• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • MoU
  • MoU
Arsip:

MoU

Agama dan Bencana di Jepang Pasca Tsunami: Wawancara Dr. Kimura Toshiaki

BeritaBerita UtamaWawancara Wednesday, 3 August 2016

A.S. Sudjatna | CRCS | Interview
Sejak tahun 2015, Dr. Kimura Toshiaki, associate professor Program Studi Agama, Universitas Tohoku, Sendai, Jepang menjadi salah satu pengajar mata kuliah ‘Sains, Agama dan Bencana’ di Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), UGM. Membincang bencana di Jepang sangat menarik karena Jepang adalah negara dengan kesiapan bencana yang sangat tinggi. Menjadi lebih menarik ketika memasukkan agama dalam perbincangan bencana di negeri Sakura itu. Bencana adalah sesuatu yang sangat akrab bagi masyarakat Jepang, tapi agama? Sesuatu yang dihindari pada awalnya tapi perlahan diterima karena bencana. Berikut wawancara tim CRCS dengan dosen yang akrab dipanggil Kimura Sensei ini mengenai bencana, agama, dan studi agama di Jepang.

IMG_4197
Dr. Kimura bersama mahasiswa CRCS di kelas Science, Religion and Disaster

Kimura Sensei, bagaimana masyarakat Jepang memahami relasi antara agama, bencana, dan sains?
Mayoritas orang Jepang menganggap persoalan bencana ini hanya seputar sains, material, medis atau teknologi belaka. Namun menurut saya, bencana juga memiliki nilai-nilai agama, dan agama dapat membantu orang-orang yang menjadi korban bencana. Para korban bencana itu tidak hanya memiliki masalah-masalah pada wilayah material ataupun psikologis, tetapi juga masalah pada wilayah spiritual. Dan, persoalan spiritual inilah yang seolah dilupakan di Jepang. Faktanya, di Jepang walaupun bantuan material sangat banyak diberikan oleh pemerintah, misalnya bantuan tempat tinggal dan biaya hidup yang cepat dan mudah dari pemerintah setelah bencana terjadi, namun tetap saja banyak korban bencana yang hidupnya merasa susah, apalagi pasca gempa dan tsunami lima tahun lalu (gempa dan tsunami tahun 2011). Hampir delapan  ribu orang yang bunuh diri di wilayah-wilayah terdampak bencana tersebut. Artinya, menangani persoalan yang bersifat material dan medis saja tidaklah cukup. Saya berpikir ini mesti ada persoalan spiritual yang juga harus dibantu penyelesaiannya, dan ini pasti membutuhkan peranan agama. Nah, di dalam konteks inilah kelas religion, science and disaster diadakan. Mengenai persoalan hubungan bencana, sains dan agama, saya sedang melakukan penelitian untuk membandingkan persoalan ini di Jepang dengan wilayah lain, yakni di Indonesia, Turki dan Cina. Sehingga nanti dapat ditemukan formula yang tepat dalam menggunakan agama  sebagai mitigasi bencana.
Apakah ada perbedaan antara respon Bencana di Jepang dan Indonesia?
Menurut saya sangat berbeda. Karena di Jepang, pemisahan antara agama dan pemerintahan sangat kuat. Sehingga kadang-kadang bantuan yang bersifat sekular lebih gampang sedangkan yang bersifat agama sangat sulit. Sedangkan di Indonesia peranan agama lebih kuat dalam membantu korban-korban bencana. Di Jepang kesan-kesan terhadap agama sangat negatif sedangkan di sini sangat positif.
Sebenarnya, kondisi agama di Jepang itu sendiri seperti apa, Kimura Sensei?
Kondisi agama di Jepang sangat berbeda dengan di Indonesia. Bisa juga disebut terbalik  kondisinya. Di Jepang, kata-kata agama seperti sesuatu yang tabu. Masyarakat Jepang sangat takut dengan kata-kata agama. Saat saya mengatakan kepada orang tua saya bahwa saya akan belajar di religious studies (Studi Agama), mereka melarang. Mungkin mereka takut jika anaknya punya hubungan dengan agama. Bahkan kalau melihat hasil survei, lebih dari tujuh puluh persen masyarakat Jepang mengatakan bahwa dirinya tidak memiliki agama. Hanya dua puluh persen yang mengatakan bahwa dirinya beragama. Namun uniknya, jika melihat hasil survei lainnya, bisa dilihat bahwa kira-kira delapan puluh persen masyarakat Jepang pergi ke kuburan untuk bersembahyang. Kuburan-kuburan tersebut biasanya berada di kuil-kuil Budha dan orang-orang biasanya meminta para biksu untuk mendoakan orang-orang yang telah meninggal. Dan di dalam rumah mereka, hampir lima puluh persen masyarakat Jepang bersembahyang kepada dewa-dewa agama Sinto atau agama Budha. Delapan puluh persen dari mereka pergi berdoa ke kuburan dan lima puluh persen dari mereka setiap hari bersembahyang di rumah namun mereka tidak pernah menganggap hal itu sebagai agama. Orang Jepang berbeda dengan orang atheis. Orang Jepang melakukan beragam praktik keagamaan namun tidak mau mengakui hal itu sebagai praktik agama, alasannya macam-macam, salah satunya yaitu orang Jepang menganggap bahwa kata-kata agama itu adalah impor dari Eropa, dan mereka menganggap bahwa agama itu seperti agama Kristen, ada gereja dan ada organisasi yang kuat dan harus memilih satu agama saja. Hal itu tidak sesuai dengan praktek dan kepercayaan orang Jepang. Sehingga, walaupun mereka pergi ke kuburan dan melakukan sembahyang di rumah namun mereka berpikir hal itu bukanlah agama seperti agama Kristen. Konsep agama dalam pandangan orang Jepang sangatlah sempit.
Lantas, bagaimana respons generasi muda Jepang saat ini terhadap perkembangan agama?
Soal agama-agama baru sebenarnya pasca Perang Dunia Kedua sudah mulai ada, saat masyarakat Jepang berada dalam kondisi yang susah. Waktu itu agama-agama baru mulai tumbuh, dan sekitar tahun 80-an agama-agama baru ini tumbuh di dalam kampus dan menjaring banyak pengikut. Namun sejak tahun 1995, saat terjadi aksi terorisme oleh anggota agama Aum Sinrykyo yang menyebarkan gas sarin di subway, masyarakat Jepang menjadi takut dengan agama baru. Menurut survey, pengikut agama-agama baru  itu kini tinggallah orang yang sudah tua-tua dan jumlahnya sudah menurun. Namun, jika melihat hasil survei terbaru, kita bisa lihat bahwa sejak tahun 70-an, jumlah anak-anak muda yang percaya agama terus menurun, namun pasca gempa 2011 agak berubah, mulai agak sedikit naik. Mungkin di generasi muda saat ini sudah mulai tumbuh pandangan positif terhadap agama dibandingkan dengan generasi terdahulu.
Apakah ada perbedaan pandangan orang Jepang terhadap agama sebelum dan setelah tsunami, terutama tsunami besar yang terjadi belakangan ini?
Pasca bencana gempa dan tsunami pada tahun 2011 silam memang ada perubahan cukup berarti dalam cara pandang masyarakat Jepang terhadap agama. Bencana tersebut menelan korban lebih dari lima belas ribu orang meninggal dunia. Di dalam sejarah Jepang, bencana dengan korban sebesar itu sepertinya tidak pernah terjadi sebelumnya. Nah, ini rupanya mengguncang sisi spiritual masyarakat Jepang. Saya mendengar langsung sebuah cerita dari kawan yang seorang dokter dan bertugas mengurus para korban tsunami besar tersebut. Ia ditanya oleh korban selamat dari tsunami tersebut, “Suami saya telah meninggal oleh tsunami, sekarang suami saya kira-kira berada di mana?” Sebagai petugas medis, teman saya waktu itu tidak mampu menjawab. Ia bercerita pada saya dan merasa bahwa untuk menjawab pertanyaan itu bukanlah peranan seorang di bidang medis melainkan agama. Dan selama ini di Jepang, wilayah itu kosong. Nah, saking banyaknya persoalan semacam itu, kini masyarakat Jepang sudah mulai berpikir untuk mencari solusi, salah satunya lewat agama.
Selain itu, media juga sudah mulai berubah. Jika dulu media tidak mau memberitakan perihal agama karena tidak mau campur tangan di dalam persoalan agama, kini setelah gempa dan tsunami besar tersebut, media Jepang mulai banyak memberitakan perihal agama, misalnya memberitakan LSM-LSM agama yang membantu para korban bencana. Mungkin sekarang pikiran masyarakat Jepang sudah mulai berubah. Dahulu masyarakat Jepang berpikir, jika ada bantuan datang dari lembaga-lembaga keagamaan maka itu adalah usaha untuk menyebarkan agama baru pada korban bencana. Namun sekarang mereka mulai memahami bahwa hal itu adalah memang murni untuk bantuan kemanusiaan.
Apakah perubahan pandangan terhadap agama pasca bencana ini juga berpengaruh terhadap  minat mahasiswa Jepang terhadap studi agama?
Jika di masa saya, studi agama menargetkan menerima sepuluh orang mahasiswa pada setiap tahun ajaran, tapi paling hanya dua atau tiga orang yang mendaftar. Namun, kini hampir setiap tahun ajaran ada sekitar dua puluh orang yang mendaftar dan sepuluh orang saja yang diterima. Jadi sejak tahun 2000, sudah mulai banyak calon mahasiswa yang mau belajar di jurusan studi agama. Ini tidak hanya terjadi di Universitas Tohoku tetapi juga di universitas-universitas lainnya di Jepang. Jadi, mungkin generasi muda saat ini sudah mulai tertarik mempelajari masalah-masalah agama.
Apa yang diajarkan di jurusan religious studies di Jepang?
Religious studies di Jepang juga mengajarkan hal yang sama seperti di Indonesia, seperti di CRCS. Religious studies mengajarkan teori-teori dari Eropa, semisal sosiologi dan antropologi. Namun memang sejak sebelum terjadi bencana gempa dan tsunami besar pada tahun 2011, studi agama ini lebih banyak berkutat di wilayah teoritis, hanya berputar pada sisi teori-teori saja. Namun pasca 2011, kajian ini mulai menemukan wilayah praktisnya. Sekarang jurusan studi agama mulai banyak menjalin kerja sama dengan LSM-LSM agama atau lembaga agama, tidak seperti dulu yang terkesan menjauhkan diri dari agama. Sekarang studi agama mulai berpikir ke arah kerjasama dengan lembaga agama di dalam menangani persoalan korban bencana. 
Apakah kerjasama antara program studi agama di Jepang dengan program studi agama di universitas lain juga termasuk bagian dari itu? Seperti kerja sama antara Tohoku University dan CRCS UGM?
Iya, MoU kerjasama antara Tohoku dan CRCS UGM ini berfungsi seperti payung hukum saja, sedangkan jenis dan bentuk program-program penelitian ataupun pertukaran mahasiswa bisa didesain sedemikian rupa nanti. Pertukaran mahasiswa bisa dilakukan antara mahasiswa CRCS UGM dan Tohoku dan bisa transfer mata kuliah, sedangkan biaya kuliah cukup dengan membayar di home university saja. Secara umum, kerjasama antara Tohoku University dan CRCS UGM ada dua macam, yaitu tentang kerja sama penelitian dan pertukaran mahasiswa. Di bidang penelitian nanti bisa ada kerja sama dalam proyek penelitian, penelitian tentang agama dan bencana salah satunya, dan jika ada penelitian di Jepang nanti ada bantuan fasilitas dari Tohoku University.
IMG_4217
Selfie seusai kelas Science, Religion and Disaster

Sebagai penutup, bisa sedikit bercerita mengenai pengalaman mengajar di CRCS? 
Ini adalah tahun kedua saya mengajar di CRCS. Saya sangat senang mengajar di sini karena setiap tahun mahasiswanya terlihat selalu semangat. Responsnya banyak. Tidak seperti di Jepang. Kalau di Jepang, selesai kelas saya harus menunjuk satu-satu mahasiswa agar mau bertanya. Kalau di sini mahasiswanya aktif bertanya. Jadi diskusinya bisa lebih dalam. Awalnya, sebelum saya mulai mengajar kuliah disaster ini, saya sempat khawatir apakah materi yang akan disampaikan cocok atau tidak, namun ternyata banyak mahasiswa yang tertarik dengan materi yang disampaikan dan kelasnya menjadi hidup. Saya jadi senang sekali.
Arigato Gozaimasu, Kimura Sensei!
 

MoU Sekolah Pascasarjana UGM dan Universitas Tohoku, Peluang Exchange Student Mahasiswa CRCS di Jepang

BeritaBerita Utama Saturday, 30 July 2016

IMG_4255Kerjasama antara Sekolah Pascasarjana UGM dan Sekolah Pascasarjana Universitas Tohoku, Jepang resmi ditandatangi pada Kamis 30 Juni 2016. Penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) ini memungkinkan kedua belah pihak melakukan kerjasama penelitian dan pertukaran mahasiswa. Dua orang mahasiswa dari kedua universitas mempunyai kesempatan untuk mengikuti program exchange student selama dua semester setiap tahunnya. MoU yang ditandatangani di gedung Sekolah Pascasarjana oleh Prof. Ir. Suryo Purwono, M.A.Sc., Ph.D dan disaksikan oleh Dr. Kimura Toshiaki ini sebelumnya telah ditandatangani di Jepang oleh Prof. Hiro Sato Ph.D dari Universitas Tohoku.
Kerjasama antara Sekolah Pascasarjana UGM dan Universitas Tohoku sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 2015 dalam bentuk penelitian dan pengajaran. Sejak dua tahun terakhir Dr. Suhadi, dosen Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) dan Dr. Kimura Toshiaki dari Program Studi Agama, Univeristas Tohoku telah melakukan kerjasama penelitian dalam bidang kajian agama dan bencana di Indonesia dan Jepang. Selain itu Dr. Kimura sejak 2015 telah menjadi salah satu dosen pengajar mata kuliah “Science, Religion and Disaster”, di Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM.
Kimura menjelaskan bahwa di Jepang sendiri, Universitas Tohoku merupakan salah satu dari empat universitas yang memiliki program Studi Agama (Religious Studies). Menurutnya program ini mulai diminati oleh mahasiswa Jepang karena dianggap penting khususnya dalam menanggapi bencana. Sebagai salah satu negara dengan tingkat bencana yang tinggi, kehadiran agama di Jepang dianggap sangat membantu menangani korban bencana. Selain itu, “Kehadiran sarjana dari studi agama dapat membantu para korban untuk melihat bencana dari sisi spiritualnya,” tutur Kimura.
( Baca juga : Wawancara Dr. Kimura Toshiaki )
Sementara itu Suhadi menjelaskan bahwa program penelitian antara Tohoku dan Sekolah Pascasarjana UGM khususnya CRCS dapat dilakukan berdasarkan proyek bersama maupun proyek individu di kedua negara. MoU ini dapat menjadi dasar untuk melakukan penelitian di Jepang bagi para mahasiswa dari Sekolah Pascasarjana UGM, demikian sebaliknya. Program pertukaran mahasiswa yang telah disepakati memberikan peluang bagi dua orang mahasiswa dari kedua program studi untuk belajar maupun meneliti dikedua negara setiap tahunnya. Khusus mahasiswa pascasarjana yang memiliki kemampuan dasar bahasa Jepang, peluang ini akan semakin terbuka lebar. Dengan MoU ini diharapkan dapat membantu mahasiswa CRCS dalam melakukan studi agama di Jepang. Hal ini tentunya akan memberikan manfaat besar bagi mahasiswa terutama bagi mereka yang tertarik melakukan penelitian tentang Jepang.

Instagram

Human are the creature who live between the mounta Human are the creature who live between the mountain and the sea. Yet, human are not the only one who live between the mountain and the sea. Human are the one who lives by absorbing what above and beneath the mountain and the sea. Yet, human are the same creature who disrupt and destroy the mountain, the sea, and everything between. Not all human, but always human. By exploring what/who/why/and how the life between the mountain and the sea is changing, we learn to collaborate and work together, human and non-human, for future generation—no matter what you belief, your cultural background.

Come and join @wednesdayforum with Arahmaiani at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
R A G A Ada beberapa definisi menarik tentang raga R A G A
Ada beberapa definisi menarik tentang raga di KBBI. Raga tidak hanya berarti tubuh seperti yang biasa kita pahami dalam olah raga dan jiwa raga. Raga juga dapat berarti keranjang buah dari rotan, bola sepak takraw, atau dalam bahasa Dayak raga berarti satuan potongan daging yang agak besar. Kesemua  pengertian itu menyiratkan raga sebagai upaya aktif berdaya cipta yang melibatkan alam. Nyatanya memang keberadaan dan keberlangsungan raga itu tak bisa lepas dari alam. Bagi masyarakat Dondong, Gunungkidul, raga mereka mengada dan bergantung pada keberadaan telaga. Sebaliknya, keberlangsungan telaga membutuhkan juga campur tangan raga warga. 

Simak pandangan batin @yohanes_leo27  dalam festival telaga Gunungkidul di web crcs ugm
K O S M O P O L I S Kosmo bermakna semesta, sement K O S M O P O L I S
Kosmo bermakna semesta, sementara polis itu mengacu pada kota yang seupil. Sungguh istilah oksimoron dengan daya khayal maksimal. Namun, nyatanya, yang kosmopolis itu sudah hadir sejak dulu dan Nusantara adalah salah satu persimpangan kosmopolis paling ramai sejagad. Salah satu jejaknya ialah keberadaan Makco di tanah air. Ia bukan sekadar dewa samudra, melainkan kakak perempuan yang mengayomi saudara-saudara jauhnya. Tak heran, ketika sang kakak berpesta, saudara-saudara jauh itu ikut melebur dan berdendang dalam irama kosmopolis. Seperti di Lasem beberapa waktu silam, Yalal Wathon dinyanyikan secara koor oleh masyarakat keturunan tionghoa dan para santri dengan iringan musik barongsai. Klop!

Simak ulasan @seratrefan tentang makco di situs web crcs!
At first glance, religious conversion seems like a At first glance, religious conversion seems like a one-way process: a person converts to a new religion, leaving his old religion. In fact, what changes is not only the person, but also the religion itself. The wider the spread of religion from its place of origin, the more diverse the face of religion becomes. In fact, it often gives birth to variants of local religious expressions or even "new" religions. On the other hand, the Puritan movement emerged that wanted to curb and eradicate this phenomenon. But everywhere there has been a reflux, when people became disaffected with Puritan preachers and tried to return to what they believed their religion was before.

Come and join the #wednesdayforum discussion  at the UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju