Ribka Ninaris Barus | CRCS | Book Review
Keberagaman merupakan salah satu konteks kehidupan masyarakat Indonesia yang telah disadari sejak awal berdirinya republik ini, sehingga semboyan “Bhineka Tunggal Ika” dijadikan menjadi salah satu falsafah hidup Bangsa Indonesia. Terjadinya konflik-konflik yang berkaitan dengan keberagaman, baik agama dan etnitsitas, memunculkan keresahan sehingga masyarakat tidak merasakan kehidupan aman dan damai. Hal ini dapat dilihat sebagai indikator kurangnya kesadaran dan/atau pemahaman masyarakat akan arti keberagaman. Berkaitan dengan hal tersebut, sekolah merupakan salah satu ruang yang dianggap penting untuk mengakomodir pengetahuan dan pemahaman keberagaman. Sekolah tidak hanya dimaknai sebagai ruang untuk memperoleh pengetahuan untuk mengukur kemampuan kognitif dan prestasi akademis, melainkan sebagai ruang untuk memeroleh nilai-nilai kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara kontekstual.
Buku berjudul “Mengelola Keragaman di Sekolah” yang diterbitkan oleh CRCS pada Februari 2016, merupakan salah satu buku yang berkaitan dengan pengelolaan keberagaman di Indonesia, khususnya di sekolah. Buku ini memuat tiga belas artikel yang ditulis oleh para guru yang berasal dari beberapa sekolah di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, melalui Kompetisi Esai Guru yang diselenggarakan oleh penerbit. Ide dalam artikel-artikel tersebut berdasarkan pada pengalaman proses belajar-mengajar yang dialami langsung oleh para penulis.
Secara holistik, keberagaman yang ditampilkan dan dibahas dalam buku ini tidak terbatas pada agama, etnis, budaya/adat-istiadat, bahasa, gender dan status sosial. Keberagaman dalam pengertian yang lebih luas mencangkup keberagaman kecerdasan naradidik, yang dibahas oleh Sangidah Rofiah dalam artikel berjudul “Pembelajaran Berbasis Keragaman Kecerdasan dengan Pendekatan Neuro Linguistik Programming (NLP) pada Mata Pelajaran PAI”, sampai pada keberagaman respon dan metode mengajar yang diterapkan oleh para pendidik. Dengan demikian, buku ini menyediakan pemahaman yang lebih luas pada makna keberagaman itu sendiri.
Buku ini menunjukkan potret pengelolaan keragaman melaui pendidikan formal yang dilaksanakan di sekolah negeri dan swasta baik yang berbasis agama dan bersifat homogen, maupun sekolah inklusi. Ada beberapa sekolah yang secara institusional sudah menerapkan kurikulum dan metode pengelolaan keragaman dalam proses belajar mengajar untuk membangun toleransi peserta didik, seperti yang diterapkan di Sekolah Negeri Satu Muntilan, Sekolah Tumbuh Yogyakarta, dan Yayasan Budi Mulia Yogyakarta. Sementara itu, beberapa penulis masih berupaya mengelola keragaman melalui mata pelajaran yang diampu dengan menerapkan metode pengajaran yang kreatif. Pentingnya pengelolaan keragaman dalam konteks Indonesia dan peran sekolah dalam upaya tersebut diutarakan oleh semua penulis dalam buku ini, meski sebagian menyampaikan secara implisit.
Pengelolaan keragaman dalam lingkup sekolah bukan sesuatu yang mudah dilakukan, dimana hal tersebut menuntut kesadaran banyak pihak, mulai dari naradidik, pendidik, dan para pemangku kepentingan di sekolah. Metode-metode yang telah diterapkan oleh para penulis, seperti debat, fieldtrip, diskusi kelompok, menempatkan naradidik sebagai subjek aktif dalam proses belajar-mengajar dalam upaya menggali nilai-nilai keragaman. Upaya yang demikian diharapkan dapat memperdalam pemahaman naradidik tentang keberagaman yang tidak terfokus hanya pada ranah kognitif dan bersifat normatif, tetapi juga pada ranah afektif dan praksis. Dengan demikian, pemahaman akan makna kebhinakaan diwujudkan dalam hidup yang toleran dan damai. Peran para pendidik dan pemangku kepentingan juga sangat penting dalam upaya pengelolaan keragaman. Wawasan pengetahuan dan kreatifitas para guru serta kebijakan dan peraturan yang ditetapkan oleh stakeholders memiliki peran yang sangat penting dalam upaya tersebut. Imam Mutakhim secara khusus memaparkan hal tersebut dalam artikelnya di bagian akhir buku ini. Mutakhim berpendapat bahwa seluruh unsur meliputi guru, kepala sekolah, karyawan, dll., merupakan elemen yang saling terkait dan penting dalam mengelola keragaman di sekolah (p.178). Jika salah satu pihak bersifat pasif maka kemungkinan hal tersebut sulit terlaksana.
Book Title: Mengelola Keragaman di Sekolah, Gagasan dan Pengalaman Guru | Author: Anis Farikhatin, Arifah Suryaningsih, Dani Bilkis Saida Aminah, dkk | Pubhlisher: CRCS UGM | Year: Februari 2016 | Paperback: xi + 96 pages | ISBN: 978-602-72686-5-4
Download books here
UGM.
Abstract
Elsewhere argued that the line divides the “real,” offline realm and cyberspace is blurred. Both realms are becoming interpenetrative and as demonstrated in many cases such as the Arab Springs, the United States and Indonesian Presidential elections, the composite power of the two may determine the socio-political direction of a region. Following this observation and considering the dramatic expansion of Indonesian cyberspace, in term of internet penetration, mobile subscription, and social media fluency, it is timely to look closer to it as an emerging religious public sphere. The present presentation focused on the younger generation religious expression. Younger generation, the “Millennials” generation (18-34 years old) as some researches framed it, is considered among the main steams behind this space, among others as the arena of their quest for individuality, and to a degree for the enhancement of their piety. Indonesian cyberspace is complicated with the audacity of religious expression and the tangled governance by the state in the post-New Order, hence understanding younger generation perception on religion might reveal the shifts that are happening in the Indonesian society. The preliminary assessment of the issue displayed a nuanced and complex presentation of religiosity of this generation, beyond the argument of superficiality, put forward by some other observations. It is furthermore showed an intersection issue of religious authority, imagery of pluralistic society, and transnational religious phenomena.
Speaker
Leonard C. Epafras is a core doctoral faculty in the Indonesian Consortium for Religious Studies, UGM Graduate School, Yogyakarta. He won the Endeavour Scholarship Fellowship 2015 to conduct his post-doctoral research as well as presented the ongoing research project initiated by the ICRS, the Indonesian Interfaith Weather Station (IIWS). His research interests are including history of religions, inter-religious interaction, and digital humanities/humanities computing.
Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS), Graduate School, Gadjah Mada University proudly announces the call for Thesis Award. The Award is aimed to encourage CRCS students of batch 2015 to write a high quality of master thesis and a publishable article out the thesis on “Religious Education in Higher Education.”
The requirements of the Thesis Award are:
Aziz Anwar Fachrudin | CRCS | Article
Among the challenges Muslims face when they are engaged in the recently overwhelming debate on whether Islam is a religion of violence/peace is the fact that the Quran contains many verses which, at least when seen at a glance, promote violence. Indeed, there are verses in the Quran that even encourage fighting and killing, addressed to those considered unbelievers/infidels (kuffar) and/or polytheists (mushrikin); and when they are read and interpreted literally, they can be seen as preaching hatred toward non-Muslims. Moreover, some of those verses have been picked by the Islamic State (of Iraq and al-Sham, or ISIS) to justify its atrocities toward those having different beliefs. On the other hand, those “violent verses” are often cited by many involved in the debate, particularly by Islamophobias in the West, to discredit Islam and to show that Islam is a religion of violence, instead of peace.
This paper is going to examine those “violent verses’; not all, but some of them that have similar redaction. That is, those verses which read, more or less, “kill them wherever you find them”. There are three verses which are like that: (1) QS. al-Baqarah [2]:191; (2) QS. al-Nisa’ [4]:89; and (3) QS. al-Tawbah [9]:5. It is to examine both the classical and the modern interpretations of those three verses. By classical interpretations I mean the interpretations and commentaries of those verses as in classical books of tafsir written by medieval, pre-modern Muslim scholars of exegesis, to which very often many Muslims today still refer. By modern interpretations I mean the interpretations and commentaries that are written by modern Muslim exegetes. Along this line of elaboration, I shall compare both in order to know to what extent there has been a change in interpretations of the abovementioned verses.
This paper shall therefore be intended to convey three things. First is to show both classical and modern interpretations of those verses. Second is to point out what we will get when we compare those two types of interpretations and how the verses have been interpreted differently. Third, this paper shall be finished by some hermeneutical reflections resulting from the examination of both the classical and the modern interpretations. As for the classical interpretations, the books of tafsir that shall be mostly referred to in this paper are that of al-Tabari (839-923), Al-Razi (1149-1209), al-Qurtubi (1214-1273), and Ibn Kathir (1301-1373). While for the modern interpretations, the books of tafsir that shall be referred to are that of Rashid Rida (1865-1935), al-Sha‘rawi (1911-1998), Al-Zuhayli (1932-2015), and Quraish Shihab (1944-…). All these books of tafsir contains exegeses that are elaborated in chronological, chapter-based way, or verse by verse conforming to the way the verses are serially organized in the Quran. (This way is technically known as al-tafsir al-tajzi‘i or tafsir based on chapters or partitions of the Quran, as compared to al-tafsir al-mawdu‘i or tafsir based on themes/topics.) In this paper, when I mention a name of a mufassir (exegete) of them, it means I refer to his interpretations/commentaries that come after the verse being discussed. Read more in religio.uinsby.ac.id
*Aziz Anwar Fachrudin is CRCS Student batch 2014
S. Sudjatna | Report | CRCS
Salah satu tokoh ulama Indonesia, K.H. Mustofa Bisri atau Gus Mus, mengingatkan civitas akademika Universitas Gadjah Mada soal tidak adanya dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum. Ia justru menekankan pada wajibnya menuntut ilmu. Menurut Gus Mus, seharusnya setiap orang memahami bahwa hukum ilmu hanyalah satu, yakni wajib, baik wajib kifayah (wajib dipelajari oleh sebagian orang saja) ataupun wajib ‘ain (wajib dipelajari oleh setiap orang). Dengan adanya kesadaran ini, maka setiap orang akan bersungguh-sungguh dalam proses belajar yang dilakukannya sebab menyadari beban tugasnya dalam mencari ilmu. Hal ini ia sampaikan dalam kuliah perdana yang diselenggarakan oleh Fakultas Kehutanan UGM, bertajuk “Ilmu yang Bermanfaat”, Kamis, 3 September 2015.
Selanjutnya ia menekankan pentingnya niat di dalam proses menuntut ilmu. Ia menjelaskan bahwa niat adalah fondasi dalam segala tindakan. Niat tidak hanya menentukan awal dan proses suatu perbuatan saat dilakukan, melainkan juga sangat menentukan bentuk akhir dari sesuatu itu. Karenanya, untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat, menurut Gus Mus, seorang mahasiswa haruslah memiliki niat yang baik, tulus dan ikhlas. Bukan niat yang hanya mengedepankan persoalan duniawi semata, semisal pekerjaan, kedudukan atau keuntungan dalam bentuk materi. Niat haruslah dijalin dan didasarkan pada kesadaran akan ketuhanan serta tugas kekhalifahan manusia di muka bumi. Dengan begitu, setiap penuntut ilmu akan sadar dengan tugasnya sebagai orang yang diberi pemahaman atau ilmu oleh Tuhan untuk digunakan demi kebaikan manusia dan alam.
Mengaitkannya dengan ilmu kehutanan, menurut Gus Mus Indonesia adalah salah satu negara dengan bentang hutan terluas di dunia. Karenanya, tak heran jika negeri ini didaulat sebagai salah satu paru-paru dunia. Namun sayangnya, akhir-akhir ini luas hutan di nusantara kian menyempit disebabkan eksploitasi besar-besaran yang terjadi secara kontinu, belum lagi kerusakan hutan yang kian parah di setiap tahunnya. Hal ini seolah menunjukkan ada yang salah dengan tata kelola hutan yang ada. Tentu saja, kondisi ini sangat paradoks dengan realitas yang ada bahwa setiap tahunnya sarjana alumni fakultas kehutanan terus meningkat jumlahnya, dan UGM adalah salah satu penyumbang sarjana kehutanan terbanyak saat ini.Apa yang salah dalam hal ini? Adakah ilmu yang sudah digali selama para mahasiswa kehutanan itu kuliah tidak bermanfaat?.
Selain itu, Gus Mus juga memberi perumpamaan bahwa pelajar—di dalamnya termasuk juga mahasiswa—bukanlah laiknya sebuah komputer. Pelajar berbeda dengan komputer yang hanya menampung data tanpa mampu melakukan apa pun. Karenanya, pelajar jangan seperti komputer. Pelajar haruslah sanggup menampung ilmu sekaligus mengamalkannya, memanfaatkannya. Menurut Gus Mus, jika sekiranya tidak sanggup memberi manfaat, maka setidaknya hendaklah tidak merugikan orang lain. Selain itu, sebagai manusia, pelajar hendaklah menggunakan bukan hanya otak, melainkan juga hati.
Salah satu tips menuntut ilmu yang dilontarkan Gus Mus bagi para mahasiswa adalah hendaknya berteman dengan orang shalih. Sebab, pengaruh teman sangatlah kuat terhadap jiwa seseorang. Jika seorang mahasiswa salah berteman atau salah pergaulan, maka dapat dipastikan study-nya akan terganggu, begitu juga dengan keilmuannya. Sedangkan bagi para dosen, Gus Mus mengingatkan pentingnya mendoakan para mahasiswa agar mendapat ilmu yang bermanfaat. Ia mengingatkan, hendaklah para dosen menyadari bahwa mereka hanyalah sarana Tuhan dalam menyampaikan ilmu.