Anang G. Alfian | CRCS | Class Journal
One of the exciting courses at CRCS is “Religion and Globalization”. Dr. Gregory Vanderbilt, the lecturer, has approached the study in an active and critical manner involving all the students in class activities. According to him, throughout the class students are expected to increase their capability to raise questions concerning the relation between religion and globalization as he himself prefer framing the class in series of discussions with world-wide ranges of topic.
As an American lecturer who has been working with CRCS since 2014 through Eastern Mennonite University, Virginia, he is a very well-experienced educator as he previously spent some years teaching in Japan. Moreover, his interest in following up the up-dated global issues including religious nuances, made him familiar with framing the methods of studying religion and globalization.
Global ethics is one of the topics we discussed in the class, the last material before the end of the class. Previously, we talked a lot about globalization as a phenomenon affecting religions as well as several religious responses toward globalization. Despite the supporters of globalization, many religions seem to fearfully reject it, some even proclaiming their resistance and becoming more radical.
Given the case of the famous forgery the Protocols of the Elders of Zion, an issue which is widely spread even in Japan (as well as Indonesia) is that Jews are the scary ghost behind a world conspiracy that can eventually make Japan as its next target. At least, this is what had affected Aum Shinrikyo, a radical religious sect, to declare war on Jews conspiracy and blaming them for brain-washing Japanese people. In 1995, this sect even became more radical and went wild killing tens of people in the Tokyo subway by poisoning them with deadly gas and injuring thousands of victims. Their resistance is, in fact, affected by global issues brought by high velocity of information through media and technology which successfully landed in the minds of traditional society. In this case, Aum Shinrikyo shows the same fundamentality as that of the terrible bombing of 9/11 in New York City by international terrorist network, Osama Bin Laden. In Rethinking Fundamentalism, a book we discussed in the class, we could see the influences of globalization toward religious community attitudes caused apparently by their fear, and their will for religious purification from distortion they see as brought by globalization.
Therefore, to foster the stabilization of the world order from war and disputes, it is necessary to rethink globalization in ways that are more ethical and friendly to the world. On the topic discussion of global ethics, we learned about attempts by world organizations like the United Nations in generating international agreements including the UN Declaration on Human Rights. Besides, other agreements such as the Cairo and Bangkok Declarations represent local voices which to some points define human rights differently.
The difference in worldviews among international actors is interesting because each organization tries to define a global value within their own relativities. Moreover, some theories think that UN Declaration on Human Right is a Western domination over other cultures without considering cultural relativities, including religions, each of which inherits different theological and structures while at the same time sharing common values like peace, humanity, equality, and justice.
World issues indeed became valuable perspective in this class. Students are meant to not only understand theories but also keep updating their knowledge on what is happening in the recent international world. While negative influences of globalization such as war, religious radicalization, and other world disputes were discussed in the class, there is also a hope for a global agreement and bright future by sharing noble values like cooperation, justice, human dignity, and peace on global scale. The existence of world organizations and religious representatives in fostering global ethics proves the progress made towards creating world peace. The duty of students, in this case, is to contribute academically to spreading such values without neglecting the variety of cultural and religious perspectives.
*The writer is CRCS’s student of the 2016 batch.
Articles
Anang G. Alfian* | CRCS | Class Journal
Salah satu mata kuliah yang diajarkan di CRCS adalah Religion, Violence, and Peace Building (Agama, Kekerasan, dan Perdamaian). Tiga kata kunci ini menjadi variabel dan titik tolak diskusi tentang hubungan agama dan konflik sosial dan bagaimana upaya untuk membangun perdamaian.
Diampu oleh Dr. Iqbal Ahnaf, mata kuliah ini membahas, antara lain, persoalan relasi antara agama dan konflik. Ini dibahas di pertemuan pertama untuk membuka wawasan tentang perdebatan yang terjadi mengenai hubungan kausalitas antara agama dan kekerasan.
Pada pertemuan ini, satu dari dua bacaan yang dipakai sebagai bahan readings adalah artikel dari Andreas Hasenclever dan Volker Rittberger, Does Religion Make a Difference?: Theoretical Approaches to the Impact of Faith on Political Conflict (Journal of International Studies, 2000).
Dalam artikel itu, Hasenclever dan Rittberger memaparkan tiga mazhab dalam dunia akademik dalam membaca hubungan agama dan konflik, yaitu (1) primordialis, (2) instrumentalis, dan (3) konstruktivis.
Kaum primordialis berpandangan bahwa agama dalam dirinya sendiri memiliki unsur inheren yang dapat menyebabkan konflik. Ketika terjadi “konflik agama”, agama dibaca oleh kaum primordialis sebagai variabel yang independen, unsur yang tidak bergantung pada aspek-aspek lain, dan perbedaan identitas keagamaan itu sendiri bisa cukup sebagai penyebab konflik.
Kaum instrumentalis melihat peran agama dalam “konflik agama” sebagai instrumen saja, dan tidak memiliki peran objektif dalam dirinya sendiri. Menurut kaum instrumentalis, penyebab utama konflik adalah kepentingan politik dan ekonomi. Bagi kaum instrumentalis, agama hanya berperan dalam retorika saja, dan relasinya dengan konflik bersifat semu belaka.
Kaum konstruktivis tampak berada di tengah-tengah antara kedua kelompok di atas. Konstruktivis bersetuju dengan instrumentalis dalam hal bahwa penyebab fundamental konflik bukanlah agama, melainkan kepentingan politik dan ekonomi. Namun konstruktivis juga bersepakat dengan primordialis dalam hal bahwa agama memiliki peran nyata objektif, namun bukan sebagai penyebab utama, melainkan eskalator konflik. Agama, ketika terlibat dalam konflik, dapat membuat konflik semakin mematikan, deadly. Juga, berbeda dari primordialis yang berpandangan bahwa agama menjadi variabel independen dalam konflik, bagi kaum konstruktivis agama berperan secara dependen, tergantung pada faktor-faktor ekonomi dan politik lain yang melingkupi konflik tersebut; seberapa besar peran agama mengeskalasi konflik tergantung pada seberapa akut benturan antar kepentingan politik dan ekonomi dalam konflik itu.
Ketiga cara pandang di atas tidak bisa diperlakukan secara universal. Tapi ketiganya bisa dijadikan lensa analitis dan ditempatkan dalam suatu spektrum. Bagaimana menentukan peran agama dalam suatu konflik mestilah dimulai dari detil kasus konfliknya, lalu naik melihat lensa-lensa analitis yang ada, kemudian menentukan di antara yang tersedia manakah penjelasan yang lebih tepat.
Dalam “kasus Sunni-Syiah” Sampang, misalnya, dimensi konflik yang terjadi bukan hanya karena faktor perbedaan ideologis semata, namun juga karena adanya instrumentalisasi agama oleh elite politik, karena konflik ternyata bereskalasi pada masa perebutan kekuasaan menjelang pemilu daerah, sehingga narasi-narasi agama di legitimasi sedemikian rupa untuk suatu tujuan politik. Dalam melihat hal ini, kita tak bisa berhenti pada pandangan kaum primordialis—inilah pandangan yang diadopsi oleh mereka yang memercayai bahwa konflik Sampang itu adalah konflik Sunni-Syiah. Dimensi sosial politik dalam konflik itu wajib dihitung, mulai dari yang kecil seperti persengkataan internal keluarga, perebutan umat, hingga yang lebih makro seperti instrumentalisasi konflik untuk mendulang dukungan dalam pemilu.
Dalam perspektif konstruktivis, intervensi terhadap konflik dengan menyuarakan nilai-nilai kebajikan agama, kearifan lokal, dan slogan-slogan orang Madura Sampang sangat membantu upaya rekonsiliasi konflik, yakni untuk melakukan deskalasi terhadap konflik itu dengan mengajukan narasi tandingan primordialis. Penelitian Dr. Iqbal Ahnaf beserta peneliti yang lain dalam serial laporan CRCS tentang kehidupan beragama di Indonesia yang bertajuk Politik Lokal dan Konflik Keagamaan menunjukkan instrumentalisasi agama oleh elit politik di Sampang menjelang pilkada. Tesis S2 terkait kasus Sampang ini juga ditulis oleh mahasiswa CRCS angkatan 2010 Muhammad Afdillah yang kini telah dijadikan buku dengan judul Dari Masjid ke Panggung Politik.
Kasus Sampang merupakan contoh yang bagus untuk membaca seberapa besar peran agama dalam konflik, dan ini membutuhkan data dan analisis yang cermat. Contoh-contoh lain dari yang terjadi di Indonesia yang bisa diambil ialah kasus Ambon dan Poso, atau yang belum lama ini terjadi seperti di Tolikara, Tanjungbalai, atau bahkan kasus dugaan “penodaan agama” dalam pilkada Jakarta.
*Penulis adalah mahasiswa CRCS angkatan 2016
Ilham Almujaddidy & A.S. Sudjatna | CRCS | Event Report
Dialog antaragama sebagai upaya penyelesaian konflik bukan hal yang mudah dilakukan. Tidak jarang terjadi, dialog yang dimaksudkan untuk menjembatani perbedaan dan meminimalisasi konflik tidak berjalan sesuai tujuan awal, atau bahkan kontraproduktif dan menimbulkan masalah baru.
Dalam diskusi Forum Umar Kayam, Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjosoemantri (PKKH) UGM, pada Senin 25 Juli 2016, dosen CRCS Dr. Suhadi Cholil membahas persoalan ini. Dalam diskusi bertajuk “Menunda Keyakinan: Refleksi Membangun Pluralisme dari Bawah” itu, pengajar matakuliah Interreligious Dialogue di CRCS ini memberikan identifikasi-identifikasi penyebab dialog gagal mencapai tujuannya.
Pertama, kurangnya pemahaman substantif tentang fungsi dan metode dialog antaragama yang menyaratkan, antara lain, adanya saling percaya. Adanya praduga-praduga negatif terhadap mitra dialog dapat menimbulkan tiadanya saling percaya itu, dan pada gilirannya menjadi hambatan utama bagi efektivitas proses dialog.
Kedua, dialog antaragama yang semestinya menjadi interaksi untuk saling mengakomodasi masing-masing pihak yang terlibat, dalam prosesnya, malah terjebak dalam upaya untuk mendominasi.
Ketiga, dialog antaragama diandaikan sebagai penuntas konflik. Yang jarang dipahami, dialog dalam praksisnya tidak serta merta bisa menyelesaikan konflik. Beberapa konflik, apalagi konflik agama yang melibatkan klaim-klaim teologis yang sulit untuk dijembatani, tidak mudah dimediasi dengan dialog semata, dan karena itu memerlukan alternatif resolusi konflik yang lain.
Dengan menyadari hal-hal yang menghambat dialog antaragama itu, pemahaman yang tepat mengenai fungsi dan metode dialog antaragama bagi para pihak yang terlibat di dalamnya mutlak diperlukan, termasuk mensinergikan pengetahuan teoretis dan praksis.
Yang kerap menjadi problem di lapangan ialah banyak akademisi yang hanya fokus pada persoalan-persoalan teoretis atau teologis semata, namun abai pada ranah praktis. Sementara di sisi lain, ada banyak aktivis yang kurang reflektif secara teoretis maupun teologis, namun begitu aktif di pelbagai aktivitas dan advokasi perdamaian. Ketika kedua belah pihak ini terlibat dalam sebuah dialog, kerap kali muncul kesalahpahaman yang dapat memicu timbulnya permasalahan baru, dan karena itu kontraproduktif.
Hal lain untuk meminimalisasi hambatan dalam dialog antaragama ialah dengan mendudukkan isu teologis secara tepat. Tidak dapat dimungkiri, isu teologis merupakan isu sensitif, dan karena itu, jika tak hati-hati, justru dapat merusak proses dialog itu sendiri. Dalam proses dialog antaragama, isu teologis berada dalam ketegangan antara klaim eksklusifitas dan kehendak untuk menerima adanya keyakinan yang berbeda.
Dalam persoalan yang terakhir ini, Dr. Suhadi tidak mengusulkan untuk membuang eksklusivitas itu. Baginya, eksklusivitas itu sendiri tidak salah dalam dirinya sendiri. Ia akan menjadi masalah ketika tidak diterjemahkan dengan proporsi yang tepat di ruang publik. Banyak dari yang terlibat dalam proses dialog tidak membedakan antara ruang privat untuk ranah teologis dan ruang publik untuk pencarian titik temu guna menyelesaikan konflik. Karena kurangnya pemahaman untuk melokalisir klaim-klaim teologis pada ranah pikiran dan hati, dialog antaragama, alih-alih menjembatani perbedaan, justru rawan menjadi adu klaim teologis.
Merespons isu eksklusivitas teologis dalam dialog antaragama ini, Dr. Suhadi menawarkan gagasan bahwa untuk mengembangkan dialog antaragama yang lebih produktif, perspektif yang terbaik adalah dengan mendahulukan urusan sivik (kewargaan) dan menunda keyakinan. Hal ini tentu tidak berarti keyakinan ditinggalkan. Keyakinan ditunda, tidak dikedepankan, dan baru ditengok kembali ketika dibutuhkan dalam proses dialog.
*Laporan ini ditulis oleh mahasiswa CRCS, dan disunting oleh pengelola website.
Anang G. Alfian | CRCS | Article
“Jesus as an infant fled with his family into exile. During his public life, he went about doing good and healing the sick, with nowhere to lay his head”.
We were finally in the next to last meeting of Religion and Globalization class. Having studied religion and globalization through the whole sessions, we have come to understand a lot about what role of religions play in accord to globalization and how globalization affects the way religions are concerned with humanitarian issues.
On Monday, November 21, 2016, we had a field trip to one faith-based-NGO to understand how such religious organization works for humanity. Jesuit Refugee Service (JRS) is one of the well-known international organizations and it was a good place to learn the working field of faith-based organizations. Together with Gregory Vanderbilt as the lecturer of the class, we visited the national office of JRS in Yogyakarta and had a great time meeting Fr. Maswan, S.J., and learning directly from a member of the community
Our visit began with Fr. Maswan’s presentation about the organization. Firstly established in Indonesia in 1999, Jesuit Refugees Services has been accompanying, advocating, and giving services to forcibly displaced people. Therefore, this organization has actually been well experienced in dealing with the issues. As we listen to his presentation, we come to realize that this problem of refugees and asylum seekers cannot be ignored for it belongs to international concern. The perpetuation of war, disasters, racial conflict, and many other causes make refugees seek for their safety life by migrating to other national boundaries.
However, it has never been easy for refugees because they have to face the legal and often difficult administrative regulations of the government where they are staying. This is exactly what happens to refugees in Indonesia. Because Indonesia has not ratified the 1951 Convention Relating to the Status of Refugees, refugees in Indonesia are not recognized as such by the Indonesian government—instead they are considered undocumented aliens—while they wait for recognition from the UNHCR which will allow them to resettle in another country. In some districts, refugees have to stay in detention center while waiting for their legal refugee status to be acknowledged by the law.
As recorded in JRS monitoring, refugees in Indonesia have reached a number of 4.344 people of whom 540 are female and 905 are children with 96 being unaccompanied minors and seperated children. So far, JRS has been accompanying two detention centers in Surabaya and Manado and being involved in other areas as well. In Aceh, JRS has advocated for protection over 625 people and has given psychosocial accompaniement to over 1558 refugees. In Yogyakarta, they are serving the refugees, mostly from Afghanistan, housed in the Ashrama Haji. They listen, accompany, and make activities to give hope for those people who had been separated from their family and their mother land.
So, where is exactly the religion to deal with this? This question come out of students trying to figure out the role of religion in this humanity organization. Then, the community member continued the presentation stating that the mission of JRS is intimately connected with the mission of Society of Jesus to serve faith and promote the justice of God’s kingdom in dialogues with cultures and religions. Yet, another student comes up with another concern, “Does it mean that JSR proselytize Christianity?” Well. This is very important because in the previous meeting, we read through Philip Fountain’s “Proselytizing Development” and he himself attended our class for discussing this topic. In sort, the religion has been inspired by the development organization as precedent in history while, vice versa, religion brings universal ethics to be put in dialogue with cultures and religion.
In the last session of our discussion in JRS offices, Fr. Maswan emphasized some points such as it is the problem of humanity that we have to be concerned about and not at all concerned in religious kind of missionary work altough it might inspired the organization in its underlying ethics, building cooperation with other cultural, faith-based, and other types of organization. We also read the paper Fredy Torang (2013 batch) presented in Singapore about how JRS acts as an agent of “humanitarian diplomacy” between the refugees and the local communities and government. In 2017, JRS will continue lobbying local government to allow refugees to live in a community and not in detention and also monitoring the migration all over the world to help assisting the displaced people and consistently gives concern to human right and dignity.
Gregory Vanderbilt | CRCS UGM | Perspective
The kyai switched to English for just one sentence as he joined other village leaders in welcoming CRCS’s Eighth Diversity Management School or Sekolah Pengelolaan Keragaman (SPK) to the village of Mangundadi, 23 km west of Magelang, at the foot of Mt. Sumbing. Perhaps his choice was to honor the diversity present in this group—or that the chasm from ivory tower to mountain village had been bridged for an afternoon—as we tried to absorb the dance performance based on the carved reliefs of Borobudur we had just experienced. Though the village is 24km away from the 10th-century sacred site, and Muslim, it and its arts are part of the Ruwat-Rawat Festival movement that seeks to re-sacralize the great Buddhist monument from the disenchantment of the tourism industry and the weight of the busloads that climb it each day to snap selfies and admire in passing the craftsmanship of a millenium ago.
We were there because of the friendship with Ruwat-Rawat founder Pak Sucoro that has developed over the last year thanks to CRCS alumna Wilis Rengganiasih. Owner of the counter-narrative-producing Warung Info Jagad Cleguk across from the gates to the Borobudur parking lot and instigator of the eight-week festival each April-May, he had arranged an amazing afternoon for the excursion that has become an important change-of-page for SPK members after a week of ideas and passionate discussion. On the Saturday of the ten-day long school, the twenty-five members of SPK plus facilitators and friends departed by bus the school’s venue at the Disaster Oasis in Kaliurang, heading first to the warung at Borobudur to meet our guides and then heading another hour west from Magelang.
The road to the village of Mangundadi was too steep for our bus and so we were met at the main road by the pickups and motorcycles of the young men of the village. Having climbed on board, off we went to Mangundadi, the motorcycles revving their engines in a chorus of welcome. Afterwards SPK staffer Subandri admitted that he has now a tinge of positive feeling when he hears the youth gangs disrupt the city streets with their noisy machines, because what a welcome it was! When we reached the village, women lined the lane to shake our hands as we were ushered into one house to catch our breath, and then to process around the village’s new mosque with the genungan ritual mountain of vegetables, followed by the groups of performers, children, youth, adults, already in gorgeous costume and make-up. By the time we had feasted in another house, the performers were ready and, as the rain fell, they danced scenes from the stone reliefs. In the end, Pak Sucoro pulled some of us onto the stage to move with them and then they offered their salims and went back to their villages.
In the evening we returned to the Omah Semar retreat house near the monument-park for a discussion with Pak Sucoro about his vision of Borobudur as a universal spiritual heritage and as a place of spiritual significance for local culture, a place for Indonesian society to make a new choice, to live in harmony with God, nature, and each other. The Ruwat-Rawat has incorporated and re-ignited local traditions by focusing them on a global question, the question I asked the Advanced Study of Buddhism students who met Pak Sucoro back in May: who owns Borobudur? The next morning, walking across the lawns where his village once stood, we could see the stupa-monument in a new way.
This was my third SPK since I came to CRCS in 2014. For me, it is an opportunity to meet the activists, academics, government workers, and media people who come to participate and see how change is happening across Indonesia. Each SPK may have its own character—this one, for example, was quicker to start singing than put on a mop of cringe-worthy joke telling—but the greater tone of excitement at being among others as serious of purpose and as ready to be challenged to greater intellectual depth is constant. The participants are excited by guest insights from Bob Hefner and Dewi Candraningrum but even more by the well-developed program from a core of facilitators devoted to teaching “civic pluralism” as a paradigm for just co-existence in the contexts of Indonesian diversity, one basing access in the three Re-‘s of recognition, representation, and redistribution, combined with thinking systematically about such core CRCS emphases as taking apart religion as lived and governed in Indonesia, digging into research for advocacy and putting into practice the theories and methods of conflict resolution. Equally important, they stay up late sharing their work, from teaching to preaching to activating NGOs to working conscientiously from inside government. Some know of the program because they have heard about CRCS while visiting or studying in Yogyakarta; others, following friends and co-workers who applied previously; and others still from searching online for “pluralism school” in order to serve better as religious and social leaders.
Visiting SPK alumni in their homeplaces—Jakarta, Aceh, West Sumatra, and Jambi, so far—has also shown me glimpses of grass-roots possibility across Indonesia. Trainings and workshops are regular features of Indonesian civil society, but it appears SPK leaves a more lasting impression on its participants. This is perhaps because of the intensity of their twelve days in the aptly named Disaster Oasis and perhaps because it challenges them more to take an intellectually grounded, hopeful framework to the places they are working and asks them to return with a research project, on how a pluralistically civil society is being made in soccer clubs and local studies movements and activism for gender (five from SPK-VIII work against domestic violence) and ethnic equality and film festivals and women’s economic literacy programs in villages and so on. In that way, the village kyai is right.
*The writer, Gregory Vanderbilt, is a lecturer at CRCS, teaching courses, among others, on religion and globalization; and advanced study of Christianity.
Jekonia Tarigan | CRCS UGM | SPK News
Pada hari keempat Sekolah Pengelolaan Keragamaan (SPK) angkatan ke-VIII tahun 2016 ini, tampak para peserta mulai dapat melihat muara dari upaya pendidikan yang dilakukan dalam SPK ini. Setelah beberapa hari bergaul dengan materi-materi yang menjadi landasan pembangunan kesadaran akan keberagaman dan penghargaan subjektifitas semua entitas dalam keberagaman, seperti teori identitas, reifikasi agama di Indonesia, dan lain sebagainya, para peserta dibawa ke ranah upaya mempraktikkan apa yang telah dipelajari.
Hal ini terwujud dalam topik “Advokasi Berbasis Riset” yang disampaikan oleh Kharisma Nugroho, seorang peneliti dan konsultan kebijakan-kebijakan publik dari KSI (Knowledge Sector Initiative) sebuah lembaga riset kerjasama Indonesia dan Australia yang bergerak dalam upaya mengangkat pengetahuan atau kearifan lokal dalam pembuatan kebijakan-kebijakan di tingkat daerah maupun nasional.
Dalam sesi ini disampaikan, semua peserta SPK perlu sampai pada titik di mana mereka terpanggil untuk melalukan sebuah upaya advokasi, yang secara sederhana dapat diartikan sebagai upaya memperjuangkan nilai-nilai atau ideal-ideal yang diyakini kebenarannya, misalnya mengadvokasi hak-hak masyarakat adat terhadap tanah adat mereka yang ingin dicaplok oleh perusahaan multinasional.
Namun fasilitator menekankan bahwa kerja advokasi bukanlah kerja otot (kerja keras) semata, sehingga basisnya bukan hanya emosi dan pemaksaan kehendak. Lebih dari itu, kerja advokasi adalah kerja otak (kerja cerdas), yang berarti bahwa orang-orang yang mengadvokasi harus tahu benar apa yang ia bela dan bagaimana cara membuat pembelaan dan perjuangannya itu berhasil.
Untuk itu, fasilitator menjelaskan ada tiga pengetahuan penting yang harus dimiliki oleh setiap peserta SPK, yakni: pertama, scientific knowledge, yaitu pengetahuan atau riset yang berbasis teori sebagaimana yang dapat diperoleh dalam kehidupan akademik di kampus; kedua, financial knowledge, yaitu pengetahuan atau riset yang didorong oleh lembaga-lembaga donor tertentu yang menghendaki adanya kajian tentang sebuah topik atau kejadian sebelum mereka memberikan bantuan, dll; dan yang ketiga, bureaucratic knowledge, yaitu pengetahuan terkait pemahaman pemerintah atas sebuah hal atau peristiwa yang ingin diadvokasi oleh satu lembaga swadaya masyarakat tertentu. Ini karena pemerintah mempunyai logikanya tersendiri terkait sebuah kebijakan yang akan diambil yang membuat mereka tidak hanya perlu fokus pada satu hal yang diadvokasi oleh satu LSM atau lembaga riset, tetapi juga melihat urgensi dan keberlangsungan pelaksanaan kebijakan yang akan dibuat nantinya.
Dalam SPK ini dijelaskan pula bahwa para advokator perlu menjaga kredibilitas, dengan menjaga kualitas riset. Fasilitator mengingatkan bahwa advokasi berbasis riset atau penelitian harus benar-benar teliti dan mencari terus hal-hal yang ada di balik fenomena, dan bukan hanya melihat kulit luarnya saja.
Fasilitator memberikan contoh, ada sebuah penelitian tentang program BPJS di tahun 2015 yang menyatakan bahwa pelaksanaan BPJS buruk, terjadi antrian panjang, masyarakat bingung dan kebutuhan perempuan kurang diperhatikan. Informasi ini jelas baik, namun tidak menjawab pertanyaan “apa yang menyebabkannya fenomena tersebut terjadi?” Secara sederhana, fasilitator kemudian membuat penelitian dengan memperhatikan data-data bidang kesehatan sepuluh tahun terakhir. Dari data yang dimiliki, fasilitator menemukan bahwa dalam sebuah penelitian dengan metode wawancara ditemukan bahwa masyarakat yang merasa sakit selama satu bulan hanya sekitar 25%, namun setelah adanya BPJS masyarakat menjadi lebih mudah mengakses layanan kesehatan, sehingga permintaan layanan kesehatan naik hingga 60%.
Sebelum adanya BPJS mungkin masyarakat tidak terlalu banyak mengakses layanan kesehatan dikarenakan biaya yang mahal, namun setelah ada BPJS permintaan layanan kesehatan naik hampir 100% sementara jumlah fasilitas kesehatan dan tenaga medis tidak bertambah secara signifikan. Dari hasi penelitian ini penting sekali untuk menemukan akar dari sebuah persoalan, sehingga saat dilakukan upaya advokasi isu yang dibahas adalah isu yang esensial dan dapat menjadi landasan bagi pengambilan kebijakan.
Hal lain yang juga sangat penting dari sebuah upaya advokasi adalah perubahan paradigma dari para pelaku advokasi. Advokasi tidak selalu soal mengubah undang-undang atau sebuah kebijakan. Lebih dari itu, bukti dari perubahan itu tidak pula selalu soal pendirian lembaga tingkat nasional sampai daerah yang dimaksudkan untuk menangani satu isu tertentu, sebab belum tentu perubahan undang-undang dan pendirian lembaga itu merupakan jaminan terjadinya perubahan. Bisa jadi ini justru adalah jebakan baru (institutional trap) yang menjadikan perubahan semakin lambat terjadi. Oleh karena itu, fasilitator mengingatkan ada beberapa aspek yang menandai terjadinya perubahan setelah upaya advokasi yaitu: