• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Artikel
  • UGM Meneguhkan Bhinneka Tunggal Ika yang Berkeadilan

UGM Meneguhkan Bhinneka Tunggal Ika yang Berkeadilan

  • Artikel, Berita, Berita Utama
  • 30 December 2016, 09.54
  • Oleh:
  • 0

Subandri Simbolon |CRCS UGM|

Dr. Zainal Abidin Bagir di Konferensi Pers UGM, 30 Nov. 2016
Dr. Zainal Abidin Bagir di Konferensi Pers UGM, 30 Nov. 2016

Semangat hidup bersama di tengah keragaman budaya, etnis, bahasa atau agama di Indonesia dalam banyak hal masih sangat kuat. Indonesia berhasil menyelesaikan konflik-konflik berskala besar seperti yang terjadi di Maluku atau Aceh.  Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa ada masalah-masalah yang telah berlarut-larut dalam hubungan antarkelompok yang terkesan dibiarkan dan tidak diselesaikan dengan baik. Masalah-masalah yang awalnya mungkin tampak tidak terlalu serius, setidaknya dibandingkan konflik-konflik komunal masa lalu, dapat menjadi bom waktu yang merusak tatanan bangsa seperti yang dikhawatirkan sedang terjadi akhir-akhir ini.

Situasi ini hendak direspon oleh Universitas Gadjah Mada dalam perayaan Dies Natalis ke-67 tahun ini. Di antara acara yang direncanakan adalah parade budaya niti laku, yang telah dilaksanakan sejak beberapa tahun lalu, dan pada tahun ini akan diselenggarakan pada 18 Desember 2016. Budi Setyiono (30/11/2016), sebagai ketua panitia, menjelaskan bahwa tahun ini, parade itu dinamai “Niti laku perguruan kebangsaan” untuk menegaskan semangat Bhineka Tunggal Ika dan memperluas makna niti laku dengan mengundang partisipasi lebih banyak kelompok—bukan hanya dari kampus dan Keraton tetapi juga kampung-kampung dan lembaga-lembaga kemasyarakatan lain.
Dr. Zainal Abidin Bagir dari Program Studi Agama dan Lintas Budaya UGM menegaskan pentingnya merawat modal sosial Bhineka Tunggal Ika. Melihat perkembangan di masyarakat akhir-akhir ini, ia mengingatkan bahwa “upaya merawat itu berarti juga keberanian menyelesaikan masalah-masalah sulit dalam hubungan antar kelompok-kelompok masyarakat melalui penegakan hukum atau cara-cara penyelesaian lain yang berprinsip.” Zainal memberikan contoh masih adanya beberapa kelompok warga yang kesulitan memperoleh KTP karena alasan identitas agamanya, seperti yang terjadi di kalangan Ahmadiyah di Kuningan; ada pula 200an “pengungsi” yang telah tinggal di rusunawa Sidoarjo selama empat tahun karena terusir dari desanya di Sampang atas alasan keagamaan; atau penganut Ahmadiyah di Wisma Transito yang hidup sebagai pengungsi di tanah air sendiri sejak 2006; atau tidak amannya rumah ibadah kelompok minoritas di beberapa wilayah Indonesia. Pembiaran terhadap masalah-masalah demikian akan menggerogoti modal sosial kebhinnekaan pelan-pelan dan membesarkan kelompok-kelompok yang ingin memaksakan pandangannya sendiri.
“Pada saat yang sama, perlu disadari bahwa peneguhan Bhinneka Tunggal Ika bukan sekadar perayaan perbedaan dalam persatuan  tetapi mensyaratkan juga terjaminnya keadilan sosial ekonomi bagi seluruh rakyat Indonesia, khususnya kelompok-kelompok kelompok yang termarjinalkan,” papar Zainal. Untuk itu pemerintah diingatkan komitmennya untuk menjalankan Nawa Cita. “Komitmen itu perlu dilaksanakan secara komprehensif, tidak berdasarkan urutan prioritas yang pragmatis, yang kerap justru meminggirkan pokok-pokok persoalan terkait penghargaan perbedaan dan keberpihakan pada masyarakat yang terpinggirkan,”urainya.
Hadir juga Sosiolog UGM, Dr. M. Najib Azca, yang memberikan perspektif sosialnya untuk menegaskan realitas multikultural Indonesia sebagai salah satu model di dunia mengenai pengelolaan keragaman secara demokratis. Sebagai negara yang sangat beragam, Indonesia dapat menjadi rujukan di tengah persoalan-persoalan global dan gagalnya transisi menuju demokrasi yang dialami beberapa negara, seperti Mesir. UGM harus hadir sebagai penyegar dan pengingat realitas kemajemukan ini, karena universitas ini sebenarnya telah sejak awal menunjukkan bagaimana mewujudkan penghargaan pada kemajemukan itu. Kebhinnekaan yang dimiliki Bangsa Indonesia adalah sebuah keniscayaan sekaligus karunia yang harus selalu dijaga dan perlu didakwahkan kepada publik.
Najib menerangkan, “akhir-akhir ini, banyak orang makin menyadari bahwa multikulturalisme adalah salah satu bagian penting dari kecerdasan kultural. Ia merupakan basis penting dari inovasi dan kreatifitas. Semakin orang mengalami pengalaman multikultur sebenarnya dia semakin berkesempatan untuk menghasilkan inovasi yang jauh lebih baik dari pada orang yang tidak mengalami pengalaman multikultur.” Untuk perayaan Dies Natalis UGM, Najib mengharapkan agar niti laku dirayakan betul-betul sebagai pesta rakyat dimana kemajemukan itu dirayakan dengan sangat indah seperti taman bunga yang indah dengan keragaman warnanya.
Menutup konferensi pers, Rektor UGM Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D., menegaskan bahwa UGM, sebagai universitas kebangsaan dan kerakyatan, bertekad untuk terus menegaskan persatuan Indonesia dan dengan itu mengupayakan terbentuknya negara yang lebih kokoh.

Tags: Indonesia multikultural Yogyakarta

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

Human are the creature who live between the mounta Human are the creature who live between the mountain and the sea. Yet, human are not the only one who live between the mountain and the sea. Human are the one who lives by absorbing what above and beneath the mountain and the sea. Yet, human are the same creature who disrupt and destroy the mountain, the sea, and everything between. Not all human, but always human. By exploring what/who/why/and how the life between the mountain and the sea is changing, we learn to collaborate and work together, human and non-human, for future generation—no matter what you belief, your cultural background.

Come and join @wednesdayforum with Arahmaiani at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
R A G A Ada beberapa definisi menarik tentang raga R A G A
Ada beberapa definisi menarik tentang raga di KBBI. Raga tidak hanya berarti tubuh seperti yang biasa kita pahami dalam olah raga dan jiwa raga. Raga juga dapat berarti keranjang buah dari rotan, bola sepak takraw, atau dalam bahasa Dayak raga berarti satuan potongan daging yang agak besar. Kesemua  pengertian itu menyiratkan raga sebagai upaya aktif berdaya cipta yang melibatkan alam. Nyatanya memang keberadaan dan keberlangsungan raga itu tak bisa lepas dari alam. Bagi masyarakat Dondong, Gunungkidul, raga mereka mengada dan bergantung pada keberadaan telaga. Sebaliknya, keberlangsungan telaga membutuhkan juga campur tangan raga warga. 

Simak pandangan batin @yohanes_leo27  dalam festival telaga Gunungkidul di web crcs ugm
K O S M O P O L I S Kosmo bermakna semesta, sement K O S M O P O L I S
Kosmo bermakna semesta, sementara polis itu mengacu pada kota yang seupil. Sungguh istilah oksimoron dengan daya khayal maksimal. Namun, nyatanya, yang kosmopolis itu sudah hadir sejak dulu dan Nusantara adalah salah satu persimpangan kosmopolis paling ramai sejagad. Salah satu jejaknya ialah keberadaan Makco di tanah air. Ia bukan sekadar dewa samudra, melainkan kakak perempuan yang mengayomi saudara-saudara jauhnya. Tak heran, ketika sang kakak berpesta, saudara-saudara jauh itu ikut melebur dan berdendang dalam irama kosmopolis. Seperti di Lasem beberapa waktu silam, Yalal Wathon dinyanyikan secara koor oleh masyarakat keturunan tionghoa dan para santri dengan iringan musik barongsai. Klop!

Simak ulasan @seratrefan tentang makco di situs web crcs!
At first glance, religious conversion seems like a At first glance, religious conversion seems like a one-way process: a person converts to a new religion, leaving his old religion. In fact, what changes is not only the person, but also the religion itself. The wider the spread of religion from its place of origin, the more diverse the face of religion becomes. In fact, it often gives birth to variants of local religious expressions or even "new" religions. On the other hand, the Puritan movement emerged that wanted to curb and eradicate this phenomenon. But everywhere there has been a reflux, when people became disaffected with Puritan preachers and tried to return to what they believed their religion was before.

Come and join the #wednesdayforum discussion  at the UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju