Kamis, 8 Oktober 2015, Prof. Chaiwat Satha-Anand, guru besar ilmu politik Universitas Thammasat, Thailand, memberikan kuliah umum seputar agama dan kekerasan di Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada (UGM). Kuliah itu merupakan bagian dari Nucholish Madjid Memorial Lecture (NMML) IX yang pada tahun ini untuk pertama kalinya diselenggarakan di Yogyakarta, sekaligus dalam rangka mengisi peringatan 15 tahun program studi Agama dan Lintas Budaya (Center for Religious and Cross-cultural Studies [CRCS]), UGM. Satha-Anand dikenal luas sebagai akademisi sekaligus aktivis yang mengampanyekan perjuangan melawan ketidakadilan dengan pendekatan nirkekerasan berbasis keagamaan, khususnya Islam. Satha-Anand juga merupakan kawan baik dari almarhum Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid. Tulisan-tulisannya banyak membahas relasi agama dan kekerasan secara umum, juga resolusi konflik di Thailand secara khusus.
Pada kesempatan kunjungannya ke Indonesia untuk memberikan kuliah NMML itu, Chaiwat Satha-Anand memplubikasikan esai-esainya dalam bentuk buku, yang kemudian diberi judul “Barangsiapa Memelihara Kehidupan…”: Esai-esai tentang Nirkekerasan dan Kewajiban Islam (Jakarta: PUSAD Paramadina, 2015). Buku ini, sebagaimana sudah tampak dari subjudulnya, berupaya membangun argumen teologis tentang Islam-nirkekerasan. Dan sebagaimana umumnya argumentasi teologis, Satha-Anand mengembangkan tafsir-tafsirnya dengan merujuk pada kitab suci, juga teladan Nabi Muhammad. Pada intinya, Satha-Anand hendak mengajukan tesis bahwa Islam memiliki ajaran yang kokoh, bahkan lahan yang subur, yang mendorong pada aksi nirkekerasan. (Buku itu bisa didownload gratis di sini)
Namun demkian, Azis Anwar Fachrudin (mahasiswa CRCS), sekalipun sangat mengapresiasi niatan luhur Satha-Anand dan bersetuju dengan intensinya untuk menemukan alternatif tafsir keislaman yang nirkekerasan, memiliki sejumlah kritik terhadap buku “Barangsiapa Memelihara Kehidupan..” itu. Kritiknya ditujukan terutama dalam cara Satha-Anand membangun argumen teologis berikut landasan skripturalnya: Argumen Satha-Anand cenderung mengambil yang “damai” dalam kitab suci, dan kurang menyasar bagian-bagian yang “keras” dalam kitab suci, yang justru sering dipakai sebagai alat pembenar atau justifikasi bagi tindak kekerasan atas nama Islam. Kitab suci, menurut Azis, memuat berbagai ayat-ayat “keras” yang tidak bisa diabaikan, dan sulit untuk tak dikatakan tak menganjurkan kekerasan. Di sini kemudian ada kompleksitas interpretasi: di sebagian isinya, kitab suci menyediakan justifikasi bagi aksi damai dan nirkekerasan (sebagaimana kemudian dijelaskan di buku Satha-Anand itu); namun di sebagian lainnya kitab suci memuat sejumlah dalil pembenaran bagi tindakan kekerasan. Kondisi ini disebut oleh Azis sebagai “ambivalensi kitab suci” (the ambivalence of the scripture)—istilah yang dipinjam dari satu buku klasik dalam bidang studi kekerasan agama (religious violence) karya Scott Appleby, The Ambivalence of the Sacred.
Untuk membaca elaborasi lebih lanjut dari kritik yang diajukan Azis Anwar Fachrudin itu, papernya, “Islam, Violence, and the Ambivalence of the Scripture”, bisa di-download di sini