
Sebagai daerah khusus yang memiliki hukum tersendiri, integrasi KUHP 2023 dan qanun diperlukan untuk menjaga kebebasan beragama atau berkeyakinan (KBB) di Aceh.
KUHP 2023 memuat peraturan terbaru terkait kebebasan beragama atau berkeyakinan dalam pasal 300 hingga 305. Pasal-pasal ini dirangkum dalam dua bagian, yakni Bagian I tentang Tindak Pidana terhadap Agama dan Kepercayaan dan Bagian II tentang Tindak Pidana Terhadap Kehidupan Beragama atau Kepercayaan dan Sarana Ibadah.
Meski akan berlaku pada 2026, pembahasan KBB di Indonesia menjadi topik yang diperdebatkan, terutama aspek keadilannya. Oleh karena itu, CRCS UGM dan ISFoRB bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (FH USK) memperdalam regulasi tersebut dalam “Seminar Nasional Tindak Pidana Terhadap Agama, Kepercayaan, dan Kehidupan Beragama atau Kepercayaan UU No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana” di Aula Fakultas Hukum USK (11/02).
KUHP yang sekarang masih berlaku di Indonesia bersumber dari hukum kolonial Belanda (wetboek van strafrecht). Seiring waktu, praktik hukumnya tidak lagi sesuai dengan kondisi Indonesia yang telah merdeka. Guru Besar Hukum Pidana USK Rizanizarli menjelaskan, pembaruan hukum nasional dapat dilihat dari aspek, yakni politis, sosiologis, dan praktis. Artinya, dalam pembaharuan hukum pidana tidak hanya menggantinya dari produk kolonial menjadi produk nasional, tetapi juga harus sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat luas.
“Pembaharuan sistem hukum tidak hanya struktur, substansi, dan kultur, tetapi terkait dengan sistem politik, ekonomi atau struktur sosial, kekerabatan, dan religi yang tidak terpisahkan dengan masyarakat. Jadi, kita sangat ingin nantinya masyarakat memahami kebebasan agama dan berkeyakinan yang berkaitan dengan religi yang tidak terpisahkan dari masyarakat,” tuturnya.
Namun, kemunculan KUHP 2023 masih mengundang perdebatan. Bagi kalangan yang mendukung, KUHP 2023 dapat memberikan perlindungan terhadap KBB. Sementara kalangan yang mengkritisi memandang bahwa pasal-pasal mengenai KBB tersebut berpotensi melanggar ruang pribadi warga. KUHP seharusnya berpusat pada perlindungan penganut alih-alih perlindungan subjek agama dan kepercayaan.
Supaya mendukung KBB, Nella Sumika Putri dari ISFoRB menyarankan perlunya buku ajar dan penafsiran sebagai pedoman perkara KUHP 2023. Sebagai upaya reformasi hukum, KUHP baru sebenarnya adalah langkah progresif dengan tujuan memantapkan penghormatan dan penghargaan HAM. Akan tetapi, terdapat perubahan dari KUHP lama yang sebelumnya dianggap sebagai perkara norma menjadi pelanggaran pidana dalam KUHP baru.
“Ada konsekuensi logis juga yang ditimbulkan dari perubahan ini, sehingga yang awalnya kita anggap sebagai tindak pidana ringan, sekarang sudah dinaikkan levelnya, bahkan menjadi kejahatan yang berdampak pada sanksi pidana yang harus dijatuhkan,” terang Nella.
Pedoman ajar dan penafsiran ini menekankan fungsi KUHP sebagaimana mestinya, yakni ultimum remedium (upaya terakhir dalam penegakkan hukum) dalam menyelesaikan perkara terkait agama atau kepercayaan. Dengan demikian, pembatasan dalam konteks sanksi pidana harus dilakukan secara proporsional sebagai perlindungan masyarakat dalam mengekspresikan dan menjalankan ibadahnya.
Kontekstualisasi KUHP 2023 di Aceh
Aceh memiliki keistimewaan untuk menjalankan hukumnya sendiri, yakni qanun. KUHP 2023 mengakui kekuatan qanun sebagai living law di Aceh sebagai dasar hukum pidana lokal. Meski berlandaskan pada syariat Islam, Qanun No. 8 tahun 2014 menyatakan bahwa pemerintah menjamin, melindungi, dan menghormati KBB. Lebih lanjut, Qanun Aceh No. 4 tahun 2016 tentang Pedoman Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Tempat Ibadah memberikan tanggung jawab kepada pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota untuk memelihara kerukunan umat beragama.
Pelaksana tugas Kejaksaan Tinggi Aceh Muhibuddin mengatakan bahwa qanun hanya mengatur umat Islam menjalankan hukum berdasarkan syariat. Sementara, nonmuslim yang tinggal di Acehhanya memiliki kewajiban menghormati qanun sebagai hukum yang berlaku untuk kalangan muslim.
“Para pendiri bangsa ini menciptakan bahwa kita harus mengatur hak-hak beragama yang tidak melanggar hak-hak beragama orang lain. Sebagai jaksa penegak hukum, maka kami bergerak menerapkan hukum yang sudah negara bentuk di dalam suatu legislasi. Tidak boleh jaksa itu menafsirkan mati pasal undang-undang karena (jaksa) dididik untuk menjadi sarjana hukum, yang melihat dari tiga aspek: sosiologis, filosofis, dan yuridis,” terang Muhibuddin.
Rasyidah, Presidium Balai Syura Ureung Inong Aceh dan pengajar UIN Ar-Raniry, membahas peran perempuan dalam implementasi pasal 300–305 KUHP dengan keragaman lokalitas Aceh. Rasyidah menjelaskan bahwa perempuan nonmuslim Aceh memiliki keterbatasan ruang saat menghadapi kekerasan rumah tangga. Hal ini menimbulkan perdebatan dalam upaya advokasi posisi perempuan nonmuslim di lingkungan keluarga.
Dengan tantangan seperti ini, Rasyidah mengajak agar kelompok perempuan, seperti majelis taklim, PKK, dan Balai Syura Ureung Inong Aceh lainnya, turut terlibat dalam upaya advokasi permasalahan pidana. Kelompok seperti ini harus inklusif dan menjadi wadah interaksinya masyarakat antaragama atau berkeyakinan.
“Satu-satunya sekolah yang mencerdaskan perempuan di masyarakat itu adalah majelis taklimnya. Tidak ada sekolah lain yang mencerdaskan kaum ibu di masyarakat,” terang Rasyidah. “Gerakan perempuan Aceh yang melembaga menjadi pembuka keran keterlibatan perempuan dari lintas agama di ragam gerakan perempuan atas nama pemenuhan hak perempuan di Aceh.”
Namun, pendekatan kelompok gerakan perempuan perlu diperhatikan dengan hati-hati. Jika tidak dikelola dengan baik, kelompok gerakan bisa menjadi ancaman dalam isu harmoni antarkelompok umat beragama atau berkeyakinan.
______________________
Afkar Aristoteles Mukhaer adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2024. Baca tulisan Afkar lainnya di sini.
Artikel ini merupakan salah satu usaha CRCS UGM untuk mendukung SDGs nomor 4 tentang Pendidikan Berkualitas dan nomor 16 tentang Perdamaian, Keadilan, dan Pelembagaan yang Tangguh.