Anang G. Alfian* | CRCS | Class Journal
Salah satu mata kuliah yang diajarkan di CRCS adalah Religion, Violence, and Peace Building (Agama, Kekerasan, dan Perdamaian). Tiga kata kunci ini menjadi variabel dan titik tolak diskusi tentang hubungan agama dan konflik sosial dan bagaimana upaya untuk membangun perdamaian.
Diampu oleh Dr. Iqbal Ahnaf, mata kuliah ini membahas, antara lain, persoalan relasi antara agama dan konflik. Ini dibahas di pertemuan pertama untuk membuka wawasan tentang perdebatan yang terjadi mengenai hubungan kausalitas antara agama dan kekerasan.
Pada pertemuan ini, satu dari dua bacaan yang dipakai sebagai bahan readings adalah artikel dari Andreas Hasenclever dan Volker Rittberger, Does Religion Make a Difference?: Theoretical Approaches to the Impact of Faith on Political Conflict (Journal of International Studies, 2000).
Dalam artikel itu, Hasenclever dan Rittberger memaparkan tiga mazhab dalam dunia akademik dalam membaca hubungan agama dan konflik, yaitu (1) primordialis, (2) instrumentalis, dan (3) konstruktivis.
Kaum primordialis berpandangan bahwa agama dalam dirinya sendiri memiliki unsur inheren yang dapat menyebabkan konflik. Ketika terjadi “konflik agama”, agama dibaca oleh kaum primordialis sebagai variabel yang independen, unsur yang tidak bergantung pada aspek-aspek lain, dan perbedaan identitas keagamaan itu sendiri bisa cukup sebagai penyebab konflik.
Kaum instrumentalis melihat peran agama dalam “konflik agama” sebagai instrumen saja, dan tidak memiliki peran objektif dalam dirinya sendiri. Menurut kaum instrumentalis, penyebab utama konflik adalah kepentingan politik dan ekonomi. Bagi kaum instrumentalis, agama hanya berperan dalam retorika saja, dan relasinya dengan konflik bersifat semu belaka.
Kaum konstruktivis tampak berada di tengah-tengah antara kedua kelompok di atas. Konstruktivis bersetuju dengan instrumentalis dalam hal bahwa penyebab fundamental konflik bukanlah agama, melainkan kepentingan politik dan ekonomi. Namun konstruktivis juga bersepakat dengan primordialis dalam hal bahwa agama memiliki peran nyata objektif, namun bukan sebagai penyebab utama, melainkan eskalator konflik. Agama, ketika terlibat dalam konflik, dapat membuat konflik semakin mematikan, deadly. Juga, berbeda dari primordialis yang berpandangan bahwa agama menjadi variabel independen dalam konflik, bagi kaum konstruktivis agama berperan secara dependen, tergantung pada faktor-faktor ekonomi dan politik lain yang melingkupi konflik tersebut; seberapa besar peran agama mengeskalasi konflik tergantung pada seberapa akut benturan antar kepentingan politik dan ekonomi dalam konflik itu.
Ketiga cara pandang di atas tidak bisa diperlakukan secara universal. Tapi ketiganya bisa dijadikan lensa analitis dan ditempatkan dalam suatu spektrum. Bagaimana menentukan peran agama dalam suatu konflik mestilah dimulai dari detil kasus konfliknya, lalu naik melihat lensa-lensa analitis yang ada, kemudian menentukan di antara yang tersedia manakah penjelasan yang lebih tepat.
Dalam “kasus Sunni-Syiah” Sampang, misalnya, dimensi konflik yang terjadi bukan hanya karena faktor perbedaan ideologis semata, namun juga karena adanya instrumentalisasi agama oleh elite politik, karena konflik ternyata bereskalasi pada masa perebutan kekuasaan menjelang pemilu daerah, sehingga narasi-narasi agama di legitimasi sedemikian rupa untuk suatu tujuan politik. Dalam melihat hal ini, kita tak bisa berhenti pada pandangan kaum primordialis—inilah pandangan yang diadopsi oleh mereka yang memercayai bahwa konflik Sampang itu adalah konflik Sunni-Syiah. Dimensi sosial politik dalam konflik itu wajib dihitung, mulai dari yang kecil seperti persengkataan internal keluarga, perebutan umat, hingga yang lebih makro seperti instrumentalisasi konflik untuk mendulang dukungan dalam pemilu.
Dalam perspektif konstruktivis, intervensi terhadap konflik dengan menyuarakan nilai-nilai kebajikan agama, kearifan lokal, dan slogan-slogan orang Madura Sampang sangat membantu upaya rekonsiliasi konflik, yakni untuk melakukan deskalasi terhadap konflik itu dengan mengajukan narasi tandingan primordialis. Penelitian Dr. Iqbal Ahnaf beserta peneliti yang lain dalam serial laporan CRCS tentang kehidupan beragama di Indonesia yang bertajuk Politik Lokal dan Konflik Keagamaan menunjukkan instrumentalisasi agama oleh elit politik di Sampang menjelang pilkada. Tesis S2 terkait kasus Sampang ini juga ditulis oleh mahasiswa CRCS angkatan 2010 Muhammad Afdillah yang kini telah dijadikan buku dengan judul Dari Masjid ke Panggung Politik.
Kasus Sampang merupakan contoh yang bagus untuk membaca seberapa besar peran agama dalam konflik, dan ini membutuhkan data dan analisis yang cermat. Contoh-contoh lain dari yang terjadi di Indonesia yang bisa diambil ialah kasus Ambon dan Poso, atau yang belum lama ini terjadi seperti di Tolikara, Tanjungbalai, atau bahkan kasus dugaan “penodaan agama” dalam pilkada Jakarta.
*Penulis adalah mahasiswa CRCS angkatan 2016
ISIS
Azis Anwar Fachrudin | CRCS UGM | Opinion
Despite the fact that Jakarta Governor Basuki “Ahok” Thahaja Purnama has apologized for statements made regarding the Quranic verse Al-Maidah 51, some Islamic groups are saying that an apology is not enough. Protestors demanded that Ahok be criminalized in a rally last week in Jakarta.
Deputy secretary-general of the Indonesian Ulema Council (MUI) said on a TV show that religious defamation must be punished by “death, crucifixion or at least hand amputation and expulsion”. Even though he did not urge the state to adopt such a policy, but rather called on the processing of the case in accordance to the law on religious defamation, his remarks give the impression that Islamic law is that harsh.
The Quranic verses quoted by the MUI deputy secretary-general are known as the hirabah verses. Hirabah, which literally means “warfare”, and the verses were basically applied under the principles of Islamic jurisprudence to crimes such as highway robbery, piracy, unlawful rebellion and sedition. The verses were the same verses used by the Islamic state (IS) group to justify its crucifying of those waging war against IS.
Therefore, the attribution for those punishments for alleged religious defamation is dangerous.
What is more saddening is that Islamic groups are pushing for Ahok to be criminalized when he had no intention of insulting Islam or the Quran. The groups are insisting that the literal out-of-context interpretation of al-Maidah:51 is the only correct one. They take for granted that the verse literally prohibits non-Muslims from being a “leader” in a Muslim country.
The word auliya is not translated as “leader” in most contemporary translations as well as tafsir, the consequence of that translation is dangerous: non-Muslim ministers, regents, even bosses in companies where Muslims work are also leaders, aren’t they? Must they be dismissed from their positions just because of the verse?
The verse will only make sense if understood in its context, that is, in a situation of war, such as when the Jews were said to have betrayed the Muslims by violating the social contract made between the two to defend Medina together when the city-state was under attack; hence the later prohibition to make the Jews “allies” (the closest meaning to the word“auliya”).
Read more http://www.thejakartapost.com/
________________________
The writer is a graduate student at the Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) at Gadjah Mada University, Yogyakarta.
M. Iqbal Ahnaf | CRCS | Artikel
Kecurigaan pelanggaran HAM dalam meninggalnya terduga teroris Siyono saat pemeriksaan Densus 88 meninggalkan beberapa pertanyaan, termasuk soal prioritas dan pendekatan penanggulangan terorisme. Tidak lama sebelum kasus Siyono menjadi perhatian publik, aksi teror di Brussel meninggalkan pertanyaan serupa. Tulisan ini ingin melihat pelajaran apa yang bisa ditarik dari kasus-kasus terorisme baru-baru ini di Eropa bagi Indonesia.
Paska serangan mengerikan ISIS di Perancis dan Belgia, perhatian banyak pihak tertuju pada sebuah distrik di Belgia bernama Molenbeek. Distrik ini dikenal sebagai salah satu wilayah yang menjadi pusat tempat tinggal warga Muslim di Belgia; sampai-sampai ada yang mengatakan jumlah masjid di Molenbeek empat kali lebih besar daripada jumlah gereja. Keberadaan komunitas Muslim yang begitu besar di sebuah negara Barat dengan mayoritas penduduk non-Muslim seharusnya bisa dilihat sebagai simbol keterbukaan, toleransi dan akulturasi Muslim dan Barat, tetapi yang terjadi tampak sebaliknya. Kota ini kini identik dengan Islam ekstremis.
Dalang pelaku teror Paris, Abdul Salam bersaudara, tumbuh dan besar di distrik ini. Salah Abdul Salam adalah pelaku bom bunuh diri di dekat stadium di Paris, sementara adiknya ditembak mati di Molenbeek setelah beberapa lama dalam pelarian.
Kejadian terakhir semakin memperkuat citra Molenbeek sebagai basis radikalisasi di kalangan Muslim di Eropa. Belgia adalah negara dengan jumlah warga negara tertinggi yang bergabung dengan ISIS. Dengan mudah hal ini bisa dikaitkan dengan radikalisme di Molenbeek. Sejumlah media menyebut Molenbeek dengan label-label yang mengaitkannya dengan terorisme seperti “Islamist pit stop”, “terrorist airbase”, dan “jihadi haven”.
Radikalisme Urban
Kebebasan, modernitas, dan ekonomi yang lebih maju terbayang sangat indah tidak hanya bagi mereka yang tinggal di negara-negara miskin dan berkembang, tetapi juga mereka yang hidup mapan. Namun kemapanan ekonomi ternyata tidak serta-merta menciptakan karakter yang lebih terbuka dan toleran. Radikalisme justru seringkali tumbuh berkembang di wilayah-wilayah urban atau di kalangan yang relatif mapan. Ideologi, narasi ekstrem dan imajinasi ancaman (siege mentality) menarik minat sebagian kalangan yang mapan secara ekonomi pada radikalisme.
Hal ini bisa dilihat pada sejumlah sosok yang bergabung dengan ISIS. Misalnya, Salah Abdul Salam yang menjadi otak serangan teror di Paris adalah pria yang tidak bisa dikatakan kelas bawah secara ekonomi. Laporan The Telegraph menyebutkan bahwa sebelum aksi teror di Paris ia pernah kehilangan layanan sosial warga miskin di Belgia karena penghasilannya sudah di atas batas kelas tidak mampu. Sebelumnya, tiga orang gadis dilaporkan meninggalkan keluarganya yang mapan di London untuk bergabung dengan ISIS di Suriah.
Ada beberapa karakter yang menjadi konteks radikalisasi di lingkungan urban, seperti ketercerabutan dari kultur awal, krisis identitas, perasaan tertolak, kebutuhan akan komunitas, dan keterpikatan pada otoritas keagamaan baru yang dimungkinkan oleh diskusi dan kajian agama secara online.
Molenbeek yang menyumbang 40 persen populasi Muslim di seluruh Belgia dikenal dengan tingkat pengangguran yang tinggi. Tetapi yang menentukan bukanlah kemiskinan aktual per se tetapi lebih pada bagaimana kemiskinan yang relatif terkonsentrasi dialami oleh satu kelompok identitas, imigran Muslim, dengan mudah memberi justifikasi terhadap perasaan dimiskinkan oleh sistem yang berlaku.
Kondisi ini dieksploitasi oleh kelompok ekstremis sebagai alat untuk menciptakan framing yang mendorong pada salah satu proses penting radikalisasi. Yaitu narasi tentang viktimisasi umat Islam dan kebutuhan untuk mewujudkan alternatif terhadap sistem yang dianggap berlawanan dengan kehendak Tuhan.
Dalam proses radikalisasi, satu hal yang patut dicermati adalah terciptanya situasi dan ruang yang menyediakan lahan yang subur bagi radikalisasi. Radikalisasi model ini tidak terjadi di kampung-kampung dimana kontrol sosial masih kuat, tetapi dalam masyarakat kota yang individualistik dan diisi oleh kantong-kantong kecil yang tidak terusik oleh masyarakat sekitarnya.
Kembali ke Molenbeek, meskipun dikenal sebagai pusat perkembangan ekstremisme, mayoritas warga Molenbeek sebenarnya adalah kelompok moderat yang menginginkan integrasi dalam masyarakat Belgia dan Eropa secara luas. Tetapi karakter masyarakat urban yang lemah dalam kontrol sosial membuat keberadaan basis-basis kelompok ekstrem di distrik ini relatif aman.
Pelajaran bagi Indonesia
Sejauh ini unit anti-teror Indonesia telah menangkap cukup banyak orang yang bergabung dengan ISIS. Ada dua karakter yang menonjol dari mereka yang bergabung dalam ISIS. Pertama, banyak yang berasal dari kalangan urban, dan Kedua, kebanyakan bukanlah aktor baru dalam gerakan radikal.
Bahrun Naim dan Afif, otak dan pelaku serangan teror di Sarinah mempunyai pengalaman hidup dalam lingkup urban. Bahrun Naim sebelumnya adalah mahasiswa di Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo; sementara Afif dikenal sudah lama malang melintang di gerakan radikal melalui Majelis Mujahidin Indonesia dan jaringan Aman Abdurrahman.
Karakter urban juga bisa dilihat dalam sosok Koswara Ibnu Abdullah alias Jack yang mengkoordinir pemberangkatan sejumlah orang ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS. Ia tinggal di sebuah kompleks perumahan di Tambun Bekasi yang sebagian besar penghuninya adalah pendatang. Keengganan warga sekitar ikut campur dalam kehidupan tetangga memungkinkan keleluasaan gerak kelompok Koswara.
Daya tarik ISIS di Indonesia semakin melemah seiring dengan melemahnya kekuatan kelompok ini di Suriah dan Iraq. Tetapi, ancaman ISIS sebaiknya tidak hanya dilihat dari ISIS semata. ISIS hanyalah salah satu saluran dari proses radikalisasi yang tumbuh dalam 10 tahun terakhir, terutama paska konflik di Maluku. Meskipun konflik sektarian di Maluku berakhir pada tahun 2000, tetapi residu konflik terbentuk dalam bentuk peran para “eks-kombatan” dalam kelompok-kelompok radikal.
Sebagai salah satu saluran, ISIS bisa muncul dan hilang. Ada banyak pilihan saluran lain selain ISIS. Mereka yang menerima narasi radikal bisa saja mendapatkan saluran pada gerakan-gerakan sosial politik non-kekerasan seperti Hizbut Tahrir atau Salafi. Begitu juga mereka yang memilih jalan kekerasan bisa memilih kelompok yang berbeda seperti angkatan Mujahidin dan Jabhah Al-Nusroh yang menjadi rival ISIS di Suriah. Jaringan dan pertemanan, selain ideologi, bisa menentukan kelompok mana yang dipilih sebagai saluran atas kegelisahan mereka. Hal ini terkonfirmasi oleh laporan IPAC tahun 2014 berjudul The Evolution of ISIS in Indonesia yang menunjukkan latar belakang gerakan yang beragam dari para pengikut ISIS, termasuk JI, Majelis Mujahidin, Salafi bahkan FPI.
Intoleransi dan Terorisme
Hal lain yang patut dicermati dari keragaman latar gerakan dari mereka yang bergabung dengan ISIS adalah pentingnya ruang yang memungkinkan mobilisasi ekstremisme. Ruang tersebut tersedia dalam konteks menguatnya intoleransi dalam sepuluh tahun terakhir. Ekstremisme adalah puncak dari proses radikalisasi. Ekstremisme tidak terjadi dalam ruang kosong, tetapi menuntut karena yang terpolarisasi berdasarkan sentimen komunal dan karena itu memudahkan mobilisasi sektarian.
Sosok M. Syarif pelaku bom bunuh diri di Cirebon pada tahun 2011 memberi ilustrasi bagaimana gerakan intoleran memberi ruang bagi mobilisasi gerakan ekstrem. Syarif awalnya ikut serta dalam gerakan intoleran bernama GAPAS, dan di situlah ia bertemu dengan tokoh JI yang kemudian merekrutnya sampai menjadi pelaku bom bunuh diri.
Karena itu, membatasi respon terhadap ancaman ekstremisme semata pada mereka yang angkat senjata sebagaimana menjadi tugas Densus tentu saja tidak cukup. Intoleransi dilihat sebagai the lesser threat dan terorisme adalah bigger threat; padahal fakta menunjukkan kekerasan akibat intoleransi jauh lebih sering terjadi daripada terorisme.
Data Global Terrorism Database mencatat serangan terorisme di Indonesia dalam kurun 2010-2013 berkisar paling tidak di angka 40 kejadian. Angka ini jauh lebih kecil dari kejadian serangan teror disejumlah negara tetangga. Di Thailand dan Filipina, misalnya, dalam kurun waktu yang sama yang serangan teror mencapai lebih dari 450 sampai 600 insiden. Sementara data kekerasan intoleransi, sebagaimana muncul dalam beberapa laporan di Indonesia, menunjukkan tingginya angka kejadian per tahun.
Molenbeek dan Indonesia tentu tidak sepenuhnya serupa, tetapi satu hal yang bisa dibandingkan adalah tersedianya ruang yang memungkinkan tumbuhnya radikalisasi, terutama di kalangan masyarakat urban. Upaya untuk menangkal pengaruh persebaran ISIS tidak cukup dilakukan dengan law enforcement yang menyasar mereka yang terlibat dalam gerakan teror, tetapi lebih dari itu diperlukan upaya untuk melemahkan kondisi yang mendukung mobilisasi gerakan ekstrem. Kondisi tersebut bisa berupa sikap permisif terhadap intoleransi dan resistensi terhadap aktivitas kontra-terorisme yang akan memudahkan upaya kelompok ekstrem menemukan ruang mobilisasi dan mendapatkan pengaruh.
Penulis adalah Pengajar di Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), UGM.
Ali Jafar | CRCS | Wednesday Forum Report
Maurisa, a CRCS alumna from the batch of 2011, presented her award-winning paper in Wednesday forum of CRCS-ICRS in 11th November 2015. Her paper entitled “The Rupture of Brotherhood, Understanding JI-Affiliated Group Over ISIS”, was awarded as best paper in IACIS (International Conference on Islamic Studies) in Manado, September. Maurisa was glad to share her paper with her younger batch. To all the audiences, Maurisa told that winning as best paper was not her high expectation, and it makes her proud.
The presentation began with Maurisa’s statement that the issue of ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) are quite to understand in relation to modern terrorism, because we always misread them and sometime we cannot differentiate between ISIS and Al-Qaeda. Maurisa continues her explanation that there are many groups in Iraq and Syria struggling for their power, terrorism is not single but many. ISIS also has supporters in Indonesia such as Jemaah Islamiyyah (JI-Islamic Group) which is considered as a big terrorist organization in Southeast Asia. This group (JI) has disappears from public consciousness, but actually its members have been spreading out. The most fascinating thing that she found is that JI in Indonesia. JI was separated into two, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) and Jama’ah Anshar at-Tauhid (JAT), and surprisingly JAT itself has internal conflict and divided into two; JAT and JAS (Jama’ah Anshar as Syari’ah).
Maurisa’s paper focused on questions about how does the conflict in Syria resonates with Jihadists in Indonesia, and how does political struggle within MMI show belief in a master narrative. Maurisa used Juergensmeyer’s perspective about cosmic war and the logic of religious violence. In the Juergensmeyer perspective, an ordinary conflict could become religious conflict when it is raised into cosmic level. One of the ways is demonization or Satan-ization of the enemy. In the context of Syria, the demon is Shia group which is blamed for chaotic situation within Sunni community. The master narrative was also about the same language. It is about sadness, it is about the sad feeling of being discriminated and persecuted by Shia.
According to Maurisa, not all jihadist groups support ISIS, indeed MMI was supporting Jabhat an-Nusra. The rupture of this affiliation was based on their differences in the perspective of takfirism (Apostasy). JAT and MMI have different perspectives in defining what Takfir Am (general apostasy) and takfir Muayyan (specific apostasy) is.
In seeing terrorist movements, although Maurisa saw that Jihad-ism is not monolithic, she revelas that there are five elements which are related each other. There are ideological resonance, strategic calculus, terrorist patron, escalation of conflict and the last is charismatic leadership. Terrorists also use social media, such as Facebook, Youtube and so on, to promote their propaganda, and as soft approach to other Muslims. Based on Maurisa’s research there are 50000 social media accounts to spread ISIS propaganda, but only 2000 are used to spread out propaganda. The most popular social media is Twitter, because a message can be retwited..
In the discussion session, Nida, a CRCS student asked about the current issues in which governments have banning Shi’a celebration in Indonesia, and whether there is any relation with ISIS, and how an Indonesian can be involved in the terrorism. Maurisa answered the question by explaining that Indonesia is about to change. It can be seen in Islamization created room for Islam in the public sphere. Indonesia is vulnerable since Wahabis and Iran have their political goals here and both want to establish their domination to spread out their agenda. Cases in Sampang, Madura, Pakistan and so on cannot be separated from international case. There are long story for transformation of Saudi and Iran. Our country is like something too. In talking about the entrance gate, Turkey is good entrance from Indonesia to go to Syria. If we see Turkey’s position is also questionable. They deny Isis, but they also support Isis.
Subandri also asked about the ways we interpret jihad are accessible. Therefore there are many interpretations of Jihad. That is what looks like for young Muslim now. Along with Subandri, Ruby also asked about the genealogy of Indonesian Jihadist movement. Like the connection between Indonesia and middle east that coming and potential realignment and the effect of JAT over ISIS.
In seeing connection and global phenomena, a relation between Islam and Middle East, Maurisa explained that in the United State for instance, there is relation if you wear jilbab, you are Muslim, and when you are Muslim, you are ISIS. “Here we can see the idea about securitization is like Islamophobia”, said Maurisa with showing slide about relation between Indonesia and Middle East. As she explained again “If we look at voice of Islam, we can see that there are solidarities for Syria. It is reported that medical mission in Indonesia, they have collected 1.6 million. For Syria suggesting support for the movement of mujahidin”. Maurisa also explained that globalization is the most responsible for this case. For example many Indonesia Muslims have easy access to Saudi, Iranian, Jihadist web, because of technology and so on. Young Indonesian have a lot of curiosity and they don’t ask to other.
In responding the interpretation of jihad, Maurisa gives a feedback, how do we interpret this? What makes cosmic war happen? And how to deal with them?. Maurisa began her explanation that in Islam, although there are many verses for killing, but it not necessary to do in violence. We have many steps in interpretation. There are many reasons for what make Muhammad approve of killing and in what context he did so. There are many possibilities to interpret jihad and there are many verses of good thing about Jihad. In talking about cosmic war, she said that “as long as we consider our enemy as Satan, or evil, meaning it is cosmic war”. At the end of discussion session, Maurisa concluded that the factor of jihad is not monolithic; there are many factors, even in ISIS and Al-Qaeda have different perspectives about jihad.
(Editor: Gregory Vanderbilt)
Azis Anwar Fachrudin | CRCS | Article
As the Islamic State (IS) organization destroyed ancient statues aged thousands of years at the Mosul museum in Iraq last month, almost at the same time some Muslims demanded that the Jayandaru statues in the Sidoarjo town square in East Java should be torn down too. Their reasons were similar: They regarded the statues as idols being worshipped and idolatry is considered part of polytheism or shirk, the biggest and most unforgivable sin in Islam. Sadly, the demands in Sidoarjo were primarily supported by GP Ansor, the youth wing of the supposedly “moderate” Nahdlatul Ulama (NU).
NU is often associated with being against “purification” (a literal interpretation of Islam) and it usually would be in the forefront of safeguarding “holy graves” against the threat of destruction, particularly the graves where those considered Muslim saints are buried. The NU highly condemns IS, including its blasting of holy shrines like the tomb of the Prophet Jonah (Yunus) in Iraq, and the actions of al-Nusra, such as its destruction of the grave of the leading imam an-Nawawi in Syria.
In fact, the embryo of NU in the early 20th century was a movement protesting the destruction of tombs of respected Muslim figures and sites that had historic importance for Muslims in Saudi Arabia (named Hijaz at that time). The destruction was carried out under the convictions of Wahhabism that regarded those shrines as sources of shirk.
What we are now dealing with is here, however, are statues, which is different from the contentious status of holy tombs. Many Muslims still visit graves of the holy figures; there is no clear prohibition of such a practice in primary Islamic sources of teachings. Yet there are several explicit prohibitions based on hadiths or prophetic traditions (which are secondary sources) of making full-figured statues or images of living creatures, either human or animal.
IS justifies its actions with those hadiths, relying also on the narrated story that the Prophet Muhammad commanded the destruction of statues (or, to be precise, idols) surrounding the Ka’ba in the eighth year following his conquest of Mecca.
The same justification was employed also by Afghanistan’s Taliban when in 2001 they blew up the two giant statues of Buddha in Bamiyan made in the 6th century — without knowing that there is no concept of a personal God in Buddhism, which is a non-theistic religion, and the statues of Shakyamuni Buddha are not subject to worship in the sense understood by monotheists.
That is it. Without denying the possibility of the political or economic factors in the aforementioned cases, the question here is whether Islam promotes iconoclasm or the destruction of idols. Iconoclasm is not unique to Islam (or, to be exact, Muslims); Judaism and Christianity also share history or scriptural teachings of iconoclasm. The story of the golden statue of a calf in the time of Moses is shared by the three religions. Iconoclasm was commanded by Hezekiah, the king of Judah (Two Kings 18:4) and King Josiah (Two Kings 23:1-20).
It appears also in the rabbinical Midrash, the story of Abraham as the iconoclast destroying idols made by his father. In Christianity, disputes over iconoclasm occurred in the Byzantine and Protestant Reformation era.
That is what is narrated in the scripture or “history”. As for Islam, while the Prophet Abraham is reported in the Koran to be destroying idols (asnam) of his people (Koran 21:52-67), the holy book says of King Solomon, considered a prophet by Muslims, that “they [the jinns] made for him [i.e. Solomon] what he willed: synagogues and statues [tamathil], basins like wells and boilers built into the ground.”
The Koranic terminology appears to differentiate between a mere statue (timthal) and an idol or statue being worshipped (sanam).
Muslim scholars all agree that it is prohibited for Muslims to worship statues because it makes them idolatrous. But that distinction between timthal and sanam matters very much when it comes to the contentious status of statues that are not worshipped.
Some Muslim scholars, such as the leading reformer Muhammad Abdul, Jadul-Haq (a former Grandsheikh of al-Azhar), and Muhammad Imarah (a renowned Muslim thinker), argued that it is allowed to have statues as long as they are not worshipped.
And in the fundamentals of Islamic jurisprudence (usul al-fiqh), “rulings are based on their raison d’etre [‘illah al-hukm]; when the raison d’etre disappears, the rulings do not prevail.”
That argument is supported by historical evidence of the early Muslim generations. The companions of the Prophet (such as Amr ibn al-Ash in Egypt and Sa’d ibn Abi Waqqas in Iraq) led conquests in many places, but did not destroy the ancient statues they found, because those statues were no longer worshipped.
Sphinxes still exist in Egypt. Those Mesopotamian statues had been there for centuries before being demolished by IS. The Bamiyan Buddha statues were there before being attacked by the Taliban.
In fact, when the Taliban were under Mullah Mohammed Omar, he once issued a decree in favor of the preservation of the Bamiyan statues by arguing that, besides the fact that a Buddhist population no longer existed in Afghanistan, the statues could be a potential major source of tourism income for Afghanistan.
Statues in the Borobudur Buddhist temple are also still there, although nine stupas were damaged during the 1985 Borobudur bombing. In general, most Muslims, either as a minority like in India or as a majority like in Indonesia, have no problem with statues, unlike those who prefer a literal interpretation of the Prophet’s sayings, or hadiths. Scripturalism is the very problem of IS-like Muslims; it denies the imperative that scripture must be contextualized with surrounding circumstances and contrasted with historical evidence.
Furthermore, in the heart of the holiest site for Muslims — the Ka’ba — there is a black stone (al-hajar al-aswad), that was venerated in the pre-Islamic pagan era and is kissed by Muslims while doing pilgrimage. That stone is considered sacred by many Muslims; some of them touch it to get sort of blessing or expiation of sins. And in regard to this practice, the second caliph Umar ibn al-Khattab has frequently been quoted as saying, “I know that you are a stone and can neither harm nor benefit anyone. Had I not seen the Messenger kissing you, I would not have kissed you.” That is, it is not statues, images, or stones that matter; it is Muslim minds that do.
For some nahdliyin (NU members), then, can we regard those statues in Sidoarjo as merely statues or stones that are not worshipped?