• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • Home
  • About Us
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members
      • Visiting Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Admission
    • Courses
    • Schedule
    • Scholarship
    • Accreditation
    • Student Service
    • Survey
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Activities
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Research
      • Overview
      • Resource Center
    • Community Service
      • Wednesday Forum
    • International Events
      • ICIR
      • Interfaith Mediation
      • IGSSCI
    • Student Achievements
  • Beranda
  • Wednesday Forum Report
  • Terciptanya Relasi dan Dialog Antaragama di Ruang ICU Covid-19

Terciptanya Relasi dan Dialog Antaragama di Ruang ICU Covid-19

  • Wednesday Forum Report
  • 9 March 2022, 19.58
  • Oleh: crcs ugm
  • 0

Terciptanya Relasi dan Dialog Antaragama di Ruang ICU Covid-19

Dian Nuri Ningtyas – 09 Maret 2022

Ruang ICU Covid-19 yang mulanya sebatas ruang perawatan kini bertransformasi menjadi ruang suci tempat dialog antaragama terjadi. Paramedis di sana merupakan agen yang mentransformasi ruang tersebut atas dorongan solidaritas dan empati.

Demikian ungkap Izak Y.M. Lattu, dosen Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), dalam presentasi Wednesday Forum sore itu (23/02) yang bertajuk “Covid-19 and Interreligious Sacred Space in Hospital ICU Room : An Autoethnography Approach”. Presentasi tersebut beranjak dari refleksi pribadinya selama menjalani perawatan di ICU Covid-19 di Rumah Sakit  dr. Karyadi, Semarang, sebuah rumah sakit  umum milik pemerintah. Refleksi ini ia tuangkan juga dalam sebuah buku Memoar Covid-19, Catatan Autoetnografi Antarbenua. Izak menulis memoarnya ini sebagai seorang penyintas Covid-19 di kala awal merebaknya pandemi di Indonesia. Saat itu, belum banyak upaya yang bisa dilakukan oleh rumah sakit sehingga tingkat kematian sangat tinggi, hampir mencapai 75%.

ICU yang Bertransformasi Menjadi Ruang Dialog Antaragama

Izak mengamati, sebelum Covid-19 rumah sakit menjadi tempat yang komersil. Jika seseorang ingin mendapatkan pelayanan terbaik, maka ia harus membayar mahal. Kenyataan ini dapat kita lihat dari konsep kelas perawatan di rumah sakit yang merupakan warisan dari kolonial. Namun, selama pandemi konsep kelas perawatan ini dihapuskan. Dokter dan perawat yang merawat pasien Covid-19 adalah mereka yang terbaik di bidangnya. Mereka merawat dengan pasien penuh perhatian, apa pun latar belakangnya.

Sebelum masuk ke ruang pasien, para dokter dan perawat biasanya mendaraskan doa bersama berdasarkan agama dan keyakinan masing-masing. Sebelumnya, kebiasaan ini jarang dilakukan. Doa tersebut dilakukan di ruang tunggu (anteroom) yang sama sebelum masuk ke ruang pasien. Ruang yang mulanya adalah ruang biasa kini akhirnya berubah menjadi ruang yang sakral. Ruang itulah yang kemudian disebut Izak sebagai “ante-sacred-sphere”. Ruang yang tadinya berupa bangunan material semata berubah menjadi ruang suci tempat terjadi dialog antaragama. Hal ini sejalan dengan pendapat Henri Lefebvre (1991) yang beranggapan bahwa ruang merupakan tempat hidup yang tidak lagi dianggap sebagai suatu yang terberi (given). Ruang dimaknai sebagai tempat terjadinya interaksi sosial yang bergerak dinamis menyesuaikan aktor-aktor di dalamnya. Bagi Lefebvre, ruang adalah produk sekaligus proses dari relasi sosial itu sendiri. Dalam hal ini, ruang biasa bertransformasi menjadi ruang terjadinya dialog antaragama.

Dialog dalam bentuk lain juga tampak pada penanganan pasien dengan kondisi yang berat, seperti yang dialami Izak. Dalam kondisi ini, ketika para pemuka agama tidak dapat masuk ke ruang Intensive Care Unit (ICU). Tugas itu diambil alih oleh paramedis. Mereka memberi bantuan dalam bentuk mendaraskan doa ataupun menuntun para pasien untuk berdoa, apa pun agama mereka. Izak mengulas lebih lanjut pengalaman ini dalam subbab “Pendoa Berjilbab” di bukunya. Di sini, Izac ingin mengelaborasi tulisan O’Collins (2008) dalam Salvation for all: God’s Other Peoples yang mengakui kekuatan universal dan kehadiran kebijaksanaan ilahi dalam kehidupan orang-orang yang menganut agama berbeda dan percaya akan keselamatan-Nya. Hal ini  tercermin dalam pengalaman Izak saat menerima doa  untuk kesembuhannya dari Sunia, seorang perawat yang berlatar belakang muslim. Bagi Izak, saat itu Sunia tidak sekadar menjadi perawat, tetapi sosoknya bertransformasi menjadi seorang pastor yang membantunya berdoa. Sebagai seorang Kristen, Izak percaya akan mendapat keselamatan dari Allah. Izak kemudian dengan sadar mengubah doa tersebut ke dalam bahasa doa yang universal dan kemudian ditransformasikan ke dalam keyakinan kristiani.

Dalam kondisi kritis di ruang ICU, para pasien Covid-19 mengalami ketakutan dan kecemasan. Karenanya, paramedis tak hanya memberikan perawatan medis, tetapi  juga membantu pasien secara spiritual. Ketika merawat pasien yang berbeda agama, paramedis akan menggunakan doa dengan bahasa yang universal. Dalam situasi ini, paramedis merupakan agen yang dapat memediasi hubungan pasien dengan Yang ilahi. Menurut Izak, sikap ini dapat membangun keterlibatan sosial yang timbal balik (social mutual engagement) bagi Indonesia yang memiliki beragam budaya dan agama. Mereka bekerja, merawat, dan berdoa untuk para pasien apa pun latar belakangnya. Dengan kata lain, melalui relasi antara paramedis dan pasien di ruang ICU inilah sisi pembangunan keterlibatan sosial pada level mikro tampak nyata. Apa yang terjadi di ruang ICU seolah menampik berbagai isu agama terkait Covid-19. Pada awal pandemi, Covid-19 banyak dikaitkan dengan latar belakang agama seperti “hanya orang dengan agama tertentu yang akan terinveksi Covid-19”. Bahkan, Covid-19 menjadi komoditas politik bagi segelintir elite politik.

Dalam sesi diskusi, beberapa pertanyaan menarik terlontar. Dr. Leonard Chrysostomos Epafras, dari ICRS, menyoal apakah pengalaman ICU sebagai ruang suci ini sangat dipengaruhi oleh latar belakang Izak sebagai dosen yang biasa bergulat di dialog antaragama. Karenanya, ruang-ruang tersebut dengan mudah dipersepsikan menjadi ruang suci dialog antaragama. Izak mengamini bahwa latar belakang pengetahuan dan pemahamannya tentang dialog antaragama sangat membantu dalam menginterpretasikan situasi yang terjadi di ruang perawatan Covid-19 pada waktu itu. Namun demikian, data lain yang ia peroleh dari wawancara dengan pasien Covid lainnya serta dua dokter yang bertugas di ruang perawatan Covid-19 menunjukan hal serupa. Mereka juga memiliki pengalaman relasi antaragama meski dalam kadar yang berbeda. Proses tumbuhnya sikap saling menghormati dan percaya di ICU Covid-19 ini merupakan pengejawantahan inklusivitas dan penerimaan atas perbedaan. Di sisi lain, tambah Izak, sikap ini juga merupakan penghormatan kepada kemanusiaan, terlepas apa pun latar belakang dan identitasnya.

Tanggapan menarik lainnya datang dari Abdillah yang bertanya tentang metode penelitian dalam kasus ini: Apa yang membedakan metode penelitian ini dengan otobiografi dan mengapa Izak menyebutnya sebagai otoetnografi? Izak menekankan bahwa metode yang ia gunakan lebih mengarah kepada berbagi pengalaman dengan menambahkan pengalaman beberapa petugas medis yang bertugas di beberapa kota, antara lain Semarang, Ambon, dan Sumba. Sebagai pasien Covid-19, Izak terlibat dan berelasi langsung dengan paramedis yang menjadi informan penelitianya. Menariknya, data yang  ia dapat rupanya menemukan banyak kesamaan dengan yang dialami Izak, utamanya soal relasi antaragama di ruang ICU. Komparasi dan penautan inilah yang membedakan dengan otobiografi. “Tanpa data-data tersebut, maka penelitian ini hanya menjadi otobiografi,” jelas Izak.

_______________________

Dian Nuri Ningtyas adalah Mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2020. Baca tulisan Dian lainnya di sini.

Foto tajuk artikel ini oleh Halfpoint Images

Rekaman Wednesday Forum “Covid-19 and Interreligious Sacred Space in Hospitas ICU Room : An Autoethnography Approach” oleh Izak Y.M. Lattu

Tags: covid-19 dian nuri ningtyas

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Facebook

Facebook Pagelike Widget

Instagram

Seperti kematian yang seolah datang tiba-tiba di p Seperti kematian yang seolah datang tiba-tiba di penghujung kehidupan, tak terasa #fkd2002 Juni spesial edisi kematian telah sampai di edisi keempat.

Sebagai pemungkas, mari kita merayakan kematian bersama rekan dari Mamasan dan Toraja. Malam Jumat, malamnya penghayat dan masyarakat adat.
Pernah dengar lagu "Nderek Dewi Maria"? Bagi saya Pernah dengar lagu "Nderek Dewi Maria"?

Bagi saya, lagu ini begitu menggetarkan kalbu. Sampai-sampai saya kadang lupa bahwa tembang Jawa ini adalah lagu Nasrani tentang sosok yang lahir ratusan tahun lalu di belahan Bumi lain nan jauh di sana.

Karenanya, jika hanya mengenal kekristenan lewat tembang tersebut, agak sukar dipercaya jikalau relasi antara gereja dan agama leluhur di Nusantara ternyata penuh pergumulan dan gejolak. Pergumulan yang pada akhirnya melahirkan teologi kontekstual atau inkulturasi.

Simak tilikan yang sekaligus menjadi renungan kritis tentang relasi gereja dan agama leluhur oleh teolog muda @vikry_reinaldo di situs web crcs ugm.
Masih ingat perdebatan seru nan kocak antara Amber Masih ingat perdebatan seru nan kocak antara Amber Heard dan pengacara Camille Vasquez di persidangan Johnny Depp?

Dari situ kita melihat betapa dahsyatnya efek dari pemilihan kata yang tepat. Pun dengan pemberitaan di media massa kita. 

Kata bukanlah sekadar susunan huruf dengan makna ala kadarnya. Di sana, tersimpan rapi sebuah ideologi yang mapan dan tidak bebas nilai. Ia punya kuasa untuk menundukkan objek, ataupun menyanjung subjek hingga ke langit. 

Simak tulisan apik @harisfatwa_ tentang narasi pemberitaan di media siber lokal tentang isu keagamaan kita hari ini. Hanya di situs web crcs ugm.
Apakah Islam mengakui adanya pemisahan antara agam Apakah Islam mengakui adanya pemisahan antara agama dan negara? Bagaimana hubungan Islam dan negara telah bertransformasi sejak dulu hingga saat ini? 

Dalam menjawab wawancara ini, Kuru mengacu kepada buku terbarunya, 𝙄𝙨𝙡𝙖𝙢, 𝙊𝙩𝙤𝙧𝙞𝙩𝙖𝙧𝙞𝙖𝙣𝙞𝙨𝙢𝙚, 𝙙𝙖𝙣 𝙆𝙚𝙩𝙚𝙧𝙩𝙞𝙣𝙜𝙜𝙖𝙡𝙖𝙣: 𝙋𝙚𝙧𝙗𝙖𝙣𝙙𝙞𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙇𝙞𝙣𝙩𝙖𝙨 𝙅𝙖𝙢𝙖𝙣 𝙙𝙖𝙣 𝙆𝙖𝙬𝙖𝙨𝙖𝙣 𝙙𝙞 𝘿𝙪𝙣𝙞𝙖 𝙈𝙪𝙨𝙡𝙞𝙢 (KPG, 2020) sekaligus lima judul buku yang menjadi rujukan utama tentang topik “Islam dan negara”.

Simak wawancara lengkap @dr_ahmettkuru bersama @isofyanabbas di situs web crcs ugm.
load more... @crcs_ugm

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, Floors 3-4
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY