• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Keragaman
  • Keragaman
Arsip:

Keragaman

Mendedah Ragam Paradigma Pengelolaan Keragaman

BeritaHeadlineNewsSPK news Tuesday, 25 October 2016

Anang Alfian | CRCS UGM | SPK News
img_5791“Kita tidak akan mencoba mengurangi keragaman karena itu sia-sia, dalam konteks negara demokratis, semua punya hak dan kewajiban yang sama”.
Uraian Zainal Abidin Bagir, fasilitator SPK dari CRCS UGM, itu menjadi titik tolak diskusi para pertemuan SPK hari ketiga pada Kamis 6 agustus 2016. Bertempat di Disaster Oasis Kaliurang Yogyakarta, Bagir mengawali diskusi dengan memperkenalkan beberapa pendekatan terkini dari berbagai mahzab pengelolaan keragaman seperti seperti John Rawls (nalar publik), Abdullahi An-Naim (nalar kewargaan), Bikhu Parekh, Tariq Modood (kewarganegaraan multikultural), maupun Chantal Mouffe (“pluralisme agonistik”). Berbagai pendekatan ini memberikan gambaran bahwa metode pengelolaan keragaman pun tidak tunggal. Ide pluralisme kewarganegaraan ditawarkan sebagai pisau analisis dan perumusan model pengelolaan keragaman yang mampu menjawab tantangan Indonesia saat ini. Lantas fasilitator yang akrab dipangggil Pak Zain ini mengajak semua peserta memikirkan kembali paradigma pengelolaan keragaman yang tidak hanya mewadahi kerukunan tetapi juga mendorong ke arah keadilan sosial. “Isu pluralisme tidak semata-mata sebagai isu koeksistensi, yaitu kerukunan dan  perdamaian tapi juga keadilan sosial” ujar Pak Zain.
Pada sesi berikutnya, Trisno Susanto memfokuskan bahasan pada politik keragaman di Indonesia dengan mendalami masalah-masalah hukum terkait dengan RUU Kerukunan Umat Beragama (KUB) dan RUU Perlindungan Umat Beragama (PUB) . Menurutnya, Indonesia menganut prinsip governed religion yaitu agama sebagai sesuatu yang dikendalikan oleh pemerintah. Namun, pada pelaksanaanya hal ini menjadi sangat problematis. Posisi penghayat, misalnya,  tidak mendapat jaminan hukum di hadapan RUU PUB. Ini berbeda dengan pemeluk enam agama yang diakui di Indonesia. Padahal pengakuan terhadap legalitas identitas ini menjadi penting ketika berhadapan dengan kebijakan publik.
Yang unikmenarik, pada sesi diskusi bertema“ Konseptualisasi Pengelolaan Keragaman” ini para peserta tak hanya mendengarkan suara sumbang terhadap kebijakan pemerintah, tetapi juga upaya- upaya pemerintah  yang sebenarnya sudah sejalan dengan kepentingan keragaman, “Pemerintah sebenarnya sudah mengutamakan pranata adat untuk penyelesaian masalah di wilayahnya sendiri,” cetus Fahdli, salah satu peserta SPK. Menurutnya, masalah yang kerap terjadi adalah tidak tersampaikannya aspirasi karena distorsi berbagai kepentingan. Untuk itu, advokasi harus dikawal dari bawah hingga ke atas, bahkan sampai pada implementasinya.
Antusiasme peserta semakin terlihat ketika mereka menjabarkan berbagai perspektif mulai dari peran pemerintah, diskriminasi yang terjadi, hingga berbagai pengalaman mereka di daerah. “Penghayat di Brebes itu gak bisa dimakamkan di pemakaman Muslim,” sebut Wijanarto, peserta dari Dinas Pariwisata, Pemuda dan Olahraga, Kabupaten Brebes. Tak dapat dipungkiri memang, diskriminasi terhadap identitas minoritas masih menjadi pertanyaan yang terus mencari jawaban penyelesaian. Materi pengelolaan keragaman ini tak hanya berusaha membantu khazanah teoritis para peserta sebagai aktivis dan pegiat kemanusiaan dalam advokasi mereka tetapi juga menjadi langkah awal dalam memahami tantangan pengelolaan keragaman yang makin kompleks di Indonesia.
 

Kisah Damai Dari Bumi Cendrawasih

Book ReviewHeadlineNews Thursday, 21 January 2016

Ribka Ninaris Barus | CRCS | Book Review
Persepsi tentang Papua kerap diliputi dengan isu-isu konflik. Selain konflik ekonomi-politik, juga ada konflik saudara (suku) serta kekerasan yang mengatas namakan agama. Fenomena-fenomena tersebut menggoda orang untuk mengimajinasikan wajah Bumi Cendrawasih yang ‘murung’ dan ‘menyeramkan’. Persepsi yang demikian semestinya tak boleh menutup harapan dan mata kita untuk menilik bahwa ada kisah kedamaian di Tanah Papua. Dalam hal ini, buku Papua Mengelola Keragaman berupaya menunjukkannya.
Buku tersebut merupakan tulisan reflektif hasil kunjungan peserta program Sekolah Pengelolaan Keragaman (SPK) ke-V ke Kampung Wonorejo, yang diselenggarakan oleh CRCS bekerjasama dengan STAIN Al-Fatah, STFT Fajar Timur, dan LSM Ilalang Jayapura. Buku ini memuat kisah pengalaman masyarakat Kampung Wonorejo, Kabupaten Keerom, Papua, dalam upaya merajut kedamaian di tengah-tengah keberagaman. Buku ini dibagi ke dalam tiga bagian; setiap bagian terdiri dari beberapa tulisan dan diakhiri dengan sebuah cerpen. Tulisan-tulisan di dalamnya berupaya memberi gambaran interaksi masyarakat Wonorejo dan bagaimana pemerintah setempat mengelola perbedaan antar warga Wonorejo.
Tulisan-tulisan pada bagian pertama menggambarkan konteks kehidupan dan interaksi masyarakat di Kampung Wonorejo, sebuah desa yang terletak di daerah tapal batas antara Papua dan Papua New Guinea. Banyak warga Desa Wonorejo yang merupakan para transmigran yang berasal dari Pulau Jawa, Sulawesi, dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Di desa ini, mereka dengan latar belakang kebudayaan, adat-istiadat, dan agama berbeda hidup bersama. Memiliki sejarah perjuangan hidup yang sama membuat mereka hidup senasib sepenanggungan. Hal inilah yang kemudian menjadi dasar bagi masyarakat Wonorejo untuk membangun kehidupan yang toleran, seperti yang diceritakan oleh Yali dan Kleopas. Interaksi antaretnik yang terjadi di Wonorejo juga terwujud dalam proses transfer pengetahuan. Oktovina dalam tulisannya menjelaskan proses itu, yang terjadi di antara para perempuan transmigran dari Jawa dan para perempuan Papua dalam mengolah bahan makanan, seperti pengolahan singkong menjadi kue yang dipelajari perempuan Papua dari perempuan Jawa, dan pengolahan sayur pohon pisang yang dipelajari oleh perempuan Jawa dari perempuan Papua.
Bagian kedua buku ini, Praktik Pengelolaan Keragaman, memuat tulisan mengenai praktik konkret pengelolaan keragaman kultur dan agama yang ditransformasi oleh masyarakat dalam wujud toleransi dan kedamaian. Tulisan Roni Hamu, misalnya, menunjukkan praktek pengelolaan keragamaan melalui adaptasi dan transformasi dalam tradisi bakar batu, yang tidak menjadi tradisi ekslusif salah satu kelompok etnis, tapi melibatkan dan merangkul seluruh masyarakat yang ada di Desa Wonorejo. Praktik pengelolaan keragaman lainnya  dapat dilihat adalah semangat gotong royong dalam membangun rumah ibadah, yang melibatkan seluruh warga, terlepas dari identitas keagamaan yang dianut. Selain itu, sikap toleran juga ditunjukkan melalui upacara atau perayaan keagamaan seperti Idul Fitri dan Natal, dengan saling mengunjungi dan menyampaikan ucapan selamat. Dalam hal ini, keterlibatan para tokoh agama, pemangku adat dan pemerintah lokal memiliki peran penting dalam proses pengelolaan keragamaan. Mereka menjadi fasilitator dalam proses penyelesaian konflik yang terjadi.
Meskipun secara umum Kampung Wonorejo dapat dinyatakan toleran, desa ini sempat mengalami ketegangan dan konflik. Pada bagian ketiga buku ini, Konflik dan Mekanisme Penyelesaiannya, para penulis memaparkan bagaimana ketegangan dan konflik diatasi oleh masyarakat Wonorejo. Melalui kisah-kisah dalam buku ini, diketahui bahwa konflik tidak hanya terjadi dari internal masyarakat setempat, namun karena adanya campurtangan pihak luar yang lebih bersifat politis. Selain itu, konflik yang terjadi tidak semata-mata berkaitan dengan masalah perbedaan etnik dan agama, tetapi juga masalah kesenjangan ekonomi. Namun demikian, dalam penyelesaiannya, masyarakat multietnik di Wonorejo menemukan pola-pola sederhana dalam penyelesaian konflik yang mereka hadapi. Misalnya dengan menetapkan balai kampung sebagai tempat pertemuan untuk melakukan dialog dalam upaya menyelesaikan setiap konflik yang terjadi. Dengan demikian, setiap warga dapat terlibat dan melihat langsung proses tersebut, sehingga menjadi pembelajaran bagi mereka. Mekanisme penyelesaian konflik lainnya misalnya, dengan membuat perjanjian dan penetapan sanksi terhadap mereka yang melakukan suatu kegiatan yang menimbulkan konflik. Arfan menjelaskan bahwa upaya tersebut merupakan antisispasi yang baik dalam mengurangi risiko konflik di tengah masyarakat. Secara singkat dapat dipahami bahwa proses penyelesaian konflik yang dilakukan di Wonorejo bersifat internal dan lebih menekankan pada nilai-nilai kebersamaan dan kekeluargaan.
Ada banyak pengulangan narasi dalam setiap tulisan, terutama berkaitan dengan data informatif tentang Kampung Wonorejo. Selain itu, harus diakui bahwa para penulis tidak melakukan sebuah analisis yang mendalam terhadap kisah yang telah dituliskan. Namun demikian, kisah-kisah tersebut dapat menyadarkan kita bahwa sikap toleran dan damai masih ada di Bumi Cendrawasih. Dengan menjadikan masyarakat Wonorejo sebagai studi kasus, buku ini bisa menjadi cermin untuk membantu kita bagaimana cara menemukan nilai-nilai kultural di masyarakat dalam upaya mengelola keragaman.
Judul : Papua Mengelola Keragaman | Editor : M. Iqbal Ahnaf, dkk. | Tahun Terbit : 2015 | Penerbit: CRCS
[wpdm_package id=’5903′]

Instagram

A M P A T Baru kemarin, pemerintah YTTA melakukan A M P A T
Baru kemarin, pemerintah YTTA melakukan aksi simsalabim dengan mencabut empat konsesi tambang di salah satu gugusan Red Line. Aksi "heroik" itu terlihat janggal ketika perusahaan yang paling bermasalah dalam perusakan lingkungan, bahkan yang menjadi pusat viral, justru dilindungi. Tentu bukan karena cocokologi dengan nama Raja Ampat sehingga hanya empat perusahaan yang dicabut konsesinya. Bukan cocokologi juga ketika Raja Ampat akan menjadi lokus tesis yang akan diuji esok di CRCS UGM. Berkebalikan dengan aksi badut jahat di Raja Ampat, @patricia_kabes akan bercerita bagaimana komunitas masyarakat di Aduwei mengelola laut dengan lestari melalui sasi. Berangkat dari negeri timur, peraih beasiswa LPDP ini justru menjadi yang pertama di angkatannya untuk menambahkan dua huruf pada akhir namanya.
For people who learn religious studies, it is comm For people who learn religious studies, it is common to say that "religion", as a concept and category, is Western modern invention. It is European origin, exported globally through colonialism and Christian mission. Despite its noble intention to decolonize modern social categories, it suffers from historical inaccuracy. Precolonial Islamic Malay and Javanese texts in the 16th and 17th century reflect a strong sense of reified religion, one whose meaning closely resembles the modern concept.

Come and join @wednesdayforum discussion at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
I N S P I R A S I Secara satir, penyandang disabil I N S P I R A S I
Secara satir, penyandang disabilitas baru mendapatkan sorotan ketika dia mampu berprestasi, mampu mengatasi segala rintangan dan kekurangan. Singkat kata, penyandang disabilitas kemudian menjadi sumber inspirasi bagi nondisabilitas. Budi Irawanto menyebutnya sebagai "inspirational porn". Simak ulasan lengkapnya di situs web crcs ugm.
Human are the creature who live between the mounta Human are the creature who live between the mountain and the sea. Yet, human are not the only one who live between the mountain and the sea. Human are the one who lives by absorbing what above and beneath the mountain and the sea. Yet, human are the same creature who disrupt and destroy the mountain, the sea, and everything between. Not all human, but always human. By exploring what/who/why/and how the life between the mountain and the sea is changing, we learn to collaborate and work together, human and non-human, for future generation—no matter what you belief, your cultural background.

Come and join @wednesdayforum with Arahmaiani at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju