Terciptanya Relasi dan Dialog Antaragama di Ruang ICU Covid-19
Dian Nuri Ningtyas – 09 Maret 2022
Ruang ICU Covid-19 yang mulanya sebatas ruang perawatan kini bertransformasi menjadi ruang suci tempat dialog antaragama terjadi. Paramedis di sana merupakan agen yang mentransformasi ruang tersebut atas dorongan solidaritas dan empati.
Demikian ungkap Izak Y.M. Lattu, dosen Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), dalam presentasi Wednesday Forum sore itu (23/02) yang bertajuk “Covid-19 and Interreligious Sacred Space in Hospital ICU Room : An Autoethnography Approach”. Presentasi tersebut beranjak dari refleksi pribadinya selama menjalani perawatan di ICU Covid-19 di Rumah Sakit dr. Karyadi, Semarang, sebuah rumah sakit umum milik pemerintah. Refleksi ini ia tuangkan juga dalam sebuah buku Memoar Covid-19, Catatan Autoetnografi Antarbenua. Izak menulis memoarnya ini sebagai seorang penyintas Covid-19 di kala awal merebaknya pandemi di Indonesia. Saat itu, belum banyak upaya yang bisa dilakukan oleh rumah sakit sehingga tingkat kematian sangat tinggi, hampir mencapai 75%.
ICU yang Bertransformasi Menjadi Ruang Dialog Antaragama
Izak mengamati, sebelum Covid-19 rumah sakit menjadi tempat yang komersil. Jika seseorang ingin mendapatkan pelayanan terbaik, maka ia harus membayar mahal. Kenyataan ini dapat kita lihat dari konsep kelas perawatan di rumah sakit yang merupakan warisan dari kolonial. Namun, selama pandemi konsep kelas perawatan ini dihapuskan. Dokter dan perawat yang merawat pasien Covid-19 adalah mereka yang terbaik di bidangnya. Mereka merawat dengan pasien penuh perhatian, apa pun latar belakangnya.
Sebelum masuk ke ruang pasien, para dokter dan perawat biasanya mendaraskan doa bersama berdasarkan agama dan keyakinan masing-masing. Sebelumnya, kebiasaan ini jarang dilakukan. Doa tersebut dilakukan di ruang tunggu (anteroom) yang sama sebelum masuk ke ruang pasien. Ruang yang mulanya adalah ruang biasa kini akhirnya berubah menjadi ruang yang sakral. Ruang itulah yang kemudian disebut Izak sebagai “ante-sacred-sphere”. Ruang yang tadinya berupa bangunan material semata berubah menjadi ruang suci tempat terjadi dialog antaragama. Hal ini sejalan dengan pendapat Henri Lefebvre (1991) yang beranggapan bahwa ruang merupakan tempat hidup yang tidak lagi dianggap sebagai suatu yang terberi (given). Ruang dimaknai sebagai tempat terjadinya interaksi sosial yang bergerak dinamis menyesuaikan aktor-aktor di dalamnya. Bagi Lefebvre, ruang adalah produk sekaligus proses dari relasi sosial itu sendiri. Dalam hal ini, ruang biasa bertransformasi menjadi ruang terjadinya dialog antaragama.
Dialog dalam bentuk lain juga tampak pada penanganan pasien dengan kondisi yang berat, seperti yang dialami Izak. Dalam kondisi ini, ketika para pemuka agama tidak dapat masuk ke ruang Intensive Care Unit (ICU). Tugas itu diambil alih oleh paramedis. Mereka memberi bantuan dalam bentuk mendaraskan doa ataupun menuntun para pasien untuk berdoa, apa pun agama mereka. Izak mengulas lebih lanjut pengalaman ini dalam subbab “Pendoa Berjilbab” di bukunya. Di sini, Izac ingin mengelaborasi tulisan O’Collins (2008) dalam Salvation for all: God’s Other Peoples yang mengakui kekuatan universal dan kehadiran kebijaksanaan ilahi dalam kehidupan orang-orang yang menganut agama berbeda dan percaya akan keselamatan-Nya. Hal ini tercermin dalam pengalaman Izak saat menerima doa untuk kesembuhannya dari Sunia, seorang perawat yang berlatar belakang muslim. Bagi Izak, saat itu Sunia tidak sekadar menjadi perawat, tetapi sosoknya bertransformasi menjadi seorang pastor yang membantunya berdoa. Sebagai seorang Kristen, Izak percaya akan mendapat keselamatan dari Allah. Izak kemudian dengan sadar mengubah doa tersebut ke dalam bahasa doa yang universal dan kemudian ditransformasikan ke dalam keyakinan kristiani.
Dalam kondisi kritis di ruang ICU, para pasien Covid-19 mengalami ketakutan dan kecemasan. Karenanya, paramedis tak hanya memberikan perawatan medis, tetapi juga membantu pasien secara spiritual. Ketika merawat pasien yang berbeda agama, paramedis akan menggunakan doa dengan bahasa yang universal. Dalam situasi ini, paramedis merupakan agen yang dapat memediasi hubungan pasien dengan Yang ilahi. Menurut Izak, sikap ini dapat membangun keterlibatan sosial yang timbal balik (social mutual engagement) bagi Indonesia yang memiliki beragam budaya dan agama. Mereka bekerja, merawat, dan berdoa untuk para pasien apa pun latar belakangnya. Dengan kata lain, melalui relasi antara paramedis dan pasien di ruang ICU inilah sisi pembangunan keterlibatan sosial pada level mikro tampak nyata. Apa yang terjadi di ruang ICU seolah menampik berbagai isu agama terkait Covid-19. Pada awal pandemi, Covid-19 banyak dikaitkan dengan latar belakang agama seperti “hanya orang dengan agama tertentu yang akan terinveksi Covid-19”. Bahkan, Covid-19 menjadi komoditas politik bagi segelintir elite politik.
Dalam sesi diskusi, beberapa pertanyaan menarik terlontar. Dr. Leonard Chrysostomos Epafras, dari ICRS, menyoal apakah pengalaman ICU sebagai ruang suci ini sangat dipengaruhi oleh latar belakang Izak sebagai dosen yang biasa bergulat di dialog antaragama. Karenanya, ruang-ruang tersebut dengan mudah dipersepsikan menjadi ruang suci dialog antaragama. Izak mengamini bahwa latar belakang pengetahuan dan pemahamannya tentang dialog antaragama sangat membantu dalam menginterpretasikan situasi yang terjadi di ruang perawatan Covid-19 pada waktu itu. Namun demikian, data lain yang ia peroleh dari wawancara dengan pasien Covid lainnya serta dua dokter yang bertugas di ruang perawatan Covid-19 menunjukan hal serupa. Mereka juga memiliki pengalaman relasi antaragama meski dalam kadar yang berbeda. Proses tumbuhnya sikap saling menghormati dan percaya di ICU Covid-19 ini merupakan pengejawantahan inklusivitas dan penerimaan atas perbedaan. Di sisi lain, tambah Izak, sikap ini juga merupakan penghormatan kepada kemanusiaan, terlepas apa pun latar belakang dan identitasnya.
Tanggapan menarik lainnya datang dari Abdillah yang bertanya tentang metode penelitian dalam kasus ini: Apa yang membedakan metode penelitian ini dengan otobiografi dan mengapa Izak menyebutnya sebagai otoetnografi? Izak menekankan bahwa metode yang ia gunakan lebih mengarah kepada berbagi pengalaman dengan menambahkan pengalaman beberapa petugas medis yang bertugas di beberapa kota, antara lain Semarang, Ambon, dan Sumba. Sebagai pasien Covid-19, Izak terlibat dan berelasi langsung dengan paramedis yang menjadi informan penelitianya. Menariknya, data yang ia dapat rupanya menemukan banyak kesamaan dengan yang dialami Izak, utamanya soal relasi antaragama di ruang ICU. Komparasi dan penautan inilah yang membedakan dengan otobiografi. “Tanpa data-data tersebut, maka penelitian ini hanya menjadi otobiografi,” jelas Izak.
_______________________
Dian Nuri Ningtyas adalah Mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2020. Baca tulisan Dian lainnya di sini.
Foto tajuk artikel ini oleh Halfpoint Images
Rekaman Wednesday Forum “Covid-19 and Interreligious Sacred Space in Hospitas ICU Room : An Autoethnography Approach” oleh Izak Y.M. Lattu