• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Religious
  • Religious
Arsip:

Religious

Voice vs Noise: Technology-Mediated Sound in Interfaith Dialogue

BeritaHeadlineNewsWednesday Forum News Monday, 20 February 2017


Abstract:
Urban people are always exposed to soundscape, to sounds and noises in their everyday life. With the aid of technology, the soundscape of Yogyakarta has dramatically changed in the last 30-40 years. The sounds which once gave certain characteristics to the city have changed both quantitatively and qualitatively. For most people it does not bother them if they do not pay attention to them. However, people accept certain sounds as acceptable sounds while some other may reject them as disturbing noises. The result of such perceptions create spsychologically different responses, either positively or negatively. Therefore, exploring how people in the City of Tolerance responding to the religious soundscape of the place where they live is an effort to see an interfaith relationship from a different perspective, the auditory angle.
Speaker:
Jeanny Dhewayani, Ph.D. is the Associate Director of Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) Yogyakarta.She got her Master degree from University of New Mexico and Ph.D. from Australian National University, both in Anthropology. Now, She is also a professor of anthropology at Duta Wacana Christian University.
 

Agama dalam Hubungannya dengan Kekerasan

ArticlesBeritaHeadlineNews Friday, 6 January 2017

Anang G. Alfian* | CRCS | Class Journal

Dr. Iqbal Ahnaf mengajar tentang Agama dan Konflik
Dr. Iqbal mengajar tentang agama dan konflik di SPK IV

Salah satu mata kuliah yang diajarkan di CRCS adalah Religion, Violence, and Peace Building (Agama, Kekerasan, dan Perdamaian). Tiga kata kunci ini menjadi variabel dan titik tolak diskusi tentang hubungan agama dan konflik sosial dan bagaimana upaya untuk membangun perdamaian.
Diampu oleh Dr. Iqbal Ahnaf, mata kuliah ini membahas, antara lain, persoalan relasi antara agama dan konflik. Ini dibahas di pertemuan pertama untuk membuka wawasan tentang perdebatan yang terjadi mengenai hubungan kausalitas antara agama dan kekerasan.
Pada pertemuan ini, satu dari dua bacaan yang dipakai sebagai bahan readings adalah artikel dari Andreas Hasenclever dan Volker Rittberger, Does Religion Make a Difference?: Theoretical Approaches to the Impact of Faith on Political Conflict (Journal of International Studies, 2000).
Dalam artikel itu, Hasenclever dan Rittberger memaparkan tiga mazhab dalam dunia akademik dalam membaca hubungan agama dan konflik, yaitu (1) primordialis, (2) instrumentalis, dan (3) konstruktivis.
Kaum primordialis berpandangan bahwa agama dalam dirinya sendiri memiliki unsur inheren yang dapat menyebabkan konflik. Ketika terjadi “konflik agama”, agama dibaca oleh kaum primordialis sebagai variabel yang independen, unsur yang tidak bergantung pada aspek-aspek lain, dan perbedaan identitas keagamaan itu sendiri bisa cukup sebagai penyebab konflik.
tabel-hasenclever-dan-rittberger
Skema dari artikel jurnal Hasenclever dan Rittberger (2000): “Does Religion Make a Difference?: Theoretical Approaches to the Impact of Faith on Political Conflict”

Kaum instrumentalis melihat peran agama dalam “konflik agama” sebagai instrumen saja, dan tidak memiliki peran objektif dalam dirinya sendiri. Menurut kaum instrumentalis, penyebab utama konflik adalah kepentingan politik dan ekonomi. Bagi kaum instrumentalis, agama hanya berperan dalam retorika saja, dan relasinya dengan konflik bersifat semu belaka.
Kaum konstruktivis tampak berada di tengah-tengah antara kedua kelompok di atas. Konstruktivis bersetuju dengan instrumentalis dalam hal bahwa penyebab fundamental konflik bukanlah agama, melainkan kepentingan politik dan ekonomi. Namun konstruktivis juga bersepakat dengan primordialis dalam hal bahwa agama memiliki peran nyata objektif, namun bukan sebagai penyebab utama, melainkan eskalator konflik. Agama, ketika terlibat dalam konflik, dapat membuat konflik semakin mematikan, deadly. Juga, berbeda dari primordialis yang berpandangan bahwa agama menjadi variabel independen dalam konflik, bagi kaum konstruktivis agama berperan secara dependen, tergantung pada faktor-faktor ekonomi dan politik lain yang melingkupi konflik tersebut; seberapa besar peran agama mengeskalasi konflik tergantung pada seberapa akut benturan antar kepentingan politik dan ekonomi dalam konflik itu.
Ketiga cara pandang di atas tidak bisa diperlakukan secara universal. Tapi ketiganya bisa dijadikan lensa analitis dan ditempatkan dalam suatu spektrum. Bagaimana menentukan peran agama dalam suatu konflik mestilah dimulai dari detil kasus konfliknya, lalu naik melihat lensa-lensa analitis yang ada, kemudian menentukan di antara yang tersedia manakah penjelasan yang lebih tepat.
Dalam “kasus Sunni-Syiah” Sampang, misalnya, dimensi konflik yang terjadi bukan hanya karena faktor perbedaan ideologis semata, namun juga karena adanya instrumentalisasi agama oleh elite politik, karena konflik ternyata bereskalasi pada masa perebutan kekuasaan menjelang pemilu daerah, sehingga narasi-narasi agama di legitimasi sedemikian rupa untuk suatu tujuan politik. Dalam melihat hal ini, kita tak bisa berhenti pada pandangan kaum primordialis—inilah pandangan yang diadopsi oleh mereka yang memercayai bahwa konflik Sampang itu adalah konflik Sunni-Syiah. Dimensi sosial politik dalam konflik itu wajib dihitung, mulai dari yang kecil seperti persengkataan internal keluarga, perebutan umat, hingga yang lebih makro seperti instrumentalisasi konflik untuk mendulang dukungan dalam pemilu.
Dalam perspektif konstruktivis, intervensi terhadap konflik dengan menyuarakan nilai-nilai kebajikan agama, kearifan lokal, dan slogan-slogan orang Madura Sampang sangat membantu upaya rekonsiliasi konflik, yakni untuk melakukan deskalasi terhadap konflik itu dengan mengajukan narasi tandingan primordialis. Penelitian Dr. Iqbal Ahnaf beserta peneliti yang lain dalam serial laporan CRCS tentang kehidupan beragama di Indonesia yang bertajuk Politik Lokal dan Konflik Keagamaan menunjukkan instrumentalisasi agama oleh elit politik di Sampang menjelang pilkada. Tesis S2 terkait kasus Sampang ini juga ditulis oleh mahasiswa CRCS angkatan 2010 Muhammad Afdillah yang kini telah dijadikan buku dengan judul Dari Masjid ke Panggung Politik.
Kasus Sampang merupakan contoh yang bagus untuk membaca seberapa besar peran agama dalam konflik, dan ini membutuhkan data dan analisis yang cermat. Contoh-contoh lain dari yang terjadi di Indonesia yang bisa diambil ialah kasus Ambon dan Poso, atau yang belum lama ini terjadi seperti di Tolikara, Tanjungbalai, atau bahkan kasus dugaan “penodaan agama” dalam pilkada Jakarta.
*Penulis adalah mahasiswa CRCS angkatan 2016

Wednesday Forum: Breathing Water, Swimming on Air: Problems and Possibilities of ‘Culture’ in ‘Religion’

Wednesday Forum News Saturday, 19 March 2016

wednesdayforum-2016-03-23-banner-crcs

Abstract
One of the great debates among religious believers is about the relationship between their religion and culture. Is culture an obstacle to religion or is culture its vehicle? This lecture explores the cultural issues within Christianity and the problem and possibilities of the concept of culture to understanding religions. Related themes of history and globalization will be considered.
Speaker
Charles Fahardian, Ph.D is chair and professor of the Department of Religious Studies, Westmont College, Santa Barbara, CA. He has investigated diverse themes such as nation making, globalization, and worship. He teaches courses in the world religions and Christian mission. He studied at Seattle Pacific University (B.A), Yale University (M.Div), and Boston University (Ph.D)

Where Religious Freedom is heading to?

NewsWednesday Forum Report Friday, 4 September 2015

Author: Ali Ja’far/CRCS
Editor: Gregory Vanderbilt

DSC_0022“Where religious freedom is heading to” is the big question nowadays. It is sensitive issue in pluralistic societies where blasphemy law and religious conflict are still dominant. Speaking in the Wednesday Forum of CRCS/ICRS, Dr Paul Marshal of the Hudson Institute in Washington, D.C., and the Leimena Institute in Jakarta argued that emphasizing religious freedom does not correlate with religious conflict, but the prevalence of religious restriction does. In his research summary, combining data from more than 180 countries, he showed that there are two factors related to religious conflict: religious restriction and social hostilities.

Instagram

For people who learn religious studies, it is comm For people who learn religious studies, it is common to say that "religion", as a concept and category, is Western modern invention. It is European origin, exported globally through colonialism and Christian mission. Despite its noble intention to decolonize modern social categories, it suffers from historical inaccuracy. Precolonial Islamic Malay and Javanese texts in the 16th and 17th century reflect a strong sense of reified religion, one whose meaning closely resembles the modern concept.

Come and join @wednesdayforum discussion at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
I N S P I R A S I Secara satir, penyandang disabil I N S P I R A S I
Secara satir, penyandang disabilitas baru mendapatkan sorotan ketika dia mampu berprestasi, mampu mengatasi segala rintangan dan kekurangan. Singkat kata, penyandang disabilitas kemudian menjadi sumber inspirasi bagi nondisabilitas. Budi Irawanto menyebutnya sebagai "inspirational porn". Simak ulasan lengkapnya di situs web crcs ugm.
Human are the creature who live between the mounta Human are the creature who live between the mountain and the sea. Yet, human are not the only one who live between the mountain and the sea. Human are the one who lives by absorbing what above and beneath the mountain and the sea. Yet, human are the same creature who disrupt and destroy the mountain, the sea, and everything between. Not all human, but always human. By exploring what/who/why/and how the life between the mountain and the sea is changing, we learn to collaborate and work together, human and non-human, for future generation—no matter what you belief, your cultural background.

Come and join @wednesdayforum with Arahmaiani at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
R A G A Ada beberapa definisi menarik tentang raga R A G A
Ada beberapa definisi menarik tentang raga di KBBI. Raga tidak hanya berarti tubuh seperti yang biasa kita pahami dalam olah raga dan jiwa raga. Raga juga dapat berarti keranjang buah dari rotan, bola sepak takraw, atau dalam bahasa Dayak raga berarti satuan potongan daging yang agak besar. Kesemua  pengertian itu menyiratkan raga sebagai upaya aktif berdaya cipta yang melibatkan alam. Nyatanya memang keberadaan dan keberlangsungan raga itu tak bisa lepas dari alam. Bagi masyarakat Dondong, Gunungkidul, raga mereka mengada dan bergantung pada keberadaan telaga. Sebaliknya, keberlangsungan telaga membutuhkan juga campur tangan raga warga. 

Simak pandangan batin @yohanes_leo27  dalam festival telaga Gunungkidul di web crcs ugm
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju