Menilik Ulang Peristiwa Keagamaan Tahun 2017
CRCS UGM – 26 Desember 2017
Tahun 2017 diwarnai beragam peristiwa. Pilkada Jakarta, pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia, peneguhan Pancasila, keputusan Mahkamah Konstitusi, hingga isu Rohingya dan kepresidenan Trump adalah sekian dari peristiwa-peristiwa yang sedikit atau banyak menyangkut agama dan dibahas dalam tulisan-tulisan di web CRCS.
Selama tahun ini, dalam menjalankan fungsinya sebagai media pendidikan publik, web CRCS menyajikan tulisan-tulisan berupa artikel opini dan liputan kegiatan. Yang berusaha kami tawarkan dalam tulisan-tulisan ini adalah menyajikan suatu perspektif, bukan sekadar laporan. Segera akan tampak dalam tulisan-tulisan itu kecenderungan kami pada perspektif yang melihat peristiwa dari sudut pandang perkembangan demokrasi dan penghargaan pada keragaman agama.
Berikut ini rekap peristiwa-peristiwa itu beserta beberapa tulisan terkait di web CRCS.
Pilkada Jakarta dan Kasus Penodaan Agama
Meski ada isu-isu non-agama yang penting dan ikut mewarnai persaingan politik, sulit untuk menolak peran sentral isu agama dalam Pilkada Jakarta yang pada April 2017 menyatakan pasangan Anies-Sandi sebagai pemenang. Besarnya peran agama dalam pilkada ini ditandai antara lain oleh hasil beberapa exit poll yang menunjukkan bahwa agama menjadi pertimbangan utama untuk tak memilih pasangan Ahok-Djarot, di samping tentu mobilisasi massa yang intensif yang penuh dengan retorika keagamaan di hari-hari menjelang pemilihan. Dalam sejarah Indonesia, baru di tahun ini kasus penodaan agama menarik perhatian massa sedemikian besar. Untuk pertama kalinya, figur yang didukung Front Pembela Islam (FPI) memenangkan pemilu. Sejumlah pihak segera menyebutnya sebagai kemenangan radikalisme, ekstremisme, atau istilah lain yang senada. Benarkah?
Zainal Abidin Bagir dalam tulisannya berupaya menunjukkan bahwa, sebagaimana semua peristiwa politik, yang terjadi adalah koalisi saling memanfaatkan: ada kelompok agama, politik, dan ekonomi. Namun catatan kritis tetap tak bisa dikesampingkan: selain adanya proses persaingan yang diwarnai oleh siar kebencian dan beragam intimidasi, Pilkada Jakarta itu “memang demokrasi, tapi dengan kualitas rendah, yang meninggalkan luka-luka serius.” (Baca: Islam dan Demokrasi Indonesia Setelah Pilkada DKI, juga tulisan lain Zainal Abidin Bagir yang sebelumnya dimuat di Majalah Tempo dan dimuat ulang di web CRCS: Konservatisme Agama dan Demokrasi)
Menguraikan data-data kasus terkait UU Pencegahan Penodaan Agama (UU PPA), Gde Dwitya Arief Metera dalam tulisannya berupaya menguji pandangan beberapa akademisi yang, setelah Pilkada Jakarta, masih opitimis terhadap prospek demokrasi di Indonesia. Dalam tulisan ini, Gde Metera mengajak paling tidak untuk secara jujur mengakui bahwa ada problem serius dalam demokrasi Indonesia. (Baca: Problems with Indonesia’s Religious Democracy)
Pilkada Jakarta juga turut menghasilkan debat mengenai isu agama dan ketimpangan ekonomi warga Jakarta, dengan hal yang terakhir kurang mendapat jumlah sorotan yang seharusnya dalam rivalitas politik itu. Dalam topik ini, Azis Anwar menanggapi Ian Wilson melalui tulisannya di New Mandala, yang kemudian dimuat ulang di web CRCS, dan mengajukan gagasan bahwa isu ketimpangan dan identitas keagamaan adalah sama-sama pentingnya dalam pembahasan isu-isu seputar Pilkada Jakarta. (Baca: Between inequality and identity in Jakarta polls)
Masih terkait dengan Pilkada Jakarta, polarisasi yang ditimbulkan dari persaingan politik elektoral di ibu kota ini merembet ke banyak daerah. Denni Pinontoan menuliskan imbas Pilkada Jakarta terhadap politik lokal antarormas adat di Minahasa (baca: Pilkada Jakarta dan Ormas Adat dalam Politik Lokal di Minahasa), sementara Hary Widiantoro menuliskan dampaknya di Balikpapan, yang menunjukkan makin intensifnya tindak persekusi dan dakwaan penodaan agama (baca: FPI, “Penodaan Agama”, dan Dinamika Lokal di Balikpapan).
[Catatan samping: CRCS akan segera menerbitkan laporan khusus mengenai penodaan agama yang ditulis oleh Zainal Abidin Bagir. Laporan ini akan menyajikan argumen tentang bagaimana merespons kasus “penodaan agama” secara lebih baik, sementara UU PPA masih berlaku.]
Pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia
Pada Juli 2017 pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) 2/2017 sebagai pengganti dari UU 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Yang pertama disasar oleh Perppu ini ialah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Pembubaran resmi berlaku tak lama setelah penerbitan Perppu itu dengan pencabutan badan hukum HTI oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Di tengah HTI masih menggugat pemerintah melalui Pengadilan Tata Usaha Negara, rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Oktober 2017 sepakat mengesahkan RUU tentang Penetapan Perppu 2/2017 menjadi UU.
Menyangkut isu Perpuu Ormas dan HTI, dua tulisan Iqbal Ahnaf dipublikasikan di web CRCS. Pertama, yang ditulisnya sebelum pemerintah menerbitkan Perppu itu, menguraikan setidaknya tiga pilihan yang bisa dilakukan pemerintah terhadap HTI, masing-masing dengan konsekuensinya, yakni mengakuinya sebagai organisasi resmi, tidak mengakui tapi tidak juga melarang, dan melarang. (Baca: Haruskah HTI Dibubarkan?)
Kedua, yang ditulisnya setelah penerbitan Perppu dan pembubaran HTI, menguraikan pilihan yang masih tersedia bagi HTI, yakni antara tetap mempertahankan ideologinya seperti dimandatkan oleh pendirinya atau berupaya melakukan kompromi dalam bingkai diskursus politik Indonesia. (Baca: Setelah HTI Dibubarkan: Konsistensi atau Kompromi?)
Pancasila sebagai Ideologi
Tahun 2017 menjadi salah satu tahun penting dalam sejarah Pancasila. Paling tidak empat peristiwa terkait Pancasila di tahun ini layak dicatat. Pertama, tanggal 1 Juni, hari Lahir Pancasila, untuk pertama kalinya menjadi hari libur nasional. Kedua, pemerintah menyelenggarakan berbagai kegiatan, termasuk kampanye masif di berbagai media cetak dan digital, bertajuk “Pekan Pancasila” pada 29 Mei—4 Juni. Ketiga, Presiden Joko Widodo membentuk Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP). Keempat, dan ini yang paling penting, Pancasila mengalami penguatan posisi sebagai instrumen legal untuk membubarkan organisasi kemasyarakatan yang mengampanyekan ideologi yang dianggap bertentangan dengan Pancasila. Hal yang terakhir ini terwakili oleh pembubaran HTI melalui Perppu Ormas 2/2017.
Di samping keempat hal itu, yang muncul dari inisiatif pemerintah, peristiwa lain terkait Pancasila muncul dari masyarakat. Dari ormas keagamaan, Nahdlatul Ulama (NU) ialah yang paling keras suaranya dalam mendukung penerapan Perppu Ormas itu. Selain itu, sepekan sebelum peringatan Hari Santri 22 Oktober, dikabarkan lebih dari 20 ribu Nahdliyin berkumpul di Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah, mendeklarasikan berdirinya “Front Penggerak Pancasila”. Beberapa bulan sebelum itu, dari lembaga pendidikan formal, Universitas Gadjah Mada mengadakan deklarasi pada 22 Mei untuk meneguhkan diri sebagai “Universitas Pancasila”.
Dalam isu Pancasila ini, web CRCS mempublikasikan dua tulisan Azis Anwar. Yang pertama mengajak untuk tidak esensialis dalam menafsirkan Pancasila (baca: Reinterpreting Pancasila) dan yang kedua fokus menguraikan sejarah pengakuan NU terhadap Pancasila (baca: NU dan Pancasila: Dulu dan Kini)
[Catatan samping: CRCS akan mempublikasikan laporan khusus tentang kontestasi tafsir terhadap Pancasila, yang ditulis oleh Azis Anwar. Laporan ini direncanakan akan terbit pada bulan pertama 2018.]
Aliran Kepercayaan dan Ekologi Masyarakat Adat
Bila pada Desember 2017 Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi mengenai “pasal zina” di KUHP yang ingin memperluas cakupan makna zina dan mengubah deliknya menjadi delik biasa, pada November 2017 MK mengabulkan seluruh permohonan uji materi pembatalan pasal mengenai pengosongan kolom agama bagi penghayat kepercayaan di UU Administrasi Kependudukan.
Dua liputan dengan Samsul Maarif, yang menjadi salah satu saksi ahli dalam proses judicial review ini, tayang di web CRCS. Pertama, ketika masih dalam proses uji materi. (Baca: Menguji UU Adminduk: Diskriminasi dalam Pengosongan Kolom Agama) Kedua, setelah keputusan uji materi dibacakan MK. (Baca: Mahkamah Konstitusi: Pengosongan Kolom Agama bagi Penghayat Kepercayaan Bertentangan dengan UUD 1945)
Setelah MK memutuskan mengabulkan permohonan uji materi itu, sejumlah pemimpin ormas Islam mengajukan keberatan sembari menyatakan bahwa aliran kepercayaan bukan agama. Menanggapi keberatan ini, Azis Anwar mengajukan konter-argumen dalam tulisannya yang sebelumnya dimuat di New Mandala dan kemudian dipublikasikan ulang di web CRCS. (Baca: Religion and belief in Indonesia: what’s the difference?)
[Catatang samping: bagi yang ingin mengetahui lebih mendalam tentang sejarah pengakuan terhadap aliran kepercayaan, CRCS pada tahun ini menerbitkan buku berjudul Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur dalam Politik Agama di Indonesia karya Samsul Maarif. Resume dan review buku ini dalam bahasa Inggris ditulis oleh Kelli Swazey dan dapat diunduh gratis: Shifting waters in the politics of religion and its impacts on Indonesian indigenous communities]
Kategori “agama” di Indonesia tak bisa dipisahkan dari kategori-kategori lain seperti “budaya”, “adat”, “aliran kepercayaan”, atau “kearifan lokal”. Persoalan ini sebenarnya bukan hanya soal identits, melainkan juga, khususnya dalam konteks adat dan “agama lokal”, terkait dengan masalah redistribusi, pelestarian hutan, dan isu lingkungan pada umumnya.
Sejumlah peristiwa terkait agama lokal dan pelestarian lingkungan terjadi pada 2017. Di antaranya ialah protes masyarakat lokal di Rembang dan Pati terhadap pendirian pabrik semen di pegunungan Kendeng. Menulis tentang isu ini, Samsul Maarif pada Januari 2017 memaparkan antara lain tentang adanya unsur keagamaan dalam praktik ekologi masyarakat adat (indigenous ecology) yang menjadi cara hidup bukan saja komunitas Samin di Kendeng melainkan juga masyarakat adat secara umum di Nusantara. (Baca: Ekologi Adat Kendeng: Bergerak untuk Keadilan Ibu Bumi)
Menyangkut topik agama dan ekologi, Jonathan Smith, mahasiswa PhD dari Inggris yang sempat berada di CRCS selama 3 bulan, menunjukkan peran agama dalam gerakan ekologis yang tidak saja terjadi di Indonesia, seperti perlawanan terhadap reklamasi Telok Benoa dan pabrik semen Kendeng, tetapi juga di level internasional. (Baca: Does religion help the environmental cause in Indonesia and around the world?)
Zainal Abidin Bagir menuliskan refleksinya setelah mengikuti kegiatan peluncuran gerakan lintas iman untuk pelestarian hutan hujan (Interfaith Rainforest Initiative) pada Juni 2017 yang menunjukkan betapa pentingnya peran komunitas agama-adat (indigenous religions) dalam upaya pelestarian hutan. (Baca: Menyelamatkan Hutan: Aliansi Lintas Agama dan Masyarakat Adat)
Memperingati Hari Masyarakat Adat pada 9 Agustus, Mohamad Miqdad menulis kilas sejarah pengakuan negara terhadap masyarakat adat (baca: Sudahkah Masyarakat Adat Berdaulat?), sementara Kelli Swazey menulis refleksi tentang hubungan erat agama dan budaya dalam kosmologi masyarakat adat setelah mengikuti acara tahunan Seren Taun komunitas Sunda Wiwitan di Jawa Barat (baca: Religious Freedom, Tourism, and the Right to Cultural Identity).
Kebebasan Berkumpul
Pada September 2017, kegiatan seminar di LBH/YLBHI Jakarta yang direncanakan akan mendiskusikan sejarah 1965 dibubarkan Polda Metro Jaya setelah mendapat tekanan dari orang-orang yang membawa atribut ormas keagamaan. Mengenai topik, ini Suhadi menulis bahwa dalam diskursus mengenai peristiwa 1965, berikut diskusi mengenai Marxisme atau komunisme, kita sudah pernah mengalami progres yang cukup baik. (Baca: Membicarakan 1965: Kita Sudah Pernah Cukup Maju)
[Catatan samping: CRCS pada Juli 2017 menerbitkan laporan khusus mengenai kebebasan akademik yang mendapat ancaman dari ormas-ormas keagamaan yang kerap melakukan vigilantisme atau aksi main hakim sendiri. Laporan ini, yang ditulis oleh Suhadi, dapat diunduh gratis di sini.]
Kaum Rohingya
Pada awal September 2017, perbincangan publik Indonesia diramaikan oleh penindasan yang menimpa kaum Rohingya di Myanmar, yang oleh sejumlah lembaga internasional telah disebut sebagai genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Isu yang mendominasi perbincangan itu di Indonesia dibingkai dalam kerangka agama (umat Islam versus umat Buddha).
Terkait isu ini, Azis Anwar menulis bahwa unsur agama berperan dalam konflik di Rakhine itu, namun ada persoalan yang lebih mendasar dan sudah berlangsung lama dalam sejarah Myanmar, yakni isu kewarganegaraan. (Baca: Lapis-lapis Persoalan Rohingya) Imtiyaz Yusuf menyajikan tulisan yang bisa menjadi semacam pengantar untuk memahami peta demografis umat Islam di Myanmar (baca: Islam di Myanmar: Bacaan Pengantar), sementara Husni Mubarok mengajak untuk tak menyederhanakan persoalan mengenai hubungan agama dan kekerasan (baca: Tragedi Rohingya dan Diskursus Kekerasan Agama).
Kepresidenan Trump
Donald Trump secara resmi menjadi Presiden Amerika Serikat pada Januari 2017. Kemenangan Trump ini turut menarik perhatian publik Indonesia, khususnya setelah ia mengeluarkan kebijakan pelarangan imigrasi bagi orang-orang dari sejumlah negara mayoritas Muslim. Dua orang asal Amerika yang pernah menjadi kolega atau berjaring dengan kolega CRCS menuliskan refleksi personalnya tentang Trump, yang tersedia dalam bahasa Inggris dan Indonesia.
Pertama, Kate Wright, yang menulis esai untuk mengingatkan kembali betapa pentingnya politik elektoral guna membendung figur supremasis kulit putih seperti Trump, yang misoginis, rasis, dan menjadikan penyandang disabilitas sebagai lelucon. (Baca: Ethical citizenship in the current age: Voting like it matters) Kedua, Laine Berman, yang dengan esainya menyatakan bahwa Amerika tidaklah sehebat yang banyak orang kira seraya mengajak Indonesia untuk tidak menjadikan Amerika sebagai negara teladan. (Baca: Playing the Trump card in Indonesia)
Perayaan Hari Besar Keagamaan
Memperingati 500 tahun Reformasi Protestan yang jatuh pada 31 Oktober 2017, Gerrit Singgih menulis esai kritis tentang perayaan Reformasi dalam kontes zaman kiwari yang sudah terglobalisasi di mana perjumpaan lintas agama jauh lebih intens dibanding masa hidup Martin Luther dan John Calvin. Gerrit Singgih mengajak, sembari mengakui sisi positif Reformasi, untuk menimba ulang hal-hal dari Reformasi Protestan yang dalam konteks abad 21 dapat menimbulkan ekses negatif. (Baca: Merayakan 500 Tahun Reformasi Protestan dalam Kerendahan Hati)
Sejumlah esai reflektif mengenai makna hari besar tahunan keagamaan ditulis di web CRCS. Mengurai makna Kenaikan Yesus, dua artikel tersaji di web CRCS. Pertama oleh Gregory Vanderbilt, yang menuliskan pengalamannya yang masih baru dalam merayakan Kenaikan Yesus di Indonesia dan refleksinya tentang, tidak seperti di Amerika, menjadi minoritas Kriten di Indonesia. (Baca: On being a Christian minority in Indonesia on Ascension Day) Kedua oleh Subandri Simbolon, yang merefleksikan makna inklusif Kenaikan Yesus melalui sabda kepada para murid untuk menjadi “saksi Yesus sampai ke ujung bumi”. (Baca: Menjadi Saksi Yesus di Ujung Bumi)
Yulianti menulis makna hari besar umat Buddha dalam konteks Indonesia dan (baca: Waisak dalam Bingkai Keindonesiaan) dan Izak Lattu merefleksikan makna Natal sembari menanggapi keputusan Amerika di bawah pimpinan Trump dalam mengakui secara sepihak Yerusalem sebagai ibu kota Israel (baca: Natal, Ruang Sipil, dan Solidaritas Sosial).
Lain-lain
Raja Salman bin Abdulaziz Al Saud mengunjungi Indonesia pada Maret 2017. Ini adalah kunjungan pertama raja Arab Saudi ke Indonesia setelah 47 tahun. Motif utama kunjungan itu bukanlah soal agama, melainkan kerja sama ekonomi, namun isu agama turut mewarnai kunjungan itu. Di hadapan tokoh-tokoh lintas agama, Raja Salman menyatakan pentingnya kerja sama dua negara—Arab Saudi sebagai “pelayan dua kota suci dan Indonesia sebagai negara Muslim terbesar dunia—dalam “memerangi radikalisme dan ekstremisme”. Khusus menyangkut topik ini, Azis Anwar menulis tentang dua isu yang perlu diperhatikan Saudi, yakni perihal Wahhabisme dan perannya dalam perang proxy dalam geopolitik Timur Tengah. (Baca: Setelah Kunjungan Raja Saudi: Melawan Ekstremisme?)
Meski agaknya tak bisa dimasukkan dalam daftar “peristiwa keagamaan” ini, ada liputan di web CRCS tentang acara diskusi yang sifatnya lebih teoretis namun sangat relevan dengan diskursus keagamaan, khusunya Islam, di Indonesia pada 2017. Dua liputan terpilih, dan dua-duanya ditulis oleh mahasiswa CRCS Asep Sudjatna, untuk dinukil di sini karena dua liputan ini mendapat banyak pembaca. Pertama, liputan diskusi buku bersama Haidar Bagir. (Baca: Dua Islam: Menurut-Nya dan Menurut Manusia) Kedua, liputan diskusi bersama Nadirsyah Hosen. (Baca: Tiga Khilaf dalam Memahami Khilafah)
Di samping tulisan-tulisan di atas, ada banyak tulisan lain di web CRCS di tahun 2017 yang layak dan penting dibaca, yang sebagian berupa liputan acara CRCS (misalnya: seri acara “Imam dan Pastor”), liputan acara mingguan CRCS-ICRS Wednesday Forum (misalnya: tentang Islam-Cinta dan sejarah Konfusianisme), wawancara (misalnya: tentang Islam dan Buddhisme dan tentang Islam-Awal), juga beberapa obituari (misalnya: untuk Alfred Stepan dan John Raines), tulisan yang lebih bersifat pemaparan teoretis (misalnya: seri tulisan tentang kebebasan beragama), dan review buku (misalnya: review buku God is Not One dan The Myth of Religious Violence). Pembaca dapat menggalinya dalam tumpukan tulisan di web CRCS.
Demikian tulisan rekap ini. Selamat merayakan Natal bagi umat Kristiani dan selamat Tahun Baru 2018 untuk semua. Di tahun mendatang, semoga kita dapat menjadi pribadi yang lebih baik, dan semoga web CRCS dapat menyajikan tulisan-tulisan yang makin berkualitas dan banyak pembacanya.