Meta Ose Margaretha | CRCS | Thesis Review
In 2014, the President of Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, released a policy addressing the “revitalization” including potential reclamation and economic development, of Benoa Bay at the southern tip of Bali. In the months that followed, there was public debate about the economic and environmental consequences of the proposal involving many sectors of Balinese and Indonesian society. Since Bali is well-known as the one majority-Hindu part of Indonesia, it was to be expected that religious identities and value also would have a significant role in the controversy. Daud Partigor’s thesis “Significances of Theological Argumentation in Rejecting the Proposed Reclamation of Benoa Bay” focuses of religious elements of the debate, including the role of religious institutions and of religious language and ideology as the legitimation for arguments opposing the reclamation of the bay. His research also shows that the debates on rejecting the proposed reclamation of Benoa Bay are part of a complicated process merging ideas of religiosity, the environment, economic interests, culture, politics and humanity in one pot. But, here also, the author tries to emphasize how religious ideas could be implemented at other levels, such as in governmental regulations to advocate the existence of Benoa Bay area.
In this case, the key theological element being promoted and argued is the concept of sacred places. Local people around the Benoa Bay consider the bay itself as a sacred space. Toward the sacred space, Balinese Hindus have their certain understanding that leads them to behave also in a certain way.
The discourse of Benoa Bay’s sacredness based on the teachings of Hindu-Bali traditions became public in early 2015. The ideas about the sacredness came from by analyzing how exclusively religiously-based arguments become explicitly used in the public discussion, the thesis offers insight into thethe revival of religion in public in a different context than Islam-focussed studies have offered.
The discourse of Benoa Bay as a sacred place is used by some organizations to advocate and protect Benoa bay from the reclamation. This study case is important because it shows how the policies made by both state and religion are influence each other. In the Bali context, the key actor is the Hindu Supreme Council or Parisada. Partigor explains how Parisada is divided between local branches and the central office in Jakarta which makes regulation and decisions for all the members of Parisada locally and nationally. In early 2016, the national board of Parisada issued a formal statement declaring the sacredness around the Benoa site and rejected the reclamation. Coming from the highest level of Hindu council in Indonesia, Parisada’s statement had political influences at the national level. that claim has a because it claimed to represent the whole Hindu community in Indonesia.
Parisada became the pioneer in reconstructed again the understanding of sacred place and other theological conceptions that used by other movements to reject the reclamation. Beginning of 2013, Parisada developed a theological argument about the reclamation of Benoa Bay based on principles found in Tri Hita Karana and Sad Kertih. The central text for the Hindu-Bali communities, Tri Hita Karana talks about living in perfect harmony the three elements of human life: God, then other human beings and the environment. Another theological conception that has been used by the Parisada to reject the reclamation, Sad Kertih also talks about living in harmony with the universe. Sad Kertih specifically mentions the ocean, the forests, the lakes and also other human. While the Tri Hita Karana coming from general Hindu concepts found in the Vedas, Sad Kertih draws on the tradition of local Hindu-Bali traditions. Veda They have been used previously to support other political interests, including supporting the 1969 Rencana Pembangunan Lima Tahun (five-year development plan).
Even though Hindus are the majority in Bali, especially in Benoa Bay area, Bali is not homogeneous. There are some other communities that aren’t Hindu. Therefore, according to the author, the claimed of sacredness in Benoa Bay should not be the ultimate reason to reject the reclamation but the society need their own logic and perspectives to perceive this problem.
There are some characteristics of religion revival in the case of Teluk Benoa Bay if we compare to Thoft’s characteristics of religion revival. First, it refer to the participation of religious communities, which is this case are represent by the Parisada and other religious communities that live around Benoa Bay. Second, crisis on understanding religion from the secular world. In Indonesia’s context this process happened after the fall of new order, while religion and state being separated and even there was intervention to the religious related things. The third characteristic is the freedom of religious expression which is also begin after the fall of new order. And the last one is the influence of globalization, democracy and modernization.
Partigor argues that the discourse using a theological perspectives in order to reject the proposed reclamation could be an evaluation of John Rawls’s theory about public logic. Rawls argued that any decision made in public should be based in inclusive ideas that canbe accepted by everyone from various backgrounds. In the debates of Benoa Bay reclamation, an exclusive idea was used in public by a religious actor and the public accepted it.
Title: Significances of Theological Argumentation in Rejecting the Proposed Reclamation of Benoa Bay | Author: Partigor Daud Sihombing (CRCS, 2016)
UGM.
Nidaul Hasanah M | CRCS | Artikel
Sedekah Kedung Winong merupakan salah satu dari serangkaian kegiatan Ruwat Rawat Candi Borobudur yang dilakukan selama bertahun-tahun di Dusun Gleyoran, sekitar 3 kilometer dari Candi Borobudur. Ruwat Rawat Borobudur sendiri merupakan kegiatan kesenian rakyat yang bertujuan untuk menjaga tradisi, budaya masyarakat yang tinggal di sekitar Candi Borobudur yang multi etnis dan multi agama. Kegiatan ini merupakan upaya untuk menjaga dan merawat Candi Borobudur beserta masyarakatnya dan ekologinya agar tetap harmoni dan tidak terdapat relasi yang eksploitatif.
Pada 3 Mei 2016 lalu, mahasiswa CRCS angkatan 2015 yang mengambil mata kuliah Advanced Study of Buddhism mengadakan kuliah lapangan (fieldtrip) dengan menghadiri acara Ruwat Rawat Borobudur selain kunjungan ke Vihara Mendut yang berada dekat Borobudur.
Bagi masyarakat dusun Gleyoran, Sungai Progo beserta ekosistemnya selama ini telah menjadi bagian yang menyatu dan penting bagi kehidupan mereka. Kedung Winong merupakan tempat bagi banyak penduduk dusun Gleyoran untuk menambatkan kehidupan disana dengan mencari bebatuan, pasir serta menjaring ikan. Karena itulah penduduk dusun Gleyoran memiliki relasi yang kuat dengan Kedung Winong yang terletak di daerah aliran Sungai Progo. Bagi mereka Sungai Progo telah memberikan kehidupan sehingga menjaga kelestariannya merupakan hal yang wajib dilakukan oleh penduduk dusun Gleyoran.
Ritual Sedekah Kedung Winong merupakan salah satu bentuk konservasi ekologi Sungai Progo. Ritual yang dilakukan dengan serangkaian doa, tarian dan persembahan hasil bumi masyarakat dusun Gleyoran secara simbolis merupakan bentuk relasi resiprokal menyatunya manusia dengan Sungai Progo. Kelestarian ekologi Sungai Progo bagi penduduk dusun Gleyoran adalah berkah kehidupan. Sungai Progo juga merupakan sungai yang memiliki relasi dengan Candi Borobudur sehingga menjaga ekologi sungai juga menjaga Borobudur dari keserakahan manusia agar harmoni tetap terjadi dan terjaga.
Tujuan lain dari Sedhekah Kedung Winong adalah memecah konsentrasi wisata sekitar Borobudur. Wisatawan biasanya terpusat pada Borobudur dan beberapa dari mereka melakukan hal yang tidak pantas pada tempat suci. Hal yang tak pantas tersebut dianggap mengotori keagungan Borobudur, dengan ritual Sedhekah Kedung Winong diharapkan dapat meminimalisir polusi yang ada di Borobudur.
Saat ini Borobudur memang menjadi magnet wisata bagi seluruh penjuru dunia. Ratusan ribu wisatawan datang demi menyaksikan peninggalan dari Wangsa Syailendra yang dibangun sekitar abad ke 7 Masehi. Pak Coro tak menampik fenomena tersebut, namun dia juga turut mengingatkan bahwa Borobudur juga tempat suci. Bertahun-tahun dia dianggap sebagai benda mati sementara kita lupa bahwa ada kesenangan yang diberikan Borobudur ketika kita menatapnya. Sedhekah Kedung Winong memang hanya dilakukan satu hari, namun Pak Coro beserta pemerhati budaya lain tetap memaksimalkan satu hari tersebut. Mereka ingin membuat Borobudur “beristirahat” sejenak dari hiruk pikuk wisatawan yang datang. Tak lupa, sedhekah ini juga merupakan ungkapan rasa terima kasih kepada Borobudur atas apa yang telah diberikan. Berkat Borobudur-lah, masyarakat mampu mengambil manfaat baik segi material maupun moral.
Sekali lagi, Pak Coro mengingatkan, SedhekahKedung Winong mungkin hanya dilakukan sekali dalam setahun, namun itu tetap bisa kita jadikan pengingat bahwa keharmonisan tidak akan terjadi jika salah satu pihak dirugikan. Seluruh aspek dalam kehidupan bersatu padu menghormati satu sama lain demi terciptanya keserasian alam.
Asep A.S | CRCS | News
Gunungkidul ditengarai sebagai kabupaten dengan tingkat intoleransi paling tinggi di Yogyakarta. Setidaknya, itulah salah satu hal yang terungkap dalam acara launching buku sekaligus diskusi mengenai laporan advokasi kebebasan beragama bertajuk “Yogyakarta City of (In)tolerance?,” Senin, 2 Mei 2016, di Sekolah Pascasarjana UGM. Informasi mengenai masih tingginya angka kasus intoleransi di Kabupaten ini diketahui setelah Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI) melakukan pendokumentasian atas kasus-kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkepercayaan di kabupaten tersebut yang terjadi selama kurun waktu 2011 hingga 2015. Di dalam laporannya, ANBTI mengkategorikan beragam kasus pelanggaran tersebut ke dalam empat kategori, yakni (1) pelanggaran oleh negara atas keinginan mengontrol ekspresi keagamaan; (2) pelanggaran yang terjadi akibat perilaku intoleran yang dilakukan oleh negara dan non-negara; (3) pelanggaran yang terjadi akibat kegagalan negara di dalam mengatasi baik diskriminasi ataupun pelanggaran sosial atas kelompok-kelompok agama tertentu; serta (4) pelanggaran yang terjadi karena menerapkan kebijakan tertentu yang merugikan agama-agama minoritas.
Pada diskusi yang dihelat oleh Program Studi Agama dan Lintas Budaya atau CRCS melaui program Sekolah Pengelolaan Keragaman (SPK) dan ANBTI ini pembicara dari ANBTI, Agnes Dwi Rusjiati, menyebutkan beberapa contoh peristiwa pelanggaran yang terjadi di Gunungkidul, seperti pengusiran Pendeta Agustinus, penutupan Gereja Pantekosta di Indonesia (GpdI) Semanu dan Gereja Pantekosta di Indonesia (GpdI) Playen yang telah memiliki IMB, penyerangan dan penutupan atas Gereja Kemah Injili Indonesia (GKII) Widoro, penolakan acara perayaan Paskah Adiyuswo Gereja Kristen Jawa (GKJ) Gunugkidul yang disertai penganiayaan terhadap aktivis lintas iman, serta penolakan pendirian Gua Maria Wahyu Ibuku di wilayah Giriwening. Memang, belakangan ini Yogyakarta yang kerap disebut-sebut sebagai City of Tolerance sedang dirundung banyak problema dalam hal toleransi, baik antar maupun antara umat beragama maupun antar kelompok ormas. Terbukti, sebagaimana disebutkan oleh Agnes, kasus-kasus intoleransi seperti penyerangan dan pembubaran diskusi, perusakan situs makam, penyerangan terhadap doa rosario, intimidasi terhadap kelompok tertentu seperti Syiah dan LGBT, penghentian ibadah di gereja, serta usaha penutupan rumah ibadah kerap terjadi di provinsi yang berjuluk kota budaya ini.
Di dalam kesempatan tersebut, Agnes juga memaparkan bahwa peristiwa pelanggaran kebebasan beragama yang terjadi di kerap kali seputar persoalan penolakan pelaksanaan ibadah maupun keberadaan rumah ibadah umat Kristen, baik yang telah dibangun maupun masih dalam proses pembangunan. Selain itu, ia juga mengeluhkan bahwa setiap pertemuan yang difasilitasi oleh Pemda mengenai persoalan rumah ibadah ini akan berujung pada penghentian rumah ibadah, selain juga proses yang berlarut-larut dan kurangnya peran aktif pemerintah dalam menangani kasus-kasus semacam ini. Kerap kali, pemerintah baru bertindak setelah ada inisiasi dari warga. Isu kristenisasi, pemurtadan, dan adanya penolakan dari masyarakat muslim yang kemudian mendesak pemerintah daerah untuk melakukan penghentian rumah ibadah menjadi pola khas dalam kasus kebebasan beragama dan berkepercayaan yang terjadi di ini.
Senada dengan Agnes, Kristiana Riyadi—pembicara dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)—menyebutkan bahwa peran FKUB di dalam membangun kerukunan dan toleransi antar umat beragama masihlah sangat minim. Bahkan, FKUB sendiri secara internal masihlah menyisakan konflik, hal ini sangat berbeda dengan kondisi sebelum adanya FKUB yang merupakan keputusan menteri, di mana kala itu forum komunikasi antar agama masih bernama Forum Lintas Iman. Hal ini terjadi, menurut Kristiana, disebabkan oleh penekanan pada proporsionalitas yang diatur dalam SK menteri tahun 2006. Tentu saja, Islam yang mayoritas akan memiliki jumlah wakil yang lebih banyak di dalam FKUB. Sebagai contoh, pimpinan FKUB yang berjumlah lima orang dengan asumsi merupakan wakil dari setiap agama yang diakui oleh negara, tiga di antaranya diduduki oleh wakil dari umat Islam. Sehingga, dengan pertimbangan tertentu, akhirnya khusus FKUB , sesuai dengan keputusan Bupati , memiliki tujuh orang pimpinan agar dapat mengakomodir semua agama.
Persoalan lain yang dihadapi oleh FKUB adalah soal menyerap aspirasi. FKUB semestinya menyerap semua aspirasi masyarakat dan umat beragama. Namun, proses ini menjadi bumerang tersendiri bagi tujuan didirikannya FKUB saat harus berhadapan dengan aspirasi dari kelompok ormas intoleran yang mau tidak mau harus diserap juga. Selain itu, keterpusatan keputusan pada ketua menjadi persoalan tersendiri yang tak dapat dihindari. Sebab, hal ini kerap kali tidak mencerminkan keterwakilan umat beragama yang minoritas. Belum lagi persoalan pengambilan beberapa keputusan terkait persoalan keagamaan ini tidak sepenuhnya berada dalam lingkup FKUB, melainkan pada rapat Muspida, di mana FKUB hanya diwakili oleh satu orang saja, yakni ketua FKUB. Tak heran jika keputusan-keputusan yang dihasilkan kerap kali kontraproduktif dengan visi dan misi didirikannya FKUB itu sendiri. Persoalan lainnya, misalnya, sosialisasi perbedaan peraturan pendirian rumah ibadah sebelum 2006. Sosialisasi mengenai hal ini hampir dapat dikatakan tidak dilakukan. Sehingga masyarakat menganggap peraturan mengenai pembangunan rumah ibadah setelah 2006 bersifat general, sehingga kerap kali terjadi konflik di lapangan karena adanya ketidakpahaman ini. Biasanya kasus perizinan keberadaan rumah ibadah lama yang muncul sebagai akibatnya. Padahal perizinan rumah ibadah yang telah dibangun sebelum tahun 2006 berbeda dengan perizinan rumah ibadah yang dibangun setelah tahun tersebut.
Mengenai persoalan penolakan rumah ibadah ini, pembicara lainnya yang merupakan alumni SPK, Pendeta Stefanus Iwan Listyanto, menyebutkan bahwa terjadinya hal tersebut juga disebabkan oleh adanya persoalan internal dalam golongan agama tertentu. Tak dapat dipungkiri, menurut pendeta dari Semanu ini, adanya persaingan antar gereja membuat umat Kristen pasif saat ada gereja di luar golongannya yang dipersoalkan keberadaannya oleh umat lain. Hal ini menjadi gejala global yang terjadi sehingga kelompok Kristen yang sedang menghadapi masalah dengan rumah ibadahnya kerap harus berjuang sendiri tanpa adanya bantuan dari sesama pemeluk Kristen lainnya. Menurutnya, belum adanya kesadaran mengenai perspektif HAM dan adanya persaingan antar gereja juga memiliki sumbangsih yang cukup besar terhadap tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan penyelesaian konflik. Hal ini menandakan masih adanya persoalan di antara umat beragama secara internal. Dengan nada bercanda dan sindiran, ia berkata bahwa mungkin saja ada golongan seagama yang sorak sorai saat sebuah rumah ibadah ditutup atau dipermasalahkan. Karenanya, ia menekankan pentingnya membangun jejaring baik antara maupun antar umat beragama. Dengan berjejaring, menurutnya, seseorang atau kelompok bisa saling bantu melengkapi data pendokumentasian jika terjadi persoalan yang mungkin akan memudahkan proses penyelesaian masalah. Selain itu, memiliki sudut pandang dari pihak korban juga penting untuk membangun empati, agar persaingan itu dapat tetap berjalan secara sehat.
Sedangkan pembicara terakhir, M. Iqbal Ahnaf dari CRCS, menyebutkan bahwa maraknya tindakan intoleransi yang terjadi di Yogyakarta akhir-akhir ini disebabkan oleh banyak faktor. Namun secara ringkas, Iqbal mengerucutkannya ke dalam tiga faktor yang saling terkait dan berinteraksi satu sama lain, yaitu (1) krisis keistimewaan; (2) industrialisasi; dan (3) penebalan identitas. Walaupun masih berupa hipotesis, menurut Iqbal, namun gejala yang menunjukkan ke arah tersebut cukup jelas adanya. “Saya kira, ini sangat terkait dengan pemegang otoritas tertinggi di Jogjakarta. Saya kira kita ingat belum lama ini RUU keistimewaan Jogjakarta mulai mengusik otoritas yang paling mapan di Jogjakarta.” Ungkapnya mengawali penjelasan mengenai persoalan krisis keistimewaan ini. Menurut Iqbal, perubahan peraturan di tampuk pimpinan Yogyakarta ini mencerminkan proses perubahan sosial yang sedang berlangsung. Hal ini kemudian memicu krisis otoritas keistimewaan yang meniscayakan kebutuhan akan kekuatan basis sumber daya di Yogyakarta. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan citra keistimewaan itu. Oleh sebab itu kebutuhan akan sumber daya ini kemudian melibatkan perkembangan industrialisasi sebagai salah satu usaha mendapatkan suplai sumber daya.
Menurut Iqbal, pembangunan hotel yang kian marak serta bentuk pembangunan dan industrialisasi lainnya kemungkinan dilakukan untuk memapankan basis-basis sumber daya itu. Konsekuensi dari adanya industrialisasi ini adalah sekuritisasi. Sebab, para investor maupun pengusaha tentu membutuhkan stabilitas keamanan yang cukup untuk menjalankan bisnisnya itu. Karena itu diperlukan kekuatan-kekuatan yang bisa mempertahankan dan mendukung keamanan tersebut. Di bagian inilah kemudian perubahan sosial yang terjadi di masyarakat yang melaju pada arah penebalan identitas dan kian rigidnya batas-batas sosial, baik berlandaskan agama maupun etnik, bertemu dengan realitas kebutuhan akan sekuritisasi ini. Sehingga, tak heran jika kemudian aspek skuritisasi ini diambil alih oleh kelompok-kelompok atau kekuatan-kekuatan yang bergerak di arena penebalan identitas itu. Hal ini semacam simbiosis mutualisme. Kita dapat memahami dengan mudah bahwa ketika seseorang mengalami krisis, maka ia akan membutuhkan dukungan untuk mengembalikan sumberdaya yang hilang. Sumberdaya itu bisa bersifat ekonomi maupun sosial. Industrialisasi ini dapat diidentifikasi sebagai sumber daya yang bersifat ekonomi, sedangkan dukungan kelompok tertentu itu merupakan sumber daya yang bersifat sosial. Kebutuhan akan dukungan sosial inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu—baik keagamaan maupun etnik—untuk merapat pada otoritas kekuasaan di Yogyakarta. Kontestasi antar kelompok itulah yang terkadang menghadirkan konflik. Pergulatan ketiga hal tersebut itulah yang kemudian meniscayakan hal-hal lainnya semisal institusionalisasi kelompok-kelompok pelaku kekerasan dan semakin lemahnya kekuatan moderat kritis. Institusionalisasi ini merupakan bentuk pemapanan oleh sistem yang ada terhadap kelompok-kelompok tertentu. Sehingga, walaupun minoritas, kelompok-kelompok ini dapat bertahan, eksis, dan dominan. Akibatnya, ada kasus-kasus serupa yang kemudian direspons berbeda, tergantung kelompok mana yang merespons dan apa kepentingannya. Kasus pembangunan hotel atau sampah visual, misalnya, menurut Iqbal, diprotes sedemikian rupa. Namun, saat ada rumah ibadah ditutup, tak banyak orang yang peduli.
Di dalam sesi tanya jawab, terungkap pula beberapa fakta mengenai tindakan intoleran yang ternyata tak hanya didominasi oleh ormas atau kelompok-kelompok tertentu, melainkan pula dilakukan oleh negara. Menurut Agnes, pemerintah pernah melakukan kerja sama dengan ormas intoleran dalam melakukan intimidasi terhadap kelompok tertentu, seperti yang terjadi pada kasus GKII. Selain itu, aparat yang berjaga di lapangan saat terjadi konflik akibat adanya tindakan intoleransi kerap tidak bertindak mencegah tindakan intoleransi yang dilakukan oleh kelompok tertentu itu, mereka justru terkesan hanya menjaga kelompok tertentu itu agar tidak melakukan tindak kekerasan sehingga tidak dapat dikriminalisasikan. Sedangkan perilaku intoleransinya dibiarkan begitu saja. Selain itu, dalam sesi ini juga terungkap bahwa soal tindakan intoleransi terutama dalam hal keberagamaan tidaklah didominasi oleh agama tertentu, melainkan seringnya dilakukan oleh mayoritas terhadap minoritas, baik internal maupun antar agama. Di Atambua misalnya, menurut Agnes, pernah pula terjadi penolakan pembangunan rumah ibadah agama tertentu dari kelompok minoritas yang dilakukan oleh umat agama yang sama yang mayoritas. Atau, dalam kasus Tolikara dan beberapa wilayah di Indonesia Timur, misalnya, tindakan intoleransi kerap pula menimpa kaum muslim yang minoritas, sebagaimana halnya yang terjadi terhadap umat Kristen dan umat lainnya yang tinggal di wilayah mayoritas umat Islam. Sehingga, menurut Iqbal, menjadi penting untuk memperkuat kelompok-kelompok rentan yang ada. Selain itu, penting pula untuk menanamkan sikap toleransi, kesadaran akan HAM, dan menghilangkan kecurigaan di antara para pemeluk agama yang ada. Sebab, sebagaimana disimpulkan oleh moderator pada acara tersebut, Subandri Simbolon, kedamaian tidak hadir bukan hanya sebab bangkitnya kaum intoleran, namun juga sebab diamnya para pecinta perdamaian.
Asep A.S | CRCS | News
Gunungkidul ditengarai sebagai kabupaten dengan tingkat intoleransi paling tinggi di Yogyakarta. Setidaknya, itulah salah satu hal yang terungkap dalam acara launching buku sekaligus diskusi mengenai laporan advokasi kebebasan beragama bertajuk “Yogyakarta City of (In)tolerance?,” Senin, 2 Mei 2016, di Sekolah Pascasarjana UGM. Informasi mengenai masih tingginya angka kasus intoleransi di Kabupaten ini diketahui setelah Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI) melakukan pendokumentasian atas kasus-kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkepercayaan di kabupaten tersebut yang terjadi selama kurun waktu 2011 hingga 2015. Di dalam laporannya, ANBTI mengkategorikan beragam kasus pelanggaran tersebut ke dalam empat kategori, yakni (1) pelanggaran oleh negara atas keinginan mengontrol ekspresi keagamaan; (2) pelanggaran yang terjadi akibat perilaku intoleran yang dilakukan oleh negara dan non-negara; (3) pelanggaran yang terjadi akibat kegagalan negara di dalam mengatasi baik diskriminasi ataupun pelanggaran sosial atas kelompok-kelompok agama tertentu; serta (4) pelanggaran yang terjadi karena menerapkan kebijakan tertentu yang merugikan agama-agama minoritas.
Pada diskusi yang dihelat oleh Program Studi Agama dan Lintas Budaya atau CRCS melaui program Sekolah Pengelolaan Keragaman (SPK) dan ANBTI ini pembicara dari ANBTI, Agnes Dwi Rusjiati, menyebutkan beberapa contoh peristiwa pelanggaran yang terjadi di Gunungkidul, seperti pengusiran Pendeta Agustinus, penutupan Gereja Pantekosta di Indonesia (GpdI) Semanu dan Gereja Pantekosta di Indonesia (GpdI) Playen yang telah memiliki IMB, penyerangan dan penutupan atas Gereja Kemah Injili Indonesia (GKII) Widoro, penolakan acara perayaan Paskah Adiyuswo Gereja Kristen Jawa (GKJ) Gunugkidul yang disertai penganiayaan terhadap aktivis lintas iman, serta penolakan pendirian Gua Maria Wahyu Ibuku di wilayah Giriwening. Memang, belakangan ini Yogyakarta yang kerap disebut-sebut sebagai City of Tolerance sedang dirundung banyak problema dalam hal toleransi, baik antar maupun antara umat beragama maupun antar kelompok ormas. Terbukti, sebagaimana disebutkan oleh Agnes, kasus-kasus intoleransi seperti penyerangan dan pembubaran diskusi, perusakan situs makam, penyerangan terhadap doa rosario, intimidasi terhadap kelompok tertentu seperti Syiah dan LGBT, penghentian ibadah di gereja, serta usaha penutupan rumah ibadah kerap terjadi di provinsi yang berjuluk kota budaya ini.
Di dalam kesempatan tersebut, Agnes juga memaparkan bahwa peristiwa pelanggaran kebebasan beragama yang terjadi di kerap kali seputar persoalan penolakan pelaksanaan ibadah maupun keberadaan rumah ibadah umat Kristen, baik yang telah dibangun maupun masih dalam proses pembangunan. Selain itu, ia juga mengeluhkan bahwa setiap pertemuan yang difasilitasi oleh Pemda mengenai persoalan rumah ibadah ini akan berujung pada penghentian rumah ibadah, selain juga proses yang berlarut-larut dan kurangnya peran aktif pemerintah dalam menangani kasus-kasus semacam ini. Kerap kali, pemerintah baru bertindak setelah ada inisiasi dari warga. Isu kristenisasi, pemurtadan, dan adanya penolakan dari masyarakat muslim yang kemudian mendesak pemerintah daerah untuk melakukan penghentian rumah ibadah menjadi pola khas dalam kasus kebebasan beragama dan berkepercayaan yang terjadi di ini.
Senada dengan Agnes, Kristiana Riyadi—pembicara dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)—menyebutkan bahwa peran FKUB di dalam membangun kerukunan dan toleransi antar umat beragama masihlah sangat minim. Bahkan, FKUB sendiri secara internal masihlah menyisakan konflik, hal ini sangat berbeda dengan kondisi sebelum adanya FKUB yang merupakan keputusan menteri, di mana kala itu forum komunikasi antar agama masih bernama Forum Lintas Iman. Hal ini terjadi, menurut Kristiana, disebabkan oleh penekanan pada proporsionalitas yang diatur dalam SK menteri tahun 2006. Tentu saja, Islam yang mayoritas akan memiliki jumlah wakil yang lebih banyak di dalam FKUB. Sebagai contoh, pimpinan FKUB yang berjumlah lima orang dengan asumsi merupakan wakil dari setiap agama yang diakui oleh negara, tiga di antaranya diduduki oleh wakil dari umat Islam. Sehingga, dengan pertimbangan tertentu, akhirnya khusus FKUB , sesuai dengan keputusan Bupati , memiliki tujuh orang pimpinan agar dapat mengakomodir semua agama.
Persoalan lain yang dihadapi oleh FKUB adalah soal menyerap aspirasi. FKUB semestinya menyerap semua aspirasi masyarakat dan umat beragama. Namun, proses ini menjadi bumerang tersendiri bagi tujuan didirikannya FKUB saat harus berhadapan dengan aspirasi dari kelompok ormas intoleran yang mau tidak mau harus diserap juga. Selain itu, keterpusatan keputusan pada ketua menjadi persoalan tersendiri yang tak dapat dihindari. Sebab, hal ini kerap kali tidak mencerminkan keterwakilan umat beragama yang minoritas. Belum lagi persoalan pengambilan beberapa keputusan terkait persoalan keagamaan ini tidak sepenuhnya berada dalam lingkup FKUB, melainkan pada rapat Muspida, di mana FKUB hanya diwakili oleh satu orang saja, yakni ketua FKUB. Tak heran jika keputusan-keputusan yang dihasilkan kerap kali kontraproduktif dengan visi dan misi didirikannya FKUB itu sendiri. Persoalan lainnya, misalnya, sosialisasi perbedaan peraturan pendirian rumah ibadah sebelum 2006. Sosialisasi mengenai hal ini hampir dapat dikatakan tidak dilakukan. Sehingga masyarakat menganggap peraturan mengenai pembangunan rumah ibadah setelah 2006 bersifat general, sehingga kerap kali terjadi konflik di lapangan karena adanya ketidakpahaman ini. Biasanya kasus perizinan keberadaan rumah ibadah lama yang muncul sebagai akibatnya. Padahal perizinan rumah ibadah yang telah dibangun sebelum tahun 2006 berbeda dengan perizinan rumah ibadah yang dibangun setelah tahun tersebut.
Mengenai persoalan penolakan rumah ibadah ini, pembicara lainnya yang merupakan alumni SPK, Pendeta Stefanus Iwan Listyanto, menyebutkan bahwa terjadinya hal tersebut juga disebabkan oleh adanya persoalan internal dalam golongan agama tertentu. Tak dapat dipungkiri, menurut pendeta dari Semanu ini, adanya persaingan antar gereja membuat umat Kristen pasif saat ada gereja di luar golongannya yang dipersoalkan keberadaannya oleh umat lain. Hal ini menjadi gejala global yang terjadi sehingga kelompok Kristen yang sedang menghadapi masalah dengan rumah ibadahnya kerap harus berjuang sendiri tanpa adanya bantuan dari sesama pemeluk Kristen lainnya. Menurutnya, belum adanya kesadaran mengenai perspektif HAM dan adanya persaingan antar gereja juga memiliki sumbangsih yang cukup besar terhadap tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan penyelesaian konflik. Hal ini menandakan masih adanya persoalan di antara umat beragama secara internal. Dengan nada bercanda dan sindiran, ia berkata bahwa mungkin saja ada golongan seagama yang sorak sorai saat sebuah rumah ibadah ditutup atau dipermasalahkan. Karenanya, ia menekankan pentingnya membangun jejaring baik antara maupun antar umat beragama. Dengan berjejaring, menurutnya, seseorang atau kelompok bisa saling bantu melengkapi data pendokumentasian jika terjadi persoalan yang mungkin akan memudahkan proses penyelesaian masalah. Selain itu, memiliki sudut pandang dari pihak korban juga penting untuk membangun empati, agar persaingan itu dapat tetap berjalan secara sehat.
Sedangkan pembicara terakhir, M. Iqbal Ahnaf dari CRCS, menyebutkan bahwa maraknya tindakan intoleransi yang terjadi di Yogyakarta akhir-akhir ini disebabkan oleh banyak faktor. Namun secara ringkas, Iqbal mengerucutkannya ke dalam tiga faktor yang saling terkait dan berinteraksi satu sama lain, yaitu (1) krisis keistimewaan; (2) industrialisasi; dan (3) penebalan identitas. Walaupun masih berupa hipotesis, menurut Iqbal, namun gejala yang menunjukkan ke arah tersebut cukup jelas adanya. “Saya kira, ini sangat terkait dengan pemegang otoritas tertinggi di Jogjakarta. Saya kira kita ingat belum lama ini RUU keistimewaan Jogjakarta mulai mengusik otoritas yang paling mapan di Jogjakarta.” Ungkapnya mengawali penjelasan mengenai persoalan krisis keistimewaan ini. Menurut Iqbal, perubahan peraturan di tampuk pimpinan Yogyakarta ini mencerminkan proses perubahan sosial yang sedang berlangsung. Hal ini kemudian memicu krisis otoritas keistimewaan yang meniscayakan kebutuhan akan kekuatan basis sumber daya di Yogyakarta. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan citra keistimewaan itu. Oleh sebab itu kebutuhan akan sumber daya ini kemudian melibatkan perkembangan industrialisasi sebagai salah satu usaha mendapatkan suplai sumber daya.
Menurut Iqbal, pembangunan hotel yang kian marak serta bentuk pembangunan dan industrialisasi lainnya kemungkinan dilakukan untuk memapankan basis-basis sumber daya itu. Konsekuensi dari adanya industrialisasi ini adalah sekuritisasi. Sebab, para investor maupun pengusaha tentu membutuhkan stabilitas keamanan yang cukup untuk menjalankan bisnisnya itu. Karena itu diperlukan kekuatan-kekuatan yang bisa mempertahankan dan mendukung keamanan tersebut. Di bagian inilah kemudian perubahan sosial yang terjadi di masyarakat yang melaju pada arah penebalan identitas dan kian rigidnya batas-batas sosial, baik berlandaskan agama maupun etnik, bertemu dengan realitas kebutuhan akan sekuritisasi ini. Sehingga, tak heran jika kemudian aspek skuritisasi ini diambil alih oleh kelompok-kelompok atau kekuatan-kekuatan yang bergerak di arena penebalan identitas itu. Hal ini semacam simbiosis mutualisme. Kita dapat memahami dengan mudah bahwa ketika seseorang mengalami krisis, maka ia akan membutuhkan dukungan untuk mengembalikan sumberdaya yang hilang. Sumberdaya itu bisa bersifat ekonomi maupun sosial. Industrialisasi ini dapat diidentifikasi sebagai sumber daya yang bersifat ekonomi, sedangkan dukungan kelompok tertentu itu merupakan sumber daya yang bersifat sosial. Kebutuhan akan dukungan sosial inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu—baik keagamaan maupun etnik—untuk merapat pada otoritas kekuasaan di Yogyakarta. Kontestasi antar kelompok itulah yang terkadang menghadirkan konflik. Pergulatan ketiga hal tersebut itulah yang kemudian meniscayakan hal-hal lainnya semisal institusionalisasi kelompok-kelompok pelaku kekerasan dan semakin lemahnya kekuatan moderat kritis. Institusionalisasi ini merupakan bentuk pemapanan oleh sistem yang ada terhadap kelompok-kelompok tertentu. Sehingga, walaupun minoritas, kelompok-kelompok ini dapat bertahan, eksis, dan dominan. Akibatnya, ada kasus-kasus serupa yang kemudian direspons berbeda, tergantung kelompok mana yang merespons dan apa kepentingannya. Kasus pembangunan hotel atau sampah visual, misalnya, menurut Iqbal, diprotes sedemikian rupa. Namun, saat ada rumah ibadah ditutup, tak banyak orang yang peduli.
Di dalam sesi tanya jawab, terungkap pula beberapa fakta mengenai tindakan intoleran yang ternyata tak hanya didominasi oleh ormas atau kelompok-kelompok tertentu, melainkan pula dilakukan oleh negara. Menurut Agnes, pemerintah pernah melakukan kerja sama dengan ormas intoleran dalam melakukan intimidasi terhadap kelompok tertentu, seperti yang terjadi pada kasus GKII. Selain itu, aparat yang berjaga di lapangan saat terjadi konflik akibat adanya tindakan intoleransi kerap tidak bertindak mencegah tindakan intoleransi yang dilakukan oleh kelompok tertentu itu, mereka justru terkesan hanya menjaga kelompok tertentu itu agar tidak melakukan tindak kekerasan sehingga tidak dapat dikriminalisasikan. Sedangkan perilaku intoleransinya dibiarkan begitu saja. Selain itu, dalam sesi ini juga terungkap bahwa soal tindakan intoleransi terutama dalam hal keberagamaan tidaklah didominasi oleh agama tertentu, melainkan seringnya dilakukan oleh mayoritas terhadap minoritas, baik internal maupun antar agama. Di Atambua misalnya, menurut Agnes, pernah pula terjadi penolakan pembangunan rumah ibadah agama tertentu dari kelompok minoritas yang dilakukan oleh umat agama yang sama yang mayoritas. Atau, dalam kasus Tolikara dan beberapa wilayah di Indonesia Timur, misalnya, tindakan intoleransi kerap pula menimpa kaum muslim yang minoritas, sebagaimana halnya yang terjadi terhadap umat Kristen dan umat lainnya yang tinggal di wilayah mayoritas umat Islam. Sehingga, menurut Iqbal, menjadi penting untuk memperkuat kelompok-kelompok rentan yang ada. Selain itu, penting pula untuk menanamkan sikap toleransi, kesadaran akan HAM, dan menghilangkan kecurigaan di antara para pemeluk agama yang ada. Sebab, sebagaimana disimpulkan oleh moderator pada acara tersebut, Subandri Simbolon, kedamaian tidak hadir bukan hanya sebab bangkitnya kaum intoleran, namun juga sebab diamnya para pecinta perdamaian.
Abstract
My thesis is a critical analysis of the galleries of Islamic Art in the Metropolitan Museum of Art (Met) in New York as a case study for contemporary understandings and representations of Islam through the display of Islamic art in a post-9/11 context. I explore the revival of Islamic art exhibitions since the events of September 11, 2001, where museums across the world have found themselves tasked with building and reconfiguring the display of Islamic art objects to provide visitors with a counter-narrative to the widespread fear of Islam propagated by mass media. By tracing the intertwined histories of the Islamic art discipline, colonial and post-colonial collecting practices, Orientalism and the universal survey museum, I situate my critique of the galleries within the complex realities of cultural heritage management in order to address the problematic limitations of this curatorial counter-narrative.
Speaker
Ruby Robina Saha is a Shansi English Language Teaching Fellow at Universitas Gadjah Mada. She divides her time between CRCS, where she co-teaches the Academic English course and the preparatory Summer Intensive course, and the English Language & Literature Department in the Faculty of Cultural Sciences (FIB). Prior to her appointment as a Shansi Fellow, Ruby received her BA(Hons) from Oberlin College, where she majored in Art History and Middle Eastern Studies. In 2013, she was awarded the Laurine Mack Bongiorno Prize for Art History majors, and she studied Art History and Politics at the University of Paris, where she carried out research on the galleries of Islamic art at the Louvre Museum. She wrote her graduating thesis on the politics of displaying Islamic art in Western museums after 9/11. Ruby has worked as an editor and contributing writer for several publications including The Wilder Voice, The Oberlin Review and Jurnal Humaniora. Since returning to Indonesia, her research interests have shifted to the intersection between culture and education policy, contemporary art and alternative media. After her fellowship, she plans to continue working in education and culture and intends to pursue a graduate degree in Arts Education in 2017.
Ribka Ninaris Barus | CRCS | Book Review
Keberagaman merupakan salah satu konteks kehidupan masyarakat Indonesia yang telah disadari sejak awal berdirinya republik ini, sehingga semboyan “Bhineka Tunggal Ika” dijadikan menjadi salah satu falsafah hidup Bangsa Indonesia. Terjadinya konflik-konflik yang berkaitan dengan keberagaman, baik agama dan etnitsitas, memunculkan keresahan sehingga masyarakat tidak merasakan kehidupan aman dan damai. Hal ini dapat dilihat sebagai indikator kurangnya kesadaran dan/atau pemahaman masyarakat akan arti keberagaman. Berkaitan dengan hal tersebut, sekolah merupakan salah satu ruang yang dianggap penting untuk mengakomodir pengetahuan dan pemahaman keberagaman. Sekolah tidak hanya dimaknai sebagai ruang untuk memperoleh pengetahuan untuk mengukur kemampuan kognitif dan prestasi akademis, melainkan sebagai ruang untuk memeroleh nilai-nilai kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara kontekstual.
Buku berjudul “Mengelola Keragaman di Sekolah” yang diterbitkan oleh CRCS pada Februari 2016, merupakan salah satu buku yang berkaitan dengan pengelolaan keberagaman di Indonesia, khususnya di sekolah. Buku ini memuat tiga belas artikel yang ditulis oleh para guru yang berasal dari beberapa sekolah di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, melalui Kompetisi Esai Guru yang diselenggarakan oleh penerbit. Ide dalam artikel-artikel tersebut berdasarkan pada pengalaman proses belajar-mengajar yang dialami langsung oleh para penulis.
Secara holistik, keberagaman yang ditampilkan dan dibahas dalam buku ini tidak terbatas pada agama, etnis, budaya/adat-istiadat, bahasa, gender dan status sosial. Keberagaman dalam pengertian yang lebih luas mencangkup keberagaman kecerdasan naradidik, yang dibahas oleh Sangidah Rofiah dalam artikel berjudul “Pembelajaran Berbasis Keragaman Kecerdasan dengan Pendekatan Neuro Linguistik Programming (NLP) pada Mata Pelajaran PAI”, sampai pada keberagaman respon dan metode mengajar yang diterapkan oleh para pendidik. Dengan demikian, buku ini menyediakan pemahaman yang lebih luas pada makna keberagaman itu sendiri.
Buku ini menunjukkan potret pengelolaan keragaman melaui pendidikan formal yang dilaksanakan di sekolah negeri dan swasta baik yang berbasis agama dan bersifat homogen, maupun sekolah inklusi. Ada beberapa sekolah yang secara institusional sudah menerapkan kurikulum dan metode pengelolaan keragaman dalam proses belajar mengajar untuk membangun toleransi peserta didik, seperti yang diterapkan di Sekolah Negeri Satu Muntilan, Sekolah Tumbuh Yogyakarta, dan Yayasan Budi Mulia Yogyakarta. Sementara itu, beberapa penulis masih berupaya mengelola keragaman melalui mata pelajaran yang diampu dengan menerapkan metode pengajaran yang kreatif. Pentingnya pengelolaan keragaman dalam konteks Indonesia dan peran sekolah dalam upaya tersebut diutarakan oleh semua penulis dalam buku ini, meski sebagian menyampaikan secara implisit.
Pengelolaan keragaman dalam lingkup sekolah bukan sesuatu yang mudah dilakukan, dimana hal tersebut menuntut kesadaran banyak pihak, mulai dari naradidik, pendidik, dan para pemangku kepentingan di sekolah. Metode-metode yang telah diterapkan oleh para penulis, seperti debat, fieldtrip, diskusi kelompok, menempatkan naradidik sebagai subjek aktif dalam proses belajar-mengajar dalam upaya menggali nilai-nilai keragaman. Upaya yang demikian diharapkan dapat memperdalam pemahaman naradidik tentang keberagaman yang tidak terfokus hanya pada ranah kognitif dan bersifat normatif, tetapi juga pada ranah afektif dan praksis. Dengan demikian, pemahaman akan makna kebhinakaan diwujudkan dalam hidup yang toleran dan damai. Peran para pendidik dan pemangku kepentingan juga sangat penting dalam upaya pengelolaan keragaman. Wawasan pengetahuan dan kreatifitas para guru serta kebijakan dan peraturan yang ditetapkan oleh stakeholders memiliki peran yang sangat penting dalam upaya tersebut. Imam Mutakhim secara khusus memaparkan hal tersebut dalam artikelnya di bagian akhir buku ini. Mutakhim berpendapat bahwa seluruh unsur meliputi guru, kepala sekolah, karyawan, dll., merupakan elemen yang saling terkait dan penting dalam mengelola keragaman di sekolah (p.178). Jika salah satu pihak bersifat pasif maka kemungkinan hal tersebut sulit terlaksana.
Book Title: Mengelola Keragaman di Sekolah, Gagasan dan Pengalaman Guru | Author: Anis Farikhatin, Arifah Suryaningsih, Dani Bilkis Saida Aminah, dkk | Pubhlisher: CRCS UGM | Year: Februari 2016 | Paperback: xi + 96 pages | ISBN: 978-602-72686-5-4
Download books here