Subandri Simbolon |CRCS UGM|
Semangat hidup bersama di tengah keragaman budaya, etnis, bahasa atau agama di Indonesia dalam banyak hal masih sangat kuat. Indonesia berhasil menyelesaikan konflik-konflik berskala besar seperti yang terjadi di Maluku atau Aceh. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa ada masalah-masalah yang telah berlarut-larut dalam hubungan antarkelompok yang terkesan dibiarkan dan tidak diselesaikan dengan baik. Masalah-masalah yang awalnya mungkin tampak tidak terlalu serius, setidaknya dibandingkan konflik-konflik komunal masa lalu, dapat menjadi bom waktu yang merusak tatanan bangsa seperti yang dikhawatirkan sedang terjadi akhir-akhir ini.
Situasi ini hendak direspon oleh Universitas Gadjah Mada dalam perayaan Dies Natalis ke-67 tahun ini. Di antara acara yang direncanakan adalah parade budaya niti laku, yang telah dilaksanakan sejak beberapa tahun lalu, dan pada tahun ini akan diselenggarakan pada 18 Desember 2016. Budi Setyiono (30/11/2016), sebagai ketua panitia, menjelaskan bahwa tahun ini, parade itu dinamai “Niti laku perguruan kebangsaan” untuk menegaskan semangat Bhineka Tunggal Ika dan memperluas makna niti laku dengan mengundang partisipasi lebih banyak kelompok—bukan hanya dari kampus dan Keraton tetapi juga kampung-kampung dan lembaga-lembaga kemasyarakatan lain.
Dr. Zainal Abidin Bagir dari Program Studi Agama dan Lintas Budaya UGM menegaskan pentingnya merawat modal sosial Bhineka Tunggal Ika. Melihat perkembangan di masyarakat akhir-akhir ini, ia mengingatkan bahwa “upaya merawat itu berarti juga keberanian menyelesaikan masalah-masalah sulit dalam hubungan antar kelompok-kelompok masyarakat melalui penegakan hukum atau cara-cara penyelesaian lain yang berprinsip.” Zainal memberikan contoh masih adanya beberapa kelompok warga yang kesulitan memperoleh KTP karena alasan identitas agamanya, seperti yang terjadi di kalangan Ahmadiyah di Kuningan; ada pula 200an “pengungsi” yang telah tinggal di rusunawa Sidoarjo selama empat tahun karena terusir dari desanya di Sampang atas alasan keagamaan; atau penganut Ahmadiyah di Wisma Transito yang hidup sebagai pengungsi di tanah air sendiri sejak 2006; atau tidak amannya rumah ibadah kelompok minoritas di beberapa wilayah Indonesia. Pembiaran terhadap masalah-masalah demikian akan menggerogoti modal sosial kebhinnekaan pelan-pelan dan membesarkan kelompok-kelompok yang ingin memaksakan pandangannya sendiri.
“Pada saat yang sama, perlu disadari bahwa peneguhan Bhinneka Tunggal Ika bukan sekadar perayaan perbedaan dalam persatuan tetapi mensyaratkan juga terjaminnya keadilan sosial ekonomi bagi seluruh rakyat Indonesia, khususnya kelompok-kelompok kelompok yang termarjinalkan,” papar Zainal. Untuk itu pemerintah diingatkan komitmennya untuk menjalankan Nawa Cita. “Komitmen itu perlu dilaksanakan secara komprehensif, tidak berdasarkan urutan prioritas yang pragmatis, yang kerap justru meminggirkan pokok-pokok persoalan terkait penghargaan perbedaan dan keberpihakan pada masyarakat yang terpinggirkan,”urainya.
Hadir juga Sosiolog UGM, Dr. M. Najib Azca, yang memberikan perspektif sosialnya untuk menegaskan realitas multikultural Indonesia sebagai salah satu model di dunia mengenai pengelolaan keragaman secara demokratis. Sebagai negara yang sangat beragam, Indonesia dapat menjadi rujukan di tengah persoalan-persoalan global dan gagalnya transisi menuju demokrasi yang dialami beberapa negara, seperti Mesir. UGM harus hadir sebagai penyegar dan pengingat realitas kemajemukan ini, karena universitas ini sebenarnya telah sejak awal menunjukkan bagaimana mewujudkan penghargaan pada kemajemukan itu. Kebhinnekaan yang dimiliki Bangsa Indonesia adalah sebuah keniscayaan sekaligus karunia yang harus selalu dijaga dan perlu didakwahkan kepada publik.
Najib menerangkan, “akhir-akhir ini, banyak orang makin menyadari bahwa multikulturalisme adalah salah satu bagian penting dari kecerdasan kultural. Ia merupakan basis penting dari inovasi dan kreatifitas. Semakin orang mengalami pengalaman multikultur sebenarnya dia semakin berkesempatan untuk menghasilkan inovasi yang jauh lebih baik dari pada orang yang tidak mengalami pengalaman multikultur.” Untuk perayaan Dies Natalis UGM, Najib mengharapkan agar niti laku dirayakan betul-betul sebagai pesta rakyat dimana kemajemukan itu dirayakan dengan sangat indah seperti taman bunga yang indah dengan keragaman warnanya.
Menutup konferensi pers, Rektor UGM Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D., menegaskan bahwa UGM, sebagai universitas kebangsaan dan kerakyatan, bertekad untuk terus menegaskan persatuan Indonesia dan dengan itu mengupayakan terbentuknya negara yang lebih kokoh.