• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • Home
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members
      • Visiting Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Admission
    • Courses
    • Schedule
    • Scholarship
    • Accreditation
    • Crossculture Religious Studies Summer School
    • Student Service
    • Survey-2022
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Activities
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Research
      • Overview
      • Resource Center
    • Community Service
      • Wednesday Forum
    • International Events
      • ICIR
      • Interfaith Mediation
      • IGSSCI
    • Student Achievements
  • Beranda
  • Artikel
  • UGM Meneguhkan Bhinneka Tunggal Ika yang Berkeadilan

UGM Meneguhkan Bhinneka Tunggal Ika yang Berkeadilan

  • Artikel, Berita, Berita Utama
  • 30 December 2016, 09.54
  • Oleh:
  • 0

Subandri Simbolon |CRCS UGM|

Dr. Zainal Abidin Bagir di Konferensi Pers UGM, 30 Nov. 2016
Dr. Zainal Abidin Bagir di Konferensi Pers UGM, 30 Nov. 2016

Semangat hidup bersama di tengah keragaman budaya, etnis, bahasa atau agama di Indonesia dalam banyak hal masih sangat kuat. Indonesia berhasil menyelesaikan konflik-konflik berskala besar seperti yang terjadi di Maluku atau Aceh.  Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa ada masalah-masalah yang telah berlarut-larut dalam hubungan antarkelompok yang terkesan dibiarkan dan tidak diselesaikan dengan baik. Masalah-masalah yang awalnya mungkin tampak tidak terlalu serius, setidaknya dibandingkan konflik-konflik komunal masa lalu, dapat menjadi bom waktu yang merusak tatanan bangsa seperti yang dikhawatirkan sedang terjadi akhir-akhir ini.

Situasi ini hendak direspon oleh Universitas Gadjah Mada dalam perayaan Dies Natalis ke-67 tahun ini. Di antara acara yang direncanakan adalah parade budaya niti laku, yang telah dilaksanakan sejak beberapa tahun lalu, dan pada tahun ini akan diselenggarakan pada 18 Desember 2016. Budi Setyiono (30/11/2016), sebagai ketua panitia, menjelaskan bahwa tahun ini, parade itu dinamai “Niti laku perguruan kebangsaan” untuk menegaskan semangat Bhineka Tunggal Ika dan memperluas makna niti laku dengan mengundang partisipasi lebih banyak kelompok—bukan hanya dari kampus dan Keraton tetapi juga kampung-kampung dan lembaga-lembaga kemasyarakatan lain.
Dr. Zainal Abidin Bagir dari Program Studi Agama dan Lintas Budaya UGM menegaskan pentingnya merawat modal sosial Bhineka Tunggal Ika. Melihat perkembangan di masyarakat akhir-akhir ini, ia mengingatkan bahwa “upaya merawat itu berarti juga keberanian menyelesaikan masalah-masalah sulit dalam hubungan antar kelompok-kelompok masyarakat melalui penegakan hukum atau cara-cara penyelesaian lain yang berprinsip.” Zainal memberikan contoh masih adanya beberapa kelompok warga yang kesulitan memperoleh KTP karena alasan identitas agamanya, seperti yang terjadi di kalangan Ahmadiyah di Kuningan; ada pula 200an “pengungsi” yang telah tinggal di rusunawa Sidoarjo selama empat tahun karena terusir dari desanya di Sampang atas alasan keagamaan; atau penganut Ahmadiyah di Wisma Transito yang hidup sebagai pengungsi di tanah air sendiri sejak 2006; atau tidak amannya rumah ibadah kelompok minoritas di beberapa wilayah Indonesia. Pembiaran terhadap masalah-masalah demikian akan menggerogoti modal sosial kebhinnekaan pelan-pelan dan membesarkan kelompok-kelompok yang ingin memaksakan pandangannya sendiri.
“Pada saat yang sama, perlu disadari bahwa peneguhan Bhinneka Tunggal Ika bukan sekadar perayaan perbedaan dalam persatuan  tetapi mensyaratkan juga terjaminnya keadilan sosial ekonomi bagi seluruh rakyat Indonesia, khususnya kelompok-kelompok kelompok yang termarjinalkan,” papar Zainal. Untuk itu pemerintah diingatkan komitmennya untuk menjalankan Nawa Cita. “Komitmen itu perlu dilaksanakan secara komprehensif, tidak berdasarkan urutan prioritas yang pragmatis, yang kerap justru meminggirkan pokok-pokok persoalan terkait penghargaan perbedaan dan keberpihakan pada masyarakat yang terpinggirkan,”urainya.
Hadir juga Sosiolog UGM, Dr. M. Najib Azca, yang memberikan perspektif sosialnya untuk menegaskan realitas multikultural Indonesia sebagai salah satu model di dunia mengenai pengelolaan keragaman secara demokratis. Sebagai negara yang sangat beragam, Indonesia dapat menjadi rujukan di tengah persoalan-persoalan global dan gagalnya transisi menuju demokrasi yang dialami beberapa negara, seperti Mesir. UGM harus hadir sebagai penyegar dan pengingat realitas kemajemukan ini, karena universitas ini sebenarnya telah sejak awal menunjukkan bagaimana mewujudkan penghargaan pada kemajemukan itu. Kebhinnekaan yang dimiliki Bangsa Indonesia adalah sebuah keniscayaan sekaligus karunia yang harus selalu dijaga dan perlu didakwahkan kepada publik.
Najib menerangkan, “akhir-akhir ini, banyak orang makin menyadari bahwa multikulturalisme adalah salah satu bagian penting dari kecerdasan kultural. Ia merupakan basis penting dari inovasi dan kreatifitas. Semakin orang mengalami pengalaman multikultur sebenarnya dia semakin berkesempatan untuk menghasilkan inovasi yang jauh lebih baik dari pada orang yang tidak mengalami pengalaman multikultur.” Untuk perayaan Dies Natalis UGM, Najib mengharapkan agar niti laku dirayakan betul-betul sebagai pesta rakyat dimana kemajemukan itu dirayakan dengan sangat indah seperti taman bunga yang indah dengan keragaman warnanya.
Menutup konferensi pers, Rektor UGM Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D., menegaskan bahwa UGM, sebagai universitas kebangsaan dan kerakyatan, bertekad untuk terus menegaskan persatuan Indonesia dan dengan itu mengupayakan terbentuknya negara yang lebih kokoh.

Tags: Indonesia multikultural Yogyakarta

Facebook

Facebook Pagelike Widget

Instagram

Have you ever been treated in a hospital with a di Have you ever been treated in a hospital with a different religious affiliation than what we believe in?

In an emergency, we often cannot choose where we will be treated. However, this "emergency" seems to be an entry point to get to know people who have different beliefs from us.

Come and join the discussion at Graduate School Building, Room 307, Universitas Gadjah Mada at 13.00 WIB.

#wednesdayforum is free and open for public
Berita kegagalan Indonesia menjadi tuan rumah Pial Berita kegagalan Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 masih hangat di ruang media kita. Apa pun alasannya, "kekecewaan nasional" ini menunjukkan bahwa kultur sepak bola telah mengakar kuat di negeri ini. 

Di beberapa tempat di negara lain, sepak bola bukan sekadar mengakar sebagai kultur, melainkan sudah menghunjam menjadi kultus.

Simak tulisan @maryozaini mahasiswa magang CRCS UGM di situs web crcs ugm.
Pada tahun 2016 silam, Walt Disney Animation Studi Pada tahun 2016 silam, Walt Disney Animation Studios merilis "Zootopia", sebuah film animasi tentang peradaban hewan dan masalah kewargaan yang mereka alami. Di situ, hewan-hewan bertindak laiknya manusia bahkan memiliki sistem pemerintahan dan kewargaan yang tak kalah canggih. 

Tentu bukan peradaban utopis semacam itu yang dibayangkan oleh konsep kewargaan ekologis. Namun, keduanya punya persamaan: mengandaikan hewan, dan makhluk lain, sebagai bagian dari kesatuan warga negara; mengakui hak kewarganegaraan tidak sebatas manusia.

Simak tulisan menarik tentang kewargaan ekologis ini hanya di situs web crcs.
Religions and queer identities are often purported Religions and queer identities are often purportedly seen as antithetical to each other, impossible to reconcile, and harshly incompatible to be openly and mutually ‘holding hands’.

Yet in Indonesia, despite mainstream conservative attitude toward queer identities, queer-inclusive voices coming from faith leaders and queer activists are resisting and challenging the status quo.

Come and join the discussion at Graduate School Building, Room 306, Universitas Gadjah Mada at 16.00 WIB.

#wednesdayforum is free and open for public
Load More Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, Floors 3-4
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju