Jekonia Tarigan | CRCS UGM | SPK News
Pada hari keempat Sekolah Pengelolaan Keragamaan (SPK) angkatan ke-VIII tahun 2016 ini, tampak para peserta mulai dapat melihat muara dari upaya pendidikan yang dilakukan dalam SPK ini. Setelah beberapa hari bergaul dengan materi-materi yang menjadi landasan pembangunan kesadaran akan keberagaman dan penghargaan subjektifitas semua entitas dalam keberagaman, seperti teori identitas, reifikasi agama di Indonesia, dan lain sebagainya, para peserta dibawa ke ranah upaya mempraktikkan apa yang telah dipelajari.
Hal ini terwujud dalam topik “Advokasi Berbasis Riset” yang disampaikan oleh Kharisma Nugroho, seorang peneliti dan konsultan kebijakan-kebijakan publik dari KSI (Knowledge Sector Initiative) sebuah lembaga riset kerjasama Indonesia dan Australia yang bergerak dalam upaya mengangkat pengetahuan atau kearifan lokal dalam pembuatan kebijakan-kebijakan di tingkat daerah maupun nasional.
Dalam sesi ini disampaikan, semua peserta SPK perlu sampai pada titik di mana mereka terpanggil untuk melalukan sebuah upaya advokasi, yang secara sederhana dapat diartikan sebagai upaya memperjuangkan nilai-nilai atau ideal-ideal yang diyakini kebenarannya, misalnya mengadvokasi hak-hak masyarakat adat terhadap tanah adat mereka yang ingin dicaplok oleh perusahaan multinasional.
Namun fasilitator menekankan bahwa kerja advokasi bukanlah kerja otot (kerja keras) semata, sehingga basisnya bukan hanya emosi dan pemaksaan kehendak. Lebih dari itu, kerja advokasi adalah kerja otak (kerja cerdas), yang berarti bahwa orang-orang yang mengadvokasi harus tahu benar apa yang ia bela dan bagaimana cara membuat pembelaan dan perjuangannya itu berhasil.
Untuk itu, fasilitator menjelaskan ada tiga pengetahuan penting yang harus dimiliki oleh setiap peserta SPK, yakni: pertama, scientific knowledge, yaitu pengetahuan atau riset yang berbasis teori sebagaimana yang dapat diperoleh dalam kehidupan akademik di kampus; kedua, financial knowledge, yaitu pengetahuan atau riset yang didorong oleh lembaga-lembaga donor tertentu yang menghendaki adanya kajian tentang sebuah topik atau kejadian sebelum mereka memberikan bantuan, dll; dan yang ketiga, bureaucratic knowledge, yaitu pengetahuan terkait pemahaman pemerintah atas sebuah hal atau peristiwa yang ingin diadvokasi oleh satu lembaga swadaya masyarakat tertentu. Ini karena pemerintah mempunyai logikanya tersendiri terkait sebuah kebijakan yang akan diambil yang membuat mereka tidak hanya perlu fokus pada satu hal yang diadvokasi oleh satu LSM atau lembaga riset, tetapi juga melihat urgensi dan keberlangsungan pelaksanaan kebijakan yang akan dibuat nantinya.
Dalam SPK ini dijelaskan pula bahwa para advokator perlu menjaga kredibilitas, dengan menjaga kualitas riset. Fasilitator mengingatkan bahwa advokasi berbasis riset atau penelitian harus benar-benar teliti dan mencari terus hal-hal yang ada di balik fenomena, dan bukan hanya melihat kulit luarnya saja.
Fasilitator memberikan contoh, ada sebuah penelitian tentang program BPJS di tahun 2015 yang menyatakan bahwa pelaksanaan BPJS buruk, terjadi antrian panjang, masyarakat bingung dan kebutuhan perempuan kurang diperhatikan. Informasi ini jelas baik, namun tidak menjawab pertanyaan “apa yang menyebabkannya fenomena tersebut terjadi?” Secara sederhana, fasilitator kemudian membuat penelitian dengan memperhatikan data-data bidang kesehatan sepuluh tahun terakhir. Dari data yang dimiliki, fasilitator menemukan bahwa dalam sebuah penelitian dengan metode wawancara ditemukan bahwa masyarakat yang merasa sakit selama satu bulan hanya sekitar 25%, namun setelah adanya BPJS masyarakat menjadi lebih mudah mengakses layanan kesehatan, sehingga permintaan layanan kesehatan naik hingga 60%.
Sebelum adanya BPJS mungkin masyarakat tidak terlalu banyak mengakses layanan kesehatan dikarenakan biaya yang mahal, namun setelah ada BPJS permintaan layanan kesehatan naik hampir 100% sementara jumlah fasilitas kesehatan dan tenaga medis tidak bertambah secara signifikan. Dari hasi penelitian ini penting sekali untuk menemukan akar dari sebuah persoalan, sehingga saat dilakukan upaya advokasi isu yang dibahas adalah isu yang esensial dan dapat menjadi landasan bagi pengambilan kebijakan.
Hal lain yang juga sangat penting dari sebuah upaya advokasi adalah perubahan paradigma dari para pelaku advokasi. Advokasi tidak selalu soal mengubah undang-undang atau sebuah kebijakan. Lebih dari itu, bukti dari perubahan itu tidak pula selalu soal pendirian lembaga tingkat nasional sampai daerah yang dimaksudkan untuk menangani satu isu tertentu, sebab belum tentu perubahan undang-undang dan pendirian lembaga itu merupakan jaminan terjadinya perubahan. Bisa jadi ini justru adalah jebakan baru (institutional trap) yang menjadikan perubahan semakin lambat terjadi. Oleh karena itu, fasilitator mengingatkan ada beberapa aspek yang menandai terjadinya perubahan setelah upaya advokasi yaitu:
kharisma nugroho
Jekonia Tarigan | CRCS UGM | SPK News
Pada hari keempat Sekolah Pengelolaan Keragamaan (SPK) angkatan ke-VIII tahun 2016 ini, tampak para peserta mulai dapat melihat muara dari upaya pendidikan yang dilakukan dalam SPK ini. Setelah beberapa hari bergaul dengan materi-materi yang menjadi landasan pembangunan kesadaran akan keberagaman dan penghargaan subjektifitas semua entitas dalam keberagaman, seperti teori identitas, reifikasi agama di Indonesia, dan lain sebagainya, para peserta dibawa ke ranah upaya mempraktikkan apa yang telah dipelajari.
Hal ini terwujud dalam topik “Advokasi Berbasis Riset” yang disampaikan oleh Kharisma Nugroho, seorang peneliti dan konsultan kebijakan-kebijakan publik dari KSI (Knowledge Sector Initiative) sebuah lembaga riset kerjasama Indonesia dan Australia yang bergerak dalam upaya mengangkat pengetahuan atau kearifan lokal dalam pembuatan kebijakan-kebijakan di tingkat daerah maupun nasional.
Dalam sesi ini disampaikan, semua peserta SPK perlu sampai pada titik di mana mereka terpanggil untuk melalukan sebuah upaya advokasi, yang secara sederhana dapat diartikan sebagai upaya memperjuangkan nilai-nilai atau ideal-ideal yang diyakini kebenarannya, misalnya mengadvokasi hak-hak masyarakat adat terhadap tanah adat mereka yang ingin dicaplok oleh perusahaan multinasional.
Namun fasilitator menekankan bahwa kerja advokasi bukanlah kerja otot (kerja keras) semata, sehingga basisnya bukan hanya emosi dan pemaksaan kehendak. Lebih dari itu, kerja advokasi adalah kerja otak (kerja cerdas), yang berarti bahwa orang-orang yang mengadvokasi harus tahu benar apa yang ia bela dan bagaimana cara membuat pembelaan dan perjuangannya itu berhasil.
Untuk itu, fasilitator menjelaskan ada tiga pengetahuan penting yang harus dimiliki oleh setiap peserta SPK, yakni: pertama, scientific knowledge, yaitu pengetahuan atau riset yang berbasis teori sebagaimana yang dapat diperoleh dalam kehidupan akademik di kampus; kedua, financial knowledge, yaitu pengetahuan atau riset yang didorong oleh lembaga-lembaga donor tertentu yang menghendaki adanya kajian tentang sebuah topik atau kejadian sebelum mereka memberikan bantuan, dll; dan yang ketiga, bureaucratic knowledge, yaitu pengetahuan terkait pemahaman pemerintah atas sebuah hal atau peristiwa yang ingin diadvokasi oleh satu lembaga swadaya masyarakat tertentu. Ini karena pemerintah mempunyai logikanya tersendiri terkait sebuah kebijakan yang akan diambil yang membuat mereka tidak hanya perlu fokus pada satu hal yang diadvokasi oleh satu LSM atau lembaga riset, tetapi juga melihat urgensi dan keberlangsungan pelaksanaan kebijakan yang akan dibuat nantinya.
Dalam SPK ini dijelaskan pula bahwa para advokator perlu menjaga kredibilitas, dengan menjaga kualitas riset. Fasilitator mengingatkan bahwa advokasi berbasis riset atau penelitian harus benar-benar teliti dan mencari terus hal-hal yang ada di balik fenomena, dan bukan hanya melihat kulit luarnya saja.
Fasilitator memberikan contoh, ada sebuah penelitian tentang program BPJS di tahun 2015 yang menyatakan bahwa pelaksanaan BPJS buruk, terjadi antrian panjang, masyarakat bingung dan kebutuhan perempuan kurang diperhatikan. Informasi ini jelas baik, namun tidak menjawab pertanyaan “apa yang menyebabkannya fenomena tersebut terjadi?” Secara sederhana, fasilitator kemudian membuat penelitian dengan memperhatikan data-data bidang kesehatan sepuluh tahun terakhir. Dari data yang dimiliki, fasilitator menemukan bahwa dalam sebuah penelitian dengan metode wawancara ditemukan bahwa masyarakat yang merasa sakit selama satu bulan hanya sekitar 25%, namun setelah adanya BPJS masyarakat menjadi lebih mudah mengakses layanan kesehatan, sehingga permintaan layanan kesehatan naik hingga 60%.
Sebelum adanya BPJS mungkin masyarakat tidak terlalu banyak mengakses layanan kesehatan dikarenakan biaya yang mahal, namun setelah ada BPJS permintaan layanan kesehatan naik hampir 100% sementara jumlah fasilitas kesehatan dan tenaga medis tidak bertambah secara signifikan. Dari hasi penelitian ini penting sekali untuk menemukan akar dari sebuah persoalan, sehingga saat dilakukan upaya advokasi isu yang dibahas adalah isu yang esensial dan dapat menjadi landasan bagi pengambilan kebijakan.
Hal lain yang juga sangat penting dari sebuah upaya advokasi adalah perubahan paradigma dari para pelaku advokasi. Advokasi tidak selalu soal mengubah undang-undang atau sebuah kebijakan. Lebih dari itu, bukti dari perubahan itu tidak pula selalu soal pendirian lembaga tingkat nasional sampai daerah yang dimaksudkan untuk menangani satu isu tertentu, sebab belum tentu perubahan undang-undang dan pendirian lembaga itu merupakan jaminan terjadinya perubahan. Bisa jadi ini justru adalah jebakan baru (institutional trap) yang menjadikan perubahan semakin lambat terjadi. Oleh karena itu, fasilitator mengingatkan ada beberapa aspek yang menandai terjadinya perubahan setelah upaya advokasi yaitu: