syiah, penutupan gereja, kampanye anti perbedaan, peraturan daerah yang diskriminatif, serta pelanggaran hak-hak sipil. Hal ini terungkap pada salah satu sesi diskusi acara Sekolah Pengelolaan Keragaman (SPK), Selasa, 24 November 2015. Acara rutin tahunan hasil dari kerja sama Program Studi Lintas Agama dan Budaya (CRCS) UGM dengan Hivos tersebut dihadiri oleh dua puluh enam orang aktivis dan akademisi dari berbagai institusi pendidikan maupun lembaga sosial kemasyarakatan yang berada di Jawa Barat, seperti Fahmina Institut, Gerakan Islam Cinta, Jaringan Kerja Sama antar Umat Beragama (Jakatarub), Values Institut Bandung, Pelita Perdamaian, Peace Generation Indonesa, IPNU, Majelis Khuddamul Ahmadiyah Tasikmalaya, dan Sunda Wiwitan.