• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • Home
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members
      • Visiting Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Admission
    • Courses
    • Schedule
    • Scholarship
    • Accreditation
    • Crossculture Religious Studies Summer School
    • Student Service
    • Survey-2022
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Activities
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Research
      • Overview
      • Resource Center
    • Community Service
      • Wednesday Forum
    • International Events
      • ICIR
      • Interfaith Mediation
      • IGSSCI
    • Student Achievements
  • Beranda
  • keberagaman
  • keberagaman
Arsip:

keberagaman

Menimbang Keberagaman di Bawah Raja Anglikan

Laporan Wednesday ForumWednesday Forum Report Friday, 3 March 2023

Menimbang Keberagaman di Bawah Raja Anglikan

m rizal abdi  – 1 Maret 2023

Wafatnya Ratu Elizabeth II beberapa waktu silam tidak hanya menyisakan duka bagi warga Inggris dan keluarga kerajaan, tetapi juga menggurat pertanyaan besar: Apa yang akan terjadi dengan masa depan Kerajaan Inggris, pusat dunia bagi Gereja Anglikan?

Jemaat Gereja Anglikan patut berdebar soal ini. Mei 2023 nanti, Uskup Agung Canterbury akan mengurapi sang calon raja dengan minyak suci, memberkati, dan menahbiskannya sebagai raja baru Inggris. Saat itu, Raja Charles III bukan hanya menjadi pemimpin bagi Britania Raya, melainkan juga Gubernur Tertinggi bagi gereja induk Anglikan sedunia yang juga bergelar Fidei Defensor, ‘sang pembela agama’. Menariknya, jauh sebelum naik tahta, Charles III sudah menyatakan bahwa dirinya ingin dikenal sebagai “Defender of Faith” atau ‘pelindung agama’ alih-alih sebagai pembela agama tertentu (Defender of the Faith). Pernyataan Charles pada wawancara tahun 1994 tersebut tentu saja memancing kontroversi dan kegelisahan saat itu. Bahkan, muncul usulan penangguhan atas penobatannya jika suatu hari ia mewarisi tahta Inggris.

Mendengar Suara Keberagaman dari Alam

HeadlineNewsSPK news Tuesday, 11 October 2016

Jekonia Tarigan | CRCS UGM | SPK News
img_5739-1Dapatkah bumi, air atau bahkan banjir berbicara? Pertanyaan ini disodorkan Dewi Candraningrum, fasilitator pada pada hari ke dua Sekolah Pengelolaan Keragaman (SPK) VIII. Pada sesi ke tiga yang bertema “Politics of Identity: Gender, Sexuality, Ecology”, Dewi menggugah peserta SPK VIII untuk menggumuli kembali perbincangan tentang subyektivitas yang tak terbatas pada manusia.
Alam dan bahkan bencana alam juga memiliki suara dan mereka telah berbicara kepada kita semua dengan suara yang sangat keras. Banjir telah berbicara kepada kita bahwa saat ini ia sudah tidak punya rumah lagi. Hutan sudah gundul dan tidak ada lagi daerah resapan air yang cukup menampung semua air hujan, hingga banjir pun berkata. “Aku sudah tidak punya rumah, sekarang aku akan masuk rumah mu!” Melalui kisah ini, Dewi Candraningrum mengajak peserta untuk memaknai bahwa keberagaman tidak hanya terbatas pada manusia tetapi juga entitas selain manusia. Mereka setara dengan manusia dan dapat pula berkomunikasi dengan manusia. Untuk itu manusia harus peka terhadap bahasa-bahasa dari entitas lain yang ‘bersuara dalam keheningan’, sebagaimana alam telah berbicara pada kita.
Berbicara tentang keberagaman mustahil dilakukan tanpa penghargaan terhadap identitas dan subyektivitas. Menurut dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta ini, identitas dapat tampil dalam tiga ruang: pertama, ruang diskursif, sebagaimana ia hadir pada pembicaraan-pembicaraan manusia; kedua, ruang performatif sebagaimana ia ditampilkan; dan yang ketiga ruang historis, artinya identitas yang terkait dengan jejak konteksnya di masa lalu. Dengan kata lain, sebuah identitas tidak dapat dinilai apalagi dihakimi tanpa melihat konteks dan jejak pembentukannya. Mengutip Julia Kristeva, Candraningrum menyatakan, “dalam hidup manusia modern atau bahkan posmodern saat ini ada sebuah horor yang terjadi ketika kita menjadikan sang liyan atau yang berbeda dengan kita sebagai abject atau yang ditakuti dan dianggap merusak tatanan.” Teman-teman LGBTQ dan kelompok-kelompok lain yang berbeda dari kebanyakan orang seringkali menjadi pihak yang di-abject-kan. Padahal, dari keberadaan sang liyan itu kita justru belajar bahwa sesungguhnya kita memang beragam dan kita perlu menerima keberagaman tersebut. “Ini bisa dimulai dengan menghargai sesuatu sebagai subjek, menghargai ia sebagai ia, bukan sebagai benda,” ujar Dewi. Sehingga apapun bentuk atau identitas seksualitas seseorang—laki-laki, perempuan, laki-laki yang hidup sebagai perempuan, perempuan yang hidup sebagai laki-laki, atau seseorang yang hidup dalam kedua identitas tersebut—patut dan perlu kita hargai sebagai subyek. Muara dari ini adalah penumbuhan dua nilai dalam diri kita, yakni kesadaran dan penghormatan terhadap yang lain di luar diri kita.
Sebenarnya keberagaman bukanlah hal baru bagi masyarakat kita. Namun, menurut Dewi, manusia modern pada hari ini tengah mengalami disartikulasi narasi akar dan teritorialisasi manusia dan alam. Yang pertama, kita telah terputus dari narasi-narasi akar. Nenek moyang kita pada zaman dahulu telah lebih dulu menghadapi realitas subjektifitas yang sangat kaya dan mereka dapat menghargainya. Dewi Candraningrum menunjukkan video dokumenter singkat mengenai Suku Bugis. Tak hanya dua jenis gender, Suku Bugis mengenal hingga lima gender. Selain laki dan perempuan, Suku Bugis mengenal Callalai, Callabai, dan Bissu. Mereka adalah orang-orang yang hidup dalam hibiriditas identitas laki-laki dan perempuan. Kelima gender tersebut merupakan kesatuan dan saling terlibat aktif dalam segala praktik kultur di masyarakat, terutama persembahan terhadap alam dan pertanian. Masyarakat Bugis justru memaknai keberagaman identitas itu secara positif dan terkait erat dengan keberlangsungan kesuburan alam.
Yang kedua, Candraningrum menceritakan pengalamannya meng-advokasi para ibu di Kendeng, Jawa Tengah yang menolak eksploitasi alam oleh perusahaan-perusahaan semen nasional adan multinasional. Eksploitasi tersebut terjadi karena teritorialisasi  manusia dari alam. Manusia tidak lagi merasa terlibat dan terikat pada alam atau peristiwa alam yang tengah terjadi di tempat lain. Menurut Candraningrum, bumi adalah satu kesatuan dan tidak terbatasi oleh wilayah administratif. Bahkan kita manusia, adalah juga bagian dari bumi. Sehingga, walaupun ia adalah orang Solo ia merasa perlu terlibat dalam advokasi ibu-ibu Kendeng. Alam adalah Ibu yang tidak boleh dieksploitasi sebab ia adalah ibu kita, sumber hidup kita.
Pada akhirnya, Candraningrum mengingatkan bahwa kita perlu waspada dan hormat terhadap semua subjek dan subjektivitasnya. Kesadaran dan penghormatan terhadap yang liyan itu akan lebih baik jika dipadukan dengan pengetahuan. Sebuah advokasi hanya menjadi baik dan berhasil jika basis kekuatannya adalah pengetahuan yang dijiwai oleh semangat menebar bagi kebaikan seluruh subjek.

Mengelola Keragaman di Sekolah

Book ReviewHeadlineNews Tuesday, 26 April 2016

Ribka Ninaris Barus | CRCS | Book Review
MENGELOLA-KERAGAMAN-DI-SEKOLAH-CRCSKeberagaman merupakan salah satu konteks kehidupan masyarakat Indonesia yang telah disadari sejak awal berdirinya republik ini, sehingga semboyan “Bhineka Tunggal Ika” dijadikan menjadi salah satu falsafah hidup Bangsa Indonesia. Terjadinya konflik-konflik yang berkaitan dengan keberagaman, baik agama dan etnitsitas, memunculkan keresahan sehingga masyarakat tidak merasakan kehidupan aman dan damai. Hal ini dapat dilihat sebagai indikator kurangnya kesadaran dan/atau pemahaman masyarakat akan arti keberagaman. Berkaitan dengan hal tersebut, sekolah merupakan salah satu ruang yang dianggap penting untuk mengakomodir pengetahuan dan pemahaman keberagaman. Sekolah tidak hanya dimaknai sebagai ruang untuk memperoleh pengetahuan untuk mengukur kemampuan kognitif dan prestasi akademis, melainkan sebagai ruang untuk memeroleh nilai-nilai kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara kontekstual.
Buku berjudul “Mengelola Keragaman di Sekolah” yang diterbitkan oleh CRCS pada Februari 2016, merupakan salah satu buku yang berkaitan dengan pengelolaan keberagaman di Indonesia, khususnya di sekolah. Buku ini memuat tiga belas artikel yang ditulis oleh para guru yang berasal dari beberapa sekolah di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, melalui Kompetisi Esai Guru yang diselenggarakan oleh penerbit. Ide dalam artikel-artikel tersebut berdasarkan pada pengalaman proses belajar-mengajar yang dialami langsung oleh para penulis.
Secara holistik, keberagaman yang ditampilkan dan dibahas dalam buku ini tidak terbatas pada agama, etnis, budaya/adat-istiadat, bahasa, gender dan status sosial. Keberagaman dalam pengertian yang lebih luas mencangkup keberagaman kecerdasan naradidik, yang dibahas oleh Sangidah Rofiah dalam artikel berjudul “Pembelajaran Berbasis Keragaman Kecerdasan dengan Pendekatan Neuro Linguistik Programming (NLP) pada Mata Pelajaran PAI”, sampai pada keberagaman respon dan metode mengajar yang diterapkan oleh para pendidik. Dengan demikian, buku ini menyediakan pemahaman yang lebih luas pada makna keberagaman itu sendiri.
Buku ini menunjukkan potret pengelolaan keragaman melaui pendidikan formal yang dilaksanakan di sekolah negeri dan swasta baik yang berbasis agama dan bersifat homogen, maupun sekolah inklusi. Ada beberapa sekolah yang secara institusional sudah menerapkan kurikulum dan metode pengelolaan keragaman dalam proses belajar mengajar untuk membangun toleransi peserta didik, seperti yang diterapkan di Sekolah Negeri Satu Muntilan, Sekolah Tumbuh Yogyakarta, dan Yayasan Budi Mulia Yogyakarta. Sementara itu, beberapa penulis masih berupaya mengelola keragaman melalui mata pelajaran yang diampu dengan menerapkan metode pengajaran yang kreatif. Pentingnya pengelolaan keragaman dalam konteks Indonesia dan peran sekolah dalam upaya tersebut diutarakan oleh semua penulis dalam buku ini, meski sebagian menyampaikan secara implisit.
Pengelolaan keragaman dalam lingkup sekolah bukan sesuatu yang mudah dilakukan, dimana hal tersebut menuntut kesadaran banyak pihak, mulai dari naradidik, pendidik, dan para pemangku kepentingan di sekolah. Metode-metode yang telah diterapkan oleh para penulis, seperti debat, fieldtrip, diskusi kelompok, menempatkan naradidik sebagai subjek aktif dalam proses belajar-mengajar dalam upaya menggali nilai-nilai keragaman. Upaya yang demikian diharapkan dapat memperdalam pemahaman naradidik tentang keberagaman yang tidak terfokus hanya pada ranah kognitif dan bersifat normatif, tetapi juga pada ranah afektif dan praksis. Dengan demikian, pemahaman akan makna kebhinakaan diwujudkan dalam hidup yang toleran dan damai. Peran para pendidik dan pemangku kepentingan juga sangat penting dalam upaya pengelolaan keragaman. Wawasan pengetahuan dan kreatifitas para guru serta kebijakan dan peraturan yang ditetapkan oleh stakeholders memiliki peran yang sangat penting dalam upaya tersebut. Imam Mutakhim secara khusus memaparkan hal tersebut dalam artikelnya di bagian akhir buku ini. Mutakhim berpendapat bahwa seluruh unsur meliputi guru, kepala sekolah, karyawan, dll., merupakan elemen yang saling terkait dan penting dalam mengelola keragaman di sekolah (p.178). Jika salah satu pihak bersifat pasif maka kemungkinan hal tersebut sulit terlaksana.
Book Title: Mengelola Keragaman di Sekolah, Gagasan dan Pengalaman Guru | Author: Anis Farikhatin, Arifah Suryaningsih, Dani Bilkis Saida Aminah, dkk | Pubhlisher: CRCS UGM | Year: Februari 2016 | Paperback: xi + 96 pages | ISBN: 978-602-72686-5-4
Download books here

Modal Sosial Menghadapi Gerakan Intoleran di Jawa Barat

HeadlineNewsPluralism NewsSPK news Sunday, 29 November 2015

Fardan Mahmudatul Imamah | CRCS | SPK

SPK-VII-JAWA-BARAT-KEBERAGAMAN-03
Sekolah Pengeloloaan Keragaman VII, Sangkanhurip Resort, Cigugur Kuningan, Jawa Barat.

Jawa Barat adalah provinsi dengan kasus intoleran tertinggi di Indonesia, khususnya selama delapan tahun terakhir. Kasus intoleran tersebut berupa kekerasan terhadap kelompok minoritas seperti Ahmadiyah dan Syiah, penutupan gereja, kampanye anti perbedaan, peraturan daerah yang diskriminatif, serta pelanggaran hak-hak sipil. Hal ini terungkap pada salah satu sesi diskusi acara Sekolah Pengelolaan Keragaman (SPK), Selasa, 24 November 2015. Acara rutin tahunan hasil dari kerja sama Program Studi Lintas Agama dan Budaya (CRCS) UGM dengan Hivos tersebut dihadiri oleh dua puluh enam orang aktivis dan akademisi dari berbagai institusi pendidikan maupun lembaga sosial kemasyarakatan yang berada di Jawa Barat, seperti Fahmina Institut, Gerakan Islam Cinta, Jaringan Kerja Sama antar Umat Beragama (Jakatarub), Values Institut Bandung, Pelita Perdamaian, Peace Generation Indonesa, IPNU, Majelis Khuddamul Ahmadiyah Tasikmalaya, dan Sunda Wiwitan.

Facebook

Facebook Pagelike Widget

Instagram

Almost all countries in the world have Chinatowns, Almost all countries in the world have Chinatowns, Indonesia is no exception. 

In fact, the relationship between the people of China and the Indonesian Archipelago has been going on for two millennia. It is only natural that Chinese culture strongly influences Indonesian culture today.

However, the character of Chinatowns on the Archipelago is as diverse as their history and relations with local communities.

Come and join the discussion at Room 306, Graduate School Building, Universitas Gadjah Mada.

#wednesdayforum is free and open to the public.
Jika sebelumnya kita mengulas tentang kegagalan id Jika sebelumnya kita mengulas tentang kegagalan ideologi pembangunan yang mengesampingkan pengetahuan adat, kali ini @ichuslucky berbagi cerita tentang bagaimana penduduk di Perbukitan Menoreh menggunakan pengetahuan adatnya untuk merawat mata air yang tersisa.

Simak ulasan lengkapnya di situs web crcs.
Tak selamanya pembangunan itu bersinonim dengan pe Tak selamanya pembangunan itu bersinonim dengan perbaikan dan kemajuan. Yang kerap terjadi justru sebaliknya, pemaksaan dan peminggiran mereka yang dianggap obyek pemeradaban. 

Simak ulasan lengkap menohok nan reflektif dari @andialfianx ini di situs web crcs ugm.
God save the king! Around 500 years ago, King Hen God save the king!

Around 500 years ago, King Henry VIII was awarded by Pope Leo X the title Fidei Defensor or "Defender of Faith" for his defense of the Catholic Church. He subsequently broke away and then declared independence from Catholic Rome, thus becoming the first head of the Church of England. 

Now, the title is inherited by Charles III who lead a kingdom that has seen both significant secularization and growth in non-Christian minorities over the last twenty years.

What the monarchy’s long relationship with religious plurality may look like under the new sovereign?

Come and join the discussion at Room 306, Graduate School Building, Universitas Gadjah Mada.

#wednesdayforum is free and open to the public.
Load More Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, Floors 3-4
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju