• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Berita
  • Menuju KUHP Baru, Ancaman atau Harapan?

Menuju KUHP Baru, Ancaman atau Harapan?

  • Berita, News
  • 7 March 2025, 12.08
  • Oleh: crcs ugm
  • 0

Meski diwanti-wanti sebagai kemajuan setengah jalan, KUHP 2023 menjanjikan terbuka luasnya ruang tafsir untuk melindungi hak beragama dan berkeyakinan.

Kompleksitas tafsir KUHP 2023 ini mengemuka pada Seminar Nasional bertajuk “Tindak Pidana Terhadap Agama, Kepercayaan dan Kehidupan Beragama atau Kepercayaan UU No 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana” (4/2) yang digelar CRCS dan ISFORB, bekerja sama dengan Fakultas Syariah dan Hukum dan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Alaudin Makassar

Dr. Al Khanif, dari ISFORB mengantarkan diskusi dengan uraian konteks dinamika pembaharuan KUHP yang berlangsung sejak Indonesia merdeka. Penulis buku Religious Minorities, Islam and the Law (2021) ini memaparkan bagaimana politik agama di Indonesia sejak semula sangat santer memengaruhi perumusan delik agama. Khanif menyebut Omar Seno Aji, pakar hukum otoritatif di era Orde Lama, yang menganggap agama sebagai bagian dari ketertiban umum sehingga negara harus melindunginya dari tindak kejahatan demi ketenteraman dalam beragama sebagai bagian dari kepentingan hukum. Pergeseran rumusan tindak kejahatan terhadap agama dan kehidupan beragama atau berkeyakinan dalam KUHP 2023 berhutang pada pandangan Barda Nawawi Arief. Barda membedakan delik agama menjadi tiga; (1) tindak pidana terhadap agama; (2) tindak pidana terhadap kehidupan beragama; (3) tindak pidana terhadap golongan penduduk berdasarkan agama. “Dari rumusan Barda ini lah kemudian muncul pergeseran rumusan tindak pidana, dari tindak pidana penistaan agama tindak pidana terhadap agama dan kehidupan beragama atau berkeyakinan,” ujarnya.

Komitmen terhadap Hak Asasi manusia dalam KUHP yang baru ini tidak saja membawa angin kemajuan hukum pidana terhadap agama atau kepercayaan di Indonesia. Sebagai produk hukum yang sarat akan kemungkinan-kemungkinan penafsiran, KUHP 2023 khususnya pasal 300 sampai 305 menyimpan problem praktik pemberlakuan. Hal ini diungkapkan oleh pemateri kedua, Siti Nurhidayah, S.H. M.H., selaku koordinator Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan. Menurut fungsinya, Jaksa bertanggung jawab untuk membuktikan tindak pidana terhadap agama sesuai KUHP yang berlaku. Dengan perspektif jaksa selaku penuntut umum, Nurhidayah merinci enam pasal delik agama itu dan memformulasikan sebanyak 16 delik yang menjadi patokan dalam mereview tindak pidana agama.

Kompleksitas penerapan KUHP baru ini terletak pada klausa pasal-pasal yang bertaut atau juncto dengan pasal 300 yang tidak menyebutkan poin mana dari pasal 300 itu —apakah a, b atau c—yang ditautkan, sehingga memungkinkan adanya tiga delik sekaligus dalam satu tindak pidana. Karena ini berkenaan dengan sanksi yang akan dijatuhkan, Nurhidayah merinci lagi unsur-unsur yang membedakan tiga delik itu agar tidak terjadi pemahaman yang kabur dan pembuktian yang abu-abu. Antara huruf a yang berbunyi ‘…yang melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan’; huruf b, ‘…yang menyatakan kebencian atau permusuhan’; huruf c, ‘…yang menghasut untuk melaukan permusuhan, kekerasan, atau diskriminasi’. “Jadi harus jelas 300-nya itu a, b atau c, supaya jelas di situ melanggar 301 itu terhadap apa dan tindakannya seperti apa,” tukas Nurhidayah.

Sekali lagi, kendati  lebih komprehensif dan rinci, KUHP yang akan berlaku tahun depan ini akan mengundang polemik dan membuka ruang tafsir. Mengingat bahwa tuntutan ada di tangan Jaksa, problemnya kemudian adalah, apakah paradigma jaksa seirama dengan semangat pemenuhan hak kebebasan beragama atau berkeyakinan?

KUHP 2023 Bab VII dalam konteks moderasi beragama disuguhkan oleh Dr. Lidya Tandirenung, M.A, M.Th, Rektor Sekolah Tinggi Teologi Intim Makassar. Alumnus CRCS ini merefleksikan KUHP 2023 pasal 300-305 sebagai produk dari kenyataan eksisnya paradigma dan realitas intoleransi di tengah keragaman beragama. Ia berargumen, ketika pada wilayah dialog reflektif dan liberatif, serta ruang teologis dan akademis tidak cukup untuk mengatasi realitas intoleran, kita perlu pendekatan legal untuk mengatur kehidupan keberagamaan, . “Meski sebenarnya potensi merawat toleransi adalah sebuah mekanisme yang tumbuh secara natural dalam kehidupan antar agama di Indonesia, pendekatan legal tetap diperlukan untuk menjamin terselenggaranya keadilan dalam kerukunan umat beragama,” ujarnya. Namun demikian, tambahnya, kekayaan kearifan lokal juga perlu dihadirkan dalam penataan kehidupan beragama agar lebih terakomodasi tanpa “hegemoni penegakkan hukum”.

Tantangan yang kemudian muncul adalah bagaimana mempertemukan kepentingan harmonisasi dengan proteksi kebebasan beragama atau berkeyakinan kelompok minoritas, ketika lanskap keberagamaan di Indonesia adalah mayoritanisme. Tidak dapat dimungkiri, instrumen penegak hukum cenderung mendesak minoritas untuk tunduk pada kehendak mayoritas atas nama kondusivitas dan ketertiban wilayah. “Intervensi negara yang terlalu jauh ke dalam kehidupan beragama warga negara sering bias mayoritas, walaupun UU HAM menegaskan bahwa negara melalui organ-organnya berkewajiban melakukan affirmative action bagi kelompok rentan, termasuk kelompok keagamaan minoritas,” tegas Lidya. Dalam konteks demikian, penegakkan hukum tidak serta-merta menjadi jalan pemungkas resolusi konflik.

Tinjauan sosiologis terhadap KUHP baru datang dari Wahyuddin Halim Ph.D. Meskipun sepakat bahwa produk KUHP yang baru ini lebih akomodatif dan komprehensif, dosen Studi Agama-agama UIN Alauddin ini menggarisbawahi bahwa terbukanya ruang tafsir terhadap pasal-pasal pidana agama tetap tidak lepas dari oposisi biner pemahaman pasal 300 sampai 305 KUHP 2023. Dengan kacamata strukturalisme, Halim memperlihatkan bagaimana dua perspektif yang bertentangan tentang delik agama mewarnai realitas demokrasi, yang pada gilirannya memunculkan polarisasi dalam regulasi publik. Halim melawankan antara bias yang pro negara dan pro kebebasan individu; pro mayoritas dan pro minoritas; membatasi atau melindungi KBB. Terlepas dari kontestasi antara kebebasan individu dan stabilitas sosial dalam implementasi KUHP baru ini, Halim menandaskan, “KUHP 2023 khususnya pasal 300 sampai 305 itu adalah salah satu bentuk kesepakatan yang akan mengikat sifat naluriah kita untuk egois, sok etis, sok agamis, sok saleh, sok pahlawan dalam kehidupan kolektif kita.”

 

Tanggapan kritis pertama datang dari Prof. Sabri Samin, guru besar Ilmu Hukum Pidana Islam UIN Alauddin. Sabri mengomentari tidak adanya tindak pidana membentuk agama baru. Ia berkomentar demikian karena berkaca ada kasus-kasus yang sudah terjadi sebelumnya, seperti kasus Lai Eden. Apakah membentuk agama baru adalah sebuah tindak kriminal? Kalau kita menilik materi dari Halim sebelumnya, tanggapannya terhadap KUHP baru ini secara tidak langsung mencerminkan persepektif yang oposisional terhadap KBB, meski di waktu yang sama seiya bahwa subjek hukum bukan agama melainkan manusia. Sebuah pendirian yang ambigu, seolah membentuk agama baru sama belaka dengan membujuk orang lain untuk pindah agama.

Tanggapan kedua juga tak kalah menarik. Ahkam Jayadi, M.H. dengan terang mengkritik landasan normatif KBB pada UUD 1945 Pasal 29 (E) dengan menyebutnya sebagai pasal ugal-ugalan. “Masa setiap orang dibebaskan mau beragama mau enggak, wah itu pasal yang enggak karuan banget,” tegasnya. Ia juga mengemukakan keberatan  tentang kewenangan polisi, jaksa, dan hakim untuk menyatakan seseorang melanggar agama, “Sejauh mana pemahaman agama ibu gitu (jaksa) loh, padahal Bapak Ibu cuma berdasar pada norma yang ada di pasal. Enggak boleh seperti itu.” Ia mengusulkan agar hal tersebut seharusnya diserahkan kepada tokoh agama atau MUI sebelum diputuskan delik agama-nya oleh aparatur penegak hukum. Jayadi mengabaikan adanya konflik kepentingan yang ada antara tokoh agama dengan tersangka.

Difraksi persepektif dari displin-disiplin keilmuan terhadap KUHP 2023 pada Seminar Nasional sekaligus peluncuran Buku Ajar Penafsiran Pasal 300—305 KUHP 2023 ini di Makassar memberi kesan bahwa menjelang kurang dari satu tahun penerapannya, mempertemukan pemahaman yang berbeda terhadap tindak pidana agama, kepercayaan dan kehidupan beragama atau kepercayaan merupakan jalan panjang nan berliku.

______________________

Refan Aditya adalah alumnus Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2022. Baca tulisan Refan lainnya di sini.

Artikel ini merupakan salah satu usaha CRCS UGM untuk mendukung SDGs nomor  4 tentang Pendidikan Berkualitas dan nomor 16 tentang Perdamaian, Keadilan, dan Pelembagaan yang Tangguh

Tags: kebebasan beragama atau berkeyakinan KUHP KUHP 2023 refan aditya

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

A M P A T Baru kemarin, pemerintah YTTA melakukan A M P A T
Baru kemarin, pemerintah YTTA melakukan aksi simsalabim dengan mencabut empat konsesi tambang di salah satu gugusan Red Line. Aksi "heroik" itu terlihat janggal ketika perusahaan yang paling bermasalah dalam perusakan lingkungan, bahkan yang menjadi pusat viral, justru dilindungi. Tentu bukan karena cocokologi dengan nama Raja Ampat sehingga hanya empat perusahaan yang dicabut konsesinya. Bukan cocokologi juga ketika Raja Ampat akan menjadi lokus tesis yang akan diuji esok di CRCS UGM. Berkebalikan dengan aksi badut jahat di Raja Ampat, @patricia_kabes akan bercerita bagaimana komunitas masyarakat di Aduwei mengelola laut dengan lestari melalui sasi. Berangkat dari negeri timur, peraih beasiswa LPDP ini justru menjadi yang pertama di angkatannya untuk menambahkan dua huruf pada akhir namanya.
For people who learn religious studies, it is comm For people who learn religious studies, it is common to say that "religion", as a concept and category, is Western modern invention. It is European origin, exported globally through colonialism and Christian mission. Despite its noble intention to decolonize modern social categories, it suffers from historical inaccuracy. Precolonial Islamic Malay and Javanese texts in the 16th and 17th century reflect a strong sense of reified religion, one whose meaning closely resembles the modern concept.

Come and join @wednesdayforum discussion at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
I N S P I R A S I Secara satir, penyandang disabil I N S P I R A S I
Secara satir, penyandang disabilitas baru mendapatkan sorotan ketika dia mampu berprestasi, mampu mengatasi segala rintangan dan kekurangan. Singkat kata, penyandang disabilitas kemudian menjadi sumber inspirasi bagi nondisabilitas. Budi Irawanto menyebutnya sebagai "inspirational porn". Simak ulasan lengkapnya di situs web crcs ugm.
Human are the creature who live between the mounta Human are the creature who live between the mountain and the sea. Yet, human are not the only one who live between the mountain and the sea. Human are the one who lives by absorbing what above and beneath the mountain and the sea. Yet, human are the same creature who disrupt and destroy the mountain, the sea, and everything between. Not all human, but always human. By exploring what/who/why/and how the life between the mountain and the sea is changing, we learn to collaborate and work together, human and non-human, for future generation—no matter what you belief, your cultural background.

Come and join @wednesdayforum with Arahmaiani at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju