• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Headline
  • Modal Sosial Menghadapi Gerakan Intoleran di Jawa Barat

Modal Sosial Menghadapi Gerakan Intoleran di Jawa Barat

  • Headline, News, Pluralism News, SPK news
  • 29 November 2015, 01.00
  • Oleh:
  • 0

Fardan Mahmudatul Imamah | CRCS | SPK

SPK-VII-JAWA-BARAT-KEBERAGAMAN-03
Sekolah Pengeloloaan Keragaman VII, Sangkanhurip Resort, Cigugur Kuningan, Jawa Barat.

Jawa Barat adalah provinsi dengan kasus intoleran tertinggi di Indonesia, khususnya selama delapan tahun terakhir. Kasus intoleran tersebut berupa kekerasan terhadap kelompok minoritas seperti Ahmadiyah dan Syiah, penutupan gereja, kampanye anti perbedaan, peraturan daerah yang diskriminatif, serta pelanggaran hak-hak sipil. Hal ini terungkap pada salah satu sesi diskusi acara Sekolah Pengelolaan Keragaman (SPK), Selasa, 24 November 2015. Acara rutin tahunan hasil dari kerja sama Program Studi Lintas Agama dan Budaya (CRCS) UGM dengan Hivos tersebut dihadiri oleh dua puluh enam orang aktivis dan akademisi dari berbagai institusi pendidikan maupun lembaga sosial kemasyarakatan yang berada di Jawa Barat, seperti Fahmina Institut, Gerakan Islam Cinta, Jaringan Kerja Sama antar Umat Beragama (Jakatarub), Values Institut Bandung, Pelita Perdamaian, Peace Generation Indonesa, IPNU, Majelis Khuddamul Ahmadiyah Tasikmalaya, dan Sunda Wiwitan.

Pada diskusi tersebut, Marzuki Wahid nara sumber dari Fahmina Institute mengungkapkan bahwa salah satu dari sekian banyak faktor penyebab peningkatan kasus intoleran di Jawa Barat adalah cukup kuatnya pengaruh faktor politik kekuasaan terhadap arah kebijakan saat menghadapi konflik keragaman atau kepercayaan. Arah kebijakan tersebut cenderung bersikap diskriminatif dan memicu kekerasan terhadap kelompok tertentu. Menurut pendiri Fahmina Institut itu, pemerintah provinsi dan daerah acap kali membuka ruang bagi kelompok intoleran untuk melakukan aksi-aksi kekerasan terhadap kelompok minoritas. Meskipun sebenarnya jumlah kelompok gerakan intoleran tersebut sedikit, namun mereka memiliki daya dukung yang kuat dari pemerintah setempat, militansi anggota, dan perencanaan gerakan yang sistematis dengan menentukan tujuan yang jelas. Padahal, menurut Marzuki, masyarakat muslim yang tidak mendukung gerakan intoleran tersebut juga tidaklah sedikit, bahkan mungkin lebih banyak dari aktivis gerakan intoleran. Namun, mereka cenderung diam dan tidak bertindak sinergis dalam upaya pencegahan tindakan pelanggaran dan kekerasan yang lebih jauh lagi dari kelompok intoleran.

Meskipun demikian, Marzuki Wahid mengingatkan kepada seluruh peserta yang hadir agar tetap fokus melihat sisi peluang dari modal sosial yang ada untuk digunakan sedemikian rupa sebagai upaya menghadapi kelompok intoleran. Hal ini juga disepakati oleh Direktur Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS ) UGM, Dr. Zainal Abidin Bagir. Menurutnya, dibutuhkan pemetaan peluang dan usaha yang sungguh-sungguh dalam pengelolaan modal sosial dengan cara membangun jejaring yang solid antar-aktivis gerakan perdamaian serta membangun kesadaran dan pengetahuan masyarakat maupun aparat pemerintah mengenai pentingnya penghargaan terhadap keberagaman. Sehingga, para aktivis ini mempunyai kekuatan yang cukup untuk bertindak dalam upaya membendung perkembangan gerakan intoleran.

SPK-VII-JAWA-BARAT-KEBERAGAMAN-02
Peserta Sekolah Pengelolaan Keragaman VII, Jawa Barat.

Pada acara SPK ke-VII ini, para peserta tidak hanya mengemukakan kasus-kasus intoleran yang terjadi di daerah masing-masing, tetapi juga berbagi pengalaman mengenai upaya-upaya penyelesaian masalah tersebut dan berbagai kendala mereka hadapi. Diantaranya permasalahan gerakan fundamentalisme di lingkungan sekolah, konflik etnis antara Jawa dan Cina, munculnya peraturan daerah berbasis formalisasi Islam, serta sulitnya pemenuhan hak-hak sipil bagi kelompok terpinggirkan, misalnya pengurusan KTP, pernikahan, dan pemakaman, seperti yang sering dialami oleh masyarakat Sunda Wiwitan dan Ahmadiyah.

Acara SPK yang digelar di Resort Prima Sangkanhurip, Cigugur, Kuningan, Jawa Barat ini akan berlangsung selama kurang lebih dua minggu (23 November–4 Desember 2015). Di dalam rangkaian acara SPK ini, para peserta tidak hanya bertukar informasi mengenai permasalahan intoleran di daerah masing-masing, tetapi mereka juga akan dibekali materi-materi pengelolaan keragaman, misalnya teori identitas, resolusi konflik, dan praktik advokasi berbasis riset. Selain itu, para peserta juga berkesempatan melakukan dialog dengan dua komunitas di Cigugur, yakni masyarakat Sunda Wiwitan di Cigugur dan Ahmadiyah di Manislor. Diharapkan, kegiatan ini akan membantu membangun jejaring antara para aktivis dan akademisi dalam rangka menemukan peta peluang dalam usaha mengurangi dan mencegah gerakan intoleran di Jawa Barat (Editor: A.A. Sudjatna).

Tags: Agama Ahmadiyah Cigugur Intoleransi Jawa Barat keberagaman Kuningan Manislor Marzuki Wahid Resolusi Konflik SPK SPK VII Sunda Wiwitan Zainal Abidin Bagir

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

L A B E L Seberapa penting sebuah label? Bagi makh L A B E L
Seberapa penting sebuah label? Bagi makhluk modern, label itu penting walau bukan yang paling penting. Ia menjadi jendela informasi sekaligus penanda diri. Dalam kacamata masyarakat legalis, label juga berarti penerimaan dan perlindungan. Namun, seringkali label itu disematkan oleh entitas di luar diri, terlepas ada persetujuan atau tidak. Karenanya, tak jarang label juga menjadi penghakiman. Dalam silang sengkarut semacam ini, perebutan kuasa bahasa atas label menjadi vital, terutama bagi kelompok rentan yang dimarjinalkan. Kalau kata teman yang alumni dusun Inggris , "label is rebel!"

Simak bincang @astridsyifa bersama @dedeoetomo tentang lokalitas dan ekspresi identitas gender di situs web crcs
Waktu Hampir Habis 😱 HARI INI TERAKHIR PENDAFTA Waktu Hampir Habis 😱
HARI INI TERAKHIR PENDAFTARAN MASUK CRCS UGM 🫣

Jangan sampai lewatin kesempatan terakhir ini !! 
#crcs #ugm #s2 #sekolahpascasarjanaugm
Kupas Tuntas masuk CRCS UGM (Live Recap) #crcsugm Kupas Tuntas masuk CRCS UGM
(Live Recap)

#crcsugm #pendaftarancrcsugm #sekolahpascasarjanaugm #s2 #ugm #live
Beli kerupuk di pasar baru Nih loh ada info terbar Beli kerupuk di pasar baru
Nih loh ada info terbaruuu

Penasaran gimana rasanya jadi bagian dari CRCS UGM? 🧐 Yuk, intip live streaming kita hari Senin, 30 Juni jam 15.00-17.00 WIB yang akan mengupas tuntas seputar pendaftaran, kehidupan kampus CRCS UGM dan banyak lagi!
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY