Agama Tak Selalu Jadi Jawaban Atas Kesehatan Mental Remaja
Rezza Prasetyo Setiawan – 04 April 2024
Penelitian Varkey Foundation pada 2017 menemukan bahwa remaja Indonesia memiliki skor kebahagiaan tertinggi di antara negara-negara yang menjadi lokasi survei. Penelitian bertajuk “Generation Z: Global Citizenship Survey” ini melibatkan lebih dari 20.000 anak muda di 20 negara. Menariknya, lebih dari 90% responden di Indonesia mengatakan bahwa agama merupakan faktor penting bagi kebahagiaan mereka. Hal ini menunjukkan, betapa kesehatan mental pemuda Indonesia berkait erat dengan keagamaan. Namun, laporan I-NAHMS pada 2023 justru menunjukkan hasil sebaliknya: satu dari tiga remaja di Indonesia mengalami masalah kesehatan mental dengan kecenderungan melukai diri sendiri bahkan bunuh diri. Faktanya, di tahun yang sama, terdapat enam kasus bunuh diri oleh pelajar/mahasiswa di Yogyakarta.
Bertolak dari fenomena tersebut, Leyla Adrianti Hermina meneliti cara muda-mudi di Indonesia menemukan mekanisme koping terhadap masalah yang mereka alami sehari-hari dan peran agama di dalam proses tersebut. Alumna CRCS UGM yang akrab disapa Ladrina ini mempresentasikan hasil penelitiannya tersebut dalam Wednesday Forum bertajuk “Do Youth Turn to Religion as a Coping Mechanism?” pada Rabu, 6 Maret 2024.
Agama, Keluarga, dan Mental Remaja
Ladrina mula-mula menjaring responden melalui platform media sosial X (dulu Twitter). Responden yang terpilih ialah sembilan remaja di Yogyakarta berumur 19–26 tahun yang pernah mengalami peristiwa berat dalam hidup. Ladrina membatasi cakupan gangguan kesehatan mental para respondennya pada tekanan mental yang belum mencapai masalah kejiwaan yang klinis. Jadi, responden masih bisa melakukan kegiatan sehari-hari.
Masalah utama yang dialami para respodennya bervariasi, dari urusan patah hati, permasalahan keuangan, wafatnya anggota keluarga, hingga tekanan akibat tuntutan prestasi akademik. Pemicu dari memburuknya kesehatan mental tersebut beragam dan tak jarang saling menumpuk, di antaranya kesulitan keuangan, komunikasi yang kurang baik dengan keluarga, dan kurangnya dukungan (support system) dari teman atau keluarga dekat.
Ladrina mendasarkan penelitian ini pada teori neuropsikologi spiritualitas Lisa Miller yang melihat kemampuan otak manusia untuk menangkap dimensi-dimensi spiritual dalam kehidupannya. Teori Miller menunjukkan adanya hubungan yang erat antara spiritualitas dan kesehatan mental. Dengan demikian, hubungan mendalam dengan subyek-subyek spiritual dapat menjadi bagian dari mekanisme koping seseorang dalam menghadapi tekanan mental sehari-hari.
Beranjak dari bingkai pikir tersebut, Ladrina menelisik sejauh mana praktik keagamaan menjadi mekanisme koping dalam mengatasi gangguan kesehatan mental para responden yang berasal dari keluarga dengan latar belakang keagamaan yang beragam. Temuan penelitiannya menunjukkan bahwa latar belakang keagamaan responden ternyata tidak terlalu berpengaruh pada keputusan pemilihan mekanisme koping.
Sebagai contoh, meskipun berasal dari keluarga dengan latar keagamaan yang kuat, tiga responden justru tidak memilih agama sebagai mekanisme koping di masa sulit. Bahkan, trauma akan agama membuat dua responden memutuskan untuk menjadi agnostik saat mengalami tekanan mental. Sebaliknya, salah satu responden yang berasal dari keluarga yang “liberal” dalam keagamaan justru beralih pada praktik keagamaan untuk mengatasi tekanan mental setelah terinspirasi oleh ceramah-ceramah keagamaan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun). Salah satu responden lain memilih terapi psikologis untuk mengatasi stres akibat tuntutan akademis dari keluarga dan kampusnya. Dalam kasus ini, menurut responden tersebut, agama tidak dapat menawarkan solusi. Melalui media sosial, ia justru menemukan terapi psikologi sebagai solusi. Dengan kata lain, banyak faktor lain di luar keluarga yang turut memengaruhi pilihan mekanisme koping seseorang.
Kendati agama tidak selalu menjadi pilihan utama dalam mekanisme koping, hasil temuannya juga memperlihatkan bahwa responden dengan tingkat spiritualitas yang lebih tinggi, bahkan yang menyatakan sebagai agnostik sekalipun, cenderung memiliki kesehatan mental yang lebih baik. Dengan kata lain, sejalan dengan temuan Miller, unsur spiritualitas itu tetap menjadi pengaruh besar bagi kesehatan mental seseorang.
Menurut Ladrina, setiap orang akan memiliki mekanisme kopingnya masing-masing, praktik keagamaan salah satunya. Namun, bagi mereka yang tengah mengalami masalah kesehatan mental, keberadaan sistem pendukung (support system) menjadi faktor penting bagi responden untuk bangkit dari titik terendah. Bagi responden penelitian ini, sistem pendukung itu berasal dari lingkungan pertemanan. Hampir semua responden mengaku bahwa mereka merasa memiliki ikatan yang lebih kuat dengan teman daripada keluarga. Ini artinya ikatan keluarga menjadi kian melemah di kalangan remaja.
Keterputusan Agama?
Diskusi pun menghangat saat sesi tanya jawab. Salah satu penanya menyoroti adanya kebiasaan untuk “kembali ke alam” sebagai cara menangani gangguan kesehatan mental masyarakat modern. Menurutnya, fenomena itu bisa jadi merupakan bentuk eksploitasi lain manusia terhadap alam karena alam hanya digunakan sebagai alat pelepas stres. Ladrina pun mengamini bahwa gerakan “kembali pada alam” itu merupakan salah satu cara efektif untuk mengembalikan kesehatan mental seseorang. Energi positif dari alam dapat mengundang seseorang untuk kembali membumi (grounding). Namun, menurutnya, ini bukanlah bentuk eksploitasi. Hal ini justru menunjukkan hubungan yang telah terputus antara manusia dengan alam. Kebiasaan untuk “kembali pada alam” itu merupakan wujud kerinduan manusia untuk mengembalikan hubungan tersebut.
Lebih lanjut, gerakan “kembali pada alam” tersebut menguatkan hasil temuannya terkait relevansi agama dalam mekanisme koping. Ladrina menggarisbawahi, agama penting bagi kesehatan mental, tetapi tidak semua bentuknya membantu. Para responden penelitiannya melihat bahwa berbagai ajaran keagamaan di sekitar mereka justru tidak menyentuh dan kurang relevan bagi tantangan mereka sehari-hari. Alhasil, setengah dari jumlah responden tidak memasukkan praktik agama sebagai bagian dari mekanisme koping mereka dan memilih metode lain, “kembali pada alam” bisa jadi salah satu bentuknya. Karenanya, menurut Ladrina, ajaran-ajaran agama perlu dikontekstualisasi agar kian relevan bagi tantangan di masyarakat. Dengan demikian, agama dapat benar-benar berbicara sebagai solusi bagi permasalahan kesehatan mental.
Menimpali poin tersebut, peserta lain menyoroti bahwa penelitian ini membawa bias pengalaman masyarakat urban. Hal ini terlihat dari pengalaman responden yang berpusat pada pengalaman dan solusi-solusi yang spesifik bagi pengalaman masyarakat perkotaan, seperti dengan pergi ke psikolog, terapi, dan semacamnya. Hal ini berarti keterputusan manusia dengan alam tadi bisa jadi merupakan pengalaman khusus masyarakat perkotaan yang ikut mempengaruhi kesehatan mental mereka. Menanggapi hal itu, Ladrina menyetujui bahwa ada peluang besar untuk mengembangkan percakapan tentang topik ini pada pengalaman lain di luar pengalaman urban.
Menutup diskusi, Ladrina menekankan bahwa studi terkait agama dan kesehatan mental merupakan topik penting untuk ditelusuri lebih dalam. Di sana ada keberlapisan di luar faktor agama yang berkait kelindan dalam membentuk situasi kesehatan mental remaja maupun mekanisme kopingnya. Di sisi lain, berefleksi dari hasil penelitiannya tersebut, Ladrina menggagas sebuah komunitas yang dapat menjadi sahabat satu sama lain bagi para mahasiswa yang tengah berjuang dengan tuntutan akademis. Komunitas yang ia beri nama “Hofos”, Home For Soul, ini terbuka bagi mahasiswa yang mengalami kesulitan belajar atau sekadar mencari teman untuk berbagi.
______________________
Rezza Prasetyo Setiawan adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2022. Baca tulisan Rezza lainnya di sini.
Foto tajuk artikel ini dokumentasi David Wall (2021).
Artikel ini merupakan salah satu usaha CRCS UGM untuk mendukung SDGs nomor 3 tentang Kehidupan Sehat dan Sejahtera.