• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • Home
  • About Us
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members
      • Visiting Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Admission
    • Courses
    • Schedule
    • Scholarship
    • Accreditation
    • Crossculture Religious Studies Summer School
    • Student Service
    • Survey
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Activities
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Research
      • Overview
      • Resource Center
    • Community Service
      • Wednesday Forum
    • International Events
      • ICIR
      • Interfaith Mediation
      • IGSSCI
    • Student Achievements
  • Beranda
  • Berita
  • Membicarakan 1965: Kita Sudah Pernah Cukup Maju

Membicarakan 1965: Kita Sudah Pernah Cukup Maju

  • Berita, Berita Utama, Perspective
  • 19 September 2017, 13.13
  • Oleh:
  • 0

Suhadi Cholil | CRCS | Perspektif

Polisi menjaga sekelompok massa yang mengepung dan melakukan orasi di depan kantor LBH Jakarta, Minggu (17/9) malam. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja.

Pada hari Sabtu, 16 September 2017, kegiatan seminar yang direncanakan akan mendiskusikan sejarah 1965 dibubarkan Polda Metro Jaya. Jalan menuju kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, tempat kegiatan itu, diblokade aparat sehingga peserta seminar yang sebagiannya dari generasi tua tidak bisa masuk.
Hari berikutnya, para aktivis memprotes pelarangan seminar di LBH tersebut melalui gerakan “Asik-Asik Aksi” di gedung LBH Jakarta/Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Pada malam harinya, gedung tersebut dikepung oleh massa yang menolak adanya kegiatan itu, sementara para aktivis masih berada di dalam gedung YLBHI.
Di tengah upaya keras banyak elemen bangsa ini untuk mempertahankan Indonesia agar tetap demokratis, baik pelarangan seminar di LBH maupun pengepungan kantor YLBHI merupakan peristiwa yang memprihatinkan.
Baik di luar kampus maupun di dalam kampus, upaya-upaya membincangkan kembali peristiwa 1965 mendapatkan restriksi (pelarangan/pembatasan) yang keras. Restriksi tersebut kadang-kadang tidak berkaitan langsung dengan peristiwa 1965, tapi juga perbincangan tentang Marxisme ataupun gagasan kritis dari para tokoh sejarah Indonesia.
Acara bedah buku Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia di C20 Library Surabaya tahun 2014; pembubaran diskusi film Senyap di AJI Yogyakarta tahun 2014; pembatalan “Sesi 1965” di acara Ubud Writers di Bali tahun 2015; pembatalan pembacaan naskah drama dan diskusi “Album Keluarga: #50Tahun1965” di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta tahun 2015; dan pembatalan pemutaran Film Buru Tanah Air Beta di Goethe Institut Jakarta tahun 2016 adalah sebagian kecil dari restriksi terhadap kegiatan bernuansa 1965 atau penyebaran wacana kiri dalam tahun-tahun terakhir.
Dokumentasi dan analisis terhadap rangkaian restriksi kegiatan-kegiatan itu telah penulis susun dalam laporan berjudul Kebebasan Akademik dan Ancaman yang Meningkat yang diterbitkan pada Juli 2017 oleh Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), UGM. Meskipun juga menyinggung peristiwa di luar kampus, laporan tersebut fokus pada peristiwa-peristiwa restriksi kebebasan akademik di dalam kampus. Asumsinya, jika kebebasan akademik dan kebebasan berbicara di kampus saja mengalami kerentanan, betapa di luar kampus kondisinya lebih rentan lagi.
Dari aspek legal, rekonsiliasi 1965 terasa sangat berat sebab keberadaan TAP MPRS No. XXV tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme.
Aturan itu pula yang membuat aparat negara berdalih melakukan restriksi, bukan saja terhadap perbincangan mengenai 1965, tetapi juga diskusi-diskusi tentang Marxisme. Pada kenyataannya restriksi terhadap semua hal yang terkait dengan Marxisme di dalam kampus merupakan tindakan yang tidak realistis, sebab Marxisme telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam sejarah ilmu sosial dan menjadi bagian dari kurikulum yang dipelajari mahasiswa di kampus dari waktu ke waktu.
Pernah cukup maju
Melihat perkembangan yang terjadi beberapa tahun belakangan ini, upaya untuk membincangkan ulang peristiwa 1965 rupanya masih tidak mudah. Rekonsiliasi 1965 masih menjadi perdebatan keras bahkan di lingkungan akademik. Namun sebetulnya, wacana ini sudah pernah cukup maju, hanya belakangan ini mundur lagi.
Pada awal tahun 2000-an, almarhum K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang sejak awal sangat antusias mendorong rekonsiliasi nasional 1965 mengusulkan pencabutan TAP MPRS No. XXV tahun 1966. Alasannya, TAP MPRS tersebut telah membawa penderitaan keluarga orang-orang yang dituduh PKI dan, di sisi lain, pencabutan TAP MPRS tersebut akan menjadi jalan bagi tercapainya rekonsiliasi nasional. Meskipun pada akhirnya Sidang Tahunan MPR tanggal 2 Agustus 2003 pada saat itu menolak usulan pencabutan TAP MPRS No. XXV/1966, tetaplah penting mencermati polemik di parlemen saat itu.
Misalnya, dalam pandangan umum yang disampaikan, Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia (FKKI) menyebutkan hukuman kolektif dan politis terhadap keluarga dan keturunan anggota PKI tidak boleh dilakukan lagi. Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB) setuju PKI dilarang, tetapi substansi ideologi Marxisme tidak bisa dilarang karena itu bagian dari kebebasan berekspresi. Meskipun bagi sebagian pihak, hal ini terlihat sederhana, penulis memandang ini merupakan proses dan tahap perkembangan politik yang agak maju dan penting dipelajari.
Lebih belakangan, para tokoh sesepuh yang hidup di masa peristiwa 1965 mulai menyuarakan perlunya bangsa untuk lepas dari beban sejarah ini dan keharusan rekonsiliasi, dengan kesediaan untuk mendiskusikan sejarah dengan jujur dan kebesaran hati. Romo Franz Magnis-Suseno pernah menulis artikel di Kompas (“Membersihkan Dosa Kolektif G30S”) yang berisi kritik keras terhadap propaganda PKI di tahun-tahun menjelang 1965 yang membelah bangsa dalam dua kubu yang beroposisi secara biner, namun juga mengajak untuk berbesar hati bahwa “reaksi pasca-G30S sama sekali keluar rel”.
Belum lama, pada Juli 2017, Buya Syafii Maarif menulis kolom di Republika (“PKI dan Kuburan Sejarah”, bagian 1 dan 2) dan menceritakan tentang persahabatan antara Svetlana, puteri sulung Njoto (satu dari Trio CC PKI bersama D.N. Aidit dan M.H. Lukman), dan Catharine Pandjaitan, puteri Jenderal D.I. Pandjaitan, perwira Angkatan Darat yang dibunuh dalam peristiwa 1965. Dari kisah itu, Buya Syafii berpesan agar kita, sebagaimana keturunan tokoh 1965 itu, “mengubur dendam sejarah”.
Kita perlu melakukan refleksi kenapa dulu perbincangan tentang 1965 sudah pernah agak maju namun tahun-tahun terakhir mundur lagi? Masih adakah kemungkinan untuk “maju” lagi? Memang tidak mudah membicarakan 1965, tapi ia tetap harus dibicarakan jika kita tak ingin disandera beban sejarah yang sudah berusia lebih dari setengah abad itu. Dan dalam hal ini, aksi-aksi vigilante sama sekali tidak membantu kita melihat peristiwa 1965 dengan lebih jernih. 
*Penulis adalah dosen di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, peneliti di Program Studi Agama dan Lintas Budaya (Center for Religious and Cross-cultural Studies/CRCS), UGM, dan ketua Lakpesdam NU Yogyakarta.

Tags: g30s kebebasan berpendapat komunisme lbh peristiwa 1965 pki vigilantisme ylbhi

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Facebook

Facebook Pagelike Widget

Instagram

Sebuah konsensus tentang masalah agama dan hak asa Sebuah konsensus tentang masalah agama dan hak asasi manusia (HAM) mungkin tidak akan pernah datang, tetapi keberadaannya tetap penting untuk terus-menerus didiskusikan dan diperjuangaan. 

Pemajuan HAM sebagian tergantung pada kemampuan untuk mengontekstualisasikan hak asasi manusia dalam beragam pengalaman komunitas agama dan perguruan tinggi menjadi ruang penting untuk mengajarkan, memajukan, dan menyebarluaskan hal itu. 

Bersiaplah untuk konferensi kolaborasi terkini tentang isu agama dan HAM di Indonesia. Konferensi dilaksanakan secara bauran dan gratis untuk umum!
Jikalau saja di zaman Dinasti Tang sudah ada tekno Jikalau saja di zaman Dinasti Tang sudah ada teknologi kecerdasan buatan, Sun Go Kong tak perlu jauh-jauh ke Barat mencari Kitab Suci dan menggapai pencerahan. Ia cukup menggulirkan jarinya di layar ponsel pintar untuk membaca tripitaka dari Gunung Huako sembari mendengar wejangan Biksu Tong.

Kini, tak perlu berandai-andai. Di Thailand, dan banyak negara lain, teknologi kecerdasan buatan telah hadir dan terbukti membantu banyak umat Buddha untuk meraih pencerahan.

Pertanyaannya, sejauh mana ia membantu kita? atau jangan-jangan keberadaan kecerdasan buatan justru membuat kita semakin susah mendaki gunung spiritualitas dan menyelaminya?

Laporan #wednesdayforum tentang ini bisa kamu simak di situs web crcs.
Beberapa waktu silam, kelas "Advanced Study of Con Beberapa waktu silam, kelas "Advanced Study of Confucianism" melakukan pembelajaran lapangan ke Paris, Pantai Parangtritis. Mereka mengamati dan mengikuti perayaan festival Peh Cun yang diadakan di pinggir pantai selatan. 

Bagi @vikry_reinaldo , pembelajaran di luar ruang kelas ini memberikannya pengalaman luar biasa tentang keberagaman tradisi keagamaan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.

Simak catatan jurnal kelasnya di situs web crcs ugm.
Seperti kematian yang seolah datang tiba-tiba di p Seperti kematian yang seolah datang tiba-tiba di penghujung kehidupan, tak terasa #fkd2002 Juni spesial edisi kematian telah sampai di edisi keempat.

Sebagai pemungkas, mari kita merayakan kematian bersama rekan dari Mamasan dan Toraja. Malam Jumat, malamnya penghayat dan masyarakat adat.
load more... @crcs_ugm

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, Floors 3-4
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju