Menjadi Tionghoa Kristen di Surabaya:
Konstruksi, Kontestasi, dan Keragaman
Ihsan Kamaludin – 04 Januari 2022
Meski sudah ratusan tahun hidup bersama, Tionghoa Kristen merupakan salah satu identitas masyarakat yang paling sering disalahpahami di Indonesia. Stereotip yang paling melekat—bahkan hingga hari ini—di antaranya eksklusif, punya hak istimewa dalam perekonomian, agen kristenisasi, bahkan diragukan nasionalismenya. Dari sisi keagamaan, ada ungkapan yang sering beredar di masyarakat, “Bertambah satu Kristen, berkurang satu Tionghoa.” Ungkapan ini mengandaikan bahwa tradisi Tionghoa merupakan sesuatu yang berseberangan dengan kekristenan dan tidak dapat hadir bersamaan. Di sisi lain, studi akademis mengenai masyarakat Tionghoa Kristen ternyata sangat minim. Dalam dua dekade terakhir, jumlah karya akademis yang menonjol terkait isu tersebut bisa dihitung dengan jari, di antaranya Soleiman dan Steenbrink, 2008; Ong, 2008; Hoon, 2016; serta Dawa, 2016.
Situasi dan miskonsepsi inilah yang menggerakkan Dr. Linda Bustan, dosen Universitas Kristen Petra Surabaya, untuk meneliti dinamika identitas Kristen-Tionghoa di Surabaya. Dalam presentasinya pada Wednesday Forum (13/10) yang bertajuk “The Construction on Chinese Christian Identities in the Mandarin-speaking Churches in Surabaya”, Bustan memaparkan bagaimana seluk beluk historis dan dinamika interaksi sosial ikut memengaruhi konstruksi identitas etnis dan agama Kristen-Tionghoa, khususnya pada gereja berbahasa Mandarin di Surabaya.
Keberadaan masyarakat Tionghoa yang beragama Kristen Protestan di Surabaya bisa dilacak pada awal tahun 1900-an. Mulanya, mereka datang dari daratan Cina dan mendirikan rumah ibadah sesuai dialek bahasanya, antara lain Hokkien, Kanton, Hakka, Fuzhou, dan Hinghwa. Pada tahun 1928, rumah ibadah berdialek Hokkian ini kemudian berkembang menjadi gereja Tionghoa pertama di Surabaya yang dinamai Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee (THKTKH) dan terdaftar di pemerintahan Belanda.
Kebijakan pemerintahan kolonial Belanda sangat memengaruhi perkembangan gereja berbahasa pengantar Mandarin ini. Ketika orang-orang Tionghoa daratan datang ke Surabaya pada awal abad ke-20, Belanda tengah menjalankan politik klasifikasi ras dan sistem zonasi. Orang-orang Tionghoa dikategorikan sebagai warga asing yang harus dipisah keberadaannya secara fisik dari orang pribumi maupun Belanda. Peraturan ini membawa perubahan terhadap hubungan antara orang-orang Tionghoa dan orang-orang lokal yang sebelumnya bisa berinteraksi secara bebas. Bahkan, tak jarang pria Tionghoa menikahi wanita-wanita lokal dan berbaur secara budaya. Zonasi berbasis ras memaksa orang-orang Tionghoa, termasuk yang beragama Kristen, untuk tinggal dalam satu daerah yang nantinya dikenal sebagai Pecinan.
Pada masa pendudukan Jepang, pemerintah kolonial Jepang membuka kembali sekolah berbahasa Mandarin dan mendorong berkembangnya budaya Tionghoa. Rupanya penguatan budaya Tionghoa ini membuat masyarakat Tionghoa Totok merasa superior dibanding Tionghoa peranakan. Di sisi lain, penguatan budaya ini kian mengukuhkan stigma masyarakat Tionghoa sebagai orang asing dan memperburuk relasi dengan orang-orang lokal. Stigma ini kemudian berlanjut pasca-Indonesia merdeka. Saat pemerintahan Orde Lama, masyarakat Tionghoa menjadi sasaran program asimilasi dan integrasi oleh Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa karena loyalitas dan nasionalisme mereka diragukan.
Pada masa Orde baru, proses asimiliasi kian digencarkan. Identitas ketionghoaan dianggap sebagai masalah dan masyarakat Tionghoa dipaksa untuk melepaskan identitas tersebut. Salah satu yang paling kentara adalah soal nama. Pada tahun 1968, Gereja THKTKH mengubah namanya menjadi Gereja Kristus Tuhan (GKT). Menurut Suryadinata, perubahan nama ini justru dianggap sebagai cara paling efektif untuk mempertahankan kebudayaan Tionghoa mereka. Seiring penutupan sekolah-sekolah berbahasa Mandarin, satu-satunya tempat masyarakat Tionghoa Surabaya relatif leluasa berbahasa etnik adalah di gereja yang kegiatan peribadatannya menggunakan bahasa Mandarin. Semenjak tahun 1970-an, pelayanan ibadat mulai menggunakan dwibahasa dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa terjemah. Pada tahun-tahun itu juga, mulai dibuka kelas alkitab dengan bahasa Mandarin khusus untuk jemaat gereja. Lalu, pada tahun 1976, GTK ini telah menjadi dua sinode independen, yaitu Gereja Kristus Tuhan (GKT) dan Gereja Kristen Abdiel (GKA) karena konflik internal.
Dinamika tersebut menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah berperan besar dalam konstruksi identitas masyarakat Tionghoa Kristen. Meski pemerintah seolah memberikan ruang ekspresi, masyarakat Tionghoa Kristen tidak pernah benar-benar dapat menjadi diri mereka. Mereka dipaksa untuk memilih di antara pilihan-pilihan yang disediakan oleh pemerintah, baik secara individu maupun komunal.
Di sisi lain, alih-alih bersifat homogen seperti yang kerap disangka, Linda Bustan menunjukkan bahwa masyarakat Tionghoa adalah masyarakat yang cukup heterogen bahkan dalam satu lingkungan gereja berbahasa Mandarin yang menjadi subyek penelitiannya. Heterogenitas ini di antaranya tampak dari identifikasi ketionghoaan yang berbeda di tiap generasi. Generasi pertama yang datang langsung dari Tionghoa daratan—sering disebut sebagai Tionghoa Totok—memiliki identitas ketionghoaan yang sangat kuat, baik dari segi hubungan darah, pernikahan, maupun bahasa sehari-hari. Generasi kedua terdiri dari masyarakat Tionghoa dan keturunan Tionghoa yang lahir di Nusantara. Generasi kedua ini sering disebut sebagai peranakan Tionghoa. Akan tetapi, menurut temuan Bustan, sebagian dari generasi kedua ini juga mengidentifikasi diri mereka sebagai Totok karena mereka merasa mengetahui dan mengenal akar keluarga mereka di Tionghoa daratan. Mereka sehari-hari juga fasih berbahasa Mandarin. Sementara generasi ketiga sebagian besar mengidentifikasi diri sebagai Tionghoa Indonesia karena lahir, besar, dan sehari-hari menggunakan bahasa Indonesia.
Pembentukan identitas dan eksistensi Tionghoa Kristen di Surabaya ini tidak dapat dipisahkan dari keberadaan gereja berbahasa Mandarin. Gereja tidak hanya berperan sebagai ruang interaksi antargenerasi, tetapi juga ruang negosiasi bagi generasi Tionghoa Kristen tersebut. Salah satunya dalam aspek pernikahan. Generasi yang lebih tua berargumen bahwa pasangan harus berasal dari latar belakang etnis Tionghoa yang sama, sedangkan generasi muda tidak lagi memandang hal tersebut sebagai sesuatu yang penting dan lebih menekankan kecocokan kepribadian pasangan dengan dirinya. Akan tetapi, pernikahan di kalangan Tionghoa tidak dapat berlanjut tanpa restu orang tua. Di sinilah kemudian peran gereja menjadi penting. Berdasarkan hasil wawancara dengan pimpinan gereja dan jemaat, Bustan menyimpulkan pimpinan gereja seringkali bertindak sebagai mediator antara dua generasi ini. Kepada generasi muda, pimpinan gereja memberi pemahaman bahwa menikah bukan hanya soal kecocokan kepribadian melainkan juga kesamaan tujuan dan pandangan. Sementara kepada generasi yang lebih tua, pimpinan gereja membantu menyampaikan bagaimana generasi muda berpikir tentang diri mereka dan keberadaan identitas mereka.
Saat sesi diskusi, salah seorang peserta bertanya bagaimana orang Tionghoa Kristen menghadapi sentimen anti-Cina akibat agenda politik pemerintah dan bagaimana mereka mempertahankan identitas ketionghoaannya setelah berpindah agama? Menurut Linda, kegagalan proses aslimilasi yang dipaksakan oleh pemerintah berdampak besar pada etnis Tionghoa di Indonesia. Penutupan sekolah berbahasa Mandarin, pelarangan organisasi berbasis etnik, serta berbagai ekspresi budaya Tionghoa di ruang publik semakin meminggirkan masyarakat etnik Tionghoa yang pada akhirnya memengaruhi bagaimana mereka memahami identitas ketionghoaan mereka.
Salah satu kasus menarik yang ditengarai Linda Bustan adalah saat perayaan Imlek oleh komunitas Tionghoa Kristen di gereja berbahasa Mandarin. Komunitas Tionghoa Kristen memaknai Imlek dengan cara yang berbeda dengan tradisi Tionghoa pendahulunya. Imlek dimaknai sebagai bentuk terima kasih kepada Tuhan dan sebagai doa agar Tuhan memberkati mereka untuk tahun berikutnya. Saat Imlek, mereka datang ke gereja dengan pakaian berwarna merah sebagai perlambang kebahagiaan dan perayaan karena merah telah menjadi warna identitas bagi masyarakat Tionghoa.
Kasus lain yang juga menarik adalah saat perayaan Cheng Beng atau ziarah makam. Dalam tradisi Tionghoa yang banyak dipengaruhi oleh Konfusianisme, Cheng Beng merupakan salah satu praktik penting untuk menunjukkan bakti kepada leluhur atau orang tua. Konsep ini telah melekat dan menjadi salah identitas penting masyarakat Tionghoa. Akan tetapi, praktik ini dalam tradisi kekristenan pada umumnya bisa dianggap sebagai sebuah sinkretisme. Karenanya, masyarakat Tionghoa Kristen di Surabaya memaknai dan melaksanakan Cheng Beng dengan cara yang berbeda. Mereka tidak menggunakan dupa sebagai alat sembahyang tetapi berdoa dengan cara Kristen. Doanya pun bukan dialamatkan kepada para leluhur, melainkan kepada Tuhan. Praktik Cheng Beng dilestarikan sebagai upaya agar para anak cucu mereka mengenal leluhur dan akar tradisinya. Linda Bustan menyebut hal ini sebagai hybrid-identity ‘identitas hibrida’, mengakomodasi praktik lama dengan memberi makna baru.
Di akhir presentasinya, lulusan ICRS ini menyampaikan bahwa pembentukan identitas dalam masyarakat ini merupakan sebuah proses yang tengah dan akan terus berlangsung. Konstruksi identitas ini lahir dari proses interaksi dan identifikasi, tak terkecuali identitas yang kita miliki hari ini. “Kita terus dan terus membangun identitas kita sampai hari terakhir hidup kita,” pungkasnya.
_______________________
Ihsan Kamaludin adalah Mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2020. Baca tulisan Kamal lainnya di sini.
Foto tajuk artikel ini oleh hiomerah
Rekaman Wednesday Forum “The Construction on Chinese Christian Identities in the Mandarin-speaking Churches in Surabaya” oleh Linda Bustan
Membaca suatu pengantar yang mengiklankan tautan web ini, memunculkan seberkas pertanyaan: bagaimana adaptasi dalam menyintas keterkucilan itu? Namun, di sisi lain membaca teks di halaman web ini juga memunculkan pertanyaan: Bagaimana suatu kewarganegaraan itu lahir? Apakah jika tidak mempunyai kewarganegaraan berarti tidak boleh tinggal di suatu negara yang dia tidak pula mengantongi status sebagai warga negara di situ? Atau, apakah sebetulnya “asimilasi” itu merupakan paksaan atau sebetulnya alternatif metode mengenai bagaimana cara seseorang dengan ras berbeda hendak merawat hubungan dengan sesama lain dari suatu permukiman masyarakat yang sangat jarang menjumpai sesuatu yang berbeda dari keadaannya? Atau, bahkan barangkali makna asimilasi pun tak dapat dipahami orang awam sebagai bentuk kerendahhatian misalnya, tetapi aparat pun mengartikan hal itu sebagai suatu bentuk hegemoni kekuasaan negara atas masyarakat “asing”, di luar yang umum atau mayoritas? Atau, apakah itu juga menunjukkan bahwa perkembangan studi etnografi ataupun antropologi kurang berhasil dalam menjadi acuan pembangunan makna “kebangsaan” dalam suatu negara yang bernama Indonesia?